Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, di rumah kontrakan lantai empat, aku menatap langit yang sunyi. Jaket tipis yang kupakai tak mampu menghalau dingin yang merayap ke kulit. Aku memeluk tubuhku sendiri, seakan itu bisa memberi kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupku.
Layar HP di genggamanku mulai meredup. 3%, hampir mati. Aku mendesah. "Sial, chargernya dibawa Mamat lagi." Kakiku menendang kursi di depanku, membuatnya jatuh ke lantai dengan bunyi berdebum yang menyatu dengan kesunyian. Seperti hidupku—jatuh, berantakan, dan tak ada yang peduli.
Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku diam, membiarkan dering itu berlalu. Aku tahu siapa mereka—penagih utang.
Aku kembali ke kamar, menatap anakku yang terlelap setelah seharian ikut berjualan gorengan. Napasnya pelan, bibirnya sedikit terbuka, pipinya masih kotor bekas gorengan yang tadi dia makan. Aku mengusapnya pelan.
"Maaf ya, Nak..." suaraku hanya terdengar seperti bisikan di antara suara kipas tua yang berderit di sudut kamar.
Aku ingin menangis, tapi air mataku terlalu mahal untuk jatuh lagi. Hidup bahagia terasa seperti kemewahan yang tak mungkin kumiliki. Aku tak butuh istana, tak perlu berlian. Aku hanya ingin anakku bisa tidur dengan perut kenyang, ingin dia punya masa depan yang tidak sesuram ibunya. Tapi bagaimana caranya? Tamatan SD sepertiku bisa apa? Selain menikah, punya anak, lalu terlupakan?
Tanpa sadar, jemariku menggenggam erat kain selimut lusuh itu. Selimut yang dulu menghangatkan tubuh kecilku saat aku masih punya mimpi. Sekarang, ia tak lebih dari kain tipis berlubang yang nyaris tak bisa menghalau dingin. Sama seperti hidupku.
Suara gebrakan pintu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihat Mamat berjalan terhuyung-huyung, tubuhnya sempoyongan, wajahnya merah seperti habis menenggak sesuatu yang haram. Bau alkohol menyengat begitu dia mendekat.
Aku menghela napas panjang. Lagi.
Dengan susah payah, dia duduk di sampingku, tangannya meraih pundakku dengan gerakan yang malas. "Mira... Mas pulang," ucapnya dengan suara berat.
Aku menghindar, tak ingin disentuh oleh bau yang mengingatkanku pada semua janji kosongnya. "Bawa uang nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.
Mamat tertawa kecil, suaranya terdengar lemah. "Uang? Mana ada. Buat beli rokok aja Mas pinjem ke warung sebelah."
Hatiku kesal. Aku ingin marah, ingin berteriak, ingin menampar wajahnya agar dia sadar. Tapi yang kulakukan hanya mengepalkan tangan, menahan semua emosi yang mendidih di dada.
"Sialan," gumamku.
Mamat tidak peduli. Dia hanya merebahkan kepalanya di pangkuanku, seperti dulu, saat kami masih berdua dan dunia terasa lebih mudah. "Tapi kamu tenang aja, Mas janji bakal bawain uang banyak buat kamu," katanya sebelum akhirnya tertidur begitu saja.
Aku duduk kaku di tepi pintu, menatap langit. Lagi-lagi janji.
Sementara dia tertidur pulas dalam mabuknya, aku masih terjaga, mendengarkan deru napasnya yang berat. Dulu, aku berpikir menikah berarti hidup tenang. Tapi pernikahanku tak lebih dari lingkaran setan: lapar, utang, janji, kecewa, dan kembali lagi ke awal.
Aku menunduk, memperhatikan wajahnya dalam kegelapan. Pria ini—orang yang dulu kupikir akan menjadi penyelamatku—kini tak lebih dari beban yang menenggelamkanku.
Aku ingin pergi.
Tapi ke mana?
Aku tak punya tempat untuk pulang.
Dulu, aku pikir aku akan bahagia.
Aku ingat hari itu, sebelum aku menikah, Ratih selalu datang ke rumahku, membujukku agar tidak menikah. Ia berharap, aku kembali bersekolah, ia percaya bahwa dengan sekolah, hidupku di masa depan akan lebih baik.
"Kamu yakin mau nikah sama si Mamat?" tanya Ratih dengan nada ragu, matanya menatapku penuh harap.
Aku mendengus. "Memangnya kenapa? Mas Mamat kan baik."
"Bukan begitu, kamu kan masih muda. Daripada menikah, mending kamu sekolah lagi," desaknya.
Aku tertawa sinis. "Ratih, aku cuma lulusan SD. Mau sekolah ke mana lagi?"
