Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Hai! Ya, kamu, jangan malah menjauh. Aku bukan orang aneh. Bahkan, aku bukan manusia, tetapi aku punya hal penting untukmu. Jangan malah lari. Putrimu masih bermain dengan temannya, takkan ada masalah jika kau terlambat beberapa menit menjemputnya."
Si bapak pun berhenti berlari dan berbalik arah mendekati Si Malaikat.
"Apa yang kau lakukan pada anakku? Jangan macam-macam. Jika kau ada masalah dengaku, cukup datang padaku, jangan libatkan anakku.", kata si bapak dengan nada setengah marah dan mengancam.
"Aku tak punya masalah apapun denganmu atau anakmu. Aku hanya ingin mengatakan jika kau akan mati dalam waktu dekat ini.", kata Si Malaikat dengan santai.
"Bagaimana mungkin aku akan mati? Lalu, siapa kamu berkata aku akan mati?", Si bapak masih bernada sama.
Si Malaikat menjulurkan tangan ke arah orang yang lewat dan orang tersebut menembus tangan Si Malaikat.
"Siapa kamu?", Si bapak terkejut.
"Bukankah ini sedikit terlambat untuk terkejut? Untuk sederhananya, aku adalah orang atau mungkin sesuatu yang kalian para manusia sebut dengan malaikat kematian."
"Jadi, jadi, aku benar-benar akan mati..."
"Aku tak bisa mengatakan bagaimana atau kapan kematianmu akan datang. Itu bisa sejam atau beberapa minggu setelah kau bisa melihatku."
"Aku akan mati. Aku akan mati. Apa yang harus aku lakukan?"
"Hey, apa kau mendengarku?"
"Huh? Apakah berkata sesuatu?"
"Untuk sekarang, bagaimana jika kau menjemput anak kesayanganmu itu?"
Si bapak tersadar dengan apa yang harus dilakukannya. Si bapak mengatur napas dan menenangkan diri sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolah Si anak.
-----
"Itu tadi akting yang bagus. Atau itu bukan akting? Itu sedik...", kata Si Malaikat tiba-tiba muncul di depan Si bapak.
"Tentu tidak, aku tidak ingin dia khawatir. Dia dewasa untuk anak seusianya, dia bisa menangkap apa masalahmu hanya dari sedikit perubahan di wajah atau cara bicaramu. Tetapi, aku tetap berharap aku bisa menyembunyikan satu hal ini saja. ", Si bapak memotong perkataan Si Malaikat.
Si Malaikat terdiam. Ini pertama kalinya dia mencoba untuk berbicara pada manusia. Benar-benar bicara, bukan hanya menghantui, memberi ancaman, atau mencoba memberi ketenangan. Si bapak bukan manusia spesial, Si Malaikat sudah sering melihat jorang tua semacam Si bapak, Si Malaikat hanya masih mencoba meraba-raba sejauh mana dia harus "ikut campur" urusan manusia. Tuhan masih diam saja. Apakah itu berarti ini tidak apa-apa? atau apa? Disaat kebingungan masih melanda Si Malaikat, Si bapak mengumamkan isi kepalanya.
"Apa yang harus kulakukan? Bagaimana dia akan hidup setelah aku mati? Aku tidak yakin ada keluargaku bersedia menerimanya, mereka tidak akan rela membuang uang untuk anak tanpa darah mereka di nadinya. Aku juga tak mau dia harus berakhir di panti asuhan. Apa yang harus kulakukan?"
"Bagaimana jika menghabiskan waktu dengan dia? Kau akan kehabisan waktumu sebelum kau bisa menjawab pertanyaanmu itu. Dan lagi, kau bisa mati kapan saja, mungkin besok, minggu depan, atau saat jam berdenting kembali."
"Kau benar. Ya, kau benar.", Si bapak mengumam seakan sedang kemasukan setan.
"Tentu saja, aku benar. Sekarang, tidurlah dan berdoalah agar masih ada esok hari untukmu benapas."
