Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pekatnya malam di bivak lembap itu adalah selimut bagi kerinduan yang membara. Aku, Raka, menyandarkan punggung pada dinding tanah yang dingin, menatap potret buram ibuku. Wajahnya, meski hanya sebatas kenangan dalam pigura usang, adalah sumber kekuatanku di garis depan Jawa Barat tahun 1948. Aroma lumut dan tanah basah menyengat, bersanding dengan bau mesiu yang selalu menempel di pakaian kami.
"Masih jauh, ya, Rak?" Jaga, sahabat karibku, berbisik pelan sambil menyesap kopi dinginnya. Ia duduk di sampingku, matanya tajam namun, penuh pengertian. Ia tahu benar, ibuku adalah detak jantung setiap napas perlawananku.
Aku menggeleng tipis. "Bukan jaraknya, Jaga. Rasanya seperti seumur hidup tidak bertemu."
Jaga menepuk bahuku, "Aku mengerti, Rek." Nada bicaranya selalu menenangkan, seolah setiap kata yang keluar darinya adalah oase di tengah gurun perang. "Tapi di sini, kita berjuang agar suatu hari nanti, 'jauh' itu tinggal kenangan."
Tiba-tiba, seorang kurir merangkak masuk, napasnya terengah, seragamnya kotor lumpur. "Lapor, Komandan! Intelijen baru saja masuk." Suaranya bergetar menahan lelah. "Musuh akan melancarkan serangan besar-besaran sebelum fajar. Kali ini... mereka mengerahkan segalanya."
Jantungku berdebar. Serangan besar-besaran? Malam itu, di bawah temaram lampu minyak, aku tahu ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini mungkin yang terakhir. Aku meraih selembar kertas lusuh dan pena, mulai menulis.
"Untuk Ibu Kartini tersayang," tulisku, membiarkan setiap kata mengalir dari lubuk hati. Doa, kerinduan, dan janji suci yang tak boleh gugur. Aku menuliskan tentang banggaku menjadi putranya, tentang impian kami akan kemerdekaan, dan permintaan maaf karena harus pergi.
Jaga melihatku, matanya membaca keseriusan di wajahku. "Kau yakin, Rak?"
Aku mengangguk, menyegel surat itu dengan lilin. "Jika aku tak kembali, tolong sampaikan ini pada Ibu. Katakan padanya, aku pergi dengan bangga. Katakan bahwa ini semua untuk kemerdekaan." Suaraku lirih, namun, mantap. Sebuah amanah yang terucap di tengah kegentingan malam.
Jaga menatapku lurus, tangannya terulur. "Akan kusampaikan, Rek. Demi Allah dan demi bangsa." Ia menerima surat itu, genggamannya erat, seolah takdir kami kini terikat dalam kertas buram berlumur doa itu.
***
Fajar menyingsing, bukan dengan kehangatan mentari, melainkan dengan rentetan peluru dan ledakan artileri. Medan perang berubah menjadi neraka. Tanah bergetar, teriakan dan rintihan bercampur aduk dengan suara tembakan yang tak henti. Aku bertempur, berjuang dengan setiap serpihan kekuatanku, dorongan akan kemerdekaan dan wajah ibuku menjadi tameng.
"Serbuuuu!" teriakanku pecah di antara bising. Aku menembak, bergerak, bersembunyi, lalu menembak lagi. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, sebuah ledakan hebat mengoyak udara. Aku merasakan dorongan keras di dada, diikuti rasa panas yang membakar. Pandanganku kabur, kakiku tak lagi menjejak bumi. Aku roboh.
Dari sudut mataku, aku melihat Jaga. Ia yang tak jauh dariku, bergegas mendekat. Wajahnya pias, namun, tekadnya tak tergoyahkan. Aku terengah, napas terasa berat, setiap hembusan adalah perjuangan. Tanganku, entah bagaimana, masih meremas surat untuk Ibu Kartini. Dengan sisa tenaga, aku memandangi Jaga, isyarat tanpa kata yang mengukuhkan amanah.
"Jaga… " suaraku nyaris tak terdengar.
Jaga mendekat, berlutut di sampingku, tangannya menopang kepalaku. "Bertahan, Rak! Kita akan mundur!"
Aku menggeleng, tahu bahwa waktuku telah habis. Aku mengulurkan tangan, menyerahkan surat yang kini bernoda darahku itu padanya. Darahku, tinta terakhir di lembaran kertas itu. Pandanganku menatap langit, mengingat wajah ibuku. "Untuk Ibu, Kartini" Lalu, gelap menelanku.
Di tengah riuhnya peperangan, ketika duniaku meredup, aku merasakan Jaga mengambil surat itu. Itu adalah sentuhan terakhir dari dunia yang fana ini, tanda bahwa amanahku telah berpindah. Misinya, misi personalnya, kini dimulai. Kisahku mungkin berakhir di sini, di tanah basah ini, namun, janji yang kuukirkan, doa yang kupanjatkan, akan terus hidup.
