Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bukan sekali ini saja aku pindah-pindah rumah. Hampir 12 tahun pernikahan, mungkin sudah sepuluh kali aku dan keluarga kecilku berpindah-pindah tempat tinggal. Beberapa kali masih dalam perumahan yang sama. Pernah juga pindah kota dan sekarang berakhir dengan pindah negara. Alasan selalu pindah juga bermacam-macam. Ada yang tiba-tiba menaikkan harga sewa, ada yang ingin menjual rumah kontrakannya, ada pula yang memang sejak awal sudah tidak cocok tapi tetap memaksa.
Kalau kalian bertanya, "kenapa tak membeli rumah?" Sederhana saja, kami tak ingin terjerat riba. "Ah, sok sekali." Mungkin ini komentar banyak orang. Tapi biarlah. Kami yamg paling tahu tentang lika liku di dalam rumah tangga kami. Kalau kuceritakan alasannya secara mendetail ditulisanku ini, tidak akan bisa karena terlalu panjang. Nanti malah ini tak jadi cerpen, melainkan novel.
Selama 12 tahun terakhir tetanggaku selalu berubah-ubah. Sejujurnya ini bukan hal mudah. Beradaptasi bukanlah perkara sederhana. Aku selalu merasa tertekan setiap kali harus bertemu dengan orang baru. Entah kenapa sejak menikah selalu seperti itu. Padahal jaman sekolah dulu, aku termasuk anak yang mudah bergaul. Temanku tergolong cukup banyak. Bahkan aku cukup dikenal banyak orang meski aku tak kenal mereka. Paham kan sampai sini? Mohon maaf sama sekali tidak bermaksud sombong. Eh, tapi tak usah lah terlalu serius. Aku becanda saja.
Setelah kuamati sikapku sendiri, aku bisa sedikit menarik kesimpulan. Kesulitan beradaptasi dengan tetangga baru ini terjadi karena tetangga tidak sama dengan kawan sekolah. Maksudku, usia kami jelas berbeda-beda. Pernah kudapatkan tetangga yang usianya sama denganku atau berjarak sedikit dariku. Entah itu lebih tua atau lebih muda, yang jelas perbedaan usianya tidak banyak. Hanya setahun atau dua tahun saja. Menghadapi yang seusia atau hanya berbeda sedikit nyatanya tidak begitu sulit bagiku. Seperti bertemu teman baru ketika di sekolah baru saja. Tapi aku langsung tak bisa apa-apa ketika dikelilingi tetangga yang sudah senior. Rasanya mendadak canggung. Belum lagi kalau ternyata mereka sudah akrab satu sama lain. Sering berkumpul untuk berbagai macam acara atau hanya sekedar ngobrol santai saja. Bisa dipastikan aku akan merasa tertekan. Serasa sedang di ospek saja. Padahal sebenarnya tetangga-tetanggaku tidak pernah ada yang rusuh. Tapi entahlah. Meski agak merepotkan, punya banyak tetangga di tempat yang berbeda adalah hal yang harus disyukuri. Selain menjalin silaturahim dengan menambah banyak kenalan, ini juga bisa menjadi satu cara membangun koneksi yang mungkin nanti ada manfaat bagi kita.
Contoh kecil, setelah kepindahkanku yang ke 7 kalinya (kalau aku tak salah ingat), aku mulai suka bermain di dapur. Anak-anak sudah cukup besar dan mulai mandiri. Jadi aku punya waktu luang untuk berkreasi. Banyak cemilan, kue-kue yang aku buat sendiri. Lalu kubagikan pada tetangga, Alhamdulillah responnya baik sekali. Suatu ketika tetanggaku iseng,
"Mbaak, roti mininya enak loh yang kemarin. Terima pesanan ngga?" Mbak Ainun salah satu tetangga terdekatku sengaja datang ke rumah hanya untuk bertanya.
"Aduh, alhamdulillah kalo enak. Masha Allah." Kupastikan hidungku mengembang dua kalinya mendapat pujian seperti ini. "Tapi maaf mbak, aku belum pernah terima pesanan. Itu bikin juga cuma iseng aja. Lagi suka bebikinan mbak." Aku menjawab.
"Aduh gimana ya mbak, aku belum tau kalau mau jual juga harga berapa. Karena aku ngga itung-itung." Aku menjawab nyengir.
"Yaudah di itung-itung aja dulu. Kalo udah ada harga jualnya, chat aku." Matanya kini mengedip-ngedip. Rayuannya semakin menjadi.
"Gimana ya, takut ngga cocok mbak harganya. Ngga enak akunya." Aku ragu.
"Ya makanya info dulu aja. Masalah cocok atau ngga urusan belakang." Mbak Ainun berkeras lalu menutup obrolan dan pamit pulang.
