Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Serpihan Jingga di Ufuk Senja
1
Suka
184
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di tanah Lombok yang subur, di mana gunung Rinjani menjulang bak raksasa yang menjaga rahasia zaman, hidup sebuah kisah cinta yang tak sempat mekar. Di bawah langit yang sama, di antara gemerisik daun kelapa dan desir angin yang membawa aroma rempah, dua jiwa terpisah oleh tembok tak kasatmata tembok kasta dan zaman yang kejam. Arjuna, pemuda jelata dengan hati seluas samudera, dan Baiq Nada Clairina, putri bangsawan yang tak pernah tahu ada seseorang yang menyimpannya dalam doa-doa sunyi. 

Hari itu, mentari baru saja menyingsingkan jingga di ufuk timur ketika Arjuna melangkah ke halaman sekolah Belanda, tempat di mana anak-anak pribumi yang beruntung bisa mengecap ilmu. Kakinya yang telanjang meninggalkan jejak di tanah lembap, sementara matanya menatap gedung megah itu dengan rasa takjub dan gentar. Lalu, dari balik kereta kuda yang dihiasi ukiran emas, muncul seorang gadis. Bajunya sutra berkilauan, rambutnya terurai bak sungai hitam, dan langkahnya begitu ringan seolah tak menyentuh bumi. Baiq Nada Clairina atau kerab dipanggil Nana, panggilan manis yang hanya boleh diucapkan oleh keluarga dan kerabat dekat. Arjuna terpana, dunia seakan berhenti berputar. 

"Siapa dia?" 

bisik hatinya, tetapi jawabannya sudah jelas dia adalah bidadari yang tak akan pernah bisa disentuh. Dia adalah bangsawan dan Arjuna? Hanya anak petani miskin yang kebetulan diizinkan belajar karena kecerdasannya. Saat Nana melangkah mendekat, matanya yang besar dan tajam itu justru seolah menembus pandang dirinya, acuh tak acuh seakan Arjuna hanyalah bagian dari latar belakang yang tak perlu diperhatikan. Kehadirannya yang begitu dekat namun terasa begitu jauh membuat Arjuna semakin terpana.Seorang teman yang berdiri di sampingnya menyenggol pelan bahu Arjuna.

 "Jangan lama-lama memandang, Jun," bisiknya hati-hati. "Itu putri Demang, bukan untuk kita."

Arjuna mengangguk getir, namun hatinya sudah telanjur mencatat setiap detail pesona gadis itu. Peringatan temannya menggema begitu nyata, dan semakin terbukti kebenarannya saat mereka semua telah duduk di dalam ruang kelas. Di sanalah, tatanan dunia mereka terpampang jelas Nana selalu mendapatkan tempat di barisan terdepan, dekat jendela di mana cahaya pagi menerpa wajahnya dengan sempurna, seolah singgasana tak kasatmata telah disediakan untuknya. Sedangkan Arjuna? Ia berada di bangku-bangku belakang, berbaur di antara anak-anak petani dan tukang kayu lainnya, dimana ia hanya bisa memandang punggung Nana yang tegak dan siluet anggunnya dari kejauhan.

Tapi di saat itu juga arjuna menemukan cara untuk mulai mendekati nana, dengan menjadi yang terbaik di kelas.Setiap kali guru mengajukan pertanyaan, tangannya selalu pertama teracung. Setiap ujian, namanya selalu di puncak daftar nilai. Ia berharap, suatu saat, Nana akan menoleh dan bertanya

"Siapa pemuda itu yang selalu menjawab sebelum semua orang?"

Tapi itu tak pernah terjadi. Suatu hari, saat ujian menulis esai, karyanya dipuji guru Belanda itu dan dibacakan di depan kelas. 

"Ini contoh tulisan yang sempurna," kata sang guru. 

Arjuna memandang Nana, berharap ia akan berbalik, atau setidaknya melirik. Tapi dia hanya asyik membenahi pita rambutnya, tak peduli.

