Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
KAU DAN ISTRIMU bangun dari koma di hari ketujuh. Sementara kau siuman, istrimu malah hilang ingatan. Ajaib, pikirmu, kalian sama-sama diseruduk truk dari belakang dan motor yang kau kendarai dirasuki banteng, terpental menghantam dinding ruko. Kepalamu berdarah, helm istrimu baik-baik saja tapi isi tempurungnya terguncang. Trauma internal, kata dokter, sesaat setelah kau siuman. Kau lantas menyadari mengapa istrimu celingukan dengan tatapan kosong terbaring di pelbed tak menghiraukanmu.
Kepala Mirna, istrimu, tampak baik-baik saja tanpa sehelai perban seperti yang membebat kepalamu. Memang agak pening. Seketika kau berdiri kedua matamu diserbu kunang-kunang. Wajar, ada 12 jahitan di ubun-ubunmu. Itu tak dihitung dengan bentuk mukamu kini yang menyerupai Yakuza. Goresan sepanjang batang kretek tergurat di keningmu melintang sampai pelipis. Mungkin ada serpihan tembok yang masuk ke sela-selanya, tapi entahlah, kau rasakan keningmu bengkak dan sedikit membiru.
Perban itu mudah saja kau samakan dengan mahkota milik pemuda dari bukit Golgotha, bila kau usil. Tapi arah ke mana pikiranmu bergerak, isi hatimu tetap gundah. Mirna hanya mengatupkan mata dan kembali terpejam tak merespon genggaman jemarimu. Mungkin ia masih lemas, trauma, atau bahkan sedang bermimpi. Kau menyerahkan sepenuhnya pada suster yang datang membawakan makan siang. Di atas plato stainless tampak seonggok nasi putih dan perintilan brokoli plus tahu rebus yang sama sekali tak menerbitkan liur.
Beri waktu istri Anda sehari lagi, insyallah. Suster itu, umurnya kau taksir tak lebih dari 25 tahun dan mungkin baru lulus dari akademi keperawatan, berlalu seperti tak pernah terjadi sesuatu yang membuat heboh keluargamu seminggu yang lalu. Sialnya kau tak ingat persis seperti apa kejadiannya. Dalam tidurmu yang panjang kau hanya mendengar celotehan mertuamu, adik bungsumu, beberapa kolega, dan suara dokter bedah syaraf yang kali pertama kau lihat wajahnya ketika kau membuka kelopak mata.
Setelah menelpon adikmu dan ibu mertua kau memutuskan pulang sebentar. Membereskan rumah dan mulai mengumpulkan serpihan ingatan yang berceceran sepanjang perjalanan. Hilang ingatan, kau tahu, adalah sesuatu yang tak pernah kau bayangkan bahkan di dalam skenario terburuk hidupmu. Kau boleh saja membayangkan jatuh miskin atau menjadi pemimpin sekte pemuja domino online, tapi hilang ingatan, yang entah akan kembali dalam bentuk seperti apa jika seseorang kembali sadar, membuatmu jeri untuk sekedar membayangkannya.
Terimalah, skenario itu kini hinggap di sepotong takdirmu.
Tak apa, kau mampu mengingat kembali, mereka adegan yang berujung koma dan menghancurkan motormu. Sore itu kau dan Mirna hendak mengudap bakso krikil dan mengenang masa kasmaran, bila diingat-ingat, sekitar lima tahun yang lalu ketika baru sama-sama lulus kuliah. Lima tahun ke belakang, kau masih menjadi wartawan lepas dengan kekeraskepalaan yang aduhai. Kau bertemu Mirna saat tengah meliput, di tengah kerumunan, di garda paling depan mengibarkan bendera Palestina.
Kau menghampirinya saat kerumunan turun minum selepas adzan ashar berkumandang. Pertanyaanmu sebenarnya standar-standar saja, tapi hubungan yang kalian jalin berlanjut hingga datang suatu masa kau bertengkar hebat. Pasangan mana pun di dunia ini akan selalu diuji. Utamanya tentang prinsip, dan kalian sama-sama mengukur sejauh mana kepala masing-masing dapat diselaraskan dengan keinginan hidup bersama. Kau mengalah, menyerah, merelakannya dengan alasan yang sungguh mubazir, mirip sinetron bahkan, tapi nasib pada akhirnya berkata lain.
