Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kepulan asap membumbung tinggi. Tangan penuh kerutan itu dengan cekatan membuat masakan terenak sebisanya. Aku memperhatikannya dengan seksama, makanan yang ia buat bukan masakan yang mahal, tetapi setiap prosesnya terdapat rasa cinta dan kasih yang besar.
"Anak Ibu paling suka masakan ini," ucapnya.
Aku hanya tersenyum getir. Disambung dengan anggukan kecil, sebab ia menoleh ke arahku dengan tatapan penuh harap. Ibu Arimbi, hampir 5 tahun menjadi pasienku.
"Nak Laras suka masakan apa? Biar nanti Ibu buatkan juga." Kalimat itu muncul setiap hari, tetapi Ibu Arimbi tidak pernah benar-benar membuatkan untukku.
"Tidak usah Bu, Laras sudah bisa masak sendiri," jawabku.
"Jadi Nak Laras tidak mau mencoba masakan, Ibu?"
Pertanyaan itu selalu keluar dari mulutnya. Mau tidak mau aku harus menjawab dengan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
"Boleh Bu, buatkan aku tumis kangkung!"
Ibu Arimbi tersenyum puas, ia seperti memenangkan perlombaan yang bahkan tidak ada perlawanan.
"Besok Ibu buatkan ya! Kalau sekarang tidak bisa, nanti Kia marah jika masakan ini datang terlambat,"
Aku terus saja mengiyakan semua ucapan Bu Arimbi. Setelah ini pasti ia akan mengajakku untuk pergi.
"Sudah selesai, ayo kita ke rumah sakit. Kasihan Kia menunggu terlalu lama."
Aku dan Bu Arimbi pergi dengan menaiki sepeda motor. Sepanjang perjalanan Bu Arimbi selalu bercerita tentang Kia, anak semata wayangnya. Sepertinya Kia adalah separuh jiwa dalam hidupnya.
"Kia pasti suka masakan ini kan, Nak Laras?" Aku mengangguk.
Sesampainya di rumah sakit, Bu Arimbi bergegas menuju lantai 2 di mana Kia dirawat. Ia tak henti-hentinya merapikan bekal bawaannya. Lagi-lagi aku hanya menatap dengan penuh kekhawatiran, ‘Apa Bu Arimbi bisa sembuh dalam waktu dekat?’ batinku.
***
Suara derap langkah terdengar mengalun. Diikuti munculnya para perawat yang langkahnya terburu-buru, napas mereka tersengal. Wajahnya tegang, mata sesekali melirik ke arah ujung koridor. Tak lama terdengar suara pecahan kaca.
"Laras, Pak Jaya kenapa lagi?" Dio hampir tersulut emosi.
"Maafkan aku."
Aku segera membersihkan serpihan kaca yang berserakan di lantai. Sedangkan Dio dan perawat lainnya ikut membantu menenangkan Pak Jaya. Bulir bening menetes dari sudut mataku. Aku hanya meninggalkan Pak Jaya untuk mengambil obat sebentar, tetapi mengapa Pak Jaya bisa semarah ini menghancurkan hampir semuanya.
"Sini Ibu bantu."
Aku mendongakkan kepala terlihat seorang Ibu dengan tatapan teduh namun kosong, sedangkan di tangan kanannya ada sebuah kotak bekal. Ia jongkok di depanku dan ikut membersihkan kaca-kaca itu. Aku diam menatapnya heran ia terlihat sehat bahkan tidak ada tanda-tanda gangguan mental.
"Sudah selesai," ucapannya menyadarkanku dari lamunan. Ibu itu meninggalkanku begitu saja, bahkan aku belum berterimakasih padanya.
"Nanti aku akan tanya Dio," gumamku.
Siapa dia? Seingatku, dia bukan pasien di sini. Tapi pertemuan di lorong itu mengubah banyak hal dalam hidupku.
***
Bu Arimbi berjalan mendahuluiku. Langkahnya terlihat panjang. Aku segera menyusul takut jika tertinggal jejaknya. Sampai di depan pintu ruang rawat itu, langkah Bu Arimbi melambat. Ia mengetuk pelan, lalu membuka pintu seolah-olah Kia masih terbaring di sana.
“Kia… Ibu datang. Ibu bawa tumis kesukaanmu,” ucapnya, sambil meletakkan kotak bekal di atas meja kecil di sudut ruangan.
Aku berdiri di ambang pintu, membiarkan Bu Arimbi berbicara sendirian. Ruangan itu kosong, hanya ranjang yang sudah rapi, selimut terlipat, dan bau antiseptik yang menusuk hidung.
Tapi di mata Bu Arimbi, aku tahu ruangan itu masih penuh. Penuh tawa, penuh keluhan manja, penuh suara napas yang kini tak ada lagi. Aku ingin mengingatkan, tetapi lidahku kelu. Ada rasa takut, jika aku yang menghapus bayangan itu dari matanya, berarti aku jugalah yang memutuskan sisa-sisa kebahagiaannya.
Maka aku hanya ikut tersenyum, dan ikut berpura-pura melihat Kia di sudut ranjang.
“Bu, Kia pasti senang sekali,” kataku pelan.
Bu Arimbi mengusap matanya. Aku yakin ia tidak menyadari semuanya.
Setelah 30 menit berlalu Bu Arimbi akhirnya menghampiriku. Ia menarik tanganku untuk menjauh dari kamar itu. Aku heran melihat sikapnya.
"Kita pulang, Kia sudah tidur."
Aku mengangguk, tak pernah sekalipun menolak permintaannya. Dalam perjalanan pulang Bu Arimbi selalu menyempatkan diri untuk berbelanja sayur yang ia gunakan untuk membuatkan bekal Kia.
