Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
0
Suka
883
Dibaca

Bab 1 – Gerimis dan Lagu Jalanan

Hujan turun seperti biasa tidak deras, tidak juga reda. Gerimis yang menggantung di ujung senja itu seperti menyuarakan sesuatu yang tak bisa diucapkan oleh manusia. Langit menggigil dalam diam, dan trotoar kota mulai basah oleh langkah-langkah terburu.

Di pojok pasar tua, di dekat jembatan kecil yang airnya cokelat pekat, seorang anak lelaki berdiri memeluk gitar kecilnya yang sudah keropos di pinggir. Jaketnya tipis, robek di lengan kanan. Sepatunya tak sepasang. Tapi dia berdiri di sana, menyanyikan lagu yang tak pernah selesai.

Namanya Arka. Usianya belum genap lima belas. Rambutnya tipis karena sering terpapar matahari dan hujan. Suaranya kecil, tapi jujur. Ia tidak meminta uang. Ia hanya menyanyi. Jika ada yang memberi, itu bonus.

Hari itu, seperti banyak hari lain sebelumnya, orang-orang berlalu. Beberapa menoleh. Banyak yang tidak. Satu dua melempar receh ke kotak plastik kecil yang ia letakkan di depannya.

Namun hari itu, sesuatu datang... dari arah yang tak pernah ia perkirakan.

Seorang wanita tua. Tubuhnya ringkih, matanya kecil tapi tajam. Ia memakai baju abu-abu kusam, kerudung lusuh, dan mendorong keranjang rotan kecil berisi roti-roti yang dibungkus kertas cokelat. Ia berhenti tak jauh dari Arka.

Mereka tidak saling bicara.

Tak ada sapaan.

Tapi mata Arka menangkap sepasang tangan yang gemetar mengambil sebungkus roti dari keranjang dan meletakkannya pelan di atas lapak gitar Arka.

“Untuk kamu,” ucap si nenek, lirih.

Arka mendongak. Ia ingin bertanya, tapi suaranya tertelan air hujan.

Dan si nenek berjalan lagi, tanpa menoleh.

Roti itu masih hangat. Bungkusnya sedikit lembap karena udara. Aromanya sederhana: roti tawar isi kelapa parut. Tapi bagi Arka, rasanya seperti doa yang tiba-tiba turun dari langit mendung.

Ia tidak langsung memakannya.

Ia menatapnya lama, seperti takut kalau ini cuma mimpi.

Lalu, dengan pelan, ia duduk bersila dan menggigit setengahnya.

Hujan terus turun. Tapi dada Arka hangat untuk pertama kalinya sejak ia turun ke jalan tiga tahun lalu.

Malamnya, Arka tidur di emperan toko tua, dibalut jaket yang sudah lama tidak layak disebut jaket. Tapi perutnya tidak kosong. Di sampingnya, plastik pembungkus roti itu ia simpan seperti surat penting.

Ia tidak tahu siapa nenek itu. Tidak tahu nama. Tidak tahu rumahnya. Tapi Arka tahu satu hal:

Wanita itu melihatnya.

Dan itu sudah cukup membuatnya tidak merasa sendirian malam itu.

Keesokan harinya, Arka kembali ke tempat yang sama. Masih gerimis. Masih sepi.

Ia menyanyi lagu yang sama, dengan suara yang sedikit lebih penuh. Tapi si nenek tidak muncul. Hanya suara motor, langkah kaki, dan deru pasar yang sudah mulai sibuk sejak matahari baru bangkit separuh.

Ia menunggu. Tapi yang datang hanya embusan angin.

Hari ketiga, barulah ia melihatnya lagi. Masih dengan keranjang rotan. Masih dengan langkah lambat. Tapi kali ini si nenek berhenti lebih dekat. Ia duduk sebentar di bangku kecil dekat tiang listrik. Arka berhenti menyanyi. Ia ingin bicara.

“Nek…” suaranya gugup.

Si nenek menoleh, matanya menyipit.

Arka berdiri. “Terima kasih… yang kemarin. Rotinya enak.”

Nenek itu mengangguk. Lalu, seperti sebelumnya, ia mengambil satu roti dan memberikannya kepada Arka tanpa banyak kata.

“Kalau kamu lapar, terima saja. Itu bukan sisa. Itu untuk kamu.”

Arka tak menjawab. Ia hanya mengangguk, seperti seseorang yang baru pertama kali diberi izin untuk merasa layak mendapatkan sesuatu.

Hari itu, Arka menyanyi sedikit lebih lama.

Ia pulang lebih malam. Tapi ia tak merasa sedingin biasanya.

Dan di kantong celana kirinya, bungkus roti itu ia lipat rapi.

Bukan karena ingin dimakan lagi, tapi karena ia ingin menyimpannya.

Sebagai kenangan.

Sebagai awal.

Hujan seperti memiliki jadwal sendiri. Ia datang tak pernah tepat waktu, tapi selalu pada saat yang sama saat langit ingin menangis, dan bumi terlalu keras kepala untuk mendengarkan.

Bagi Arka, hujan kini punya makna baru. Ia tak lagi sekadar musim yang membasahi rambut dan merusak suara gitar. Hujan telah menjadi penanda bahwa seorang nenek berkeranjang rotan mungkin akan datang, dan sepotong roti hangat mungkin akan berpindah tangan tanpa banyak kata.

Hari-hari berikutnya, Arka mulai belajar menunggu. Tapi ia menunggu bukan dengan gelisah, melainkan dengan harapan.

Setiap kali langit menggelap dan awan menggantung, ia akan duduk lebih awal di bawah jembatan pasar, menggantungkan gitar di bahunya, dan meletakkan lapak kecil di tempat yang sama.

Kadang-kadang hujan tak datang, tapi Arka tetap di sana.

Kadang-kadang si nenek lewat, tapi tak membawa roti.

Kadang-kadang si nenek duduk di ujung jalan, hanya menatap.

Mereka tetap tak banyak bicara. Tapi diam mereka mulai punya bentuk.

Pernah suatu sore, gerimis turun pelan dan Arka hanya duduk tanpa bernyanyi. Suara knalpot dan pasar sudah terlalu ramai untuk dikalahkan oleh suara kecilnya.

Si nenek lewat dengan langkah pelan, lalu berhenti tak jauh darinya.

“Kenapa nggak nyanyi?” tanya si nenek, untuk pertama kalinya memulai obrolan.

Arka menatap tanah. “Capek, Nek.”

Nenek duduk di bangku tua di bawah kanopi warung kopi yang tutup. Ia membuka plastik di dalam keranjangnya dan mengeluarkan satu roti.

“Capek itu boleh. Tapi jangan berhenti menunggu yang baik.”

Arka mengangguk. Ia tak paham sepenuhnya, tapi kalimat itu menancap.

Sejak hari itu, ada sesuatu yang berubah.

Bukan dunia.

Bukan langit.

Tapi cara Arka melihat ke sekitarnya.

Ia mulai memperhatikan bagaimana si nenek duduk, bagaimana cara jemarinya membuka bungkus kertas, bagaimana napasnya pendek-pendek setiap selesai naik tangga kecil ke pasar atas. Arka tidak bertanya banyak, tapi ia mencatat segalanya di kepalanya. Seperti menyimpan potongan-potongan dari seseorang yang belum tentu bisa ia simpan selamanya.

Satu hari, saat hujan deras, Arka tak bisa datang ke tempat biasa. Gitar tuanya rusak. Kakinya juga sakit karena jatuh di lorong pasar. Ia duduk di emperan toko kelontong, sendirian. Tak ada suara, tak ada lagu.

Dari kejauhan, ia melihat keranjang rotan yang dikenalnya.

Nenek itu datang. Langkahnya lambat. Air hujan membasahi kerudungnya.

Tapi kali ini, nenek itu mencari.

Menoleh ke kanan dan ke kiri. Wajahnya gelisah.

Ia berhenti di tempat biasa Arka mangkal, tapi kosong. Ia menatap lama. Lalu menghela napas.

Dan di kejauhan, Arka menatap. Ia ingin memanggil. Tapi tenggorokannya kelu. Ia hanya menyaksikan si nenek berdiri dalam hujan, seperti seseorang yang menunggu sesuatu yang tak datang. Lalu pergi, perlahan.

Malam itu, Arka tak bisa tidur. Ia membayangkan betapa sepinya perasaan itu: menunggu seseorang, tapi tak tahu di mana harus mencari.

Ia membayangkan si nenek berdiri di bawah hujan, tangan gemetar, roti di keranjang yang tak jadi diberi.

Dan untuk pertama kalinya, Arka menangis bukan karena lapar.

Tapi karena tahu, ia dirindukan oleh seseorang… yang tak pernah ia sangka.

Esoknya, Arka kembali ke tempat biasa. Gitar diperbaiki ala kadarnya. Ia menyanyi pelan, lebih karena ingin si nenek tahu bahwa ia sudah kembali.

Dan di tengah hujan yang tidak deras, suara roda rotan itu terdengar.

Si nenek datang.

Ia tidak bicara.

Ia hanya meletakkan roti di depan Arka, lalu duduk di sampingnya.

Hening.

Gerimis.

Dan dua hati yang tahu, bahwa kadang-kadang kasih tidak butuh penjelasan.

> “Aku bukan siapa-siapa baginya,” pikir Arka,

“tapi entah kenapa, ia tetap datang.”

