Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Wajah ganteng itu berkulit bersih, setelah 39 tahun tak bertemu, dia menyalamiku. Tanganku digenggamnya hangat dan aku membiarkan saja dalam genggamannya, ada milyaran kata tak terucapkan. Beberapa pasang mata memandang lalu secepatnya beralih. Entah mengapa.
Seandainya angin bisa membisikkan rahasia hati pada daun-daun, barangkali aku akan memungutnya dan aku baca di pojok danau itu sendirian.
Reuni, satu kata yang membuat isi kepala mengeluarkan beragam adegan yang bermunculan dari gudang memori. Apalagi reuni untuk pertama kali semenjak perpisahan di awal remaja. Yang terbayang hanya manisnya. Namun aku tak tahu apa yang terbayang di wajah lelaki ganteng di depanku ini.
"Katakan saja! Aku tak akan mengadukanmu pada istrimu", goda Ris, sahabatku, sambil lewat di belakang punggung lelaki itu. Dia tersenyum, membawaku dalam pesonanya, dengan ketenangan yang sama seperti 39 tahun yang lalu. Wajahnya tidak banyak berubah, selain keriput yang menghiasi, aku masih mengenalnya sebagai salah seorang temanku dulu, ya, hanya teman, itu di hatiku, entah di hatinya.
Tak kusangka, siang ini dia mengatakannya, sebuah kata yang telah tersimpan selama puluhan tahun, kata yang tak pernah terbongkar, hari ini meluncur tak tertahan dari tempat persembunyiannya.
Dia mengatakannya! Setelah tersimpan 39 tahun. Kalimat demi kalimat dia ucapkan tanpa tawa, menghentikan prasangkaku bila dia bergurau. Mengurungkan niat jahilku menggodanya.
Mendadak dia terlihat begitu lemah, lirih dia berucap, menjatuhkan hatiku detik itu juga.
"Aku mencarimu kemana-mana dan ketika aku menemukanmu, kamu sudah menikah".
"Aku menikah saat masih kuliah", jawabku spontan, tanpa memikirkan apa efek dari kata-kataku padanya dan aku pun kebingungan bagaimana mencairkan suasana, sementara hiruk pikuk teman-teman saling bercerita menjadi latar pembicaraan yang bakalan selalu aku ingat di sisa hidupku.
"Aku menyayangimu sejak lama, dan aku selalu menyimpan rasa sayangku hingga saat ini".
Aku bertambah tak tahu musti berkata apa, kupikir aku musti segera membuat suasana ini lebih segar. Dalam kebingunganku mencari kata-kata, spontan bibirku berucap, "Mengapa kamu tak mengatakannya?" Lagi-lagi aku mengeluarkan pertanyaan bodoh yang tak perlu jawaban, setelah itu aku menyesali ucapanku, mengapa aku tidak berpikir dulu sebelum berbicara.
"Wanita itu menunggu, jadi kamu yang harus mengatakannya duluan", sebuah suara ikut nimbrung, dari seorang wanita di sisiku, dia istri dari teman kami. Posisi duduk teman-teman yang saling berdekatan membuat pembicaraan kami berdua bukan lagi private. Barangkali dia pikir hanya inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. Memang tak perlu romantis, ketika keromantisan hanya mengotori persahabatan.
Nasi dan lauk di piringnya sudah tinggal beberapa suap lagi. Sementara masih setumpuk urap-urap di piringku, aku mengunyahnya pelan-pelan, karena gigi geraham yang sudah jarang jarang. Di usiaku, menikmati makanan saja perlu strategi. Wahai usia, maafkan bila aku menyalahkanmu lagi dan lagi.
Seorang teman wanita menyanyikan lagu cinta dari masa lalu, suaranya tidak begitu bagus, tapi siapa yang menghiraukannya. Saling bercerita antar teman yang lama tidak bertemu itu lebih menarik dibandingkan segala suara. Suara teman adalah suara kerinduan dan bertemu teman adalah bertemu kebahagiaan.
Lelaki di depanku masih mengunyah pelan makanannya, aku pun demikian, sementara pikiranku pun tak berhenti mengunyah situasi yang aku hadapi saat ini.
Akulah yang mengambil tempat duduk di depannya, bukan dia yang mencariku. Seperti kebetulan yang bukan kebetulan, seperti ada magnet yang membawaku ke sini.
"Ingatkah ketika kita berdua mewakili sekolah untuk mengikuti Jambore Nasional di Jakarta? " katanya, aku mendongakkan kepala, mataku beralih dari piring, menatap wajahnya. Tentu aku ingat, itu saat-saat yang amat membahagikan sekaligus mencekam karena musti menempuh pelatihan-pelatihan yang penuh kedisiplinan. Dan kami telah melaluinya berdua. Dia dengan kegembiraan masa remajanya dan aku yang tak peka dengan perasaannya. Siapa sangka cerita itu bertemu di sini dan saat ini.
