Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
1
Suka
3,445
Dibaca

Apartemen ini memang bukan tempat untuk orang-orang normal. Aku tahu itu sejak pertama kali menandatangani surat sewa lima tahun lalu. Pemiliknya, seorang lelaki tua dengan satu mata yang selalu berair, berkata, “Tempat ini memilih penghuninya, bukan sebaliknya.” Saat itu aku hanya menganggapnya sebagai taktik penjualan yang aneh. Tapi seiring waktu, aku mulai mengerti. Dindingnya tipis, cukup tipis untuk mendengar desahan lelah tetangga sebelah atau pertengkaran samar dari lantai atas tentang siapa yang lupa membeli susu. Tapi di luar itu, apartemen ini menyimpan keheningannya sendiri. Keheningan yang padat, yang bisa kau rasakan menekan gendang telingamu seperti saat menyelam terlalu dalam.

Koleksi piringku, misalnya. Tidak ada satu pun yang utuh. Semuanya memiliki retakan-retakan halus seperti jaring laba-laba, hasil dari kecerobohan atau mungkin getaran tak terlihat yang sering kali kurasakan saat tengah malam. Aku tidak pernah membuangnya. Bagiku, piring-piring retak itu terasa lebih jujur. Mereka tidak berpura-pura sempurna. Di sudut ruangan, sebuah turntable tua berdebu memutar koleksi vinyl post rock milikku—Explosions In The Sky, Mogwai, dan tentu saja, Godspeed You! Black Emperor. Musik mereka adalah satu-satunya tamu yang kuizinkan masuk tanpa syarat.

Aku berusia tiga puluh lima tahun. Seorang penerjemah lepas untuk manual-manual teknis. Pekerjaanku adalah menerjemahkan instruksi perakitan furnitur dari Denmark atau panduan penggunaan mesin press industri dari Jerman. Sesuatu yang presisi, logis, dan sama sekali tidak emosional. Sebuah antitesis dari hidupku dua tahun belakangan.

Istriku pergi dua tahun lalu. Ia meninggalkan catatan singkat di atas meja dapur, di samping setoples selai stroberi yang baru kubuka. “Kau terlalu tenang,” tulisnya. “Seperti sungai yang tidak pernah beriak. Aku butuh ombak, atau setidaknya badai sesekali.” Aku membaca catatan itu sambil mengoleskan selai pada sepotong roti. Rasanya tetap manis. Aku tidak marah. Aku tidak sedih. Aku hanya merasa kosong, seolah seseorang telah mengambil semua perabotan dari dalam diriku, menyisakan sebuah ruangan hampa dengan gema yang aneh. Sejak saat itu, aku hidup dalam ketenangan yang ia benci.

Lalu, perempuan itu datang.

Pagi itu hujan turun seperti langit sedang berusaha menumpahkan seluruh kesedihannya. Bukan gerimis puitis, tapi hujan deras yang menghapus garis antara gedung dan jalanan, mengubah dunia di luar jendelaku menjadi lukisan cat air yang luntur. Aku sedang membuat kopi ketika bel pintu berbunyi. Aneh. Tidak ada yang pernah membunyikan bel pintuku. Kurir biasanya hanya meletakkan paket di depan pintu, dan aku tidak sedang menunggu siapa pun.

Kubuka pintu. Di sana, ia berdiri. Basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung sepatunya yang kanvas. Air menetes dari poninya, membentuk sungai-sungai kecil di pipinya. Ia mengenakan gaun katun sederhana yang melekat di tubuhnya, menampakkan dengan jelas perutnya yang buncit. Enam bulan, mungkin tujuh. Ia menatapku bukan dengan tatapan meminta tolong, melainkan dengan tatapan seseorang yang sudah sampai di tujuan.

“Aku harus tinggal di sini sementara,” katanya. Suaranya datar, hampir tanpa nada, seolah hanya ingin menyampaikan sebuah fakta cuaca.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Otakku, yang terbiasa dengan logika manual teknis, gagal memproses situasi ini. Seorang perempuan hamil yang tidak kukenal muncul di tengah hujan badai dan menyatakan akan tinggal bersamaku. Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan kunci L atau obeng kembang.