> Dan itu cukup untuk mengajarkanku bahwa kebaikan…

tidak selalu harus berasal dari darah. Kadang dari hujan. Kadang dari roti hangat. Kadang dari seorang asing yang memilih untuk peduli.”

Bab 2 – Roti Tanpa Nama

Arka tidak tahu nama si nenek.

Ia hanya tahu roti hangat, keranjang rotan, langkah lambat, dan suara yang lebih seperti angin daripada manusia. Tapi sesuatu dalam dirinya mulai terusik: mengapa ia selalu datang hanya saat hujan turun? Mengapa hanya untuk dia?

Pagi itu langit mendung seperti biasa.

Arka bangun di emperan warung yang sepi. Ia menyeka embun dari pipinya, menggulung jaket tipisnya, lalu berjalan menuju pasar dengan gitar tergantung di punggung.

Langkahnya lambat. Bukan karena lelah. Tapi karena pikirannya mulai berat.

Ada yang ingin ia tanyakan… tapi belum tahu bagaimana caranya.

Ia sampai di tempat biasa sebelum hujan benar-benar turun.

Langit seperti abu, dan udara basah menyelimuti udara. Ia duduk, membuka lapak, dan mulai memetik senar. Tapi kali ini, suara gitarnya tidak sekuat kemarin. Ada bagian dari dirinya yang sibuk memikirkan hal lain mata itu, tangan itu, dan langkah yang terus datang meski tak diminta.

Ia mencoba mengingat:

Apakah si nenek pernah menyebut namanya?

Tidak.

Apakah si nenek pernah menanyakan nama Arka?

Juga tidak.

Dan justru karena itulah, Arka merasa… dihargai.

> “Ia memberiku roti bukan karena tahu aku siapa.

Tapi karena tahu aku butuh.”

Beberapa menit berlalu, lalu muncullah suara yang ia kenal.

Roda rotan menggesek trotoar. Langkah kecil di atas sandal jepit tua. Dan wajah yang menyembul dari balik gerimis.

Si nenek datang.

Hari ini ia memakai baju hitam yang warnanya sudah pudar jadi keabu-abuan. Rambut putihnya terikat rapi. Wajahnya lebih pucat dari biasanya, tapi tatapannya tetap kuat.

Ia tidak langsung memberi roti.

Hari ini ia duduk dulu di bangku semen dekat lapak Arka. Tangannya sibuk merapikan roti di keranjang, seolah sedang menyusun kenangan.

Arka menoleh, ragu.

“Nek… boleh aku tahu… namanya?” tanyanya pelan.

Si nenek tidak langsung menjawab. Ia menoleh perlahan, lalu tersenyum kecil senyum yang lebih seperti kerutan yang bergerak di ujung bibir.

“Apa pentingnya?” katanya.

Arka tertunduk. “Nggak tahu. Cuma… ingin tahu aja.”

Nenek itu menghela napas pelan.

“Nama itu seperti air hujan. Kadang mengalir begitu saja, tapi tak semua sampai ke tanah yang tepat.”

Mereka diam lagi.

Hujan mulai turun. Tak deras, tapi cukup membuat dunia mengecil. Orang-orang berlari. Penjual menutup lapak. Tapi Arka dan si nenek tetap di tempat mereka.

Tanpa bicara lebih, si nenek mengambil satu roti dan menyodorkannya.

“Kamu lapar?”

Arka mengangguk.

“Terima.”

Dan tangan yang gemetar itu kembali mengajarkan Arka bahwa perhatian tidak butuh nama untuk terasa nyata.

Hari itu, Arka tidak langsung pulang.

Setelah si nenek pergi, ia mengikuti dari kejauhan. Bukan mengintai, tapi mencoba membaca kehidupan yang belum sempat diceritakan.

Si nenek berjalan pelan ke arah gang sempit di belakang pasar. Di sanalah ia menghilang ditelan tikungan dan waktu. Arka tak berani mendekat. Tapi dari tempatnya berdiri, ia merasa ada pintu yang mulai terbuka.

Sore itu, saat langit berubah warna dari kelabu ke jingga, Arka duduk sendiri sambil menatap sisa bungkus roti. Ia menuliskan sesuatu di kertas robekan bekas amplop:

> “Kepada Nenek yang Tak Punya Nama,

Terima kasih sudah datang walau tak pernah ditunggu,

Terima kasih sudah memberi walau tak pernah diminta,

Aku tak tahu siapa kamu,

Tapi mungkin itu sebabnya kamu bisa benar-benar tulus.”

Ia menyimpan tulisan itu di saku. Bukan untuk diberikan. Tapi untuk diingatkan… bahwa kadang yang paling berarti, justru datang tanpa perkenalan.

Langit kadang begitu diamnya hingga Arka merasa waktu sendiri enggan bergerak.

Gerimis masih membasuh genting pasar, dan Arka duduk di sudut yang sama, di bawah naungan seng berkarat, dengan gitar kecil di pangkuannya dan matanya tertuju pada arah datangnya keranjang rotan.

Ia tidak bermain hari itu. Tidak memetik senar. Tidak menyanyi.

Yang ia tunggu bukan recehan, bukan sorakan atau makanan.

Yang ia tunggu adalah kehadiran, yang anehnya, terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah ia miliki selama ini.

Sejak pertemuan beberapa hari lalu, rasa penasaran dalam dada Arka tumbuh perlahan.

Tidak meledak, tapi mengembang seperti luka yang diam-diam ingin diusap.

Ia ingin tahu siapa wanita itu nama lengkapnya, rumahnya, kenapa selalu membawa roti, dan mengapa hanya datang saat hujan.

Tapi pertanyaan-pertanyaan itu selalu kandas begitu si nenek tersenyum.

Senyum itu tak menjawab apa pun, tapi juga tak menyisakan ruang bagi keraguan.

> “Nama itu seperti air hujan,” kata si nenek hari itu,

“mengalir begitu saja, tapi tak semua sampai ke tanah yang tepat.”

Kalimat itu terus berputar di kepala Arka, bahkan ketika hujan sudah lama reda.

Ia mulai merasa: mungkin bukan namanya yang penting, tapi kehadirannya yang tak pernah gagal datang ketika yang lain memilih menjauh.

Hari-hari berikutnya, Arka tak lagi merasa sendiri meski masih tidur di emperan, masih menyanyi untuk bertahan hidup, dan masih membawa gitar yang kadang lebih mirip kayu usang daripada alat musik.

Yang berubah adalah dadanya.

Ada ruang kecil di sana yang mulai terisi.

Bukan oleh kenyang, bukan oleh harapan besar…

Tapi oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan: keintiman tanpa kata, dan kasih tanpa gelar.

Suatu hari, setelah menerima sepotong roti hangat, Arka mencoba berbicara lagi.

“Nek… aku pernah punya nenek. Tapi meninggal waktu aku masih bayi. Kata orang-orang, dia suka bikin roti juga. Tapi aku nggak pernah ngerasain.”

Nenek itu menatapnya lama.

Matanya tidak berkaca, tapi seperti menyimpan sesuatu yang sudah lama hilang.

Ia tak berkata apa-apa.

Hanya meletakkan tangan tuanya di atas tangan Arka.

Dan di sana, pada telapak yang kasar dan keriput itu, Arka merasa dikenali.

Setelah hari itu, Arka mulai menyimpan roti. Bukan untuk dimakan sekaligus, tapi untuk diingat.

Satu bungkus ia makan perlahan.

Satu bungkus ia simpan dalam kaleng kecil di tasnya.

Dan tiap kali ia merasa sepi, ia membuka kaleng itu mencium aromanya, meraba kertasnya.

> Karena dalam sepotong roti itulah, Arka menemukan sesuatu yang tak pernah ia punya:

rasa diterima, tanpa harus menjelaskan apa-apa.

Namun tak semua hari bisa diulang.

Tak semua hujan membawa keranjang yang sama.

Dan waktu, sebagaimana biasa, diam-diam mencuri.

Suatu sore, Arka menunggu seperti biasa. Tapi si nenek tak datang. Ia berpikir, mungkin hujan hari itu terlalu cepat. Atau mungkin jalanan macet.

Ia menunggu hingga langit gelap, dan orang-orang mulai menutup warung. Tapi tak ada keranjang rotan. Tak ada suara langkah kecil.

Tak ada roti di atas lapak gitar. Hanya air hujan dan bau tanah yang belum kering.

Keesokan harinya, Arka datang lebih pagi.

Dan tetap tak menemukannya.

Hari ketiga, Arka duduk lebih lama.

Gitar tak lagi dimainkan. Ia hanya duduk. Menatap arah datangnya si nenek. Dan entah mengapa, dada Arka terasa lebih sempit daripada biasanya.

Bukan karena lapar. Tapi karena ketakutan yang tak punya bentuk.

Bagaimana jika ini akhir dari pertemuan yang bahkan belum sempat dimulai?

Malam itu, Arka menulis di sobekan kardus, dengan pulpen pinjaman dari pedagang sayur:

> Nenek, aku masih di sini.

Aku masih menunggu roti itu.

Bukan karena lapar. Tapi karena sejak kamu datang, aku merasa…

aku punya tempat di dunia.

Lalu ia menyelipkan tulisan itu di sela tiang tempat si nenek biasa duduk.

Bukan untuk ditemukan. Tapi untuk dititipkan pada angin.

Dan ketika malam benar-benar tiba, dan hujan tak lagi turun, Arka tidur sambil memeluk tasnya.

Kertas bungkus roti tersimpan di dadanya.

Satu tangan menutupi gitar, satu lagi menggenggam doa yang tak pernah ia hafal.