Si bapak menuruti perkataan Si Malaikat. Walaupun, tidur bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan jika kau tahu kau bisa mati kapan saja. Dua jam lamanya Si bapak berganti-ganti posisi tidur untuk mencari posisi yang menenangkan tubuh dan kepalanya. Dua jam itu terbuang sia-sia. Akhirnya, Si bapak bangun. Beranjak ke meja kerjanya, Si bapak menuliskan sebuah surat. Surat wasiat berjaga-jaga jika dirinya akan tiada esok hari. Dan akhirnya, pikiran kacaunya pun dapat tenang dan Si bapak pun tertidur di pertengahan surat yang dia tulis.
-----
"Kau tersenyum. Kau bertemu Tuhan di mimpimu? Tidak, tidak, itu tidak mungkin."
"Akhirnya aku bisa tenang sekarang. Terima kasih untuk bantuannya kemarin.", Si bapak berwajah segar tanpa bekas kemarahan dan ketakutan dari sehari yang lalu.
"Syukurlah jika begitu. Itu berarti aku tak dibutuhkan lagi disini.", Si Malaikat pun hilang sekejap dari pandangan Si bapak.
Si bapak melanjutkan hari dengan beberapa perubahan disana-sini. Seusai bekerja,, Si bapak memilih untuk menghabiskan waktu dengan Si anak daripada istirahat atau tidur seperti yang biasanya selalu ia lakukan. Setalah Si anak tidur, Si bapak akan menghabiskan waktu untuk mengumpulkan mana barang yang bisa dia jual, membuat surat wasiat yang akan dia percayakan pada teman lama yang lebih dari sekadar keluarga, dan menulis surat yang rencananya akan dikirim setiap tahun pada ulang tahun Si anak. Keguatan baru ini telah berlangsung selama seminggu. Setiap pagi tiba, Si bapak masih gemetar dan menangis saat dia menyadari bahwa dia masih bisa bernapas.
"Aku hidup, aku masih hidup."
Saat ini hari ke 9 semenjak Si Malaikat muncul di hadapan Si Bapak. Semua terasa masih sama seperti 7 hari sebelumnya kecuali satu hal. Saat inilah satu nyawa akan hilang dari muka bumi. Bukan, bukan nyawa Si Bapak yang melayang. Nyawa Si anaklah yang melayang terbang berjumpa dengan Sang Pencipta. Si anak menjadi korban tabrak lari saat Si bapak dan Si anak sedang dalam perjalanan pulang. Tubuhnya terlempar, kulit putih Si anak tak lagi bersisa, darah telah melumuri hampir sekujur badannya, tak ada manusia yang bisa menyelamatkannya. Beberapa detik yang lalu, tangan kecil itu masih hangat dalam genggaman Si Bapak. Sekarang, Si bapak hanya bisa memeluk tubuh Si anak yang rapuh itu. Berusaha tetap tersenyum berharap jika senyuman itulah yang menjadi hal terakhir yang dilihat Si anak.
"Seharusnya aku yang mati. Kenapa?! Kenapa?! Kau salah! Bukan ini yang seharusnya terjadi. Tidak! Tidak! Tidak!"
-----
Si bapak pulang dari rumah sakit. Tubuhnya kehabisan energi seakan nyawanya hampir meninggalkan tubuhnya. Si bapak berjalan sempoyongan menuju kamar Si anak. Air mata yang ia kira telah habis kembali mengucur ketika ia masuk kamar Si anak. Si bapak melihat foto mereka yang dipajang di sekitar tempat tidurnya, tidur di tempat tidur si anak, dan menemukan surat yang disembunyikan Si anak di sarung bantalnya. Tulisan tangan yang masih berantakan, ejaan yang masih tak karuan, dan beberapa bekas tetes mata disana-sini. Si Malaikat tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Aku ..."
"Ini waktuku, kan? Sungguh mulia sekali dirimu."
Si bapak pun menemui ajalnya. Senyuman terukir di wajahnya. Kematian yang menghantui hidupnya beberapa hari kebelakang tak lagi menakutkan bagi dirinya. Istri dan anaknya lah yang menunggu di ujung sana. Ini adalah waktu terbaik untuk meninggalkan dunia.
"Mengapa kau berikan aku tugas ini?", kata Si Malaikat sambil memandang tubuh Si bapak yang masih mengenggam surat Si anak.