Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bau tahu yang baru digoreng menusuk indra penciuman. Namun, pikiranmu melayang jauh melampaui antrean pembeli. Di sela-sela menunggu sepuluh bungkus pesananmu, ingatan tentang Layla kembali menyeruak, bagai kepingan mimpi yang tiba-tiba muncul di sela-sela kesadaran. Wanita yang belum pernah kamu temui secara langsung, namun telah menenun jaring-jaring harapan dan keraguan dalam hari-hari lewat dinginnya layar ponsel. Percakapan iseng tentang buku dan film favorit bermetamorfosis menjadi ungkapan hati yang hati-hati, lalu berkembang menjadi komitmen virtual: tunangan, bahkan angan-angan pernikahan yang masih buram. Apakah semua itu nyata, atau hanya fatamorgana yang diciptakan oleh kesepian dan kerinduan akan sebuah kebersamaan? Kamu berdiri di sini, di tengah antrean pembeli kupat tahu, namun batimu tengah menimbang sebuah pertanyaan yang jauh lebih besar: haruskah kamu menyapanya, jika wanita di seberang jalan itu benar Layla?
Di tengah hiruk pikuk pembeli yang saling berdesakan di sekitar gerobak kupat tahu, ingatanmu kembali pada awal hubungan virtualmu dengan Layla. Awalnya, ia menyimpan keraguan yang wajar, bagai pagar tinggi yang melindungi taman hatinya. Bagaimana mungkin membangun kepercayaan dan cinta pada seseorang yang hanya hadir dalam bentuk teks dan suara, tanpa sentuhan, tanpa tatapan mata yang sebenarnya? Kamu memahami keraguannya. Dunia maya bisa menjadi panggung sandiwara, dan membangun fondasi hubungan di atasnya terasa seperti membangun istana pasir di tepi pantai. Namun, kegigihanmu menghubunginya setiap hari, bagai tetesan air yang sabar melubangi batu, perhatian tulus yang kamu curahkan dalam setiap pesan, perlahan meruntuhkan tembok pertahanan Layla. Ia mengakui ketulusan di balik kata-kata virtual itu, kejujuran yang terasa meski tak terucap langsung. Meski begitu, ketika kamu mengajaknya bertunangan lewat ponsel, dengan alasan menghindari pacaran yang menurut kalian kurang Islami dan melangkah ke jenjang yang lebih serius, Layla hanya bisa mengungkapkan kebingungannya. Baginya, pernikahan adalah komitmen sakral, sebuah bahtera yang harus dibangun dengan persiapan lahir dan batin yang matang, bukan sekadar transisi status di dunia maya. Ia merasa bertanggung jawab penuh atas keputusan besar itu, bukan hanya pada dirinya sendiri, tapi juga pada keluarganya, pada harapan orang tuanya yang ingin melihatnya bahagia dengan cara yang nyata. Mungkin aku terlalu idealis, terlalu terburu-buru dalam mengungkapkan keinginanku? Kamu mengamati penjual kupat tahu yang dengan cekatan meracik pesanan, seolah gerakannya adalah tarian yang sudah kamu hafal.
Sambil menunggu giliranmu di gerobak kupat tahu yang semakin ramai, ingatanmu beralih pada kesibukan Layla. Pagi harinya, ia berjuang dengan tumpukan pekerjaan di sekolah. Malamnya, seringkali larut, ia berjibaku dengan lemburan dan tugas kuliah, mengejar impian pendidikannya, berusaha membuktikan pada dirinya sendiri dan orang tuanya bahwa ia bisa mandiri dan sukses. Hidup Layla adalah kesibukan yang nyaris tanpa celah, membuatnya kesulitan membalas pesanmu di luar hari liburnya yang singkat. Ia belum siap menikah, bukan karena tidak menyukaimu, namun karena ia merasa belum memiliki fondasi yang kuat dalam hidupnya sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia tak ingin menjadi beban bagimu, pria yang bahkan belum pernah ia lihat wajahnya. Tanggung jawab pada orang tuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan impian kariernya yang baru saja ia rintis masih menjadi prioritas utama dalam peta kehidupannya. Apakah aku benar-benar memahami prioritasnya? Apakah aku hanya memikirkan perasaanku sendiri? Kamu melihat seorang anak kecil merengek meminta tambahan kerupuk pada kupat tahunya, mengingatkanmu pada kepolosan sebuah keinginan.