“Masuklah,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. “Kau bisa kena flu.”

Ia melangkah masuk tanpa ragu, membawa aroma hujan dan tanah basah ke dalam apartemenku yang pengap. Ia berdiri di tengah ruangan, melihat sekeliling—ke arah piring-piring retak yang kutumpuk di rak, ke tumpukan buku di lantai, ke turntable yang diam. Ia tidak terlihat terkejut. Seolah-olah, apartemen ini memang tempat yang ia bayangkan.

“Aku tidak sedang melarikan diri dari siapa pun,” ujarnya tiba-tiba, seolah membaca kebingunganku. Ia menatap lurus ke mataku. “Aku hanya sedang menunggu seseorang yang bukan ayah dari anak ini.”

Aku mengangguk, meskipun aku tidak mengerti sama sekali. Aku mengambil handuk bersih dari lemari dan memberikannya. Ia menerimanya, lalu duduk di sofa tuaku, sofa tempat istriku biasa membaca novel-novel roman picisan. Ia mulai mengeringkan rambutnya dengan gerakan pelan dan metodis, sementara aku kembali ke dapur untuk melanjutkan membuat kopi, kali ini untuk dua orang. Keheningan yang biasanya menjadi temanku kini terasa berbeda. Ia tidak lagi kosong. Ia terisi oleh kehadiran seseorang.

Minggu pertama berlalu dalam keheningan yang aneh dan nyaman. Kami tidak bertukar nama. Aku tidak bertanya dari mana ia datang, dan ia tidak bertanya kenapa aku hidup sendirian dengan piring-piring retak. Ia seperti bagian dari apartemen yang tiba-tiba muncul, seperti noda lembap di langit-langit yang suatu hari kau sadari sudah ada di sana entah sejak kapan.

Ia mengambil alih sofa sebagai wilayahnya. Siang hari, ia akan tidur di sana, meringkuk seperti seekor kucing besar, dengan napas yang teratur. Saat terjaga, ia akan menonton film-film Makoto Shinkai dari koleksi Blu-ray-ku yang sudah lama terlupakan. Ia bisa menonton 5 Centimeters per Second berulang-ulang, tanpa suara, hanya membaca subtitelnya. Matanya terpaku pada layar, pada kisah tentang jarak dan waktu yang memisahkan dua orang. Mungkin ia melihat dirinya di sana.

Malam hari, kami punya ritual. Aku akan memasak udon. Selalu udon. Aku merebus mi, menyiapkan kuah dari dashi dan kecap asin, lalu menambahkan telur rebus setengah matang dan irisan daun bawang. Kami akan makan di meja dapur yang kecil, saling berhadapan, hanya ditemani suara kami menyeruput mi. Itu adalah satu-satunya suara yang kami ciptakan bersama.

Suatu malam, setelah kami selesai makan dan aku sedang mencuci mangkuk (dengan sangat hati-hati, agar tidak menambah koleksi piring retakku), ia berbicara.

“Menurutmu, kenapa kucing hanya datang saat kita sedang tidak ingin ditemani?”

Aku berhenti, memegang mangkuk yang licin karena sabun. Aku menoleh. Seekor kucing belang tiga sedang duduk di ambang jendela dapurku yang terbuka. Kucing itu bukan milikku. Ia datang dan pergi sesukanya, biasanya setiap hari Rabu. Aku memanggilnya ‘Wednesday’. Tapi hari ini hari Jumat.

“Mungkin dia tidak datang untuk menemani kita,” jawabku pelan. “Mungkin dia hanya ingin memastikan kita baik-baik saja dalam kesendirian kita.”

Perempuan itu tersenyum tipis. Senyum pertama yang kulihat. “Atau mungkin,” katanya, “dia datang untuk mengingatkan bahwa kesendirian itu sendiri adalah bentuk lain dari teman.”

