Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Si Kancil Dikeloni Kunti
0
Suka
964
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Alkisah. Dahulu kala, di sebuah desa—desa yang pertanahannya belum ditumbuhi pepohonan beton menjulang; desa yang airnya belum mengalir berwarna kecokelatan di atas sungai-sungai beraspal—yang rimbun menghijau dengan pepohonan bambu dan tanah kecokelatan yang menguarkan petrikor sesaat langit memperhujankan, hiduplah seorang gadis bernama: Jeng Kelon, nirsufiks -i atau -kan, apalagi ditambahi dong.

Sebuah nama yang diberikan oleh orang tuanya dan membuat para tetangga yang hadir mengikik di hari-H nama ‘Jeng Kelon’ itu dilisankan.

“Jeng Kelon! Jeng Kelooon!”

Aku mengintip dari kisi-kisi jendela kayu kamarku, mencari tahu siapa pemilik suara bas yang memanggilku pada waktu malam-malam begini. Namun telanjur bau itu sudah menusuk-nusuk hidungku. Bau mulut ‘jengkol’ khas si empunya mulut yang lirih memanggilku. Pantas saja, sudut kisi-kisi jendela tempat aku mengintip, tepat bersehadap dengan mulut si Mulut Jengkol. Hemfet. Fengaaap!

“Duh!”

“Maaf-maaf-maaf, enggak sengaja,” ucapku berselang tak lama setelah daun jendela yang sengaja kubuka mendadak. “Sakit ya?” Aku mengikik. Masih kulihat bibirnya menguncup dan sedikit jontor menebal.

“....”

“Ada apa malam-malam begini ‘menguncup lirih’ memanggilku?”

“’Ronda’ enggak?”

Aku mengikik sembari menunggu-nunggu hatiku membuat keputusan. Akhirnya, aku pun bertanya, “Ke mana rute ‘ronda’ malam ini?”

“Petilasan Ki Kudu Taat Bra-yamesti.”

“Xixixixixi, taat kok sama bra, xixixixixi.”

“Hush! Itu ‘nama’. Bagaimana? Mau?”

Jeng Kelon pun akhirnya menganggukkan kepala dan menerima jadwal rutenya menyambangi petilasan bersama dengan kawan seperjuangannya: si Kancil. Sekelebat dia melayang pergi dari rumah reyot yang letaknya menyendiri dari pemukiman warga desa. Sekejap bertelekan di dahan pohon bambu, sekedipan lalu dia begitu awah melayang dan sudah berdiri di batang dahan pohon nangka.

Tiba-tiba ....

“Sebentar Cil.” Jeng sepintas lalu mengadang Kancil yang berlari ngos-ngosan. “Coba ceritakan, mengapa jadwal ‘ronda’ malam ini menyambangi tempat itu?”

Kancil tak segera menjawab. Dia masih membungkuk, sementara lengannya memegang lutut sambil mengatur irama napasnya supaya kembali normal. “Hhh ... sebentar, hhh-hhh.” Kancil terjelepok.

“Xixixixixixi ....”

“Sebentar, Jeng, sebentar ...,” suara Kancil menggeruh, “kamu bisa melayang sambil mengikik. Kalau aku?”

“Kalau kamu? Kenapa, Cil? Xixixixixixi.”

“O ... andai aku punya sayap di tubuh merahku ini.”

“Xixixixixixi ... xixixixixixi. Enggak bakal mungkin, Cil. Mana ada malaikat bersayap bermuka acak nonsimetris, xixixixixixixi. Kurangi kebiasaan kamu nobar sinetron manusia, Cil. Jadi, kamu enggak ikut-ikutan terhanyut berandai-andai, xixixixixixixi.

“Bagaimana ceritanya, Cil?” tanya Jeng menagih janji cerita si Kancil tentang petilasan Ki Kudu Taat Bra-yamesti.

“Enggak ada yang istimewa soal petilasan itu, Jeng. Isi kuburan itu sebenarnya cuma jasad bencong. Enggak—“

“Hah! Xixixixi—haxxiiiii—haxxiiii—hax-hax-haxxxiiiiiiiii.”