> Karena dalam dunia yang ramai dan berisik,

yang paling indah adalah pertemuan diam-diam,

di antara dua jiwa yang bahkan tak pernah mengenalkan nama.

Bab 3 – Jejak di Kaki Lima

Pasar pagi bukan tempat untuk pertanyaan.

Ia adalah tempat untuk harga, timbangan, suara gaduh, dan rebutan tempat. Tapi pagi itu, Arka menyusuri lorong sempit bukan untuk mencari makan atau receh melainkan jejak.

Jejak dari seorang wanita tua berkeranjang rotan.

Jejak dari seseorang yang tak pernah ia minta untuk hadir, tapi kini kehilangannya terasa seperti hujan yang enggan reda dalam dada.

Sudah empat hari berlalu sejak Arka terakhir melihat si nenek. Empat kali hujan datang, dan tak satu pun membawa suara roda keranjang yang menggesek trotoar. Tak ada tangan gemetar yang menyodorkan roti.

Tak ada suara lembut yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu.

Dan Arka mulai gelisah.

Bukan karena lapar.

Bukan karena roti.

Tapi karena ia mulai takut satu-satunya orang yang memperhatikannya, telah benar-benar pergi.

Hari itu, ia memeluk gitarnya seperti biasa, tapi tak memainkannya.

Ia duduk di bawah kanopi pasar, matanya menatap jauh. Hatinya sibuk bertanya: Siapa dia? Siapa yang pernah mengenalnya? Di mana dia tinggal?

Maka saat langit memudar, Arka bangkit. Ia tak tahu harus mulai dari mana. Tapi ia tahu, diam tak akan mengembalikan apa pun.

Ia berjalan menyusuri lorong pasar yang penuh lumpur.

Melewati tumpukan sayur mayur.

Melewati pedagang kain yang berteriak diskon.

Melewati bangku kecil tempat si nenek biasa duduk sebentar sebelum menyodorkan roti.

Tempat itu kosong.

Seolah tak pernah ada siapa pun di sana.

Arka menghampiri seorang bapak tua penjual pisang yang lapaknya tak jauh dari situ.

“Pak,” sapanya pelan, “mau tanya... Ibu tua yang suka jual roti itu, yang bawa keranjang rotan... Bapak tahu namanya?”

Si bapak menatap Arka lama. Lalu menggeleng.

“Yang jalan pelan-pelan itu? Yang rambutnya putih semua?”

“Iya,” jawab Arka cepat. “Yang suka duduk di sana.”

Bapak itu menunduk. “Sudah lama enggak kelihatan ya?”

“Iya, Pak. Saya cari-cari nggak pernah ketemu.”

Bapak itu menghela napas. “Dia memang jarang bicara. Kami manggilnya Mak Sari, tapi entah itu nama aslinya atau bukan. Dia tinggal di belakang pasar, gang kecil yang nembus ke lapangan bola.”

“Belakang pasar?” Mata Arka membulat. “Gang yang sempit itu?”

“Iya. Tapi saya nggak tahu rumah pastinya. Dia suka duduk di depan rumah kosong, di bawah pohon jambu.”

Arka mengangguk pelan, lalu mengucapkan terima kasih.

Langkahnya berat tapi pasti. Setiap gerak kakinya membawa denyut harapan, juga ketakutan: Apa yang akan ia temukan jika sampai di sana?

Gang itu sempit dan sunyi.

Paving-nya basah dan retak-retak, dengan rumput tumbuh dari sela-sela bata yang lelah.

Di ujung, ada satu pohon jambu besar yang daunnya bergoyang tertiup angin sore. Dan tepat di bawahnya: bangku kayu pendek yang kosong.

Tak ada keranjang.

Tak ada nenek.

Hanya sisa daun kering dan aroma kayu lembap yang pelan-pelan membuat dada Arka mengencang.

Ia duduk di sana.

Menatap bangku kosong.

Seolah bekas tubuh si nenek masih tertinggal, seperti bayangan yang enggan meninggalkan terang.

Arka menengok ke kanan-kiri.

Semua rumah di gang itu tampak tak berpenghuni. Atau setidaknya... tak lagi terawat.

Di salah satu rumah berdinding triplek lusuh, jendelanya terbuka sedikit. Ia melangkah mendekat, mengetuk pelan.

Tak ada jawaban.

Ia mencoba sekali lagi.

Lalu terdengar suara perempuan paruh baya dari dalam.

“Siapa?”

“Saya… Arka. Mau tanya soal nenek yang biasa duduk di bawah pohon sini. Katanya namanya Mak Sari.”

Pintu terbuka sedikit. Wanita itu menyipitkan mata.

“Oh… Mak Sari. Kamu siapa?”

“Cuma... temannya,” jawab Arka, meski kata itu terdengar terlalu mewah baginya.

Perempuan itu terdiam, lalu menunduk.

“Dia udah nggak di sini lagi, Nak. Beberapa hari lalu, dibawa orang puskesmas. Katanya pingsan di dapur rumahnya. Saya nggak tahu kabar selanjutnya.”

“Pingsan?” Arka nyaris berbisik. “Sekarang di mana, Bu?”

“Entahlah… saya dengar ada yang bilang beliau dibawa ke panti perawatan dekat stasiun. Tapi saya nggak tahu pasti. Rumahnya udah kosong sejak itu.”

Arka hanya diam.

Suaranya tercekat.

Ia menatap bangku kosong itu sekali lagi bangku yang mungkin ribuan kali diduduki tubuh ringkih itu.

Bangku yang kini tak lagi punya cerita, kecuali yang masih tersisa di ingatannya.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa waktu terlambat.

Langkah-langkah kecil Arka menyusuri trotoar sempit menuju stasiun siang itu bukan langkah seorang anak.

Itu langkah seseorang yang tengah menuntaskan sesuatu bukan tugas, bukan pekerjaan melainkan rasa tanggung jawab yang lahir dari kehilangan yang belum sempat diakui.

Ia memeluk gitar usangnya. Di dalam saku kanan jaket, ia membawa sepotong roti yang sudah dingin, dibungkus ulang dari sisa kemarin.

Bukan untuk dimakan. Tapi untuk diberikan kalau memang benar ia menemukan wanita itu.

Perjalanan menuju panti perawatan itu bukan dekat. Tapi Arka tak merasa lelah.

Di benaknya hanya satu hal:

menemukan kembali seseorang yang bahkan tak pernah menyebutkan nama.

Panti itu berdiri di belakang stasiun lama. Dindingnya terkelupas, catnya pudar, tapi masih cukup kokoh untuk menampung orang-orang yang dunia lupa namanya.

Plangnya kecil, hanya tulisan “Panti Harapan Senja” yang separuh hurufnya sudah mengelupas.

Arka menelan napas.

Lalu mengetuk pintu pagar.

Seorang wanita muda menyambutnya.

"Ya, Dek?"

“Saya… mau tanya. Ada ibu tua yang dibawa dari gang belakang pasar beberapa hari lalu. Pakai keranjang rotan. Namanya… mungkin Mak Sari.”

Petugas itu menatap Arka sejenak, lalu mengangguk. “Oh, yang kurus banget itu, ya? Yang pingsan?”

Arka mengangguk cepat.

Wanita itu masuk ke dalam dan kembali tak lama kemudian.

Wajahnya berubah. “Kamu siapa, ya?”

Arka menggeleng. “Nggak tahu… saya cuma kenal beliau dari pasar. Dia sering kasih saya roti. Saya pengamen.”

Wanita itu menatapnya lama, seperti menimbang sesuatu yang berat. Lalu membuka pintu pagar.

“Ayo masuk.”

Lorong di dalam panti itu berbau balsem dan kayu tua.

Langkah Arka melambat. Jantungnya mulai berdebar.

Setiap ruangan yang dilewati, ia mengintip, berharap dan takut sekaligus. Akhirnya mereka sampai di ujung lorong.

Pintu kamar semi-terbuka.

Seorang wanita tua berbaring di tempat tidur besi dengan selimut abu-abu. Wajahnya pucat. Rambutnya putih, rapi terikat.

Dan Arka mengenalnya.

Itu dia.

Langkahnya ragu.

Ia berdiri di ambang pintu.

Tak ada suara.

Tak ada dialog.

Hanya detak jam dinding dan desahan pelan dari napas yang lemah.

Petugas membisikkan, “Beliau nggak sadar penuh. Kadang buka mata. Tapi belum ngomong sejak dibawa ke sini. Tidak ada keluarga.”

Arka menggigit bibirnya.

Lalu perlahan mendekat.

Ia mengeluarkan roti yang dibawanya, meletakkannya di atas meja kecil di samping ranjang.

Tak ada kata.

Ia hanya duduk di sampingnya.

Menggenggam tangan keriput itu.

Untuk beberapa menit, mereka seperti kembali ke trotoar pasar.

Tak ada suara.

Tak ada nama.

Tapi ada pengakuan dalam genggaman sunyi itu.

Lalu perlahan, mata si nenek terbuka.

Sayu. Kecil.

Menatap langit-langit.

Lalu menoleh sedikit ke arah Arka.

Ia tersenyum samar.

Tidak dengan bibir. Tapi dengan tatapan yang tak bertanya lagi.

Dan Arka tak kuasa menahan air matanya.

“Aku di sini, Nek…”

Suara itu lirih. Retak.

“Terima kasih… karena pernah datang. Karena pernah lihat aku.”

Si nenek tak menjawab.