Setelah hari itu, aku memberanikan diri untuk berjualan roti mini secara online. Karena akhirnya mbak Ainun cocok dengan harga yang kutawarkan dan ia menjadi pelanggan pertamaku. Masha Allah di luar dugaan, keluarga besarnya pun ikut pesan roti mini buatanku. Hal ini yang membuatku semakin percaya diri untuk memasang iklan di setiap media sosial yang aku punya dan antusiasnya memang luar biasa. Terlebih tetangga-tetanggaku dulu yang masih satu daerah denganku. Mereka yang selalu repeat order hingga waktuku saat itu lebih banyak di dapur daripada di luar dapur. Iya, ini salah satu hal positif punya banyak tetangga di berbagai tempat. Meski setelah itu aku berpindah-pindah tempat lagi, aku tetap tidak kehilangan pelanggan sama sekali kecuali saat ini.
Aku harus berhenti jualan untuk sementara waktu yang tidak bisa ditentukan. Meski sayang, tak apa kurelakan. Ada kesempatan yang bisa saja tak akan datang lagi. Suamiku diterima kerja di Arab Saudi. Tambahan, ada tawaran dari perusahaan untuk membawa keluarga. Jelaslah akan sangat disayangkan jika aku memilih LDR dan berkeras untuk tetap berjualan roti mini di negara tercinta. Lagipula, ini menyangkut bakti istri terhadap suami juga kan? Selalu mendampingi dimanapun suami mencari nafkahnya.
Tapi akhir-akhir ini aku dibuat terharu. Para tetangga di tanah air, juga pelanggan roti mini lainnya tidak benar-benar hilang. Mereka masih rajin bertanya padaku lewat chat,
"Kapan pulang ke Indo? Kangen rotiii."
Atau,
"Kapan terima pesanan roti lagii?"
Atau,
"Mbak, aku masih setia nunggu roti mini mu loh. Pulang aja sih."
Dan masih banyak lagi. Tapi, sudahlah. Kita tinggalkan dulu tentang ini, karena sejujurnya masih sedikit ada rasa sedih ketika mengingat usaha kecil yang telah dirintis dari nol ini.
Setelah melalui tahap wawancara juga mempertimbangkan banyak hal, di sinilah kami tinggal sekarang. Tanah Arab, Saudi Arabia. Aku yang selalu merasa cukup bisa mengisi hidup dengan hal - hal baik,sama sekali tak pernah berpikir akan tinggal jauh dari tanah kelahiran. Tapi inilah kehendakNYA, hal apapun yang dirasa mustahil pun bisa mudah terjadi atas seizinNya.
Kami tiba di Saudi ketika musim panas sedang panas - panasnya. Perjalanan kami cukup panjang untuk sampai di tempat yang akan kami tinggali. Keluar dari bandara jeddah kami masih harus melanjutkan perjalanan darat kurang lebih empat jam lamanya. Saat itu AC mobil yang kami gunakan full terpasang, namun anehnya kami masih merasa kepanasan. Entah salah AC mobilnya atau memang suhu di luar mobil yang terlalu tinggi. Aku tak tau pasti tapi aku sangat menikmati perjalanan darat itu. Kiri kanan memang hanya tampak tanah lapang dengan pasir-pasir bertebaran atau gunung-gunung bebatuan. Kadang, ada juga semacam padang rumput tempat menggembalakan unta. Sebagian orang mungkin menganggap ini bisa bahkan tidak menarik, tapi bagiku ini hal luar biasa.
Setibanya di depan gedung tempat tinggal kami, aku melakukan peregangan sebentar lalu melanjutkan mengelilingi area sekitar gedung layaknya polisi yang sedang patroli, meski badan terasa lelah sekali. Seantusias itu aku. Kebanyakan rumah-rumah di sini berbentuk gedung-gedung bertingkat. Semacam apartemen atau flat. Penampakan dari jauh seperti barisan kotak-kotak saja. Jarang juga kutemukan rumah dengan bentuk atap segitiga seperti di Indonesia. Kalaupun ada, hanya di perumahan tertentu dan itu tidak banyak.
Dekat tempat tinggalku ada beberapa taman bermain. Tapi aku menebak, tidak akan ada ibu-ibu rumpi sambil nyuapin anaknya tiap sore. Karena memang suasananya sepi sekali. Selesai berkeliling aku masuk gedung menuju rumah kami. Gedung tempatku tinggal ada tiga lantai namun tanpa elevator. Di lantai satu dan dua ada dua rumah di tiap lantainya, sedangkan di lantai tiga hanya ada satu rumah dan rooftop. Lalu dimana kami tinggal? Iya, di lantai tiga. Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya kami jika harus bolak balik naik turun tanpa elevator. Tapi alhamdulillah kami tidak mengeluh karena ini adalah hal yang seru. Anak-anakku pun senang sekali, ditambah rooftop yang sangat luas hingga mereka tetap bisa bermain bola. Masha Allah.
