Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sesuatu Memberitahuku Aku Akan Mencintaimu Selamanya
0
Suka
266
Dibaca

Pukul empat sore, di taman kafe dekat gedung penerbitan.

Aku duduk di salah satu meja di kafe terbuka itu, memesan satu gelas kopi. Taman kafe ini adalah tempat nongkrong kami sejak masih sekolah, dulu sekali, bersama teman-teman kami juga tentunya. Biasanya sehabis pulang sekolah, kami mampir kemari untuk minum dan jajan cemilan sambil menghabiskan sore.

Aku melihat jam tanganku, lalu memandang sekitar. Pukul dua lewat dua menit. Hari ini aku ada janji temu dengan dia. Seorang teman yang bisa dibilang dekat denganku semasa SMP. Beberapa saat kemudian, aku melihat sosoknya berjalan menghampiriku. Aku tersenyum miring. Dulu, gadis itu bisa terlambat datang sampai dua jam. Kini, hanya terpisah seratus dua puluh detik.

“Hei.” Dia menyapaku dengan senyum lebar khasnya. “Sudah lama menunggu?” tanyanya sambil duduk di hadapanku.

“Baru saja sampai,” jawabku.

Tidak ada yang berubah darinya. Meskipun pasti ada sedikit perbedaan di sekitar wajahnya, dia tetap gadis yang kukenal sejak dulu. Gadis yang punya arti tersendiri bagiku di masa lalu. Tapi mungkin sekarang, dia lebih cantik, dan auranya lebih menguar.

“Aku mau memberikan ini padamu.” Dia menyodorkan kantung kertas cokelat yang tertutup.

Pertemuan itu adalah pertemuan singkat. Kami hanya mengobrol sekitar dua jam. Menjelang maghrib, kami berpisah karena dia harus pergi ke suatu tempat. Aku kembali ke apartemenku. Aku duduk di sofa dan membuka kantung kertas cokelat itu. Ternyata sebuah buku, mirip dengan novel. Bersampul warna magenta dengan tulisan judul berwarna emas.

Sesuatu Memberitahuku Aku Akan Mencintaimu Selamanya. Aku membaca judul yang tertulis di sampul depan bukunya.

Aku membuka halaman pertamanya, ada semacam dedikasi prolog di sana.

Hei, apa kabar? Jika kau sudah membaca tulisan ini, berarti kau sudah mendapatkan buku ini. Buku yang kutulis untuk menceritakan... cerita kita. Oke, mungkin terdengar klise, dan sedikit menggelikan. Tapi aku memang ingin menulisnya. Dan tahun-tahun yang sudah lalu sangat sayang untuk tidak diabadikan.

Aku tertawa kecil membacanya. Gadis itu memang manis dengan caranya sendiri. Seiring aku membalik halaman-halaman berikutnya, dia mulai bercerita tentang kisahnya. Kisah kami.

Awalnya, ini semua adalah lelucon. Anak laki-laki itu memang suka menggangguku setiap kami bertemu di sekolah, mungkin karena dulu aku culun dan pendiam. Bahkan mungkin, dulu aku juga sempat takut padanya. Jujur saja, aku lebih memilih jauh-jauh dari anak laki-laki menyebalkan itu.

Tawa terlukis di bibirku. Tentu saja aku ingat masa-masa itu. Dan memang benar, aku sering mengganggunya karena dia sangat pendiam. Ibu jariku membalik halaman berikutnya.

“Bagaimana? Kau mau jadi pacarku, nggak?” tanya anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu adalah aku di masa lalu.

Aku terkejut mendengar pertanyaan tidak terduga itu. Untuk sepersekian detik aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Dan akhirnya kalimat yang keluar dari mulutku adalah, “Nggak.”

“Kenapa nggak mau, sih?” tuntutnya langsung.

“Ya, nggak mau saja.” Aku menjawab dengan spontan.

“Memang kenapa?”

“Kenapa maksa, sih?”

“Ya sudah sana. Cuma taruhan juga,” ujarnya kemudian.

Aku segera berbalik dan kembali ke tempat teman-temanku berada. Dasar aneh. Anak laki-laki itu memang suka menebar pesona dan membuat taruhan untuk mengajak anak-anak gadis berkencan. Sulit sekali untuk mengetahui apakah dia serius atau tidak, dan pada akhirnya, itu semua memang hanyalah lelucon.

Dulu ketika masih sekolah, memang ada masanya aku menjadi anak laki-laki yang seperti itu. Mengajak para gadis untuk berkencan dan meminta mereka menjadi pacarku hanya demi melihat reaksi mereka. Tapi ada juga yang benar-benar kuajak berkencan karena aku memang menyukai gadis tersebut. Namun pada saat itu, aku meminta dia untuk menjadi pacarku hanya untuk melihat reaksinya. Sebelum aku benar-benar jatuh hati padanya.