Tapi tangannya yang lemah menggenggam jari Arka lebih erat.

Sekejap. Lalu lepas perlahan.

Dan waktu kembali diam.

Tak ada kata perpisahan.

Karena memang… mereka tak pernah benar-benar saling menyapa dengan nama.

Petugas panti menepuk pundaknya pelan.

“Kalau kamu nggak keberatan, boleh isi data. Kami nggak punya siapa-siapa untuk beliau.”

Arka mengangguk.

Tapi ia berhenti di kolom yang bertuliskan “Hubungan dengan pasien.”

Lalu ia menulis pelan:

“Yang pernah menerima sepotong roti hangat di hari paling dingin.”

Bab 4 – Hujan yang Tak Menjawab

Hujan kembali turun di kota kecil itu.

Tidak deras. Tidak juga ringan. Tapi cukup untuk membuat daun-daun melengkung, dan jalan-jalan mengilap oleh genangan tak bernama.

Namun tak seperti sebelumnya, hujan hari ini datang tanpa suara yang ditunggu.

Tanpa roda rotan. Tanpa tangan gemetar yang menyodorkan roti.

Tanpa senyum samar dari wajah yang dulu tak banyak berkata, tapi cukup untuk mengisi sunyi.

Arka duduk di tempat biasa.

Gitar tergantung di bahunya, tak ia sentuh sejak pagi.

Kotak receh kosong, dibiarkan terbuka seolah sengaja memberi ruang untuk sesuatu yang tidak akan datang.

Di sisi kanannya, ada bangku semen kecil.

Dulu sering diduduki seseorang.

Sekarang kosong.

Dan entah mengapa, kosong itu lebih keras dari raungan klakson atau teriakan pedagang.

Orang-orang lalu lalang. Pasar tetap hidup.

Tangan masih menimbang. Uang masih ditukar. Barang masih berpindah.

Tapi di mata Arka, semuanya tampak seperti panggung yang terlalu cepat berganti babak.

Ia mencoba menyanyi. Satu lagu pendek tentang pelangi yang muncul setelah hujan.

Tapi suaranya goyah.

Dan ia berhenti di tengah lagu.

Seorang anak kecil lewat dan bertanya polos, “Kakak nggak main gitar hari ini?”

Arka menggeleng pelan. “Hujannya belum cukup.”

Anak itu tidak mengerti. Tapi tak bertanya lagi.

Ia hanya melanjutkan langkah, seperti hujan, seperti waktu.

Di genggaman Arka ada kertas bungkus roti yang telah lecek.

Bungkus terakhir yang ia simpan sejak hari ia datang ke panti itu.

Ia membukanya perlahan.

Roti di dalamnya sudah mengeras. Tapi aromanya masih ada.

Aroma kelapa, gula merah, dan tepung hangat yang dulu seperti pelukan diam-diam di tengah udara dingin.

Ia menatapnya lama.

Lalu memejamkan mata.

> “Apa kamu tahu, Nek… tempat ini sepi tanpa kamu?”

“Bahkan suara hujan jadi lain. Seperti nyanyian yang kehilangan bait terakhir.”

Arka berdiri.

Meninggalkan tempat duduknya.

Melangkah ke arah bangku semen yang kini lembap oleh rintik.

Ia duduk di sana, untuk pertama kalinya. Dan mendongak ke langit yang kelabu.

Di sana, tidak ada tanda.

Tidak ada nama.

Tidak ada alamat.

Tapi Arka merasa... di sinilah dulu seseorang memilih diam, untuk berbagi kasih yang tidak pernah diminta balasan.

Seorang ibu pedagang sayur yang lewat sempat berhenti.

“Sendirian, Nak?”

Arka tersenyum kecil. “Nggak juga, Bu. Lagi ditemani hujan.”

Ibu itu menatapnya sebentar, lalu berjalan lagi.

Tak ada yang bisa menjelaskan kehilangan yang tidak diketahui orang lain.

Tak ada kabar duka.

Tak ada berita kematian.

Hanya ruang kosong yang dulu diisi oleh kehadiran kecil yang kini lenyap.

Sore menjelang.

Hujan belum berhenti.

Arka berdiri, menatap keramaian pasar.

Ia tahu, dunia tidak akan berhenti hanya karena satu orang pergi. Tapi ia juga tahu, dunia dalam dadanya kini berbeda.Karena ia pernah dikenal… tanpa ditanya siapa.

Malam turun tanpa upacara.

Lampu-lampu toko mulai mati satu per satu, dan jalanan yang tadi riuh menjadi sayup oleh genangan. Hujan belum benar-benar berhenti seperti enggan melepas kota yang sudah terlanjur basah oleh kenangan.

Arka masih duduk di bawah kanopi kecil depan toko kain tua. Gitar ada di sebelahnya, tapi senarnya tak disentuh sejak tadi pagi. Kaki-kakinya basah, tapi ia tidak peduli.

Yang basah bukan hanya tubuhnyamelainkan pikirannya.

Ia menatap bungkus roti terakhir yang ia simpan sejak dari panti.

Kini kertasnya mulai berubah warna, mulai robek di ujung, dan aromanya nyaris hilang.

Tapi ia belum rela membuangnya.

Karena benda kecil itu, lebih dari sekadar roti.

Itu adalah perasaan.

Itu adalah perhatian yang tidak pernah diminta.

Itu adalah bahasa yang tidak pernah diucapkan, tapi berhasil masuk ke dalam dada dan bertahan di sana.

> “Aku bahkan tidak tahu siapa kamu sebenarnya, Nek,”

“Tapi kamu tahu aku. Lebih dari siapa pun.”

Sejak siang, pikiran Arka dipenuhi pertanyaan-pertanyaan aneh:

Siapa yang dulu membuat roti itu?

Dari mana bahan-bahannya?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat adonan selembut itu?

Dan mengapa seseorang bisa memberi… tanpa pernah bertanya balik?

Tanpa tanya siapa nama Arka.

Tanpa ingin tahu asal-usulnya.

Tanpa janji akan balasan.

Langit di atas pasar makin gelap.

Petir tidak menyambar. Tapi kesunyian jadi lebih nyaring.

Arka berdiri. Melangkah pelan ke tengah trotoar yang kini kosong.

Ia menatap tempat biasa keranjang rotan diletakkan.

Kini hanya basah dan daun gugur.

Lalu, dari saku dalam jaketnya, ia keluarkan sebuah catatan kecil potongan sobekan kardus yang dulu ia tulis, tapi belum pernah ia berikan.

Ia membacanya pelan.

Tapi suaranya hanya untuk dirinya sendiri.

> Nenek, Jika kamu tahu, aku tak pernah merasa diinginkan oleh siapa pun. Tapi kamu datang. Diam-diam. Kamu tidak bertanya. Kamu tidak memaksa. Tapi kamu hadir.

> Dan sejak itu, aku percaya… bahwa seseorang bisa mencintai… tanpa pernah menyebutkan cintanya.

Arka melipat kertas itu.

Lalu meletakkannya di atas bangku semen yang kosong.

Di atasnya ia taruh sisa bungkus roti yang sudah kaku.

Tak penting siapa yang menemukannya nanti.

Karena itu bukan untuk siapa-siapa. Itu hanya… untuk menjaga ingatan.

Sebelum pulang, Arka sempat menengok ke belakang.

Tak ada siapa-siapa.

Tapi langkahnya terasa lebih ringan.

Bukan karena kehilangan itu tak lagi menyakitkan.

Melainkan karena ia sudah belajar:

bahwa kehilangan juga bisa menjadi warisan.

Bab 5 – Tunggu, Nenek

Pagi datang tanpa warna.

Awan menggantung rendah, dan jalanan pasar basah oleh hujan semalam yang belum sempat mengering.

Udara masih lembap, dan bau sayur yang baru dibuka bercampur dengan aroma kain basah yang menggantung di lapak-lapak tenun tua.

Di tengah itu semua, Arka kembali berjalan.

Hari ini bukan untuk bernyanyi.

Hari ini bukan untuk mencari receh.

Hari ini, ia mencari jejak.

Sudah seminggu sejak ia meninggalkan secarik kardus dan bungkus roti di bangku semen tua itu.

Tak ada yang menyentuhnya.

Tapi di dada Arka, sesuatu mulai bergerak.

Ia ingin tahu.

Bukan sekadar siapa si nenek itu, tapi dari mana cinta tanpa syarat itu bisa tumbuh di dunia yang penuh bayar-membayar.

Ia menyusuri kembali jalur-jalur pasar yang pernah ia lewati dengan langkah yang lebih lambat, lebih dalam, seolah menelisik kisah yang tertinggal di sudut-sudut.

Di depan warung sayur, ia melihat ibu yang dulu menegurnya saat duduk di bangku.

“Ibu...” Arka menyapa pelan, “boleh tanya sesuatu?”

Ibu itu menoleh. “Oh, kamu lagi? Masih nyari si Mak Sari?”

Arka mengangguk. “Saya cuma ingin tahu... ada yang kenal dia? Atau... pernah cerita soal keluarganya?”

Ibu itu menarik napas. “Dia pendiam, Nak. Tapi saya pernah dengar... dulu dia punya anak perempuan. Tapi anaknya hilang entah ke mana. Nggak pernah datang. Nggak pernah kirim kabar.”

“Hilang?” suara Arka tercekat.

“Iya. Katanya kabur pas remaja. Habis ribut. Ada yang bilang... karena laki-laki. Ada yang bilang karena miskin. Saya nggak tahu pasti. Tapi sejak itu, si Mak Sari tinggal sendiri. Nggak pernah kawin lagi. Nggak pernah bicara soal siapa-siapa.”

