Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun dengan deras di sore yang mendung. Di sudut sebuah kafe kecil di pusat kota, Adhyaksa duduk sambil memandangi derasnya air hujan yang membasahi jendela. Di depannya, tergeletak sebuah kamera dan buku catatan kecil. Hatinya sedikit gelisah, menunggu temannya yang katanya akan datang, tetapi sudah terlambat hampir satu jam. Adhyaksa menghela napas, kemudian mengeluarkan kameranya dan mulai mengamati keadaan sekitar melalui lensa.
Di sela-sela keheningan kafe yang dihiasi gemuruh hujan, pintu kafe tiba-tiba terbuka dengan kasar, dan masuklah seorang wanita yang tampak basah kuyup meski sudah memakai payung. Wanita itu terlihat sebal sambil mengibaskan air dari jaketnya. Dengan cepat, ia mencari tempat duduk, dan tanpa banyak bicara, memilih duduk di meja Adhyaksa.
“Maaf ya, aku cuma numpang duduk sebentar,” ucapnya cepat, mungkin karena malu atau canggung.
Adhyaksa tersenyum. "Silakan. Kelihatannya hujan benar-benar mengejutkan, ya?”
Wanita itu tertawa kecil, lalu mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Tapi ketika dia menyadari bahwa buku itu basah, ekspresinya berubah. Dengan hati-hati, ia mengeringkan bagian yang terkena air. Adhyaksa yang dari tadi memperhatikan, tiba-tiba merasa tertarik dan memulai percakapan.
"Buku yang bagus. Kamu suka membaca?" tanyanya sambil menatap sampul buku yang bertuliskan Memoar Hujan.
Wanita itu mengangguk. “Iya, aku suka membaca... dan menulis juga. Aku Muthia, seorang penulis lepas. Sebenarnya, aku sedang mencoba mengerjakan proyek baru.”
"Proyek apa, kalau boleh tahu?” tanya Adhyaksa dengan penasaran.
"Aku sedang menulis buku tentang ‘Kenangan di Bawah Hujan’. Katanya, banyak orang punya cerita atau kenangan yang datang saat hujan turun. Jadi, aku sedang mengumpulkan kisah-kisah itu," jelas Muthia sambil tersenyum lembut.
Adhyaksa merasa ide itu sangat menarik. Ia sendiri sering merasa bahwa hujan membawa perasaan tertentu, entah rindu atau nostalgia, seolah mengundang kenangan yang terkubur di masa lalu. Mereka pun melanjutkan obrolan tentang hujan, kenangan, dan perasaan-perasaan yang tak terjelaskan. Percakapan mengalir begitu saja, hingga hujan mulai reda. Muthia kemudian berpamitan.
"Mungkin kita bisa bertemu lagi di sini. Aku masih punya banyak cerita soal kenangan dan hujan," ucap Muthia sambil tersenyum, lalu pergi meninggalkan Adhyaksa yang masih tertegun.
Hari-hari berikutnya, Adhyaksa dan Muthia sering bertukar pesan. Awalnya, percakapan mereka hanya seputar ide-ide sederhana, seperti foto terbaru Adhyaksa atau ide tulisan Muthia. Namun lama-kelamaan, mereka mulai bertemu lebih sering, mencari inspirasi di tempat-tempat yang menarik di sekitar kota. Suatu hari, mereka mengunjungi taman kecil di pinggir kota.
Saat mereka berjalan di antara pepohonan, Adhyaksa menangkap pemandangan seorang ibu tua yang duduk sendirian di bangku taman. Tatapan ibu itu menerawang, seolah ia sedang mengingat sesuatu yang jauh di masa lalu.
"Menurutmu, apa yang sedang dipikirkan ibu itu?" tanya Muthia tiba-tiba.
Adhyaksa hanya mengangkat bahu. “Mungkin dia sedang mengenang seseorang.”
"Kamu benar,” jawab Muthia pelan. “Kadang, seseorang duduk sendirian bukan karena kesepian. Mereka mungkin hanya butuh waktu untuk mengenang, atau bahkan berdamai dengan kenangan yang masih tersisa.”
Adhyaksa mengamati Muthia dengan penuh perhatian. Ada sesuatu dalam cara Muthia berbicara yang membuatnya terpesona. Muthia selalu berhasil menangkap sisi-sisi kecil dari hidup yang tidak banyak orang sadari. Dan tanpa sadar, Adhyaksa semakin tertarik pada perempuan yang ceria namun penuh misteri ini.
