Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Sepotong Rahasia di Koran Lama
2
Suka
242
Dibaca

Kata pelayan hotel yang baru saja mengantar kopi ke kamarku, kota kecil di pesisir pantai barat ini rutin diguyur hujan lebat sejak beberapa hari belakangan. Aku, yang baru tiba setelah perjalanan melelahkan dari Ibukota hanya bisa bersungut-sungut di tepi jendela kamar, sambil membolak-balik halaman sebuah buku harian usang bersampul coklat pudar.

Malam ini hujan menjelma sebagai instrumen yang menyayat batin, saat tanpa sengaja kutemukan kembali potongan berita koran lama pada salah satu halaman di buku harian itu. Urat-urat syarafku menegang. Sejurus, otakku refleks menyusun ulang potongan-potongan puzzle memori masa lalu yang membentuk bayangan sosok lelaki cungkring berkacamata persegi. Bintang.

***

Malam itu aku berlari terengah-engah membelah keramaian di bawah sorot lampu terminal, seperti seekor babi yang dikejar gerombolan anjing. Tiga, empat, atau mungkin lima orang lelaki paruh baya berpakaian lusuh tak berhenti mengumpat dalam usaha mereka mengejarku. Bedanya, kalau anjing menggonggong, sementara saat itu aku diteriaki ‘pencuri’.

Aku berlari sekuat tenaga, meskipun kaki-kakiku mulai terasa keram. Di belakang, orang-orang yang mengejar kian memangkas jarak. Aku takut mereka berhasil menangkapku, dan bukan tak mungkin akan membawaku ke kantor polisi.

Ketika aku merasa begitu panik, sekonyong-konyong seseorang menyambar pergelangan tanganku. Aku terperanjat, lalu tiba-tiba saja telah berada di suatu tempat gelap yang terlindung semak-semak di belakang tenda pedagang gula-gula.

Di sampingku, seorang bocah lelaki berpakaian rapi dengan setelan sepatu putih yang bagus merapatkan telunjuknya di depan bibir. Aku gemetar. Kutatap lekat sebuah apel ranum sebesar kepal orang dewasa di genggamanku.

Bocah lelaki itu mengikuti arah pandanganku.

“Kamu mencuri?” Ia bertanya hati-hati.

Aku mengangguk dua kali tanpa ragu, membuat ia mengernyitkan dahi.

“Untuk apa kamu mencuri?”

“Ini cara paling praktis bagi seorang gelandangan untuk memenuhi gizi,” jawabku singkat.

“Dan mereka mengejarmu karena sebuah apel yang dicuri?”

“Bagi mereka, pencuri tetap saja pencuri. Tak peduli apa yang dicuri.”

“Sudah tahu begitu, lantas kenapa mencuri?”

“Karena aku kelaparan!” tukasku.

Ia memandangku iba, namun tak berkata lagi. Kami tak beranjak dari tempat itu selama beberapa saat. Setelah berulang kali memeriksa keadaan, diulurkannya tangan untuk membantuku keluar dari tempat persembunyian.

Barulah aku bisa melihatnya dengan jelas. Di bawah langit malam yang kejam, aku seperti menemukan bintang jatuh, berwujud sesosok lelaki cungkring berkacamata persegi yang tengah memasang senyum tulus di wajah putih pucatnya.

Kuanggap dia sebagai hadiah terbaik dari Tuhan untuk menerangi hidupku yang hampir kelam. Bertahun-tahun terlewati, aku semakin akrab dengannya. Bintang selalu mentraktirku makan siang. Katanya, agar aku tak punya alasan untuk mencuri lagi. Selesai makan, kami biasa mampir ke taman kota yang berada tak jauh dari kampusnya.

“Kamu sahabat terbaikku,” kataku waktu itu.

Bintang tersenyum. Ia menahan tali ayunan yang kududuki untuk membisikkan sebuah kalimat di telingaku. “Aku tak akan pernah meninggalkanmu," katanya, lalu memberi dorongan pelan di pundakku, membuat ayunan kembali bergerak.

“Benarkah?” tanyaku.

“Ya,” jawabnya meyakinkan.