Arka diam.

Angin pasar meniup pelan kerah bajunya. Tapi yang menggigil bukan tubuhnya melainkan dadanya.

Ia melangkah lebih jauh.

Ke arah lapak tua yang dulu digunakan si nenek bukan berjualan, tapi sekadar duduk diam menatap langit.

Di sana, ada seorang kakek penjual buku bekas.

“Pak... dulu pernah lihat Mak Sari duduk di sini?” tanya Arka.

Kakek itu mengangguk. “Setiap sore. Biasa dia bawa roti. Kadang dibagi ke anak kecil.”

“Dia pernah cerita soal anaknya?”

Kakek itu menatap langit. Lama.

Lalu menjawab, “Pernah. Sekali. Katanya dia masih simpan foto anaknya. Tapi udah buram. Di dompet, katanya. Dia selalu bilang... kalau suatu hari anaknya kembali, dia mau kasih roti hangat yang dia buat sendiri.”

“Roti hangat...?” Arka menelan ludah.

Kakek itu mengangguk. “Dia bilang... anaknya dulu suka roti isi kelapa. Makanya dia nggak pernah ganti isian. Selalu kelapa. Karena katanya... rasa itu yang bisa mengingatkan orang pada rumah.”

Arka diam.

Kakinya gemetar pelan.

Kata-kata si nenek di trotoar dulu terngiang kembali:

> "Itu bukan sisa. Itu untuk kamu."

"Nama itu seperti hujan, tapi tak semua sampai ke tanah yang tepat."

Dan untuk pertama kalinya, sebuah kemungkinan menyelinap ke dalam kepala Arka:

> Bagaimana jika aku… bukan hanya sekadar penerima roti?

Bagaimana jika aku adalah bagian dari masa lalu yang dia tunggu… tanpa tahu bahwa aku ada di depannya selama ini?

Hari itu, Arka tidak bermain gitar. Tidak juga pulang ke emperan.

Ia duduk lama di bangku batu pasar, memandangi keranjang kosong yang dulu sempat ada.

Di pikirannya, bayangan Mak Sari hadir bukan sebagai sosok asing…

Tapi sebagai seseorang yang telah memberi bentuk pada kehilangan dalam hidupnya, tanpa pernah menanyakan asal-muasal.

Hujan tak turun hari itu.

Langit tetap kelabu, tapi diam.

Seperti tahu bahwa hari ini bukan untuk mengguyur, melainkan untuk membuka sesuatu yang telah lama disimpan dalam laci memori yang berkarat.

Arka duduk di belakang pasar, di dekat pohon jambu besar yang pernah menjadi tempat terakhir ia melihat si nenek berjalan.

Ia memandangi tangannya sendiri kecil, kasar, dan bersisa bekas luka dari bertahun-tahun mengamen, mengais sisa.

Tapi yang kini membuatnya menggigil bukan angin sore. Melainkan kemungkinan yang mulai menggedor pikirannya: Bagaimana jika darahnya terikat pada perempuan tua itu? Bagaimana jika yang selama ini menyuapkan roti adalah... nenek kandungnya sendiri?

Arka menggali kembali ingatannya.

Ibunya meninggal saat ia masih berusia delapan.

Ia tak tahu pasti siapa ayahnya. Dan satu-satunya benda yang pernah ia simpan dari ibunya hanyalah: selembar foto robek, dan coretan puisi di belakangnya.

Ia mengeluarkannya dari saku dalam tas usang.

Foto itu sudah buram.

Tapi terlihat jelas dua perempuan yang satu memeluk bayi, dan satu lagi… berdiri di samping dengan senyum pelan.

Itu wajah yang samar…

Tapi Arka mengenalnya sekarang.

Itu wajah si nenek.

Tangannya bergetar.

Ia balikkan foto itu.

Tulisan di belakangnya sudah pudar separuh:

> "Untuk Ibu,

Terima kasih sudah tidak menyerah padaku,

Meski aku sempat lari jauh aku tahu aku selalu ingin pulang."

Tanpa nama. Tanpa tanggal.

Tapi tulisannya khas, dan Arka pernah melihat bentuk tulisan serupa pada label kecil di plastik roti yang dibungkus dengan hati-hati.

Huruf-huruf yang miring ke kiri, goyah tapi penuh perasaan.

Arka menelan napas dalam.

Ia berlari kembali ke pasar.

Ia mencari kakek penjual buku bekas yang tadi pagi bicara soal dompet si nenek.

Ia tiba tepat saat kakek itu hendak menutup lapak.

“Pak… dompet itu… Bapak pernah lihat?”

Kakek itu menoleh. “Dompet siapa?”

“Mak Sari. Yang Bapak bilang ada fotonya... anaknya.”

“Oh. Dompetnya dikasih ke Bu Lestari. Perawat panti itu. Saya denger katanya dia mau simpan buat jaga-jaga kalau ada keluarga yang datang.”

Sore itu juga, Arka kembali menyusuri jalan ke Panti Harapan Senja.

Langkahnya cepat. Hatinya setengah menolak, setengah berharap.

Sampai di sana, ia mengetuk pagar.

Dan perempuan muda yang kemarin menyambutnya keluar.

“Dek Arka?”

“Iya, Bu. Maaf... saya boleh lihat barang peninggalan Ibu yang kemarin?”

Wanita itu terdiam sebentar.

Lalu mempersilakan masuk.

Dari dalam laci loker kayu, perawat itu mengeluarkan satu dompet kain tua berwarna cokelat.

Resletingnya sudah berkarat.

Tapi di dalamnya, Arka melihatnya langsung:

Foto yang sama dengan yang ia punya.

Hanya saja, ini utuh.

Wajah si nenek terlihat jelas.

Dan bayi kecil di gendongannya... Arka tahu, itu dirinya.

Di balik foto itu, ada tulisan tangan yang masih terbaca:

> "Untuk cucuku yang entah di mana,

Kalau Tuhan izinkan kita bertemu lagi,

aku ingin menyuapkan sepotong roti hangat di hari hujan.”

Arka menutup mata.

Dan dunia berhenti sejenak.

Semua keheningan selama ini, semua bungkus roti yang datang tanpa suara, semua senyum yang tak pernah meminta kembali... kini menemukan rumahnya.

Semua rasa hangat itu bukan datang dari asing. Tapi dari darahnya sendiri.

Petugas panti berdiri di sampingnya.

“Jadi kamu cucunya?” bisiknya.

Arka mengangguk.

Air mata tak bisa ia tahan.

“Dan aku baru tahu setelah semuanya terlambat…”

Bab 6 – Roti Terakhir

Pagi itu, matahari tidak benar-benar muncul.

Langit seperti bingung harus memberi terang atau membiarkan mendung bertahan lebih lama.

Arka berdiri di depan gerbang Panti Harapan Senja dengan napas yang tidak stabil. Di tangannya, ia membawa roti buatannya sendiri resepinya ia karang dari ingatan: kelapa, gula merah, dan sedikit garam.

Bukan sempurna.

Tapi penuh maksud.

Ia ingin membalas sesuatu, meski hanya setetes, dari samudra kasih yang telah diberikan diam-diam.

Pintu pagar dibuka oleh Bu Lestari. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya berubah ketika melihat Arka datang pagi-pagi sekali.

"Kamu datang tepat waktu…" katanya pelan. “Ayo masuk. Beliau masih ada. Tapi ”

Arka tak membiarkan kalimat itu selesai. Ia tahu, tak ada yang bisa bertahan selamanya. Tapi setidaknya, ia datang tidak terlalu terlambat.

Kamar itu sama seperti sebelumnya. Dinding putih. Tempat tidur besi. Jendela kecil yang menghadap ke pohon jambu tua.

Namun tubuh yang terbaring di ranjang itu kini lebih tenang, lebih tipis dari ingatannya.

Mak Sari terpejam.

Napasnya teratur, namun lemah.

Selimut menutupi dada hingga bahu, dan di atas meja kecil, dompet cokelat tua masih tergeletak di tempat yang sama.

Arka duduk di sisi ranjang.

Ia tidak menangis. Tidak juga berbicara. Ia hanya membuka kantong plastik kecil dan mengeluarkan roti hangat yang masih beruap.

Roti pertama yang ia buat.

Roti yang ia dedikasikan untuk wanita yang menenun kasih lewat sepotong kelapa di tengah hujan.

Ia menggenggam tangan Mak Sari, lalu membisikkan pelan:

> "Aku tahu sekarang, Nek."

"Aku cucumu."

"Dan aku minta maaf karena butuh waktu lama untuk mengerti semuanya."

Tangan itu tidak bergerak. Tapi jari-jarinya terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Mungkin itu hanya perasaan.

Atau mungkin… cinta memang bisa bergerak bahkan ketika tubuh sudah terlalu lelah untuk bicara.

Arka mengambil sepotong kecil roti, lalu menyentuhkannya pelan ke bibir Mak Sari.

Ia tidak berharap bisa memberi makan secara harfiah.

Ia hanya ingin menyampaikan:

“Aku datang. Aku menerima. Dan aku mengingatmu.”

Lalu, perlahan… mata Mak Sari terbuka sedikit.

Tak lebar. Tapi cukup untuk melihat.

Mereka saling menatap dalam diam.

Tak ada kalimat.

Tak ada kata "cucu" atau "nenek" yang terucap.