Suatu sore, ketika mereka sedang mengambil foto di sebuah bangunan tua yang terbengkalai, Muthia terlihat murung. Ia terdiam sambil menatap jendela yang retak. Adhyaksa memperhatikan perubahan ini, namun ia ragu untuk bertanya. Tapi, akhirnya ia memberanikan diri.
"Ada yang mengganggumu, Muthia?” tanyanya hati-hati.
Awalnya, Muthia hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaannya. Tapi setelah didesak, ia bercerita tentang seseorang dari masa lalunya. Lelaki itu adalah cinta pertamanya, yang pernah ia pikir akan menjadi pendamping hidupnya. Namun, hubungan itu berakhir dengan cara yang menyakitkan, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
"Aku pikir... aku sudah berhasil melupakan semua itu,” Muthia berkata lirih. “Tapi ternyata, beberapa kenangan tetap tinggal, dan sulit dihapus begitu saja."
Adhyaksa mendengarkan dengan sabar. Di satu sisi, ia ingin mengatakan bahwa Muthia tidak sendiri, bahwa ada dia di sini untuknya. Namun, Adhyaksa tahu, ada hal-hal yang perlu waktu untuk disembuhkan. Ia tak ingin memaksa Muthia untuk melupakan masa lalunya secepat itu.
"Aku mengerti, Muthia. Tapi ingat, kamu punya banyak kenangan lain yang bisa kamu buat sekarang. Mungkin kenangan itu bisa sedikit-sedikit menggantikan yang lama," ujar Adhyaksa pelan.
Muthia menatap Adhyaksa, dan untuk pertama kalinya, ia merasa lega. Mereka berdua diam, tetapi di keheningan itu, ada rasa saling memahami yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.
Beberapa minggu kemudian, Muthia menerima tawaran yang mengejutkan dari sebuah penerbit besar di luar negeri. Mereka ingin Muthia menjadi penulis tetap dan bersedia mendanai semua kebutuhan karier menulisnya. Itu adalah kesempatan besar yang mungkin hanya datang sekali seumur hidup. Tetapi ada satu halangan: Hana harus pindah ke luar negeri dalam waktu singkat.
Saat Muthia memberi tahu Adhyaksa, hatinya terasa berat. Adhyaksa berusaha menyemangati Muthia, meski di dalam hatinya ia merasa kehilangan. Ia tahu, ini adalah impian Muthia, dan dia tidak ingin menjadi penghalang.
“Kalau itu yang terbaik buat kamu, aku akan mendukung keputusanmu, Muthia,” kata Adhyaksa sambil tersenyum.
Muthia terdiam, wajahnya penuh kebimbangan. “Aku... aku sebenarnya tidak ingin pergi begitu saja, meninggalkan semua yang aku miliki di sini. Tapi, di sisi lain, aku merasa ini adalah kesempatan yang harus aku ambil.”
“Lakukan yang terbaik untuk dirimu, Muthia. Aku akan baik-baik saja di sini. Kamu selalu bisa kembali,” jawab Adhyaksa meski suaranya terdengar getir.
Muthia terharu, tapi ia tahu bahwa perpisahan ini adalah jalan yang harus ditempuh. Setelah diskusi panjang, mereka pun saling mengucapkan kata-kata perpisahan.
Pada hari keberangkatan Muthia, mereka bertemu di kafe yang sama tempat mereka pertama kali bertemu. Di luar, hujan turun perlahan, membawa suasana sendu yang sulit untuk disembunyikan. Muthia menatap Adhyaksa dengan mata yang berkaca-kaca, berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk.
“Terima kasih untuk semuanya, Adhy. Kamu memberiku banyak kenangan indah,” ucap Muthia dengan suara bergetar.
“Kamu juga, Mut. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku, meski hanya sementara,” balas Adhyaksa.
Muthia kemudian berdiri, dan mereka berpelukan. Saat Muthia melangkah pergi, Adhyaksa merasa ada bagian dari dirinya yang ikut hilang. Namun, ia sadar bahwa mungkin perpisahan ini bukan akhir, melainkan awal dari kenangan yang akan terus hidup dalam hatinya.
Beberapa tahun kemudian, Adhyaksa menerima sebuah paket dari luar negeri. Di dalamnya terdapat buku berjudul Sepotong Kenangan di Bawah Hujan karya Muthia. Pada halaman pertama, Muthia menulis sebuah dedikasi khusus:
"Untuk seseorang yang mengajarkanku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Terima kasih untuk kenangan yang takkan pernah kulupakan."
Adhyaksa menutup buku itu dengan senyuman. Kenangan mereka mungkin tak berlanjut menjadi sebuah cerita panjang, tetapi dalam hati mereka, perasaan itu akan selalu hidup di bawah hujan yang turun.