"Dulu aku berdoa sama Allah agar bisa berdekatan denganmu dengan menjadi pelajar teladan berdua, Allah mengabulkannya, tetapi begitu dekat, aku tak punya keberanian mengatakannya," katanya.
Saat itu aku dan dia menjadi peserta Jambore Nasional dan Jambore Asia Pasific di Cibubur tahun 1981. Hanya kami berdua wakil dari kecamatan yang lalu diseleksi lagi di kabupaten. Sejak itukah dia menyimpan cinta itu? Atau sudah sejak kami masih duduk di SD? karena dia juga teman SD-ku. Aku tak berani menanyakannya, itupun bukan pertanyaan yang penting. Tapi bila itu benar, berarti 40 tahun yang lalu dia telah menyimpannya.
"Aku ke sini hanya untuk bersalaman denganmu", kata-kata itu begitu mengejutkan, lebih dari ungkapan cinta. Barangkali juga ungkapan rasa sakit dan kepedihan. Rasa hatiku ingin memeluknya dan membisikinya, "Terimakasih kau telah membuatku merasa begitu berharga. Semoga itu membuatmu bahagia".
Itulah kalimat berkesan yang bisa aku ingat dari dia. Apakah dia hanya menggodaku? Atau mencoba bermain-main dengan perasaanku? Tapi apa guna dia melakukannya? Kami sudah sama-sama tua, aku tahu tak ada dalam pikiran tua ini mempermainkan perasaaan orang.
Dia menikah dengan adik kelas kami yang cantik sekali, sudahlah cantik, dari keluarga kaya raya pula. Terbayang kehidupan yang berkelimpahan dan penuh kebahagiaan.
Yang pedih adalah hatiku saat membayangkan seandainya aku di posisi sang istri, dimana suami menyimpan rasa cinta untuk wanita lain, dan wanita itu adalah aku.
Namun apakah itu salahku? Aku tak pernah menggoda suami orang, bahkan aku tak tahu bila dia menyimpan rasa itu sekian lama.
Bukan aku. Bukan aku yang menentukan kapan saatnya cinta dipendam dan kapan saatnya dinyatakan. Tanyakan saja pada Sang Penggenggam hati manusia, karena waktu tak pernah salah.
Mungkin bila dia menyatakannya dulu, aku bisa melukainya. Maka sang waktu menundanya hingga terpendam puluhan tahun, karena saat inilah aku siap dan diapun siap.
Bukan aku dan bukan dia yang mengukur kesiapan seseorang, segala sesuatu terjadi menurut perhitungan Sang Maha Kasih.
Ada doa-doa yang bisa aku balaskan pada cintanya. Agar aku sirna di hatinya, tergantikan oleh asmaNya yang terindah.
Cintaku padanya adalah cintaNya padanya. Itulah mengapa cinta itu ternyatakan saat ini, menunggu aku siap untuk sirna di hatinya.
Sesampai di rumah, suamiku menyambut.
"Sayang, bagaimana acaranya? Seru?"
"Ya, menyenangkan. Lain kali Mas ikut ya?" pintaku.
"Tak usah, nanti kamu tidak bisa asyik kangen-kangenan dengan temanmu," kata suamiku.
Telepon genggamku berkelunting, ada notifikasi pesan masuk.
Aku masuk ke dalam kamar dan membuka pesan dari dia.
"Alhamdulilahirobbil alamiin. Ini ibarat teman sahabat spesial yg hilang 39 tahun, mendadak bertemu di alam nyata, yang menghantui dalam mimpi. Ibarat kemarau 39 tahun. Tiba-tiba hujan 2 jam saja bisa menghapus semuanya. Bisa jabatan tangan sudah cukup. Aku tanya suamimu ikut waktu reuni, aku hanya ingin tahu langsung siapa orang yang beruntung mendapatkan kamu".
Aku menutup telepon genggamku sambil berpikir, perlukah menceritakan ini pada suamiku? Harus kurasa, tetapi bukan saat ini, segala sesuatu ada waktunya.
Di dalam hati aku mengatakan padanya, "Aku selalu menyayangimu dalam cintaNya. Ijinkan cintaku menuntun cintamu kepadaNya." Aku tahu dia mendengar ucapku dari angin yang berbisik di hatinya.
Ngantang, 16 mei 2021
Dari Innuri untuk seseorang yang istimewa.