***
Jaga, dengan surat yang kini lusuh dan berkerut itu di tangannya, harus menyusup melalui garis musuh, melintasi hutan belantara yang dihantui patroli. Setiap bayangan adalah potensi bahaya, setiap suara bisa berarti kematian. Kakinya bengkak, napasnya terengah, namun, ia tak berhenti. Dinginnya malam menusuk tulang, teriknya siang membakar kulit. Kelaparan dan kelelahan menjadi teman setianya.
"Aku janji, Rak," bisiknya pada angin, saat bersembunyi di balik semak belukar, menghindari patroli musuh. Surat berdarah itu adalah kompasnya, mengingatkannya pada arti persahabatan dan pengorbanan yang telah kuberikan. Setiap langkah adalah janji, setiap rasa sakit adalah pengingat.
"Apakah ini sepadan?" gumamnya suatu malam, menatap bulan yang tergantung sendirian di langit. Pertanyaan itu terbersit, namun, segera ditepisnya. Ia teringat mataku yang penuh keyakinan, senyumku yang tak pernah pudar, bahkan di ambang kematian. Itu sepadan. Kemerdekaan itu sepadan.
***
Setelah berhari-hari dalam bahaya, Jaga akhirnya tiba di dekat desa terpencil Ibu Kartini. Sebuah gubuk sederhana berdiri di antara rimbunan pepohonan, asap mengepul dari dapurnya. Rumah itu tampak damai, seolah tak tersentuh oleh gejolak perang. Namun, semakin dekat ia, semakin berat beban di hatinya. Bagaimana ia akan menyampaikan pesan terakhir yang penuh cinta namun, juga berita duka yang tak tertahankan?
Bayangan senyum Ibu Kartini bercampur dengan janjiku yang kini menghantuinya, menciptakan pergolakan batin yang hebat. Ia melihat seorang wanita tua duduk di teras, menenun kain dengan telaten. Matanya menerawang, menyimpan kerinduan yang mendalam.
Jaga berdiri termangu di ambang pintu, menatap Ibu Kartini yang sibuk dengan tenunannya. "Selamat siang, Bu." Suaranya serak.
Ibu Kartini mendongak, matanya yang tua menyipit. "Siapa Nak?"
"Saya Jaga, Bu. Sahabat Raka."
Mendengar namaku, mata Ibu Kartini berbinar, setitik harapan menyala. "Raka? Putraku? Bagaimana kabarnya? Ia mengirimimu?"
Jaga menelan ludah. "Ada, ada surat dari Raka, Bu." Ia menyerahkan surat yang kini lusuh dan berkerut itu. Tangannya gemetar.
***
Ibu Kartini mengambil surat itu, jemarinya yang keriput menyentuh noda darahku. Ia membuka lipatannya perlahan, matanya mulai membaca setiap kata yang kutulis. Senyum di wajahnya memudar, berganti dengan guratan kesedihan yang mendalam. Aku melihatnya, dari tempatku yang entah di mana, air mata mulai membasahi pipi rentanya.
"Untuk Ibu Kartini tersayang," ia membaca lirih, suaranya tercekat. "Jika Ibu membaca ini, itu berarti aku tidak akan kembali..."
Tangisnya pecah. Isak tangis seorang ibu yang kehilangan putranya, bercampur dengan kebanggaan yang mengiris. Air matanya membasahi tulisan tanganku, seolah menyatukan kembali cinta seorang anak dan ibunya yang terpisah oleh perang, oleh waktu, oleh takdir. Surat itu bukan hanya pesan perpisahan, melainkan juga warisan abadi tentang cinta, pengorbanan, dan harga tak ternilai dari kemerdekaan.
"Ia bangga, Bu," Jaga berbisik, matanya berkaca-kaca. "Ia bilang, ia pergi dengan bangga. Demi kemerdekaan."
Ibu Kartini memeluk erat surat itu ke dadanya. "Putraku, putraku pahlawan"
Jaga merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia telah menuntaskan amanah suci ini. Namun, ia juga membawa luka dan kebijaksanaan baru dari pengalaman pahit. Aku tahu, ia telah memenuhi janjinya dan kini membawa ceritaku, makna pengorbanan kami, dalam dirinya. Surat itu, kini menjadi selembar bukti abadi, terukir di hati seorang ibu dan seorang sahabat. Namun, perjuangan belum usai. Pertempuran demi pertempuran masih akan pecah, dan Jaga, dengan beban warisan itu, harus terus melangkah, membawa semangatku ke setiap medan laga yang akan datang. Apakah mereka akan berhasil meraih kemerdekaan seharga nyawa yang telah kami berikan? Waktu yang akan menjawabnya, di tengah gelegar perang yang belum reda.
Titimangsa: Pekalongan, 6 September 2025
Bionarasi:Bagus Aprilianto, penulis asal Pekalongan yang menjadikan menulis sebagai cara merangkai rasa dan pengalaman hidup. Baginya, menulis bukan sekadar hobi, melainkan perjalanan jiwa untuk berbagi makna dengan pembaca.