Selang seminggu sejak perdebatan tak berujung pangkal itu, setelah kalian sama-sama memblokir nomor whatsapp dan menghapus album foto berjudul Long Last Forever berisi mimik-mimik imut di ponsel, Mirna datang ke kontrakanmu dengan amat mengejutkan. Seperti hari lebaran, malam itu kalian sama-sama menangis dan saling meminta maaf. Kalian bertekad untuk memulai lagi dari awal, tentu dengan penyesuaian di sana-sini yang perlu kau lakukan karena Mirna benar-benar kau ingini untuk menemani hidupmu sampai tua kelak.
Kau segan bertanya mengapa saat itu –dan hari-hari sesudahnya—penampilan Mirna berubah. Meski keinginanmu untuk hidup dengannya tak tergoyahkan, kau ajukan juga hal yang mengganjal itu setelah berputar-putar memaksa Mirna sendiri menangkap apa maumu. Mulanya, kau merasa bersalah membiarkannya memutar haluan setelah menggenggam teguh prinsip dan keyakinannya selama ini. Kau merasa seperti sedang menghasut orang untuk bergabung ke dalam aliran sesat dan bertindak sesuai wangsit yang kau dapatkan. Kau mulai dongkol dan serba salah. Tapi Mirna, perempuan yang membuatmu berani membayangkan hidup bersama seseorang sampai tua kelak itu, duduk di sisimu dengan anggun dan menatapmu mantap penuh ketulusan.
Cinta, kau tahu, adalah hal yang kusut bagi sebagian orang. Bagimu, tak pernah ada alasan yang betul-betul hadir ketika bertemu Mirna dan menginginkannya bersamamu di sisa hidup. Tapi, belakangan, kau pun perlu memikirkan jawaban apa yang akan kau angsur bila kedua orang tuanya bertanya perihal mau ke mana setelah kau mati kelak, neraka atau surga? Tentu saja, kau tak mau mengecewakan mereka. Kau tak mau membuat Mirna mundur hanya gara-gara kau sendiri tak begitu yakin. Kau kadang menyesali segala ceracau yang pernah kau sampaikan tentang isi kepalamu yang kerap berselisih dengan dunia Mirna. Dapatkah dua orang hidup saling menyayangi tanpa menanggalkan segala apa yang ia yakini sebelumnya?
Di tengah keraguan meningkahi kepalamu Mirna muncul, lagi-lagi, dengan caranya yang mengejutkan. Ia pulang diantar mertua dan adikmu. Dengan paras iba, mertuamu menjawil lengan bajumu dan berbisik-bisik di dapur meninggalkan Mirna di ruang tamu. Kau tahu ini ujian, dan Tuhan menyayangi umatnya dengan caranya yang demikian. Maka kuatkanlah hatimu, tegar dan tegaplah seperti di awal. Kau tahu ketika kali pertama kau datang padaku meminta Mirna untuk kau jadikan istrimu? Mungkin, hal itu akan berlangsung dua kali dalam hidupmu. Tabahlah. Berlakulah seperti biasa, meski ia tak mampu mengingat memori lima tahun ke belakang, di kepalanya tak ada sosokmu, suaminya.
Ulu hatimu semplak. Mertuamu benar dan kau perlu tahu hal itu. Perlahan kau hampiri istrimu, Mirna duduk dengan anggun dan kalian bersitatap sejenak. Kau tak tega memintanya mengingatmu sebagai suaminya, ia tampak rikuh dengan kalimat terbata-bata dan lebih banyak menjawab pertanyaan dengan mulut menganga. Déjà vu, kata Kurt Vonnegut, dapat mendera tokoh-tokohnya dalam Gempa Waktu selama tujuh tahun berturut-turut dan tak lantas pergi. Kau memaki penulis sialan itu, seperti Macondo, pengulangan-pengulangan itu lebih cocok sebagai nasib sial atau kutukan.
Hidupmu kembali bergulir dan tugas barumu sebagai bekas suami membuatmu cepat merasa lelah. Sepulang bekerja, kau tak menemukan lagi teh manis hangat beraroma lemon di atas meja. Kau tak pernah lagi berdialog dan mengakhirinya dengan tawa untuk lantas saling bercumbu di penghujung malam. Kau perlu memakluminya, memberi waktu istrimu kembali mengingat. Maka kau mengenalkannya kembali pada hal-hal yang menambatkan kalian berdua: foto-foto saat kalian berada di puncak gunung; di depan panggung konser band metal legendaris; di sebuah perpustakaan saat kau memotretnya diam-diam ketika ia sedang membaca Dunia Sophie.