Hari itu, Arjuna melangkah pulang dengan hati yang sedikit lebih berat dari biasanya. Pujian sang guru Belanda atas esainya memang menghangatkan, namun bahu Nana

 yang tak bergeming, jemarinya yang sibuk dengan pita rambut, seolah menjadi dinding kaca yang semakin tebal di antara mereka. Ia hanya bagian dari latar belakang, seberapapun cemerlang ia berusaha bersinar. Langkah kakinya yang telanjang membawa debu jalanan dusun, menyusuri pematang sawah yang mulai menguning, di mana udara terasa lebih segar, menjauh dari gedung sekolah yang megah namun menyesakkan. Ia memilih jalur yang sedikit memutar, melewati rumpun bambu dan sebuah pohon waru tua yang rindang di tepi sebuah kolam teratai kecil yang jarang terjamah. Tempat itu sunyi, hanya suara angin yang berdesir lembut memainkan daun-daun waru dan sesekali suara katak dari arah kolam. Arjuna sering berhenti sejenak di sana, sekadar merasakan kedamaian sebelum kembali ke riuhnya kehidupan sederhana di rumah.

Namun hari ini, kedamaian itu terusik oleh sebuah pemandangan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat. Di bawah naungan pohon waru itu, duduk seorang gadis. Punggungnya menghadap Arjuna, namun untaian rambut hitam legam yang tergerai lembut, juga secarik kain sutra berwarna gading pucat yang dikenakannya, tak mungkin salah. Itu Nana, Arjuna terpaku. Ia melihat Nana tengah memegang sebuah buku kecil, namun pandangannya tak tertuju pada halaman-halaman itu. Kepalanya sedikit terangkat, menatap permukaan kolam yang tenang, di mana bunga-bunga teratai merah muda merekah. Suasana begitu hening, seolah dunia menahan napas. Ini Nana yang berbeda dari yang ia lihat di sekolah, tanpa kereta kuda, tanpa dayang, hanya seorang gadis yang tampak larut dalam kesendiriannya, memancarkan aura ketenangan yang tak pernah Arjuna saksikan sebelumnya.

Ada keinginan kuat untuk segera berbalik, menghindar sebelum keberadaannya disadari. Namun, kakinya seolah terpaku pada tanah lembap itu. Ia hanya mampu berdiri diam, memandang dari kejauhan, terperangkap antara keinginan untuk lari dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Seolah merasakan ada sepasang mata yang mengawasinya. Nana perlahan menoleh, Bukan gerakan tiba-tiba, melainkan gerakan yang anggun dan pelan. Mata mereka bertemu. Mata besar dan tajam itu, yang biasanya melihat menembus dirinya atau tak acuh sama sekali, kini menatap langsung ke arahnya. Tidak ada keterkejutan di sana, hanya sebuah pengakuan hening akan keberadaan Arjuna. Dunia Arjuna seakan kembali berhenti berputar, sama seperti saat pertama kali ia melihat gadis itu. Waktu terasa meregang. Dalam tatapan itu, Arjuna tak menemukan jarak yang biasa ia rasakan. Hanya ada ketenangan, mungkin sedikit sapuan kelembutan yang belum pernah ia lihat. Dan kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Sesuatu yang akan terukir dalam benaknya untuk waktu yang sangat lama.

Di bibir Nana yang biasanya terkunci rapat atau hanya menyunggingkan senyum sopan kepada sesamanya, kini terbit seulas senyum, sangat tipis, hampir tak kentara, seperti kelopak bunga yang baru saja mulai merekah di pagi hari. Bukan senyum formalitas, bukan senyum untuk menyenangkan orang lain. Itu adalah senyuman yang terasa begitu personal, begitu murni, seolah hanya diperuntukkan bagi angin sore dan mungkin, dirinya.