Kami terdiam lagi. Wednesday melompat turun dari jendela dan menghilang ke dalam kegelapan. Sejak hari itu, ia muncul setiap hari. Seolah kedatangan perempuan itu telah mengubah jadwal alam semesta yang paling kecil sekalipun.

Percakapan kami selalu seperti itu. Melompat dari satu topik ke topik lain tanpa jembatan. Kami berbicara tentang kenapa angin laut terasa lebih asin saat malam hari, tentang warna kesedihan (ia bilang warnanya seperti debu di atas piano tua), dan tentang kenapa manusia merasa perlu memberi nama pada bintang-bintang yang tidak akan pernah mereka jangkau.

Pada hari kesepuluh, saat kami sedang mendengarkan rekaman Godspeed You! Black Emperor, Storm, ia bertanya, “Menurutmu kenapa orang berselingkuh?”

Pertanyaan itu melayang di udara, di antara nada-nada gitar yang atmosferik. Aku merasakan bekas luka lama di dalam diriku berdenyut pelan.

“Aku tidak tahu,” jawabku jujur. Aku meletakkan gelas whiskey-ku. “Mungkin karena ingin merasa diinginkan lagi. Atau karena kita sendiri terlalu lama, sampai-sampai kita lupa bagaimana rasanya menjadi dua.”

Ia menatap perutnya yang membesar, mengelusnya dengan lembut. “Kupikir, itu karena keheningan menjadi terlalu berisik,” katanya. “Kau tahu, saat kau bersama seseorang, tapi keheningan di antara kalian terasa lebih ramai daripada suara kereta di jam sibuk. Kau mulai mencari keheningan yang lain, keheningan yang tenang.”

“Keheningan yang menenangkan,” koreksiku.

“Ya,” ia mengangguk. “Keheningan yang menenangkan.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri bertanya. “Siapa namamu?”

Ia menatapku lama, seolah menimbang berat dari pertanyaan itu. “Yuki,” jawabnya. “Artinya salju.”

Salju. Sesuatu yang dingin, sunyi, dan turun untuk menutupi dunia dengan selimut putih yang bersih. Sesuatu yang pada akhirnya akan mencair dan menghilang tanpa jejak. Nama itu terasa sangat pas untuknya.

Cerita masa laluku keluar bukan sebagai pengakuan, melainkan sebagai serpihan-serpihan ingatan yang terlepas dengan sendirinya. Suatu sore, saat sedang memilah-milah vinyl, aku menemukan sebuah rekaman lama dari penyanyi pop Indonesia yang pernah disukai istriku. Tiba-tiba aku berkata, “Istriku bilang aku terlalu tenang.”

Yuki, yang sedang melipat selimut di sofa, berhenti. Ia menatapku, menunggu.

“Dia bilang aku tidak pernah marah. Tidak pernah cemburu. Tidak pernah menginginkannya seperti lelaki lain menginginkan istrinya. Katanya, hidup denganku seperti tinggal di dalam sebuah museum. Semuanya tertata rapi, sunyi, dan tidak boleh disentuh.” Aku tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti kertas kering yang diremas. “Ironis. Dia pergi mencari badai, dan yang ia temukan, perselingkuhan klise dengan bosnya di kantor.”

“Kau tidak membencinya?” tanya Yuki.

“Bagaimana aku bisa membenci seseorang karena mencari sesuatu yang tidak bisa kuberikan?” Aku meletakkan kembali vinyl itu ke dalam kotaknya. “Aku hanya tidak mengerti. Aku pikir ketenangan adalah hadiah terbaik yang bisa kuberikan padanya. Ternyata itu adalah sangkarnya.”

Yuki berjalan mendekat. Ia berdiri di depanku, begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma bedak bayi yang samar dari pakaiannya. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipiku. Jarinya dingin.

“Ketenanganmu bukan sangkar,” bisiknya. “Itu adalah sebuah sumur yang dalam. Beberapa orang takut pada kedalaman.”

