Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siapa yang pernah berkata carilah cinta yang setara? mari ikut masuk surga bersamaku. Cinta memang harus se.ta.ra.
Kerlingan cahaya ufuk itu sebentar lagi hilang, namun kami tak kunjung beranjak. Entah nyaman atau hanya buangan angan. Aku menoleh, dia masih menatap cahaya jingga yang memeluknya erat. Tatapanku turun menatap jam di pergelangan tangan kanannya.
"Ayo, liat sudah jam berapa sekarang."
Dia menoleh, bukan padaku.
"Baru jam segini, duduk, lihat itu. Dia ngeliat kamu sambil senyum."
Bukan senyum cahaya itu yang kulihat, tapi senyum wajah teduh gemuruh di hadapanku.
"Kamu beda dari cewek itu." Tatapanku menoleh pada arah dagunya menunjuk.
"Kamu gak foto cahaya itu." aku mendelik, tak ada minat menangkap gambar visualisasi Tuhan ini.
Aku mengambil ponselku, memasukkannya pada tas putih sedikit kusam yang umurnya akan segera memasuki taman kanak-kanak. Memeluknya dan merematnya dalam-dalam. Padahal tak akan ada yang mau menculik tas jadul ini.
"Kalau mau pulang, ayo." lelaki itu selalu bicara tanpa aba aba, kini pantatnya sudah tak berada di bangku sebelahku.
Ia telah berjalan dengan sesekali menendang batu serta kayu yang menutup jalan kami. Ia menoleh, memanggilku dengan ayunan tangan yang masih mengapit tas kecilnya. Tas kulit hitam.
Aku terlena pada rengkuhan itu, aku terlena pada kisah runtuh ini. Kisahku dan seluruh keajaiban yang kini berebut memelukku.
-----
Kokokan itu bersamaan dengan jeglekan kompor sedikit berminyak ini. Aku sedikit mengintip lewat jendela, hari masih malu untuk tampak bercahaya.
"Kamu tolong blender bumbunya aja ya." suara getar itu membuatku kehilangan fokus pada hari di luar jendela.
"Siap, ada lagi?"
"Tidak usah banyak bekerja, setelah blender, siap siap ke kampus."
Senyum dengan bonus keriput itu selalu sukses membuatku berdebar, terenyuh, dan kadang terhempas pada realita. Ibuku, wanita manis itu, pekerja keras itu, kasihku selamanya.
Aku melangkah pergi meninggalkannya, telah ku selesaikan tugasku bersamanya. Bangunan almamater biruku menunggu kehadiran langkah rintih motor bersuara sedikit kodok milik keluargaku sepertinya.
Senyumku merekah, dia di hadapanku. lelaki berbaju polo putih itu juga tersenyum merekah. Ia kembali mengayunkan tangannya memanggilku, aku berlari terhuyung menabrak sisi tubuh bagian tengah miliknya.
"Pagi ini bangun jam berapa?"
"Seperti biasa, samaan sama kokokan pertama dia." ia menoleh pada arah telunjukku, di sana, alarm pagi kesukaanku.
Ciuman tangan pada ibuku membuat kami berjalan penuh riang, tawa pagi entah kenapa lebih merdu dari sumbangnya tangis malam. Ceritanya tak ada habis, lelaki ini begitu banyak bicara.
"Mobil?"
Hentinya langkahku membuatnya menoleh, menyerngitkan alis tentu itu yang ia lakukan. Jalan sempit ini terasa lebih kuat menghimpitku. Mobil putih ini mendorongku pelan untuk kembali pada ibu di ujung jalan sana.
"Iya, yang hitam lagi di bengkel."
Dia lelakiku, Adeswara Hanif. Lelaki bertas kulit semalam dan lelaki bermobil ini, ia kekasihku.
------
Ribuan hari telah dilalui. Kenapa harus terus dilalui? entah, jawabannya ada pada Hanif. Dia duduk tepat di hadapanku, tersenyum cerah. Ia tidak pernah bosan menunjukkan itu.
"Kemarin aku tidur kemaleman." keluhnya, namun kenapa bibir itu tetap tersenyum?
"Abang ngajakin PS mulu."
Aku tersenyum, dia makin melebarkan senyumnya.
"Aku juga tidur kemaleman."
Dia nampak senang, tangannya menangkup kedua pipi tanda ia akan benar-benar mendengarkan.
"Adonan pangsit ibu semalem terlalu banyak, dua cetakan gak cukup---mereka udah reyot."
Tawa kami pecah berkeping-keping, menghasilkan suara sumbang memenuhi meja bundar ini.
"Harusnya kamu telpon aku, aku akan dateng bawa 1000 cetakan pangsit."
"Terus kamu bakal tinggalin PS kamu?"
Dia diam sebentar, "Ah kamu dan PS adalah dua pilihan sulit."
"Kamu gak perlu datang, aku kuat. Buktinya selesai."
"Kamu emang kuat, nanti kita beli 1000 cetakan pangsit. Atau mau bik Inah bantu?"
Aku tertawa. Kecintaannya pada bik Inah membuatnya selalu menyebutkan nama wanita paruh baya penghuni belakang gedungnya.
------
Lelaki ini selalu saja merepotkan, kali ini dia tengah berubah menjadi tukang. Memilih-milih cat seakan dia memang tukang handal. Aku hanya mengikuti saja jalannya, tidak tahu menahu bahwa toko cat bisa seluas ini.
"Mas, di sini ada cat mowilex?"
Apa katanya tadi? Mowilex? bukannya merk cat itu hanya nippon paint?
"Ada kak, mau yang warna apa?"
"Antara urban sunrise atau georgian silver sih harusnya. Menurut mas, yang mana?"
