Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sepi yang merawat
1
Suka
405
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah rumah kecil yang teduh oleh rindang pepohonan , seorang gadis kecil tumbuh dalam diam. Ia bukan tak ingin bersuara, tapi dunia terlalu gaduh untuk mendengar.

 

Saat ia duduk di bangku sekolah dasar, saat iya mulai belajar mengeja ibunya melafal arti kehilangan, langit rumahnya mulai retak. Ibunya yang setiap pagi menelepon dari negara sebrang, yang suaranya masih hangat,sendu, di telinga anak itu tiba-tiba menghilang. 1pekan  tak ada kabar, tak ada suara, hanya keheningan yang menggantung di udara, tajam seperti pisau yang menggurat langit senja. Bocah itu menangis, bukan karena tahu apa yang terjadi, tapi karena kehilangan bentuk kasih yang selalu hadir lewat getar di gagang telepon.  

 

Ayahnya hanya duduk, diam, menatap lantai seolah mencari jawab dari butiran debu yang menari. Ketika kabar itu datang dari bibir seorang tetangga yang tercekat bahwa wanita yang selama ini ditunggu akan keberadaanya telah memilih untuk membangun rumah tangga dengan lelaki lain di negara sebrang, tak ada kemarahan, tak ada makian, yang terlontar di ucapan seorang ayah. Hanya kalimat sederhana yang terlempar perlahan: “Ya mau bagaimana lagi kalau sudah begitu?”

 

Baju ihram yang ayahnya siapkan untuk menyusul istri tak pernah tersentuh. Masih tergantung rapi di lemari, seperti saksi bisu dari cinta yang tak sempat berlabuh.

 

Sejak itu, tak ada lagi suara ibu. Tak ada telepon, tak ada pelukan hangat dari kejauhan, tak ada pertanyaan "sudah makan atau belum". Yang ada hanyalah keheningan dan seorang ayah yang perlahan menjelma menjadi segalanya. Menjadi, ibu, menjadi pelindung, menjadi guru, bahkan menjadi pelipur lara. Ia mengajarkan anaknya cara kuat tanpa harus marah, cara sabar tanpa harus pasrah.

 

Bertahun-tahun kemudian, ibu pulang. Bukan pulang ke rumah teduh itu, tapi pulang ke kota yang sama tinggal tak jauh dari anaknya, namun tetap terasa sejauh benua. Lelaki yang baru bersamanya  tak pernah menyapa, tak pernah tersenyum, hanya diam seperti batu yang menolak mencair. Anak itu tetap disuruh untuk tetap menghormati layaknya seorang ayah kandung,berjabat tangan, mencium tangan yang tak pernah terbuka untuknya.

 

Setelah semuanya terjadi, sang ibu ingin membawa anaknya kembali. Tapi seorang ayah yang telah merawatnya tak mengizinkan. “Kami yang menemani luka-lukanya,” kata ayah. Anak itu tetap tinggal, bersama ayahnya dan sepi yang lembut.

Ibu datang dan pergi, seperti musim yang tak menentu.setelah beranjak SMP, ibu pulang lagi. Lalu pergi lagi.setelah SMA,ibu kembali lagi.

Di sebuah malam yang lirih, anak itu yang sudah mulai mengenakan sarung dan selimut yang lembut mendengar ibunya berkata kepada salah satu sahabatnya, bahwa ia menyesal, bahwa selama menikah tak pernah dinafkahi, bahwa ia menangis dalam diam, dalam bayangan.

Anak itu pura-pura tidur, tapi hatinya terjaga. Ia menyimpan airmatanya dalam dada, seperti doa yang belum sempat diucap.

 

Waktu terus berjalan. Ibunya kini tak lagi bersama suami yang dulu. Sejak itu,anak gadis yang sekian lama hampa kembali mendapatkan kelembutan kasih sayang dari seorang ibu . Bukan soal iya kembali, tapi perhatian yang baru ia kenal dari perempuan yang melahirkannya. Anak itu tak pernah kekurangan lagi akan kasih sayang setidaknya dalam bentuk materi.

 

Ayahnya? Tetap sendiri. Dua belas tahun berlalu tanpa perempuan lain di sisinya. Ia hidup bukan dalam kekosongan, tapi dalam keteguhan. Ia tak pernah menuntut, tak pernah menggugat. Hanya terus berjalan, membesarkan anaknya, menjadi matahari yang tak pernah menuntut pujian karena sinarnya.

Kini, anak itu sudah cukup dewasa untuk mengerti. Mereka bertiga sering bercakap lewat layar ayah, ibu, dan dirinya. Banyak orang yang berkata, “Satukan kembali mereka.” Tapi bagaimana ia bisa? Bagaimana seorang anak bisa memutuskan arah hati dua manusia yang sudah terlalu lama berjalan sendiri-sendiri?