Dan saat itu, aku tidak tahu apa yang merasukiku. Mungkin karena kesendirian yang menumpuk selama dua tahun. Mungkin karena sentuhannya yang dingin terasa begitu nyata. Mungkin karena aku melihat pantulan diriku yang lelah di matanya yang gelap. Aku mencondongkan tubuh dan mencium bibirnya.

Ciuman itu singkat dan aneh. Tidak ada gairah, tidak ada nafsu. Rasanya seperti dua bongkahan es yang saling bersentuhan di tengah lautan Arktik. Bibirnya terasa seperti hujan yang pertama kali membawanya ke pintuku. Saat aku menarik diri, aku merasa lebih kosong dari sebelumnya.

“Kau bukan pelarianku,” kataku, lebih pada diriku sendiri. “Aku hanya sedang menua.”

Yuki tidak menjawab. Ia hanya menatapku dengan ekspresi yang tidak terbaca. Lalu, ia berbalik dan kembali ke sofanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Malam itu, aku memutar rekaman Explosions In The Sky. Suara musiknya yang mengiris hati dan melankolis terdengar seperti seseorang yang sedang menangis di ruangan sebelah. Aku tidak tidur dengannya. Kami tidak pernah membicarakan ciuman itu lagi. Itu menjadi satu lagi benda tak terucap yang mengisi keheningan di antara kami.

Kehamilannya menjadi semakin terlihat dari hari ke hari. Perutnya nampak lebih rendah, dan terkadang aku bisa melihat tonjolan kecil bergerak di baliknya—siku, atau mungkin lutut. Yuki akan sering meletakkan tangannya di sana, seolah sedang berkomunikasi dalam bahasa rahasia.

Suatu malam, saat ia sedang menatap ke luar jendela, ke arah lampu-lampu kota yang berkelip seperti kunang-kunang yang tersesat, aku bertanya, “Apakah ayah dari anak itu tahu?”

Ia menggeleng pelan, matanya masih tertuju ke luar. 

“Tidak. Dan aku tidak ingin dia tahu.”

“Kenapa?”

Ia berbalik menghadapku. Cahaya remang dari lampu jalan menyorot separuh wajahnya, menciptakan bayangan-bayangan misterius. “Karena aku ingin anak ini lahir tanpa kebohongan. Di dunia ini, hampir kita semua lahir karena satu kebohongan kecil. Kebohongan bahwa cinta itu abadi, kebohongan bahwa dua orang akan selalu bersama, kebohongan bahwa kita menginginkan seorang anak lebih dari apa pun. Kita membangun keluarga di atas fondasi kebohongan-kebohongan indah itu.”

Ia berhenti sejenak, mengambil napas. “Aku tidak mencintai ayah dari anak ini. Dan dia tidak mencintaiku. Anak ini adalah hasil dari sebuah kesepian bersama, bukan cinta. Jika aku memberitahunya, kami akan terjebak dalam kebohongan baru. Berpura-pura menjadi keluarga demi anak ini. Aku tidak mau itu.”

Ia kembali mengelus perutnya. “Aku hanya ingin anakku menjadi satu-satunya yang lahir dari kejujuran. Kejujuran yang brutal, mungkin. Bahwa ia ada karena ibunya merasa sendirian. Bahwa ia tidak memiliki ayah yang menunggunya. Bahwa ia lahir ke dunia yang rumit ini hanya dengan satu pegangan: kebenaran. Mungkin dengan begitu, ia akan tumbuh menjadi orang yang lebih kuat.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Logikanya bengkok, tapi ada kejujuran yang menyakitkan di dalamnya. Di dunia yang penuh dengan kepura-puraan, ia mencoba menciptakan satu titik awal yang murni, meskipun itu berarti harus melalui jalan yang paling sepi.