Tapi dalam satu detik yang panjang itu, waktu seakan berhenti untuk memberi ruang pada pengakuan yang tak butuh suara.

Mak Sari mengangkat tangan pelan menyentuh pipi Arka.

Dan di sana, air mata pertama jatuh.

Bukan dari nenek itu.

Tapi dari Arka.

Bukan karena kehilangan.

Tapi karena akhirnya semesta memberinya jawaban sebelum semuanya terlambat.

Petugas panti berdiri di pintu, diam.

Tak ingin mengganggu.

Sampai akhirnya, napas Mak Sari memudar.

Tangan di pipi Arka melemah.

Dan senyum kecil terbentuk… sebelum kembali hilang dalam kedalaman yang tak bisa ditarik kembali.

> Hari itu, Arka menyaksikan kepergian.

Tapi bukan yang menyakitkan.

Melainkan yang… sudah menyampaikan apa yang perlu disampaikan.

Ia menatap roti yang tinggal setengah.

Lalu mengambil sisanya dan menggigitnya pelan.

Dan sambil mengunyah, ia menangis.

Malam turun tanpa suara.

Tidak ada hujan. Tidak ada petir.

Hanya angin pelan yang menyusuri gang-gang kota, membawa dingin ke balik jaket Arka.

Ia duduk di emperan toko tua tempat ia biasa tidur.

Tapi malam itu, ia tidak memejamkan mata.

Karena ada satu kenyataan yang tak bisa ia tinggalkan di panti tadi siang:

Mak Sari sudah tidak ada.

Tangannya masih gemetar.

Bungkus plastik kecil yang tadi ia bawa kini kosong, hanya menyisakan remah roti dan aroma samar kelapa.

Ia mendekapnya seperti kenangan rapuh, tapi enggan dilepas.

Di sebelahnya, gitar tua bersandar. Tapi tak ia sentuh.

Karena malam ini, tidak ada lagu yang bisa menyamai sunyi yang ia rasakan.

Arka menatap langit.

Di matanya, langit malam seperti perban besar yang menutup luka dunia.

Tapi tak bisa menjahit hatinya yang baru saja kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia miliki… sampai segalanya terlambat.

Ia mengingat momen tadi siang:

Mata yang terbuka sejenak.

Tangan yang menyentuh pipi.

Senyum kecil di akhir yang tak bersuara.

Dan dalam diam itu, ada pesan yang tetap tertinggal:

> “Kau tak harus tahu segalanya untuk bisa dicintai.

Kadang, cinta datang diam-diam, dan pergi tanpa permisi. Tapi ia meninggalkan bekas.”

Paginya, Arka kembali ke pasar.

Tidak untuk mencari uang.

Tidak juga untuk bermain gitar.

Ia hanya duduk di bangku semen dekat tiang listrik, tempat Mak Sari biasa meletakkan rotinya.

Dan di sana, ia membuka kotak plastik kecil. Di dalamnya:

Bungkus-bungkus roti yang ia simpan selama ini. Berwarna cokelat, kadang lembap, kadang berdebu. Tapi semuanya punya satu hal yang sama: bau kelapa, dan kehangatan yang datang tanpa janji.

Arka mengambil satu.

Lalu meletakkannya pelan di atas bangku.

Ia tak tahu untuk siapa. Tapi ia tahu:

kasih yang ia terima tidak boleh berakhir hanya sampai di dirinya.

Beberapa anak kecil lewat.

Salah satunya berhenti dan menatap roti itu.

“Ini boleh diambil?” tanyanya ragu.

Arka tersenyum. “Boleh. Tapi harus dimakan waktu hujan turun, ya.”

Anak itu mengangguk, lalu berlari pergi sambil tertawa kecil.

Dan Arka merasa: roti terakhir belum benar-benar menjadi yang terakhir.

> Kadang, warisan bukan tentang harta.

Tapi tentang rasa hangat yang tetap hidup bahkan setelah tangan yang memberinya sudah tiada.

Hari itu, Arka pulang ke emperan dengan satu keputusan di dadanya:

Ia akan belajar membuat roti.

Ia akan mengulang yang dulu diberikan diam-diam.

Dan suatu hari nanti, saat hujan turun, ia akan menjadi seseorang yang hadir…tanpa banyak bicara, tapi meninggalkan bekas.

Bab 7 – Foto di Dalam Kotak Kayu

Langkah Arka membawanya kembali ke gang sempit di belakang pasar. Tempat itu kini terasa berbeda. Udara di sana masih basah oleh lembap dan jamur. Tapi kesunyiannya kini tak sekadar sunyi ia seperti menyimpan gema yang tertinggal dari seseorang yang pernah tinggal, pernah duduk di bawah pohon jambu, dan pernah menunggu tanpa jaminan pertemuan.

Arka berdiri di depan rumah kayu itu. Rumah yang dulu disebut-sebut sebagai tempat tinggal Mak Sari. Pintunya sedikit terbuka. Catnya mengelupas. Jendelanya diganjal dengan kayu.

Tak ada siapa-siapa.

Tak ada suara.

Dan Arka tahu, jika ada cerita yang tertinggal, maka rumah inilah satu-satunya tempat yang bisa menjawabnya.

Ia masuk pelan.

Langkahnya ringan, seperti takut mengganggu sesuatu yang rapuh.

Di dalam, rumah itu kosong.

Hanya ada meja kecil di pojok ruangan, beberapa kain lusuh tergantung di dinding, dan satu rak kayu reot berisi toples kosong.

Di atas meja itulah ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya: sebuah kotak kayu, tak terlalu besar, tapi terlihat dijaga. Arka membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, benda-benda yang bagi orang lain mungkin tampak tak berarti. Tapi bagi Arka, itu seperti membuka laci waktu yang tak pernah disingkap.

Ada satu potongan baju bayi.

Ada satu ikat rambut berwarna merah muda.

Dan di dasar kotak:

sebuah foto usang, dibungkus kain putih tipis.

Ia mengangkatnya.

Foto itu berisi seorang wanita muda yang sedang tertawa sambil menggendong bayi dan berdiri di sampingnya: Mak Sari, lebih muda, lebih segar, tapi dengan senyum yang sama: samar, tidak penuh, tapi jujur.

Arka membalik foto itu.

Di belakangnya, tertulis tangan:

> “Untuk Ibu,

Jika aku tidak sempat pulang, tolong jaga dia.

Aku tahu aku belum pantas jadi ibu,

tapi dia pantas untuk dicintai.”

Tinta itu sudah mulai pudar, tapi masih bisa dibaca.

Arka memejamkan mata.

Tangannya menggenggam foto itu erat.

Dunia seperti diam di sekitarnya.

Dan ia tahu:

itulah tulisan tangan ibunya.

Ibunya… yang selama ini hanya hidup dalam fragmen-fragmen kenangan.

Ibunya… yang pernah meninggalkannya tanpa penjelasan.

Ibunya… yang rupanya pernah meminta seseorang untuk mencintai anaknya lebih dulu.

Arka duduk di lantai kayu itu, kotak di pangkuannya.

Lalu menangis.

Tidak meraung. Tidak meratap.

Hanya… menangis.

Karena cinta itu nyata.

Karena ia ternyata tidak pernah benar-benar sendiri.

> Mungkin tidak semua anak lahir dalam pelukan.

Tapi ada yang tetap tumbuh karena cinta tak bersuara yang bekerja diam-diam…

dalam bentuk sepotong roti hangat… dan tangan yang tak pernah menuntut balasan.

Sore menjelang.

Cahaya matahari masuk dari celah jendela rusak.

Dan Arka berdiri membawa kotak kayu itu di dadanya. Ia tidak tahu harus menaruhnya di mana. Tapi ia tahu, isinya akan tinggal di tempat paling dalam: hati yang kini tidak lagi kosong.

Malam itu, angin berembus pelan dari celah kayu rumah tua yang telah ditinggalkan. Langit penuh bintang, tapi Arka tak sedang menatap langit. Ia duduk bersila di lantai yang berderit, dengan selembar kertas di pangkuan dan sisa cahaya dari lampu jalan menembus jendela. Di sebelahnya, kotak kayu peninggalan Mak Sari terbuka. Isi-isinya tersebar pelan di hadapannya seperti mozaik kehidupan: Baju bayi, ikat rambut, foto lusuh, dan secarik tulisan tangan yang hampir hilang.

Arka meminjam pulpen dari penjaga warung depan gang tadi siang.

Ia tak tahu harus menulis kepada siapa.

Tapi jemarinya ingin bicara.

Dan malam ini, hatinya terlalu penuh untuk terus diam.

Ia mulai menulis.

> Untuk Ibu,

Aku tidak tahu kenapa dulu Ibu pergi.

Aku juga tidak tahu apakah Ibu pernah menyesal atau tidak.

Tapi hari ini, aku tahu bahwa Ibu pernah menitipkan aku…

Dan yang menerima titipan itu tidak pernah lupa.

Tidak pernah menyalahkanmu.

Tidak pernah menyalahkanku.

Dia memberiku roti hangat setiap hujan turun.

Dia tidak pernah tanya namaku.

Tapi dia selalu hadir.

Dan sekarang aku tahu…

Aku dicintai oleh seseorang yang diam-diam mengobati luka yang bahkan aku tidak tahu aku miliki.

Terima kasih, Bu.

Karena meski tidak ada pelukanmu,

aku tumbuh dari cinta Ibu yang diam-diam dikirim lewat tangan lain.