Aku sempat bertanya pada suamiku ketika kami baru sampai,
"Bi, itu di lantai satu sama dua ada yang ngisi rumah-rumahnya?"
"Adalah, penuh. Makanya kita di lantai tiga." Jawab suamiku sambil memindah-mindahkan barang bawaan kami.
"Orang Saudi semua ya?" Aku penasaran.
"Kurang tau, belum pernah ketemu sama sekali sama mereka." Suamiku menjawab sambil lalu. "Tapi kemungkinan ngga cuma Saudi." Tambahnya.
"Oiya, aku perlu ngebel atau ngetuk pintu atau ngirim makanan buat perkenalan diri sebagai tetangga baru ngga bi?" Aku mulai was-was.
"Ngga usah, di sini mah ngga umum kaya gitu. Karena kalo Saudi asli mah satu gedung malah di isi sama satu keluarga. Jadi emang bener-bener idupnya kekerabatan gitu." Jelas suamiku dan seketika aku merasa lega.
Beberapa bulan pertama aku sangat menikmati hidup di Saudi. Suasananya yang sepi sekali benar-benar cocok dengan karakterku yang memang suka ketenangan. Belum lagi bentuk rumah yang berbeda dari rumah-rumah di Indonesia yang umumnya rumah satu-satu lalu bersebelahan atau berhadapan dengan rumah-rumah tetangga. Meski berpagar tapi masih tetap bisa bertegur sapa. Disini jarang rumah seperti itu, kalau pun ada, lagi - lagi hanya di perumahan tertentu itupun tidak banyak dan ukuran rumahnya selalu besar - besar, hingga tetap saja tak bisa bebas bertegur sapa apalagi saling ghibah. Rumah-rumah di sini sangat tertutup, benar-benar menjaga privacy dan aku suka. Masha Allah.
Tapi lama-lama ada rasa bosan juga. Apalagi ketika anak-anak mulai masuk sekolah. Aku sendirian di rumah. Hampir tiap hari aku main di dapur untuk mencoba resep-resep baru yang telah lama tersimpan di galeri. Terkadang ada juga rindu berbagi hasil masakan pada tetangga, namun aku ingat kata suamiku, "di sini ngga bisa sembarangan bertamu." Sampai akhirnya suamiku meminta untuk mengirim makanan ke rumah yang ada di lantai dua,
"Bi, kirim makanan apa kek gitu ke rumah bawah." Ucapnya ketika sampai dirumah selepas bekerja.
"Rumah yang mana bi?" Aku bertanya mengingat di lantai dua ada dua rumah.
"Yang pas banget di bawah kita. Yang anaknya masih bayi. Beberapa hari lalu ketemu di bawah, sama-sama abis dari luar. Si istrinya buka pintu sambil gendong bayi." Pak suami menjelaskan detail.
"Oh, oke." Aku mengingat-ingat. "Tapi ada apa ni? Ko tumben?" Aku jelas keheranan.
"Suaminya lumayan baik. Berapa kali bantu aku. Bantu angkat barang-barang berat pas pindahan, terus kemarin juga bantu bawa belanjaan." Suamiku menjelaskan lalu meneguk es teh manis yang tersedia di meja makan.
"Terus siapa yang nganter nanti?" Aku mulai panik.
"Anak-anak aja," menunjuk kedua anak kami, "tapi nanti ngebel nya jangan menghadap pintu rumahnya. Jadi ngebelakangin pintu gitu. Orang sini begitu katanya kalo harus bertamu tapi ngga janjian. Karena kan ga tau siapa yang akan bukain pintu." Suamiku menjelaskan detailnya.
"Oke deh. Insha Allah besok di bikinin mochi aja." Aku sudah memikirkan harus buat makanan apa.
Besoknya aku membuatkan mochi, lalu anak-anak mengantar sesuai arahan ayah mereka. Dari depan pintu rumahku, terdengar bel berbunyi dan anak-anak mengucap salam. Tak lama ada jawaban dari dalam rumah si tetangga. Aku mengintip skaligus menguping,
"Wa alaikumsalam, Sorry who is there?" Suara seorang wanita yang menjawab.
"Me, Your neighbor from 3rd floor." Anak sulungku yang menjawab.
"Oh, please wait." Tak lama pintu rumahnya terbuka. "Oh what is it?" Si wanita bertanya ketika anakku memberikan bungkusan berisi mochi.
"This is mochi, meal that my Mom made it for you. Please try. Hope you enjoy it." Anak sulung menjawab lagi.