“Kenapa, Jeng?”

“Bersin.”

“O ....”

“Lanjutkan cerita—hxiiiii-nya ..., Cil.”

Kancil bersuara seperti menggelogok sebelum berkata, “Enggak tahu apa sebabnya kuburan bencong itu sekarang jadi petilasan dan ramai didatangi orang-orang. Barangkali, hanya satu petunjuk nama antara ‘kudu—yamesti’ itu yang bikin kuburan jadi tenar dan berubah nama.

“Asal muasalnya cuma dari bra berwarna ungu menyangkut di kayu nisan kuburan itu, dan mata di wajah nonsimetrisku ini melihat kejadian perkosaan perempuan tidak jauh terjarak kuburan.

"Gadis perempuan itu ditinggal melentang begitu saja setelah tiga lelaki pemerkosanya puas melenguh. Si gadis, yang tak gadis lagi, berusaha bangkit berdiri. Tubuh polos bernoda perlahan ditutupi oleh pakaiannya, mulai dari celana dalam ungu yang lusuh dirembesi darah. Lantas, jarit melapisi-melingkar terlilit menutupi pinggul hingga batas mata kakinya. Si gadis sempat nanar terisak-isak mencari-cari di mana bra miliknya. Bra itu tak diketemukannya sebab terbawa tak sengaja di bahu satu dari tiga pemuda yang sudah puas melenguh, dan pemuda itu melemparkan bra asal saja ketika berlari melintasi kuburan. Bra berwarna ungu itu lalu tersangkut di kayu nisan.

“Lho—Jeng ... Jeng, kamu di mana?” Kancil celangak-celunguk mencari-cari. Hilang penampakan Jeng Kelon dari hadapannya sekelebatan.

“Aku di sini ... xixixixixixixixi.” Tampak Jeng Kelon melambai-lambai bersama rambutnya yang berjuraian, di pucuk pohon kelapa.

“Ah kamu, Jeng. Bawa aku terbang melayang bersamamu, Jeng. Biarkan aku merasakan di atas—tidak melulu di bawah.”

Secepat angin, Jeng Kelon sudah bersehadap dekat dengan wajah si Kancil. Rambut terjurainya mengibas. “Xixixi—cih! Tidak senonoh, ‘lebay’!” selorohnya berkata, bersitatap, selepas itu membuang muka. “Hueexixixi—hueeexiehuueexi. Ih! Kamu makan apa sih Cil? Level busuknya lebih busuk dari bau jengkol.”

Kancil menggeruh, menahan tawanya dalam benak. “Makan hati!” ketus Kancil menjawab, tapi benaknya tertawa.

“Hati? Sebusuk ini baunya?”

“Kalau hati manusia berhati busuk berbau dan bisa dicium baunya pada setiap betik benaknya, baunya pasti lebih busuk dari bau mulutku ini, Jeng. Jikapun tubuhnya disemprot parfum paling wangi, paling mahal di seantero jagat, tetap saja kebusukan hatinya bakal tercium di mana-mana saja.”

“Xixixixixi, sok tahu kamu Cil. Alih-alih kamu suka curi dengar omongan itu ya. Enggak takut gosong kamu Cil?”

“Heeiii ..., tenaang, ada pelembap anti gosong terbakar.”

Jeng Kelon bergeleng-geleng, berkata, “Xick-xick-xick-xick.”

“Jeng! Jangan menghina ya! Biarpun begini-begini, wajah nonsimetrisku ini masih punya mata! Yaa ... memang picek sih, tapi jangan kamu hina begitu dong, Jeng.” Kancil marah. Dia memunggungi Jeng Kelon meski selalu gagal karena sekelebat lalu Jeng Kelon sudah kembali di hadapannya setiap kali Kancil memunggung.

“Ya sudah, Cil. Jangan marah begitu dong, ah. Kamu seperti anak kecil saja tingkahnya.

“Xixixixi ... kamu mau melayang terbang bersamaku, Cil?” rajuk Jeng Kelon, “Kamu bakal kugendong hingga petilasan, asal ....”

“Asal apa?”