Dan kini, aku ingin belajar mencintai seperti itu:

Tanpa banyak kata. Tapi cukup dalam untuk tinggal selamanya.

Tangan Arka gemetar.

Kertas itu basah di beberapa bagian oleh air mata yang jatuh diam-diam.

Ia tidak menangis dengan suara. Tapi tiap kalimat yang ia tulis seperti membuka ruang kecil dalam dadanya yang selama ini tertutup rapat.

Saat surat itu selesai, ia melipatnya perlahan.

Lalu menyelipkannya ke dalam kotak kayu di bawah foto Mak Sari dan ibunya.

Ia tak akan mengirimnya.

Tapi ia tahu: cinta tidak butuh alamat. Ia sampai ke hati yang memang dituju.

Malam makin larut.

Angin membuat daun jambu di luar jendela berbisik-bisik.

Dan di lantai rumah tua itu, seorang anak yang tumbuh tanpa tahu siapa-siapa, kini mengerti siapa yang pernah menunggunya diam-diam.

> Tidak semua surat perlu dibalas.

Tapi setiap cinta yang dikirim dengan tulus... selalu menemukan jalan pulangnya.

Bab 8 – Kisah yang Terkubur

Langkah Arka kembali menyusuri jalan menuju Panti Harapan Senja.

Udara hari itu lembap, meski matahari tampak malas bersinar.

Ia datang bukan untuk mencari siapa-siapa, melainkan untuk menerima sisa cinta yang mungkin ditinggalkan.

Sesuatu yang belum sempat sampai.

Sesuatu yang tertunda oleh waktu.

Sesuatu yang bisa jadi… akan mengubah seluruh pandangannya terhadap kehilangan.

Saat sampai di gerbang panti, Bu Lestari sudah menunggunya.

"Aku tahu kamu akan kembali," katanya sambil tersenyum tipis.

"Ada sesuatu yang memang ditinggalkan untukmu. Disimpan lama di laci meja beliau. Kami baru temukan kemarin, waktu membersihkan kamarnya."

Ia menyerahkan amplop lusuh, dengan tulisan tangan yang goyah di permukaannya:

> Untuk anak yang pernah aku beri roti hangat di hari hujan.

(Dan yang mungkin adalah cucuku sendiri.)

Tangan Arka gemetar saat menerima amplop itu.

Ia menunduk. Tak mampu langsung membukanya.

Bibirnya ingin bicara, tapi suara tak keluar.

Hanya matanya yang menyimpan gelombang emosi yang pelan-pelan naik seperti air pasang.

Ia mengucap terima kasih pelan.

Lalu duduk di bangku depan halaman panti.

Angin pelan meniup rambutnya saat ia mulai membuka lembaran surat itu.

Isi surat:

> Nak,

Entah kamu membaca ini saat aku masih di dunia, atau setelah aku tak bisa lagi menyuapkan roti ke tanganmu yang dingin di trotoar itu...

Aku ingin kau tahu… aku tahu siapa kamu, sejak pertama kali melihatmu.

Tatapan matamu. Cara kamu diam. Cara kamu menyentuh bungkus roti dengan hati-hati, seolah takut itu akan menghilang.

Itu semua adalah bagian dari ibumu.

Anak perempuan yang pernah aku cintai, dan pernah juga membuatku marah.

Tapi pada akhirnya, aku tahu: dia tak pernah meninggalkanmu karena benci.

Dia hanya terlalu kecil untuk menjadi dewasa dalam dunia yang terlalu kejam.

Dia menitipkanmu dalam hidup, tapi dunia membawamu jauh.

Dan ketika aku menemuimu kembali di bawah hujan, dengan gitar tua dan suara yang goyah aku tahu, hatiku tidak keliru.

Tapi aku memilih diam. Bukan karena aku takut, tapi karena aku ingin kau mengenal kasih… tanpa syarat, tanpa beban darah.

Aku ingin kau merasa cukup… meski dunia mengajarkanmu untuk terus meminta.

Terima kasih sudah datang.

Terima kasih sudah menatapku walau tak pernah tahu siapa aku.

Dan jika aku tidak sempat mengatakan langsung...

Kamulah cucuku.

Dan aku mencintaimu, jauh sebelum kau tahu caraku mencintaimu.

Air mata Arka jatuh. Tapi ia tak berusaha menyekanya.

Ia membiarkannya turun, mengalir seperti hujan yang selalu datang tanpa peringatan.

Dan di hatinya, ia tahu:

yang tertinggal kini bukan luka, tapi cinta yang telah ditanam dalam didiam dan dibiarkan tumbuh sendiri.

Ia memeluk surat itu ke dada.

Lalu menatap langit.

> “Terima kasih, Nek.

Kau menjawab semua pertanyaanku.

Bahkan saat kau sudah pergi.”

Surat itu dilipat Arka pelan-pelan, seolah setiap lipatan adalah doa yang harus disempurnakan.

Ia menyelipkannya ke saku dalam jaket bukan karena takut hilang, tapi karena ingin menjaganya sedekat mungkin dengan jantungnya.

Hari itu, ia tak segera pulang.

Ia duduk di taman kecil samping panti, tempat bunga-bunga liar tumbuh tanpa rapi tapi tetap bertahan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arka merasa cukup.

Ia tidak punya rumah,

tidak punya orang tua,

tidak tahu siapa ayahnya,

dan belum tahu akan makan apa besok.

Tapi ia punya satu hal yang selama ini tak disadarinya telah tumbuh dalam dirinya:

kasih.

Bukan yang berisik.

Bukan yang penuh peluk dan kata.

Melainkan yang datang dalam bentuk roti hangat, kehadiran sunyi, dan surat yang ditulis dengan tinta air mata.

Arka memandangi tangannya sendiri.

Dulu ia pikir tangan ini hanya bisa menggenggam receh dan memetik senar gitar tua.

Tapi hari ini, ia percaya:

tangan ini bisa menggenggam warisan.

Bukan harta.

Tapi cara mencintai dengan benar meski tanpa suara, meski tanpa nama.

Sore itu, Arka kembali ke rumah Mak Sari yang telah kosong. Ia membuka kotak kayu untuk kedua kalinya. Kali ini bukan dengan luka, tapi dengan niat.

Ia menyusun ulang isinya.

Lalu meletakkan surat yang baru ia terima di atas semua benda lain.

Ia duduk di lantai kayu rumah itu.

Tidak menangis. Tidak tersedu.

Tapi diam.

Dan dari diam itu, tumbuh keyakinan:

> Ia akan melanjutkan yang ditinggalkan.

Ia akan menjadi apa yang selama ini ia cari.

Ia akan menyalakan kasih dalam bentuk yang sederhana karena kini ia tahu, yang sederhana bisa tinggal paling lama.

Malamnya, ia menuliskan satu kalimat pada selembar kertas kecil dan menempelkannya di dinding kayu:

> “Di rumah ini, cinta tidak pernah meminta balasan.”

Bab 9 – Akhir dari Segalanya

Pagi itu, langit bersih.

Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, hujan tak turun.

Namun Arka merasa… tetap ada yang mengalir dalam dirinya—bukan air, melainkan tekad yang lahir dari kehilangan.

Ia berjalan menyusuri gang belakang pasar dengan langkah yang ringan.

Bukan karena beban hidupnya hilang, melainkan karena ia tahu ke mana ia akan melangkah. Gitar tuanya kini tak hanya alat bertahan hidup.

Ia adalah saksi.

Ia adalah suara dari semua luka yang pernah dipetik dalam diam.

Dan kotak plastik kecil yang dulu ia letakkan untuk receh kini menyimpan sesuatu yang lebih bernilai:

bungkus roti kosong dan selembar surat peninggalan Mak Sari.

Benda-benda itu tak menghasilkan uang. Tapi merekalah yang membentuk siapa Arka hari ini.

Hari itu, ia duduk kembali di tempat biasa: trotoar dekat tiang listrik,

tempat pertama kali ia menerima kasih dari seorang asing yang ternyata darahnya sendiri.

Tapi kali ini, ia tidak duduk untuk menunggu.

Ia duduk untuk memberi.

Di sampingnya, ada keranjang kecil yang ia temukan di rumah Mak Sari.

Tidak besar. Tapi cukup untuk menyimpan lima roti hangat yang ia buat semalam dengan bantuan Bu Lestari dan resep dari ingatannya.

Ia menyusun roti-roti itu perlahan.

Membungkusnya satu per satu dengan kertas cokelat yang ia beli dari sisa uang ngamen.

Dan di masing-masing bungkus, ia menulis tangan pelan:

> “Untuk kamu yang mungkin sedang merasa tak dilihat.”

Anak-anak kecil mulai lewat.

Beberapa menoleh, bingung melihat Arka tidak bernyanyi.

Ada yang berani bertanya, “Hari ini nggak main gitar, Kak?”

Arka tersenyum. “Hari ini aku mau kasih roti. Mau coba ganti lagu dengan hangat.”

Anak itu tertawa kecil.

Lalu mengambil satu bungkus dan duduk di sampingnya.

Tak berkata-kata.

Tapi matanya menatap roti itu dengan cara yang pernah Arka lakukan dulu.

Orang-orang dewasa lewat.

Ada yang heran. Ada yang acuh.

Tapi Arka tidak peduli.

Karena ia tahu:

makna tak harus dimengerti semua orang. Cukup satu orang yang bisa merasakan, dan kasih itu sudah hidup kembali.

Sore hari, roti di keranjangnya habis.

Tapi hatinya penuh.