 

Anak itu sudah mulai bisa berfikir bahwa seorang ayah membutuhkan seorang pendamping. Dan ia tak melarang. Ia hanya bisa melihat, dan diam-diam berdoa. Karena ia tahu, lelaki itu telah terlalu lama sendiri, terlalu lama sabar, terlalu lama menyimpan luka sendirian

Malam itu, di rumah kecil peninggalan ayahnya, ia duduk sendirian di beranda. Angin membawa bau tanah basah setelah hujan sore tadi. Ia menatap langit, mencoba mengingat semua yang pernah ia lewati. Ayahnya kini tinggal di rumah baru bersama perempuan yang menjadi temannya menua. Ibunya juga hidup tenang, tak lagi terbebani bayang-bayang masa lalu, sibuk dengan kegiatan sosial dan belajar hal-hal yang dulu tak pernah sempat ia sentuh saat muda.

Ia anak yang dulu tumbuh dalam sunyi kini sudah menjadi wanita dewasa yang memahami bahwa hidup tidak melulu tentang mempertanyakan “mengapa”, tapi menerima “apa yang ada”.

Ia sempat bertanya-tanya dulu, kenapa ibunya pergi. Kenapa ayahnya tidak marah. Kenapa rumahnya sunyi. Tapi kini semua pertanyaan itu tak lagi penting. Karena semua sudah terjawab dengan waktu.

Ia masih sering bermimpi tentang masa kecilnya tentang suara telepon yang tak kunjung berdering, tentang ayahnya yang duduk berjam-jam menatap langit-langit, tentang keheningan saat makan malam yang hanya diisi suara sendok bertemu piring. Tapi dalam mimpinya sekarang, tak ada lagi rasa takut. Yang ada hanya perasaan hangat bahwa semua itu telah membentuk dirinya menjadi perempuan yang utuh.

Di hadapannya, anak kecilnya tertidur pulas. Nafasnya tenang. Wajahnya damai. Ia ingin anaknya tumbuh tanpa menyimpan rasa kehilangan seperti yang pernah ia alami. Tapi ia juga tahu, kehidupan tak bisa sepenuhnya dikendalikan. Maka yang bisa ia wariskan hanya satu: keteguhan hati untuk menerima, dan keikhlasan untuk melepaskan.

Pagi harinya, ia berkunjung ke rumah ibunya. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang tentang resep, tentang tanaman, tentang tetangga yang menikahkan anaknya. Tak ada lagi percakapan berat. Tidak ada permintaan maaf yang berulang. Hanya dua perempuan ibu dan anak yang kini telah sama-sama menjadi dewasa, yang saling memahami meski dengan luka yang tak selalu diucap.

Kemudian, di hari lain, ia membantu ayahnya mengganti lampu teras yang mulai redup. Ayahnya tak banyak bicara, seperti biasa. Tapi ketika mereka duduk menikmati kopi buatan istri barunya, ia menepuk pundaknya perlahan dan berkata, “Terima kasih, Nak. Kamu sudah membuat semuanya jadi ringan.”

Dan di situlah ia sadar. Bahwa meski ia tumbuh dalam kekosongan, ia tidak pernah benar-benar kosong. Ada cinta yang tetap hadir, meski dalam bentuk yang tak biasa. Ada kasih yang bertahan, meski tanpa pelukan dan ucapan.

Kini ia tak lagi bertanya, “kenapa semua ini harus terjadi?”

Ia hanya berkata dalam hati, “Terima kasih sudah terjadi.”

Karena setelah semuanya, mereka hidup dalam damai. Ayah dengan jalannya, ibu dengan jalannya, dan dirinya… dengan damai di dalam dirinya sendiri. Ia telah berdamai. Dan ia tahu, itu cukup.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Kota Sihir Menghilang
Kemal Ahmed
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Cerpen
Sepi yang merawat
halimatussadiah
Novel
YANG BELUM USAI
essa amalia khairina
Komik
(un)promise
kennicchi
Skrip Film
About Last Night
handiko suharso
Flash
Kucing Kecil Sekarat
Muhammad Naufal Monsong
Cerpen
Vampir yang Merindukan Rumah
zain zuha
Cerpen
Bronze
Pertemuan Tak Terduga Di Bandara
Risman Senjaya
Novel
Serenada
Revalina Aulia N
Skrip Film
The Gimmick Between Us (Script)
Alvin Raja
Flash
Seni Nyaman Dari Gerhana Bulan
Fadel Ramadan
Skrip Film
Cinta Kesatria Gadis Puitis
Safitri
Flash
Filosofi Hom Pim Pa
Sri Marflowers
Flash
Bronze
Bias
Faisal Susandi
Rekomendasi
Cerpen
Sepi yang merawat
halimatussadiah