Di tengah aroma manis kecap dan gurihnya kacang yang semakin kuat di sekitar gerobak kupat tahu, ingatanmu kembali pada usahamu untuk bertemu Layla. Namun, di balik keinginan kuat untuk bersamanya, terselip ketakutan yang mendalam. Kamu terus mencari celah di antara kesibukan Layla, menawarkan berbagai cara agar pertemuan itu bisa terwujud. Kamu mengerti kesibukannya, namun kerinduan untuk bertemu semakin tak tertahankan, bagai dahaga di tengah gurun. Kamu bahkan mengajaknya ke undangan pernikahan seorang teman, berharap suasana bahagia dan nyata bisa menjembatani jarak virtual di antara kalian, menciptakan momen yang bisa kalian bagi bersama di dunia nyata, membuktikan bahwa hubungan kalian bisa melampaui batas layar ponsel. Namun, di sisi lain, kamu dihantui keraguan, bagaimana jika aku mengecewakannya di pertemuan pertama? Bagaimana jika aku tidak sesuai dengan ekspektasinya selama ini? Bagaimana jika semua yang terasa indah di dunia maya, terasa hambar di dunia nyata? Kamu melihat penjual kupat tahu menambahkan taburan bawang goreng, aroma semakin menggoda perutmu yang sedari tadi terabaikan.
Sambil menunggu panggilan namamu dari gerobak kupat tahu, ingatanmu tertuju pada hari yang dijanjikan. Layla memberitahumu akan datang setelah Zuhur bersama seorang temannya. Ia menolak ajakanmu untuk datang bersama, dengan alasan yang terasa masuk akal – ia sudah berjanji pada temannya. Namun, ia menawarkan agar kamu menyusul setelah Zuhur jika kamu mau. Kamu segera mengirim pesan, menanyakan waktu tepatnya, berharap ada kepastian yang bisa menenangkan gejolak di hatimu. Namun, balasan dari Layla tak kunjung tiba, menimbulkan kecemasan kecil yang mulai merayapi benakmu. Apakah ini pertanda Layla masih ragu dengan semua ini? Apakah kesibukannya benar-benar membuatnya lupa membalas, atau ada alasan lain yang tersembunyi di balik keheningan ini? Apakah ia berubah pikiran? Apakah aku terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pasti? Kamu melihat seorang bapak-bapak menerima bungkusan kupat tahunya dengan senyum puas.
Di tengah ramainya pembeli yang silih berganti di gerobak kupat tahu, ingatanmu kembali pada saat kamu akhirnya tiba di pesta pernikahan itu sendiri, ditemani dua ibu guru senior yang sudah seperti bibumu, tempat kamu sering mencari nasihat dan dukungan, tempat kamu bisa berbagi kegelisahanmu. Di pesta pernikahan yang meriah itu, matamu otomatis menunduk, bukan hanya karena sopan santun, tapi juga karena kamu merasa tidak pantas berada di tengah gemerlap kebahagiaan ini tanpa kehadiran Layla di sisimu. Gaun-gaun indah dan riasan sempurna para gadis membuatmu merasa semakin kecil dan tidak percaya diri. Keinginan untuk mencari Layla bercampur dengan ketidakberanian yang melumpuhkan untuk benar-benar bertatap muka. Jantungmu berdebar kencang setiap kali membayangkan Layla, membuatmu bertanya-tanya, mengapa cinta, yang terasa begitu dekat dalam untaian kata di layar ponsel, terasa begitu jauh dan mengintimidasi di dunia nyata. Apakah ini ujian bagiku, untuk mengalahkan ketakutanku sendiri, ataukah ini sinyal bahwa aku dan Layla memang tidak ditakdirkan untuk bersama? Apakah aku hanya membuang-buang waktunya dan waktunya? Kamu melihat penjual kupat tahu membungkus sepuluh porsi pesananmu.