Tapi ia tak mengingatnya. Ia seperti sama-sama maklum, satu bulan hidup bersama orang asing, melakukan hal-hal yang asing dengan serba rikuh dan segan, dan kau merasa ini semua sia-sia. Hingga suatu hari mertuamu datang menjemput istrimu, dengan segala kerendahan hati dan longsor harapan kau merelakannya pergi. Mungkin, ada baiknya membiarkan Mirna merasakan kehangatan dari keluarga yang benar-benar diingatnya, ketimbang menjejalinya dengan masa lima tahun kalian bersama yang tak berarti apa-apa lagi. Seperti permen karet, semakin lama dikunyah, semakin hambar di lidah.
Kau tahu hal ini akan beresiko. Bukan hanya kau berpisah ranjang, mengharuskanmu mencari cara lain untuk kembali memikat hatinya sebagaimana kali pertama kau bertemu. Ada hal lain yang menumbuk dadamu. Sebelum Mirna memutuskan hidup bersamamu, kau tahu banyak pihak yang tak setuju. Teman-teman Mirna—tentu saja, siapa lagi?—adalah yang paling cerewet. Tak jarang kau disumpah-serapahi, meski di taraf ini kau bisa menahan diri. Hanya saja, akan kelewatan bila lelaki yang konon diutus oleh grup pengajian yang pernah diikuti Mirna kala itu sengaja bertandang ke rumah untuk menjelaskan duduk perkara mengapa seseorang menjadi murtad.
Bukan hanya sekali-dua, lelaki yang serba wangi dengan senyum yang selalu diulas di bibirnya itu tak segan mengajakmu dan istrimu menghadiri ragam agenda. Dalam beberapa kesempatan, ia lebih mirip bagian dari mertua atau separuh orang tua yang rajin mengobok-obok rumah tangga orang demi mengail hal-hal yang di kemudian hari dapat dikemukakan lewat kutipan sohibul kisah. Punggungmu terasa berkeringat dan keningmu berminyak, kau bertanya mengapa bukan kau yang hilang ingatan dan mengalami memori mentok di umur belia dengan penalaran yang masih hijau.
Seminggu sekali kau berkunjung, menjenguk Mirna, menyambung tali silaturahmi. Bukan hanya tak kau temukan kemajuan pada Mirna istrimu, tetapi juga dengan sikap mertuamu yang rajin membicarakan tentang kasus-kasus perceraian baik-baik tanpa lebih dulu menghadirkan prahara. Kau merasa didorong ke tepi jurang dengan pilihan terjun ke dasar atau kembali sebagai orang kalah. Belum sempat kau memilih, di minggu ketujuh kau memergoki lelaki saleh itu keluar rumah Mirna diiringi mertuamu.
Hatimu kontan dijilat-jilat api. Lelaki itu pergi dan kau hampiri mertuamu. Lagi, lengan bajumu dijawil dan keduanya mengajakmu duduk di kamar tamu. Ibunya tak memanggil Mirna, ayahnya tak memanggil istrimu keluar dari dapur atau kamar atau wc, seperti biasanya saat kau datang berkunjung. Di hadapanmu, kening ayahnya seperti terbetot gravitasi memaksa pandangannya jatuh ke lantai. Sementara tatapan mata ibunya kosong menerabas sepotong jendela di dinding. Sekali lagi, mertuamu benar dan kau berhak tahu akan hal itu. Kau tanda tangani secarik kertas dan berpamitan. Di jalan pulang dengan motor yang kadang oleng, kau lantas menghitung jatah sial yang tersisa, harapan yang tersisa, dan bila ada, kesempatan yang tersisa. Kau buka kaca helm, membiarkan angin mengeringkan mata dan pipimu yang basah.
Belum khatam kau menghitung, pantat motormu diseruduk truk dari belakang dan motor yang kau kendarai dirasuki banteng lalu terpental menghantam dinding ruko. Ada trauma temporer di kepala bagian belakang, kata dokter, di hari ketujuh kau siuman. Prestasi yang kau raih saat itu hanyalah celingukan, merasa lapar, dan kembali tertidur. Kau tak menyadari kehadiran perempuan yang sedari tadi duduk di sampingmu. Ia menggenggam jemarimu, membacakan ayat suci dengan cucuran air mata yang menetes di seprai dan lenganmu. Tapi kau tak ingat, sama sekali tak mampu mengingat Mirna.