“Bagaimana jika nanti kamu meninggalkanku untuk orang lain?”

“Aku tak akan melakukannya.” Ia menjawab mantap.

“Tapi, bagaimana kalau terjadi?”

“Tidak akan.”

“Seandainya terjadi?” Aku mendesak.

Bintang bergeming, sehingga aku menghentikan gerak ayunan, memutar kepala untuk menatap wajahnya. Kulihat ia lekas tersenyum. “Nah, bunuh saja aku kalau berani meninggalkanmu. Cukup adil 'kan?”

Kami tertawa bersamaan.

***

Aku tersenyum getir mengingat kejadian itu. Kusesap aroma kopi di dalam cangkir, membuat serpihan kenangan kembali bangkit. Sial, rupanya setiap hal di kota ini selalu mengingatkan aku pada Bintang.

“Aku bintang dalam arti sebenarnya. Sudah menjadi tugasku untuk menyinari hidupmu,” ucap lelaki itu di suatu momen saat kami tengah menikmati secangkir Moccacino sambil memandang keindahan langit kota.

Mendengarnya, aku lantas tersenyum malu-malu, lalu menyandarkan kepala di pundak berotot lelaki itu. Kami larut dalam buaian angin malam, yang pada saat itu telah lancang menyusupkan benih-benih perasaan aneh ke dalam hatiku. Perasaan nyaman yang membuat aku jadi takut ditinggalkan.

Waktu yang berlalu cepat telah mengantar kami menjadi dua orang dewasa. Kami masih berteman akrab. Bintang selalu menyisihkan waktu untuk bertemu denganku sepulang kerja. Dia benar-benar seperti bintang di langit malam yang membagi terang ke dalam hidupku. Setidaknya hingga suatu ketika bintang itu merenggut kembali cahaya yang dia bagikan padaku. Membuat air mataku luruh. Duniaku gelap seketika.

Malam itu hujan mengguyur kota kecil ini. Aku tengah membereskan perabotan dapur saat kudengar suara mobil terparkir di depan pagar. Tak lama, Bintang muncul dengan muka berseri-seri. Bola coklat di balik kacamatanya sampai-sampai menyipit karena ia tersenyum begitu lebar. Dia bahkan nyaris memelukku, kalau saja lengannya tidak segera kutepis. Dari raut wajahnya, kutebak ia sedang sangat bahagia, bahkan lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya.

“Kamu sedang apa?" Bintang berbasa basi.

“Menurutmu?” Aku mencibir sambil mengacungkan deretan sendok dan sebilah pisau dapur yang baru selesai aku cuci. Aku meletakkannya ke atas meja.

“Hentikan dulu kegiatan itu, nona. Apa kamu tidak ingin bertanya mengapa aku begitu bahagia malam ini?”

Aku lantas menarik kursi dan duduk di hadapannya.

“Aku jatuh cinta,” katanya nyaris berbisik. Ia menarik tanganku dan menggenggamnya erat. “Apa kamu pernah merasakan yang namanya jatuh cinta?”

Mendengarnya, dadaku mendadak terasa panas. Aku menggigit bibir bawah dengan keras.

“Oh, pada siapa?” tanyaku getir.

“Ada seorang gadis di kantorku. Dia cantik, seperti purnama. Dia begitu manis saat tersenyum.”

Aku meneguk ludah. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba memenuhi kepalaku.

“Kamu tahu, aku telah mengaguminya sejak lama. Tadi, sepulang bekerja, aku menyatakan perasaan padanya.”

Aku mencoba memberinya senyum nanar, tapi air mataku malah menerobos begitu saja. Aku tidak suka mendengar kalimatnya. Aku tidak siap ditinggalkan oleh sahabat satu-satunya yang aku punya. Meskipun sebenarnya, aku telah mengetahui hal semacam ini akan terjadi sejak ia berusaha meyakinkan bahwa dia tidak akan meninggalkan aku.

Bintang yang melihat air mataku lantas menjadi cemas. “Kenapa? Apa aku telah menyakitimu?”