Pandanganmu, sambil menunggu bungkusan kupat tahu selesai, tanpa sengaja tertuju pada sosok wanita yang baru ikut mengantri. Ia tersenyum manis saat pertama kali kamu melihatnya. Ia berdiri di dekat seorang wanita yang lebih tua, yang tampak sedang menghitung jumlah antrian. Pasti ibunya Layla, batinmu, sebuah keyakinan yang entah dari mana muncul, mungkin hanya harapan yang terlalu kuat. Jantungmu berdebar semakin kencang, iramanya tidak teratur seperti orkestra yang kehilangan konduktornya. Lalu, mata wanita itu bertemu dengan matamu. Sebuah senyum gugup dan malu-malu sekilas terukir di bibirnya, sebuah senyum yang terasa begitu familiar meski belum pernah kamu lihat secara langsung. Namun, sepersekian detik kemudian, ia meraih ujung kerudungnya dan dengan cepat menutupi sebagian besar wajahnya, menyisakan hanya tatapan matanya yang penuh kebingungan dan sedikit... ketakutan? Mengapa ia menyembunyikan wajahnya? Apakah kehadiranku membuatnya tidak nyaman? Apakah ia menyesali telah datang? Apakah aku telah membuatnya takut? Penjual kupat tahu memanggil namamu.
Dengan bungkusan berisi sepuluh porsi kupat tahu di tanganmu, ingatanmu kembali pada rasa bersalah yang menghantammu di pesta pernikahan itu. Di saat yang seharusnya menjadi momen pertemuan yang kamu nantikan dengan penuh harap, kamu justru bersembunyi di tengah keramaian, mengamati dari kejauhan seperti seorang penguntit yang tidak berani menunjukkan diri. Mengapa aku tidak langsung menghampirinya tadi? Mengapa aku membiarkan rasa takut mengalahkanku lagi, membiarkan kesempatan emas ini terlepas begitu saja? Apakah aku memang tidak pantas untuknya? Apakah aku hanya akan menyakitinya dengan ketidakberanianku? Kamu merasa seperti pengecut yang hanya berani bersembunyi di balik layar ponsel, tanpa keberanian untuk menghadapi kenyataan, untuk mengambil risiko. Kamu membayar kupat tahu itu dengan tangan gemetar.
Sambil membawa bungkusan kupat tahu yang cukup banyak, ingatanmu kembali pada Layla yang menghidupkan motornya. Kamu ingin sekali memastikan, melihat wajahnya barang sedetik lagi, menghilangkan semua keraguan yang berkecamuk di benakmu. Kamu meyakini bahwa Layla menutupi wajahnya karena malu bertemu denganmu secara langsung setelah semua percakapan virtual yang intens itu. Senyum gugupnya tadi adalah petunjuknya, sebuah sinyal bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Namun, ada juga keraguan yang terus menggerogoti keyakinanmu. Mungkinkah ia juga merasa tidak nyaman dengan situasi ini? Apakah ia menyesali keputusannya untuk datang? Atau justru ia merasa terganggu dengan kehadiranku yang terkesan mengawasi dari jauh? Apakah aku telah membuatnya semakin menjauh, bahkan sebelum kami benar-benar bertemu? Kamu melihat Layla dan ibunya mulai menjauh dari gerobak kupat tahu di seberang jalan.
Dengan bungkusan kupat tahu di tanganmu, kamu mengingat tatapan terakhir Layla sebelum ia benar-benar pergi. Tatapan matanya bertemu dengan matamu untuk kedua kalinya. Kali ini, tidak ada senyum. Hanya ada ekspresi datar yang sulit dibaca, bercampur dengan sedikit kekhawatiran. Jantungmu mencelos, bagai batu yang jatuh ke dasar jurang. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ketidakberanianku telah menghancurkan kesempatan yang bahkan belum sempat terwujud dengan sempurna? Apakah aku telah mengecewakannya? Apakah aku harus merelakannya pergi, menerima bahwa aku memang tidak cukup baik untuknya? Kamu menghela napas panjang, menatap jalanan yang semakin ramai. Layla dan ibunya sudah menghilang dari pandangan. Kamu berjalan menjauhi gerobak kupat tahu, membawa pulang sepuluh bungkus makanan, dan sebongkah penyesalan yang terasa lebih berat dari bungkusan itu sendiri.
-Tamat