Ia duduk sendirian sambil menatap langit jingga.

Bukan untuk menunggu hujan,

melainkan untuk menghormati seseorang yang dulu selalu datang bersama hujan,

dan meninggalkan jejaknya dalam hati yang dulu kosong.

> “Akhir dari segalanya,” pikir Arka,

“ternyata bukan akhir sama sekali. Tapi jalan pulang menuju sesuatu yang belum pernah aku punya: arah.”

Malam turun dengan pelan.

Langit terbuka perlahan, seperti lembar terakhir buku yang nyaris selesai.

Dan Arka masih duduk di pinggir jalan tempat dulu ia menunggu, lalu ditunggu, lalu kini… ia yang menunggu dirinya sendiri.

Tidak ada roti tersisa.

Tidak ada uang lebih.

Tapi ia merasa kenyang oleh sesuatu yang tak bisa dihitung.

Ia kenyang oleh arah.

Angin malam menyentuh pipinya.

Bersama itu, datang kenangan tentang suara langkah pelan, tentang tangan keriput yang menyodorkan roti hangat, dan tentang mata tua yang mengenalnya jauh sebelum ia sadar bahwa ia dikenal.

Arka menggenggam sisa kertas bungkus roti yang tadi pagi dipegang oleh bocah kecil. Lalu ia menoleh ke langit dan berkata, lirih tapi pasti:

> “Nek… semua yang kamu ajarkan tanpa kata, kini aku pahami.”

“Kamu tidak pernah benar-benar pergi. Kamu tinggal dalam tangan-tangan yang kuberi roti hari ini.”

Ia memikirkan satu hal:

dulu ia percaya akhir adalah kehilangan.

Tapi malam ini, ia tahu bahwa akhir juga bisa berarti:

kita cukup untuk berhenti mengejar, dan mulai membagi.

Langkah kaki terdengar dari ujung gang.

Seorang ibu lewat dengan anaknya, menggandeng plastik belanja dan melirik Arka yang masih duduk dengan gitar.

“Kamu ngamen?” tanya ibu itu.

Arka menggeleng sambil tersenyum kecil.

“Dulu iya. Sekarang... aku cuma duduk, menunggu orang-orang yang lupa bahwa mereka pantas menerima sesuatu.”

Ibu itu mengerutkan kening, lalu tersenyum samar.

“Kalau gitu, jaga baik-baik tempat dudukmu. Dunia jarang punya ruang seperti itu.”

Arka menatap tempat ia duduki bangku semen tua, pinggiran tiang lampu, dan bekas tempias hujan.

Dan ia sadar:

tempat itu memang bukan istimewa bagi dunia, tapi menjadi tempat yang menyelamatkannya dari kehampaan.

Sebelum pulang, ia menulis lagi satu catatan kecil, menempelkannya di tiang seperti kemarin:

> “Jika kamu membaca ini dan sedang merasa tidak diinginkan,

duduklah di sini sejenak.

Di tempat ini, aku juga pernah merasa seperti kamu

lalu seseorang datang, memberi sepotong roti, dan membuatku percaya kembali.”

Ia berdiri, memasukkan gitar ke punggungnya, dan melangkah pelan.

Tidak tahu ke mana pasti, tapi kini bukan penting soal tujuan.

Yang penting adalah ia tak lagi berjalan sendiri,

karena kasih itu tetap tinggal… bahkan setelah tubuhnya tiada.

> Tidak semua yang pergi menghilang.

Beberapa tinggal... dalam cara kita mencintai yang baru.

Bab 10 – Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan

Gerimis kembali turun sore itu.

Langit mengabu lembut, seolah tak ingin mengejutkan siapa pun.

Dan dari balik trotoar yang mulai lembap, muncul seorang pemuda dengan gitar tergantung di punggung dan keranjang rotan kecil di tangannya.

Namanya Arka.

Dulu ia pengamen.

Lalu anak jalanan.

Lalu cucu dari seseorang yang mengajarinya bahwa kasih tak harus bersuara untuk terasa.

Hari itu, roti yang ia bawa masih hangat.

Ia tidak menjualnya.

Tidak menukarnya.

Ia hanya membagikannya… kepada siapa pun yang bersedia berhenti sejenak di tengah kesibukan dan rasa sepi.

Seorang anak kecil lewat, basah kuyup.

Arka menghampirinya dan memberikan satu bungkus roti.

“Untuk kamu,” katanya.

Anak itu menatapnya bingung. “Aku gak punya uang.”

Arka tersenyum.

“Ini bukan untuk dijual. Ini hanya… untuk kamu. Dari seseorang yang dulu pernah memberiku hal yang sama.”

Tidak semua orang menerima.

Tidak semua orang berhenti.

Tapi itu tidak membuat Arka berhenti memberi.

Karena ia tahu:

yang penting bukan jumlah tangan yang menerima,

tapi keberanian satu tangan untuk terus memberi.

Di salah satu sudut pasar, seorang pedagang memperhatikan Arka membagikan roti.

“Itu anak siapa sih?” gumamnya.

Temannya menjawab, “Itu Arka. Yang dulu suka ngamen. Sekarang dia suka bagi-bagi roti kalau hujan turun.”

“Dari mana dia dapat roti?”

“Katanya bikin sendiri. Ada yang bilang… itu warisan dari neneknya. Yang dulu suka kasih roti ke anak-anak jalanan.”

Pedagang itu diam.

Lalu menatap ke arah Arka yang kini duduk kembali di bangku tua di bawah tiang lampu.

Sendirian. Tapi tak lagi tampak sendiri.

Arka membuka bungkus terakhirnya. Ia memakannya perlahan. Mengingat tiap rasa, tiap gigitan, tiap kenangan. Dan sambil mengunyah, ia menatap langit yang menangis kecil.

> “Terima kasih, Nek. Hari ini aku meneruskanmu.

Bukan dengan kata-kata, tapi dengan roti hangat yang kubuat dari rasa yang kau tanam dalam diam.”

Langit belum berhenti menangis.

Tapi kali ini, Arka tak lagi menunggu hujan reda.

Ia tahu, ada rumah di balik rintik bukan dari batu dan genteng, melainkan dari kenangan dan kasih yang tidak bisa dihancurkan oleh waktu.

Beberapa anak duduk bersila di depannya.

Bukan menonton pertunjukan.

Bukan menunggu uang kembalian.

Mereka hanya duduk… dan makan roti bersama.

Roti hangat yang dibuat dari resep yang tidak tertulis,

tapi diwariskan lewat pengorbanan sunyi dan cinta yang tidak pernah menuntut balasan.

Arka menatap mereka satu per satu.

Tak semua tersenyum.

Beberapa masih malu.

Tapi ia tahu:

diam mereka lebih jujur dari tepuk tangan. Karena Arka pernah berada di tempat itu. Ia pernah menjadi anak yang tidak tahu harus percaya pada siapa.

Ia pernah menjadi seseorang yang hanya berharap dunia tidak sekejam yang tampak.

Dan sekarang,

ia menjadi seseorang yang menghadirkan kasih, bukan untuk dikenang,

tetapi agar tidak ada lagi yang harus merasa seterasing itu.

Satu bocah perempuan berambut kusut mendekatinya.

“Kak Arka... roti ini dari siapa?”

Arka tersenyum, menatap langit yang mulai menyisakan cahaya senja di antara awan.

“Dari seseorang yang dulu memberi aku satu ketika aku lapar, dan dunia sedang lupa padaku.”

Anak itu mengangguk. Lalu bertanya lagi, “Dia masih hidup?”

Arka menatap jauh ke depan.

Udara dingin menampar pipinya pelan.

Ia menggeleng perlahan. Tapi senyumnya tidak pudar.

“Dia masih hidup… di setiap orang yang masih tahu caranya memberi.”

> Dan di tepi hujan sore itu,

Arka menyadari: rumah bukan tempat tinggal.

Rumah adalah perasaan… bahwa kita dicintai, bahkan saat kita tidak bisa menyebut siapa yang mencintai kita.

Ia menatap bangku tua di sampingnya,

bangku yang dulu kosong, lalu berisi,

lalu kembali kosong…

tapi tidak pernah benar-benar hampa.

Karena di sana,

Mak Sari pernah duduk, tanpa nama, tanpa permintaan, tapi penuh makna.

Arka menutup matanya sejenak, membiarkan hujan menyentuh keningnya. Lalu ia membisikkan satu kalimat terakhir kepada angin:

> “Sepotong roti hangat di ujung hujan bisa mengubah hidup seseorang.

Dulu itu aku.

Sekarang, biarkan aku menjadi roti itu bagi yang lain.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Bronze
Rindu Gaharu
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Hal Yang Lucu
Cassandra Reina
Cerpen
Balada Orang-Orang Penguburan
Haryati SR
Cerpen
Bronze
KE MANA SI MBAK?
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
Bintang Kecil di Jendela
Novita Ledo
Cerpen
Tokoh Saya yang Bernama Marya
Haryati SR
Cerpen
Bronze
Andai Ayah Tak Begitu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Larung Layang
Eva Maulidiyah BL
Cerpen
Bronze
KEPALA IKAN
Rara3
Cerpen
Bronze
Siapa Lagi yang Aku Miliki?
Juli Prasetya
Cerpen
Bronze
Mbah Rus
Bonari Nabonenar
Rekomendasi
Cerpen
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan
Cerpen
Tak Layak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
BISU
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Terlambat
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Tak Terdengar
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Muhamad Irfan
Novel
Harapan
Muhamad Irfan