Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Gerimis dan Lagu Jalanan
Hujan turun seperti biasa tidak deras, tidak juga reda. Gerimis yang menggantung di ujung senja itu seperti menyuarakan sesuatu yang tak bisa diucapkan oleh manusia. Langit menggigil dalam diam, dan trotoar kota mulai basah oleh langkah-langkah terburu.
Di pojok pasar tua, di dekat jembatan kecil yang airnya cokelat pekat, seorang anak lelaki berdiri memeluk gitar kecilnya yang sudah keropos di pinggir. Jaketnya tipis, robek di lengan kanan. Sepatunya tak sepasang. Tapi dia berdiri di sana, menyanyikan lagu yang tak pernah selesai.
Namanya Arka. Usianya belum genap lima belas. Rambutnya tipis karena sering terpapar matahari dan hujan. Suaranya kecil, tapi jujur. Ia tidak meminta uang. Ia hanya menyanyi. Jika ada yang memberi, itu bonus.
Hari itu, seperti banyak hari lain sebelumnya, orang-orang berlalu. Beberapa menoleh. Banyak yang tidak. Satu dua melempar receh ke kotak plastik kecil yang ia letakkan di depannya.
Namun hari itu, sesuatu datang... dari arah yang tak pernah ia perkirakan.
Seorang wanita tua. Tubuhnya ringkih, matanya kecil tapi tajam. Ia memakai baju abu-abu kusam, kerudung lusuh, dan mendorong keranjang rotan kecil berisi roti-roti yang dibungkus kertas cokelat. Ia berhenti tak jauh dari Arka.
Mereka tidak saling bicara.
Tak ada sapaan.
Tapi mata Arka menangkap sepasang tangan yang gemetar mengambil sebungkus roti dari keranjang dan meletakkannya pelan di atas lapak gitar Arka.
“Untuk kamu,” ucap si nenek, lirih.
Arka mendongak. Ia ingin bertanya, tapi suaranya tertelan air hujan.
Dan si nenek berjalan lagi, tanpa menoleh.
Roti itu masih hangat. Bungkusnya sedikit lembap karena udara. Aromanya sederhana: roti tawar isi kelapa parut. Tapi bagi Arka, rasanya seperti doa yang tiba-tiba turun dari langit mendung.
Ia tidak langsung memakannya.
Ia menatapnya lama, seperti takut kalau ini cuma mimpi.
Lalu, dengan pelan, ia duduk bersila dan menggigit setengahnya.
Hujan terus turun. Tapi dada Arka hangat untuk pertama kalinya sejak ia turun ke jalan tiga tahun lalu.
Malamnya, Arka tidur di emperan toko tua, dibalut jaket yang sudah lama tidak layak disebut jaket. Tapi perutnya tidak kosong. Di sampingnya, plastik pembungkus roti itu ia simpan seperti surat penting.
Ia tidak tahu siapa nenek itu. Tidak tahu nama. Tidak tahu rumahnya. Tapi Arka tahu satu hal:
Wanita itu melihatnya.
Dan itu sudah cukup membuatnya tidak merasa sendirian malam itu.
Keesokan harinya, Arka kembali ke tempat yang sama. Masih gerimis. Masih sepi.
Ia menyanyi lagu yang sama, dengan suara yang sedikit lebih penuh. Tapi si nenek tidak muncul. Hanya suara motor, langkah kaki, dan deru pasar yang sudah mulai sibuk sejak matahari baru bangkit separuh.
Ia menunggu. Tapi yang datang hanya embusan angin.
Hari ketiga, barulah ia melihatnya lagi. Masih dengan keranjang rotan. Masih dengan langkah lambat. Tapi kali ini si nenek berhenti lebih dekat. Ia duduk sebentar di bangku kecil dekat tiang listrik. Arka berhenti menyanyi. Ia ingin bicara.
“Nek…” suaranya gugup.
Si nenek menoleh, matanya menyipit.
Arka berdiri. “Terima kasih… yang kemarin. Rotinya enak.”
Nenek itu mengangguk. Lalu, seperti sebelumnya, ia mengambil satu roti dan memberikannya kepada Arka tanpa banyak kata.
“Kalau kamu lapar, terima saja. Itu bukan sisa. Itu untuk kamu.”
Arka tak menjawab. Ia hanya mengangguk, seperti seseorang yang baru pertama kali diberi izin untuk merasa layak mendapatkan sesuatu.
Hari itu, Arka menyanyi sedikit lebih lama.
Ia pulang lebih malam. Tapi ia tak merasa sedingin biasanya.
Dan di kantong celana kirinya, bungkus roti itu ia lipat rapi.
Bukan karena ingin dimakan lagi, tapi karena ia ingin menyimpannya.
Sebagai kenangan.
Sebagai awal.
Hujan seperti memiliki jadwal sendiri. Ia datang tak pernah tepat waktu, tapi selalu pada saat yang sama saat langit ingin menangis, dan bumi terlalu keras kepala untuk mendengarkan.
Bagi Arka, hujan kini punya makna baru. Ia tak lagi sekadar musim yang membasahi rambut dan merusak suara gitar. Hujan telah menjadi penanda bahwa seorang nenek berkeranjang rotan mungkin akan ...