"Ke SMP lah, Mir! Atau ikut kesetaraan, habis itu masuk SMA!"
Aku mendelik ke arahnya. "Ngaco kamu. Uang dari mana? Kamu kan tahu, ibu bapakku udah meninggal. Di rumah cuma ada nenek."
"Ya kita cari solusi! Aku bantu cari jalan biar kamu bisa sekolah lagi. Kamu masih muda, usiamu baru 15 tahun! Memangnya bisa apa kalau kamu sampai nikah?" Ratih terus berusaha meyakinkanku.
Aku mendengus, menendang batu kecil di tanah. "Aku bisa bikin anak. Zaman dulu juga banyak yang nikah muda."
Ratih langsung memotong, "Itu dulu! Jangan disamain!"
Aku melipat tangan di dada, menatapnya penuh tantangan. "Ah, kamu mentang-mentang sekolah jadi sok pintar, ya? Sok nasihatin aku?"
"Bukan gitu, Mir..." Ratih menarik napas, menahan kesal. "Guruku pernah bilang, perempuan harus cerdas."
Aku tertawa hambar. "Cerdas itu bagi orang kaya, Rat. Sekolah pun bagi yang berduit. Menurut aku dengan nikah adalah satu-satunya jalan aku bisa jadi bahagia."
Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, "Bahagia seperti apa, Mir. Aku liat aja Mas Mamat belum punya pekerjaan tetap."
Aku mengangkat dagu, seakan menantang. "Dia pembalap, Ratih. Lumayan uangnya. Kamu pikir aku bisa beli HP dan make-up dari mana? Dari uang balapannya Mas Mamat lah!"
Ratih menggeleng, ekspresinya semakin gelisah. "Tapi balapan liar, Mir, itu nggak benar... Kamu percaya sama aku, nanti aku bilang ke guruku, biar kamu bisa sekolah lagi."
"Ratih!" suaraku meninggi, membuatnya terdiam. "Aku udah bilang, aku nggak mau sekolah lagi! Ribet! Mending nikah aja, diam di rumah, ngurus anak!"
Tatapannya melembut, tapi justru membuatku makin kesal. "Kamu nggak akan nyesel?" tanyanya lirih.
Aku menegakkan bahu, berpura-pura yakin. "Enggak lah. Ngapain nyesel."
Sekarang, saat aku duduk di pelataran rumah kontrakan yang sempit, aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Aku ingin bertanya kepada gadis 15 tahun dalam ingatanku itu:
“Apa sekarang kamu bahagia, Mira?”
Potongan kenangan itu menghantamku seperti tamparan keras.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhku sedikit gemetar. Hatiku berteriak—kalau saja waktu bisa diulang, kalau saja aku mendengar Ratih waktu itu...
"Aku nyesel, Rat... Nyesel..." bisikku, tapi tak ada yang mendengar.
Aku mengusap air mata yang tak sempat jatuh, menatap langit yang mulai terang di ujung fajar.
Lalu, samar-samar, kenangan lain muncul.
Aku melihat diriku dalam gaun pengantin sederhana, berdiri di tengah tawa dan tepuk tangan.
“Mas janji, akan selalu menjadi suami yang bisa kamu andalkan,” ucapnya sambil mengecup keningku.
“Aku juga janji, akan jadi istri Mas yang setia,” jawabku, menggenggam tangannya erat.
Di sekeliling kami, tepuk tangan menggema, tawa mengiringi pernikahan sederhana ini. Aku tersenyum, berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku sudah mengambil keputusan yang benar.
Di sudut ruangan, Ratih berdiri diam. Matanya yang biasanya ceria tampak sendu. Ia tidak ikut tertawa, tidak ikut bertepuk tangan. Hanya sebuah senyum tipis yang dipaksakan sebelum ia melambaikan tangan, lalu pergi.
Aku tidak mengerti tatapan itu saat itu. Aku mengira ia hanya kecewa karena aku menikah terlalu cepat. Aku mengira ia hanya khawatir berlebihan.
Aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri.
Ratih, kamu benar.
Aku mengira pernikahan akan membawaku ke kehidupan yang lebih baik. Aku mengira janji bisa mengubah segalanya. Tapi sekarang, aku tahu, janji tak bisa mengenyangkan perut anakku, tak bisa membayar utang keluarga, dan tak bisa menyelamatkanku dari hidup yang semakin menyesakkan.
Aku menatap bayangan kecil yang berdiri di ambang pintu kamar. Anakku.
Aku menarik napas dalam.
Mungkin sudah terlambat untuk kembali. Tapi ... anakku tidak.
END_