“Kamu tutup rapat mulutmu selama kita terbang melayang. Xixixixi.”

“Huh!” Namun “huh”-nya si Kancil sambil membuka kedua lengannya—minta dipeluk Jeng Kelon.

“Siap .... Kita terbang melayang, Cil, xixixixixixi xick-xick-xick-xick.” Sekelebat cepat mereka berdua pun pergi menghilang di kegelapan malam.

Selama perjalananku sembari mengatupkan mulut di pelukanmu, Jeng, aku sebenarnya mengetahui apa keisengan akutmu. Hanya saja, semua itu tidak kuceritakan kepadamu. Setelah si gadis itu selesai berpakaian dan berlari dengan sisa-sisa tenaganya, kalian berdua berpapasan di jembatan berbirai sepinggang. Dalam kegundahannya si gadis berlari membawa kepedihan hati, dia bertemu kamu, Jeng. Dia terkesiap melihat penampakanmu lalu putus akal juga putus harapannya untuk hidup dengan noda yang mungkin waktu itu sudah mulai saling berkejaran dan bersaing menuju ovum.

Si gadis perlahan-lahan merangkak naik ke birai jembatan. Dua detik kemudian, dia melompat lantas sakarat dan mati, akibat kepalanya terantuk batu besar sungai. Sementara kamu, Jeng, hanya bergeming, lantas sekelebat pergi.

“Cil, kita sudah sampai, xixixixixi.”

Orang-orang ramai yang sedang mengerumun di seputaran petilasan sontak lari lintang pukang mendapati kedatangan penampakan Jeng Kelon dan si Kancil.

“Lho—Jeng, kuburannya malah bertambah banyak di petilasan Ki Kudu Taat Bra-yamesti ini.”

“Xixixixixixi ... sudah digandakan barangkali Cil, xick-xick-xick-xick.”

“Ya, ya, ya, mataku memang picek, xick-xick-xick-xick.” Kancil pun tertunduk setelah mengeluh lirih. (©)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Si Kancil Dikeloni Kunti
Andriyana
Flash
Aku Tahu Kau Sudah Mati, Sayang
Ibal Pradana
Novel
Tarun, Perjalanan ke Dunia Jin
artupaz piru
Novel
The Last Karta
Samuel Fetz
Novel
Bronze
Hizib
Topan We
Flash
Undangan Lingsir Wengi
Choirunisa Ismia
Novel
Bronze
Misteri Dendam Widuri
Jasmine23Pramestia
Cerpen
Bronze
Dia Menangkap Hantu dengan Dua Tangannya
Habel Rajavani
Flash
Peternakan Nenek
aleu
Novel
Kisah Penyap dari Rimbun Bambu di Belakang Taubah
Ariyanto
Novel
Gold
Fantasteen Wooley Dolley
Mizan Publishing
Novel
Dikutuk
Bulan Separuh
Novel
Bronze
Makhluk Tak Kasat Mata Peliharaan Ibuku
Erma Sari
Novel
Bronze
Pedalaman Gumantra
Randy Arya
Novel
Bronze
Surti
Herman Sim
Rekomendasi
Cerpen
Si Kancil Dikeloni Kunti
Andriyana
Cerpen
Bronze
Kata Hidup di Antara Kita pada Pentas Malam
Andriyana
Cerpen
Bronze
Dua Kisah dalam Satu Taring
Andriyana
Cerpen
Ini tentang Cinta; Mati
Andriyana
Flash
Kedinginan
Andriyana
Novel
Bronze
Sekisah tentang Mualim dengan Fatimah
Andriyana
Cerpen
Bronze
Berlari dari Kematian
Andriyana
Flash
Sosok Bapak
Andriyana
Novel
Bronze
Komidi Putar Witarsih
Andriyana
Flash
"Jadi" Hamil, Enggak?
Andriyana
Flash
Si Gadis Berkucir Satu
Andriyana
Flash
Bronze
Monyet Bersayap Kupu-kupu
Andriyana
Cerpen
Bronze
D 1 AM
Andriyana
Flash
Microwife
Andriyana
Flash
Sang Pemanggil
Andriyana