Apa lagi itu? sebuah film kolosial dari Amerika? Atau film none Belanda?
"Rumah kakaknya american style? warna apa kalau boleh tau?"
"Iya mas, warna grey marble."
Aku benar-benar pusing mendengar apa yang disampaikan kedua lelaki ini. Sangat berbeda dengan rumahku, cat berwarna gradasi hijau keputihan.
Aku memilih pergi, sudah tak tau arah obrolan mereka. Lelaki itu benar benar berniat memoles gedung tinggi itu.
"Udah?" tanyaku ketika dia tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
"Udah, aku juga beli buat kamu."
Aku diam, lelaki ini selalu punya cara membuat jantungku berhenti.
"Buat apa?"
"Gapapa, tadi beli 1 gratis 1."
------
Terik sinar itu menyengat. Aku berjalan mengendap, pelan-pelan. Hari ini akan ada acara di gedung itu. Kejutanku kali ini datang dengan setoples pangsit buatan ibu.
"Adek, kamu sudah pesan pangsit ibu temanmu itu kan?"
"Dia pacar aku Ma."
"Kamu beneran akan buat mama punya besan penjual pangsit?"
"Emang apa salahnya?"
"Ya salah lah dek, mama harus punya besan yang se.ta.ra."
"Siapa yang buat aturan begitu?"
"Rumah gubuk dia itu gak cocok untuk mama, dan rumah kita? hanya pangsit itu yang pantas masuk."
Aku terdiam, bibirku tertarik. Dugaanku benar, kakiku ingin telinga ini mendengar. Kakiku melangkah bukan untuk kejutan, tapi untuk kesadaran. Aku memeluk erat-erat toples pangsit di genggamanku. Hanya ini yang pantas, katanya.
"Aku mendadak ada urusan, pangsitnya ambil di ibu ya"
------
"Acara kamu udah selesai?"
"Urusan kamu udah selesai?"
Pertanyaan bersamaan itu membuat dia tertawa, hanya dia.
"Acaranya belum selesai, aku bosan di sana."
"Kita udahan aja ya Nif."
Dia langsung menoleh garang, tidak ada senyum lagi di bibirnya.
"Hari ini aku gak telat bangun, aku sarapan, dan aku gak suruh-suruh bi Inah mulu. Jadi salah aku apa?"
"Kamu gak salah, aku yang salah.p"
"Hey liat aku, kamu salah buat adonan pangsit?"
Pertanyaan apa itu? lelaki ini benar-benar tidak tau situasi, atau dia hanya ingin mencairkan situasi?
"Hanif, aku serius."
"Oke, jelasin pelan-pelan. Aku salah apa?"
Tatapan teduh itu menggoyahkanku, melempar aku jauh kembali berekspetasi, tapi realita kapan saja bisa menyapa.
"Kamu dan aku, gak bisa."
Suara getarku coba ku teguhkan, jangan sampai ada air mata.
"Kamu denger omongan ibu aku?"
Mataku tak percaya. Dia menelisik fakta di balik binar mata. Aku beralih, tak ingin dia tau.
"Ibu aku gak bermaksud seperti yang kamu dengar, aku akan ngomong sama dia."
"Mama kamu benar, dia gak boleh punya keluarga seperti aku dan ibu."
Dia diam, tak ada jawaban apapun dari mulut penuh senyum yang kusuka itu. Aku tersenyum getir, tak lagi menghadapnya.
"Dari dulu aku udah bilang, kamu pasti bisa dapat yang lebih. Kamu gak kurang apapun, sedang aku gak lebih apapun."
Dia hendak bicara, namun belum ku biarkan dia mengeluarkan kekuatan dari bibir itu.
"Kamu tau? aku gak pernah mau untuk hidup di balik gedung seperti milik kamu, bahkan cat yang kemarin masih aku simpan. Tapi yang aku liat kamu, bukan gedung kamu--"
Bibirku rasanya sedikit kelu, "Mama kamu lihat aku, ibu, rumahku, bahkan semuanya belum cukup."
"Nadi, dengerin aku dulu, boleh?"
"Aku gak pernah lihat kamu siapa, rumah kamu seperti apa, dan kehidupan kamu bagaimana. Yang aku tau, kita sama."
"Aku dan kamu gak akan pernah sama Nif, kita gak akan pernah setara."
Bantahanku terdengar sangar, tapi ia tetap melembut. "Apa yang kamu maksud setara? harta? fisik? atau material lain?"
"Setara gak harus soal itu semua. Setara itu cinta, pemikiran, dan komunikasi----"
Dia memberi jeda semua pembicaraanya. Tangannya terus menggenggam dan mengelus tangan kosongku.
"Kamu harus percaya aku, kita setara."
"Ini bukan tentang aku dan kamu, ini juga tentang Mama kamu."
"Kalau itu yang kamu takutin, aku akan ngobrol sama Ibu aku--- kamu sayang aku kan? tunggu sebentar lagi ya."
"Tapi aku lebih sayang diri aku Hanif."
"Aku bahkan lebih sayang kamu dibanding diri aku, jadi tolong tunggu sebentar aja."
Hanif dan ucapannya selalu menyejukkan. Aku terbuai, hingga tanpa sadar aku mengangguk.
------
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Di sini aku, di balik seluruh dekorasi ini. Senyumku merekah, menunduk sopan pada beberapa orang di sekelilingku. Aku berhasil, berhasil mencintai diriku sendiri.
Kita bukan gagal, hanya tidak beruntung saja. Aku menatap lamat lelaki yang kini berdiri dengan pakaian impiannya. Aku lagi lagi tersenyum. Hanif dan senyumannya akan selalu jadi objek favoritku.
Selamat berbahagia Hanif, setara selamanya.