Entah mengapa waktu terasa begitu kejam. Sulit membayangkan bahwa Bintang jatuh cinta pada wanita lain. Sialnya, aku justru terjebak mencintainya.

“Ada apa, mengapa menangis?”

“Tidak apa-apa.” Aku buru-buru mengusap air mata. “Aku turut bahagia untukmu.”

Bintang tersenyum kecil. “Nah, kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa kamu pernah jatuh cinta? Kamu belum pernah cerita padaku.”

Aku diam sebentar, lalu mengangguk.

“Oh ya? Berarti kamu tahu rasanya. Begitu aneh, ya. Rasanya begitu aneh saat kita sedang jatuh cinta.”

Aku mengangguk lagi, kali ini lebih dalam sampai-sampai kepalaku tertunduk.

“Pada siapa?”

“K-a-m-u.” Kata itu kuucapkan nyaris seperti bisikan. Setelahnya, aku tak berani mengangkat wajahku. Aku merasa dunia berhenti berputar sampai-sampai aku bisa mendengar jelas suara napas lelaki di hadapanku.

Beberapa saat berikutnya menjadi saat-saat canggung di antara kami. Detik berikutnya, Bintang memelukku. Membiarkan aku tenggelam di dada bidang miliknya, merasakan hangatnya kedamaian untuk terakhir kalinya.

Aku begitu terluka, sementara Bintang terlihat begitu bahagia. Dia pasti telah melupakan seluruh janjinya di taman kota waktu itu. Janji yang paling penting, yang justru paling aku ingat hingga sekarang. Tanganku bergetar hebat saat retinaku tak sengaja bertumbuk pada jejeran benda yang tadi kuletakkan di atas meja.

***

Gemuruh petir mengembalikan kesadaranku, membuat terlonjak hingga aku sedikit menumpahkan cairan kopi ke tangan. Kusingkirkan cangkir kopi ke atas meja, lantas kembali memandang lamat-lamat pada halaman buku harian di pangkuanku.

Potongan koran itu berisi berita lama, mengenai suatu peristiwa pembunuhan yang terjadi bertahun-tahun silam di kota kecil ini. Kuangkat buku harian itu untuk membaca potongan koran yang kertasnya telah ternoda oleh tumpahan kopi. Sebuah kalimat yang dicetak tebal terbaca begitu jelas; Sesosok Mayat Pria Berkacamata ditemukan di Taman Kota dengan Luka Tusukan di Bagian Dada. Diduga Dibunuh oleh Teman Dekatnya.

Aku menyungging senyum hambar. Bahkan setelah bertahun-tahun kucoba mengubur kenangan tentang dirinya, ia masih saja bersinar terang dalam ingatanku. Kupandang langit malam yang legam. Barangkali, besok aku bisa melihatnya berkelip-kelip di atas sana, menuntut keadilan pada orang yang telah meredupkan sinarnya.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Sepotong Rahasia di Koran Lama
anjel
Novel
A Good Girl
Lutfiafaradita
Novel
HOME SCHOOL
Anonim people
Novel
Bronze
Catatan Balas Dendam
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
Keris Puspa Dumilah
Nanang Hadi Sucipto
Flash
Berbahagialah,
Bintang Redup / Amanda Kartika
Novel
We Are Freaking Out Here!
Fauziyyah Jihad Noor Yahya
Cerpen
Bronze
Pada Hari Minggu yang Cerah
Galang Gelar Taqwa
Novel
Bronze
Hilang!
Juli Yandika
Novel
Artemis
Dyah Ayu Anggara
Novel
Bronze
Find You
Sonya Mega Flourensia
Novel
Bronze
AIMER - Emergence of New Hero
Hazsef
Flash
Bronze
Happy Birthday, Baby
Haru Wandei
Skrip Film
Anonim
D. Hardi
Novel
Gold
Tanda Mata Kematian
Falcon Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Sepotong Rahasia di Koran Lama
anjel
Novel
Stoples Cinta untuk Alvaro
anjel
Flash
Bronze
Peri-Peri Mungil
anjel
Novel
RESTFul IV
anjel
Flash
Kisah Si Anjing Kuning
anjel