Aku menghabiskan malam dengan membaca tulisannya. Menghidupkan kembali memori masa-masa sekolah di bagian awal buku. Mengingat ulang hubungan kami yang sering putus-sambung. Kami tidak pernah berpacaran, hanya kencan beberapa kali dan mengobrol via pesan singkat.

Terkadang aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar menyukaiku. Sejauh ini, dia tidak pernah menyatakan itu secara gamblang, atau memintaku menjadi pacarnya dengan serius.

Sambil menyandarkan bahu, aku menghela napas. Sebenarnya, aku juga tidak bisa melihat apakah dia menyukaiku. Ada satu titik di mana aku merasa dia hanya menganggapku sebatas teman saja. Atau mungkin hanya karena aku takut mengutarakan perasaanku.

Sebenarnya, aku tidak terlalu mengerti mengapa kami akhirnya berpisah, dalam artian benar-benar berpisah. Setelah kencan terakhir kami, dia tidak menghubungiku lagi. Kami memang tidak pernah jadian, tapi selalu berhubungan walaupun putus-sambung. Bulan-bulan awal tahun selalu menjadi momen di mana kami “terhubung” lagi. Dan itu berlangsung selama beberapa tahun. Aku akan berbohong jika mengatakan tidak menunggu saat-saat itu.

Tapi sepertinya, pada satu tahun itu, semuanya mulai berubah.

Akhirnya pada suatu hari di bulan Maret, aku berusaha menghubungi lebih dulu, dengan niat ingin memperbaiki hubungan kami yang sudah layu, sekaligus menebus sikap acuh tak acuhku selama ini kepadanya. Tapi jujur saja, mengajak bicara orang yang sudah lama kusukai selama bertahun-tahun, sama sekali tidak mudah.

Aku menghubunginya via pesan singkat.

 

Hei!

Ya?

Apa kabar?

Baik. Kau?

Baik juga, hehe.

 

Tidak ada balasan darinya cukup lama, jadi aku memutuskan untuk mengirimi pesan lagi. Sungguh, aku tidak tahu harus berkata apa. Yang kuingat saat itu, baru-baru ini dia sudah menyetir mobil sendiri, jadinya aku membahas soal itu. Dan balasan darinya membuatku mati rasa.


Hahaha


Aku benar-benar lemas setelah itu. Sikapnya sangat dingin, aku bahkan tidak bisa menghadapinya. Aku merasa dia sudah benar-benar lelah dengan sikapku selama ini dan menyerah, memilih memutus apapun yang kami punya. Dan karena itu pula, sejak saat itu, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi.

Pikiranku melayang pada malam itu. Dia secara tiba-tiba mengirimiku pesan, bertanya tentang kabarku. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat itu. Aku tidak tahu, tapi aku juga mengingat bersikap dingin kepadanya. Karena setelah sekian lama, melihat namanya muncul kembali di layar ponselku, membuat sesuatu yang ingin kulupakan terpercik lagi.

Aku memang yang menjauhinya lebih dulu. Karena selama ini, memang hanya aku yang selalu berinisiatif dalam hubungan kami. Tapi pada saat itu, aku sudah lelah. Aku merasa tidak akan pernah bisa memilikinya. Dia tidak pernah menunjukkan jika dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku sudah menunjukkan ketertarikanku padanya dalam berbagai kesempatan, tapi dia tidak pernah menunjukkan reaksi yang kuinginkan.

Jemariku terus membuka halaman-halaman yang baru. Aku sudah sampai di bagian tengah. Bagian di mana masa putus-sambung kami sudah selesai, kami sudah tidak berkomunikasi lagi. Dia hanya melihatku dari jauh, dan aku juga hanya melihatnya dari jauh.

Seiring berjalannya waktu, dia benar-benar hilang dari hidupku. Namun sesering apapun aku menyukai atau dekat dengan orang lain, hatiku hanya untuknya. Aku tahu hatiku milik siapa.

Aku tersenyum penuh ironi membaca kalimat itu. Karena aku pun begitu.

Melihatnya dari jauh, mengetahui kabarnya hanya lewat media sosial. Walaupun begitu, aku tetap senang. Melihat dia sukses dan meraih sesuatu, membuatku bangga. Aku berpikir pada diriku, bahwa aku tidak perlu harus selalu dekat dengannya atau dia harus menjadi milikku. Melihat dia berhasil dan bahagia dari jauh saja, sudah sangat cukup untukku. Dan aku sungguh-sungguh. Tapi, aku juga tidak akan berbohong jika ada suara kecil di lubuk hatiku yang menginginkan kami seperti dahulu lagi.

Perlu waktu lama untuk merelakan dia sepenuhnya, namun pada akhirnya, hari itu datang juga. Hari itu adalah minggu-minggu sebelum kelulusan SMA. Ketika aku tidak bisa membayangkan hari bersamanya lagi. Ketika aku pergi ke pantai, aku tidak membayangkan duduk di pasir bersamanya. Ketika aku pergi ke taman bermain, aku tidak membayangkan tertawa dan mengobrol bersamanya lagi.