Arjuna merasakan desiran hangat mengalir di seluruh tubuhnya. Dengan kikuk, ia membalas dengan anggukan kecil, tak berani berharap lebih. Senyuman Nana tak berlangsung lama, hanya sekejap mata, sebelum ia kembali memalingkan wajahnya menatap kolam teratai, seolah pertemuan itu hanyalah jeda singkat dalam perenungannya. Arjuna menarik napas dalam-dalam, lalu dengan langkah yang terasa lebih ringan dari sebelumnya, ia melanjutkan perjalanannya. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Bayangan senyum tipis Nana, selembut jingga di ufuk senja, kini menyala dalam hatinya, menjadi sebuah rahasia kecil yang akan ia simpan rapat-rapat. Tembok tak kasatmata itu mungkin masih menjulang, namun hari itu, di bawah pohon waru, seberkas cahaya mentari seolah berhasil menyelinap melaluinya.

Puluhan purnama telah berganti. Arjuna kini dikenal sebagai Pak Guru Arjuna, sosok pendidik yang dihormati, mengabdikan ilmunya di sekolah yang tak lagi hanya untuk kaum priyayi. Suatu sore, di sebuah pendopo kabupaten yang ramai oleh acara perayaan kemerdekaan, pandangannya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata yang dulu begitu dihafalnya. Baiq Nada Clairina, masih dengan keanggunan yang sama meski waktu telah menambah garis-garis kedewasaan di wajahnya, berdiri di antara para tamu terhormat lainnya, mungkin mendampingi suaminya, seorang pejabat dari seberang.

Dunia Arjuna sejenak berhenti, seperti dulu. Tak ada lagi debar getir anak petani, hanya kehangatan samar dari sebuah kenangan yang terawat baik. Nana menatapnya sejenak lebih lama dari sekadar basa-basi, ada kilas pengakuan di matanya yang teduh, sebelum akhirnya ia mengangguk tipis sebuah anggukan formal, namun bagi Arjuna, cukup untuk membangkitkan kembali bayangan senyum sehalus kelopak bunga di bawah pohon waru bertahun-tahun silam.

Arjuna membalas dengan anggukan yang tak kalah tenang, menyimpan kembali senyum itu dalam hatinya. Tak ada kata terucap di antara riuh rendah suasana. Mereka telah menempuh jalan hidup yang berbeda, dipisahkan oleh takdir yang tak pernah menjanjikan pertemuan. Tembok itu kini bukan lagi kasta, melainkan aliran waktu dan pilihan hidup yang telah mengukir jarak abadi.

Ia melanjutkan langkahnya, hatinya damai. Kisah itu memang tak pernah mekar, namun jingga di ufuk senja dan senyum tipis di bawah pohon waru telah menjadi bekal tak ternilai yang menyemangati langkahnya hingga kini. Rinjani di kejauhan masih menjulang, saksi bisu sebuah doa sunyi yang tak pernah padam.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Serpihan Jingga di Ufuk Senja
Rahman wahyudi
Novel
Bronze
FLIGHT TO YOUR HEART
Safiraline
Novel
Gold
Sejujurnya Aku...
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Mahkota dan Luka
gungkeris
Novel
Gold
Bad Romance
Mizan Publishing
Novel
Gold
EMMA
Mizan Publishing
Skrip Film
Cek Ombak (melulu)
Rina F Ryanie
Cerpen
Bronze
Sungai Perak Di Langit
Shinta Larasati Hardjono
Novel
Kohesif [Pujaan Hatiku Adalah Hantu]
Sihan Siregar
Novel
You and The End of Summer
Raisha Putri Alyaa Gani
Novel
Rela, Where it start it end
Revain
Cerpen
Bronze
Cinta Sisyphus
awod
Cerpen
Cinta di Antara Tetesan Hujan
kevin andrew
Novel
Senja
Erika Ardianti Dinata
Novel
Mendadak Berubah Status
Linda Mia Saputri
Rekomendasi
Cerpen
Serpihan Jingga di Ufuk Senja
Rahman wahyudi