"Oh masha Allah, thank you. What is your name?" Anak-anakku menyebutkan nama mereka masing-masing lalu pamit untuk pulang.
Dan setelah itu selesai. Seperti tidak pernah ada hal yang terjadi. Beberapa kali kami bertemu ketika sama-sama ingin keluar atau dari luar tapi sama sekali tidak saling tegur sapa. Bahkan istrinya tetap menundukan kepalanya ketika aku berpapasan dengannya.
Suamiku sampai bilang, "aneh ya, ko ngga komen apa-apa ya, suaminya juga kalo ketemu cuma ngucap salam, dah aja gitu. Mereka ngga makan apa gimana ya."
"Gitu ya bi?" Aku keheranan. Suamiku hanya mengangguk.
Aku sempat memikirkan tentang ini, "masa iya sih sebeda-bedanya budaya benar-benar ngga ada bilang apa gitu? Padahal akhir-akhir ini sering ketemu."
Jujur aku merasa agak terpukul. Ada sedikit harapan, antara aku dan tetangga ini bisa sedikit lebih ramah. Tapi yang kudapat malah sebaliknya. Seolah kami tidak saling tahu. Mungkin agak berlebihan ya, tapi aku terbiasa tegur sapa dengan tetangga di Indonesia meskipun baru pindah dan belum kenal. Namun, pindahan kali ini cukup berbeda. Aku punya tetangga, tapi serasa hidup sebatang kara. Tiap kali memikirkan ini aku jadi tertawa. Bagaimana dulu aku sering merasa berat jika harus pindah rumah dan bertemu orang baru yang disebut tetangga. Tapi di sini aku malah mencari sosok itu. Mungkin ini adilnya Allah ya. Pada akhirnya aku diberi kesempatan hidup dengan tetangga yang keberadaanya antara ada dan tiada.
Beberapa bulan berlalu dari hari itu, tiba-tiba suamiku pulang membawa kantong kecil.
"Apa itu?" Aku bertanya penasaran
"Nih, dari tetangga bawah." Suamiku memberikan kantongnya.
"Wah, apa ini?" Wadah bulat kecil berisi serbuk berwarna kemerahan. "Wahh, bumbu rempah ini. Masha Allah wangi. Udah di halusin, tinggal pake aja kayanya. Tapi buat apa ya?" Aku membuka wadah kecil itu dan memeriksa.
"Buat masakan palingan lah bi." Suamiku menyahut.
"Eh ini dari tetangga bawah yang mana?" Aku masih penasaran, belum mendapat jawaban pasti.
"Yang pas di bawah kita banget bi." Suamiku nyengir. Sepertinya kami memiliki pemikiran yang sama.
"Jangan-jangan selama ini dia bingung mau ngasil balikan apa dari mochi kita." Aku nyeletuk di sambut tawa suamiku. "Kamu udah bilang makasi bi? Ada bahasan lain ngga?" Aku malah penasaran.
"Bilang makasi udahlah. Masa dikasih langsung begitu ngga bilang apa-apa. Tapi tadi emang udah aja ngga bahas-bahas mochi."
Aku terdiam sejenak, bingung harus bagaimana. "Aku ngga perlu bilang makasi bi ke istrinya? Mungkin aku ngebel gitu." Karena biasanya aku selalu chat atau berkunjung ke rumah tetangga jika ada yang memberikan ini dan itu tetapi tidak bertemu langsung denganku.
"Kayanya ngga usah sih." Suamiku terdengar tidak yakin. "Udahlah, ngga usah. Aku udah bilang makasi juga kan." Suamiku mencoba memantapkan karena sebenarnya ia juga tak yakin aku bisa berkawan baik dengan si ibu tetangga ini. Banyak perbedaan sudah pasti, kalau di paksakan khawatir banyak menimbulkan salah paham.
Pada akhirnya aku memang tidak pernah berusaha membuka percakapan atau hubungan bertetangga dengan mereka. Hanya saja, tiap kali berpapasan aku mencoba untuk lebih dulu mengucap salam jika kebetulan memang ada si ibu tetangga ini. Aku mulai paham bagaimana kehidupan sosial di sini. Apalagi di tempat kami tinggal banyak orang-orang non Saudi. Biar bagaimanapun rasa asing pasti ada. Canggung, kagok, tegang membuatku bahkan mungkin warga non Saudi lainnya memilih untuk menjaga jarak aman saja. Benar-benar seperlunya.
Terakhir, syukuri apa yang sudah Allah beri. Karena ketika kita tak punya lagi, biasanya baru terasa sedihnya. Ya, kayak aku gini, yang pernah mengeluhkan masalah adaptasi dengan tetangga, sekarang benar-benar tidak diberi tetangga dekat. Seperti kubilang sebelumnya mereka ini antara ada dan tiada.