"Jangan lupa mampir ke pasar," titahnya, aku hanya mengangguk paham.
Kutepikan motor. Pasar ini, sedikit menganggu pikiran. Peristiwa itu kembali berputar di kepala. Jalanan yang dikerumuni banyak orang dan aku berada di tengah-tengah mereka. Menangis, sedangkan suara ambulan memekakkan telinga. Kepalaku berdenyut hebat, penglihatanku mulai buram dan gelap.
Aku mengerjapkan mata, lampu neon itu menyilaukan mata. Bu Arimbi duduk di tepi ranjang. Ia mengenggam tanganku, erat sekali, aku merindukan kehangatan ini. Tanpa terasa air mataku menetes. Bu Arimbi sadar dan langsung memeluk diriku.
" Maafkan ibu."
Aku semakin terisak dalam pelukan nya. Aku butuh seorang ibu, Tuhan!
Aku sudah menganggap ibu Arimbi sebagai ibu kandungku sendiri. Semenjak ia dibuang oleh keluarganya.
***
Arimbi, 18 Maret 1983.
Aku membuka riwayat para pasien. Aku menemukan sesuatu yang selama ini kucari. Data tentang ibu itu, ternyata ia pasien lama. Mengapa aku baru melihat dirinya. Setelah puas melihat tentang dirinya, aku pergi ke kamar dimana ia dirawat. Bu Arimbi terlihat sedang duduk di tepi ranjang, memegang sebuah kotak bekal. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, namun yang kutahu ia sedang menangis.
Aku menghampirinya. Kuusap pelan punggung Bu Arimbi, benar saja ia sedang menangis.
"Ibu kenapa?" tanyaku pelan
"Kia... Bagaimana keadaannya sekarang?"
Aku mengangguk paham, ternyata Bu Arimbi terkena gangguan stres pasca trauma (PTSD). Aku membaca semua tentang dirinya, ia ibu satu anak dan … hanya itu. Tidak ada selain tanggal dan bulan lahirnya. Bahkan tidak tercantum alamat rumahnya. Aku mengusap pelan punggungnya.
Saat penjengukan keluarga pasien pun, tidak ada yang mencari keberadaan Bu Arimbi. Setelah satu tahun aku bekerja disini aku mendengar kabar bahwa Ibu Arimbi akan dipulangkan ke rumahnya. Aku sempat bahagia mendengar itu, namun aku salah besar Bu Arimbi dipulangkan bukan karena ia telah sembuh tetapi tidak ada yang membayar pengobatannya selama ini.
Aku ditugaskan untuk mengantarkan Bu Arimbi pulang. Mobil rumah sakit berhenti tepat di rumah anyaman bambu. Terlihat usang dan tak ada tanda-tanda berpenghuni. Aku membuka pintu, namun baru saja ingin melangkah Bu Arimbi menangis histeris. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, ingin kubawa Bu Arimbi ke rumah sakit lagi namun pihak mereka sudah tidak mau. Sejak saat itu, Bu Arimbi hidup denganku walaupun ia tak sepenuhnya tahu siapa diriku.
***
Aku kehilangan Ibuku saat kami berbelanja di pasar. Ibuku korban tabrak lari. Hingga saat ini aku tidak bisa melupakan semuanya. Bahkan rasa itu bisa muncul kapan pun walaupun aku tak siap.
Bu Arimbi mengajakku ke taman, tempatnya dan Kia sering menghabiskan waktu bersama. Hari ini aku ingin mengungkapkan semuanya, Bu Arimbi tidak bisa hidup seperti ini. Ia harus sembuh dan memulai kembali hidupnya tanpa ada bayang-bayang menghantui. Aku mengambil handphone yang tergeletak, membukanya dan mencari berita 5 tahun lalu, tentang seorang anak berusia 11 tahun meninggal dunia akibat tabrak lari. Aku menyerahkan pada Bu Arimbi. Perasaanku semakin tak menentu. Bu Arimbi melihat dengan seksama tanpa ada penolakan, tanpa ada ekspresi apapun, semuanya datar.
Ia mengembalikan handphone milikku. Bu Arimbi terlihat menarik napas dan menghembuskan berkali-kali. Matanya terpejam, tangannya terlihat mengepal, ini bukan marah tetapi perasaan yang lain, seperti melepaskan sesuatu.
"Ja...di Kia sudah meninggal." Itu bukan pertanyaan, tetapi seperti penerimaan.
"Iya Bu, " ucapku lirih.
"Jadi semua yang Ibu lihat tentang Kia hanyalah efek dari trauma itu. Benar Nak Laras?"
Aku mengangguk. Bulir bening menetes, kupeluk Bu Arimbi aku tahu bagaimana rasa ditinggalkan. Aku tak menyalahkan siapapun, ini semua takdir yang harus kami jalani.
Setelah hari-hari berat itu terlewati, kini keadaan Bu Arimbi semakin membaik. Ia tak pernah mengajak pergi ke rumah sakit. Ia tak pernah lagi mengamuk, dan kotak bekal yang dulu kemana pun ia bawa sudah ia simpan di tempat aman. Aku dan Bu Arimbi hidup dengan bahagia, tak ada kesedihan yang berkelanjutan.
Aku dan Bu Arimbi sama-sama kehilangan orang yang kami sayangi. Perjuanganku sampai di titik ini tak mudah, begitu juga Bu Arimbi bahkan ia harus kehilangan sebagian memori hidupnya. Ia hidup dengan rasa trauma.
Kehilangan bukan akhir dari segalanya, namun sebuah titik balik. Titik di mana kita belajar berdamai dengan luka, menerima bahwa ada bagian dari hidup yang tak lagi sama, dan perlahan membangun arti baru dari sisa-sisa yang masih ada.