“Aku merindukanmu.” Dua kata itu terucap begitu saja dari bibirku. Saat-saat itu adalah masa di mana aku sangat merindukannya, tapi tidak bisa menghubunginya.

Satu-satunya harapanku adalah, kami berdua bisa bertemu kembali. Membahas hubungan kami yang masih menggantung, menjelaskan semuanya. Agar kami berdua bisa sama-sama lega, dan melanjutkan hidup kami masing-masing.

Malam semakin larut, tapi aku tetap terduduk di sofa sambil membaca setiap untaian kenangan. Rasanya aku tidak membacanya, karena setiap kalimat memunculkan sebuah adegan seperti film di dalam pikiranku. Dalam situasi saat itu, kami sudah menerima kenyataan bahwa kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama.

Sampailah kami di bab terakhir, bab di mana kami sudah menjalani hidup dan keseharian kami secara terpisah, sama sekali tidak bersimpangan dengan satu sama lain. Ada satu hal menenangkan dan menghangatkan hatiku. Entah dari mana, sesuatu berbisik kepadaku, bahwa aku akan mencintainya selamanya. Bukan bentuk cinta kepada pasangan, perasaan itu sudah berubah. Cinta yang menunjukkan bahwa dia akan selalu punya tempat istimewa di dalam hatiku, sampai kapanpun itu.

Karena bagaimanapun juga, dia adalah cinta pertamaku.

Terdengar suara ketukan di pintu apartemenku, seseorang mendorong terbuka pintunya.

“Hei,” sapa seorang teman yang juga adalah tetangga apartemenku.

Aku menoleh ke arahnya.

“Kami sudah menunggu di bawah. Kau ikut?”

“Oke. Tunggu sebentar.”

Sambil menutup buku itu, aku menghela napas. Ibu jariku mengusap judul di sampulnya.

“Sesuatu memberitahuku, aku akan mencintaimu selamanya.” Aku terdiam sesaat. “Dan aku memang akan mencintaimu untuk selamanya.”

Senyum terukir di bibirku. Bukan senyum ironi, namun tulus. Dia adalah gadis terbaik yang pernah kukenal. Terkadang ketika kau benar-benar menyayangi seseorang, kau tidak perlu harus selalu dekat ataupun memilikinya. Melihatnya sukses dan bahagia dari jauh, sudah cukup. Rasa yang kami punya terhadap satu sama lain kini hanya satu, ketulusan. Dan kami berdua mengetahuinya.

Karena bagian dari mencintainya, adalah merelakannya.

Setelah mengenakan jaket dan mengambil kunci mobilku, aku berbalik sebentar sebelum keluar dari apartemen.

“Dan untuk catatan,” ujarku, buku gadis itu berada di atas meja. “Kau adalah seseorang yang mampu membuatku melupakan cinta pertamaku. Yang berarti, kau jauh lebih istimewa.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Flash
Raja Ghosting
Nuriska Beby
Cerpen
Sesuatu Memberitahuku Aku Akan Mencintaimu Selamanya
Fann Ardian
Novel
Bronze
Bidadari Senjaku
Bagas Hanggara
Novel
Baby Without Parent
C R KHAN
Novel
Putri Sekolah
fabian
Flash
Jodoh: Antara Aktor dan Alur
Aisyah KW
Novel
Bronze
(Bukan) Orang Ketiga
Miss Sarah
Novel
Mini Market Warisan
Rizky Ade Putra
Novel
Bronze
Tak Mudah untuk Cinta
syafetri syam
Novel
Bronze
Misi Menggoda Hati
FinNabh
Novel
Menggapai Impian Sambil Mengejar cinta
Stiven alberto
Novel
Bronze
Anandita
Anggia Puspita Priandari
Novel
We are Not Done Yet
Fitri Fatimah
Novel
BUNGAKU
Arai Merah
Novel
GERA
disasalma
Rekomendasi
Cerpen
Sesuatu Memberitahuku Aku Akan Mencintaimu Selamanya
Fann Ardian
Novel
Bronze
Do You Believe In Loch Ness Monster?
Fann Ardian
Flash
Apple
Fann Ardian
Novel
Bronze
Intact Yet Broken
Fann Ardian
Cerpen
Nighty Night Tea
Fann Ardian
Novel
Bronze
Going To New Jersey, Meet The Jersey Devil
Fann Ardian
Flash
Grandma Afternoon Tea
Fann Ardian
Flash
Text Message
Fann Ardian
Flash
Bad Breath
Fann Ardian
Flash
Bird's Eye
Fann Ardian
Novel
A Gift For Everyone
Fann Ardian
Flash
Reminisce You, Rossi
Fann Ardian
Flash
Sayonara!
Fann Ardian
Flash
Nice Little Twists
Fann Ardian
Novel
Bronze
Fachri and The Sun
Fann Ardian