Malam itu aku bermimpi aneh. Aku berada di dasar sebuah sumur yang kering. Dindingnya terbuat dari batu bata merah yang licin. Aku mendongak dan melihat sepotong langit biru berbentuk lingkaran sempurna di atas sana. Tiba-tiba, aku mendengar suara tangisan bayi. Tapi itu bukan tangisan biasa. Suaranya terdengar persis seperti melodi Explosions In The Sky dalam lagu Catastrophe and The Cure. Menyerupai badai yang kemudian menjadi ketenangan, sangat indah. Seolah datang menjadi malapetaka sekaligus penyembuh. Aku mencoba memanjat, tapi dindingnya terlalu licin. Aku terus mendengar suara melodi bayi itu sampai aku terbangun dengan keringat dingin. Yuki masih tertidur pulas di sofa, napasnya tenang dan dalam.

Hari ketiga puluh tiga, hujan turun lagi. Sama derasnya seperti hari pertama ia datang. Kami menghabiskan hari itu di dalam ruangan, tidak banyak bicara. Aku membaca buku, ia menonton langit kelabu dari jendela. Ada perasaan aneh di udara, perasaan bahwa sesuatu akan berakhir. Seperti nada terakhir dari sebuah lagu yang panjang, yang kau tahu akan segera berhenti dan meninggalkan keheningan.

Malamnya, kami makan udon seperti biasa. Tapi kali ini, ia makan dengan sangat pelan, seolah menikmati setiap helai mi. Setelah selesai, ia yang mencuci mangkuk. Aku melihat punggungnya dari meja makan. Punggung yang membawa beban kehidupan baru dan masa lalu yang tak terucap.

“Terima kasih untuk udon-nya,” katanya tanpa berbalik. “Ini udon terenak yang pernah kumakan.”

Aku tidak menjawab.

Pagi harinya, hari ketiga puluh empat, aku terbangun oleh keheningan. Tapi ini adalah keheningan yang lama, keheningan yang kukenal sebelum ia datang. Keheningan yang hampa dan berat. Aku tahu, bahkan sebelum aku bangkit dari tempat tidur.

Ia sudah pergi.

Sofanya rapi. Selimut terlipat dengan sempurna di ujungnya. Tidak ada jejaknya yang tersisa. Tidak ada gaun katun, tidak ada sepatu kanvas, tidak ada sikat gigi di kamar mandi. Seolah-olah tiga puluh tiga hari itu hanyalah demam panjang yang kualami. Mimpi yang terlalu hidup.

Aku berjalan ke ruang tengah. Semuanya sama seperti sedia kala. Piring-piring retak di rak, tumpukan buku di lantai. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Di atas turntable-ku, tergeletak sebuah piringan hitam yang bukan milikku. Sigur Ros Agaetis Byrjun. Di sampingnya, sebuah amplop putih kecil.

Tanganku sedikit gemetar saat membukanya. Di dalamnya ada selembar foto USG. Gambar hitam putih yang kabur, sesosok janin kecil yang mengambang di dunianya sendiri yang gelap dan aman. Aku membalik foto itu. Di belakangnya, ada tulisan tangan yang rapi dengan tinta biru.

“Beberapa orang hanya lewat untuk membuat kita merasa masih hidup.”

Aku berdiri di sana untuk waktu yang lama, memegang foto itu. Aku tidak merasa sedih. Aku tidak merasa ditinggalkan. Aku merasa… sadar. Seolah aku baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang. Keheningan di apartemenku tidak lagi menekan. Ia terasa lebih ringan, lebih luas.

Aku meletakkan foto USG itu di atas meja. Kemudian, dengan gerakan yang terasa seperti ritual, aku meletakkan vinyl Sigur Ros di atas turntable. Aku menurunkan jarumnya dengan hati-hati. Dengung rendah membuka tracknya, menyerupai suara bumi yang bersiap menyampaikan rahasia. 

Aku seakan masuk ke dalam gerbang menuju dunia yang mengabutkan batas mimpi, kesedihan dan harapan…

Aku berjalan ke jendela. Di luar, hujan sudah berhenti. Matahari pagi yang pucat mencoba menembus sisa-sisa awan. Dan di ambang jendela, Wednesday sedang duduk menatapku. Padahal hari itu bukan hari Rabu. Seolah ia tahu, jadwal lama sudah tidak berlaku lagi. Dunia telah bergeser sedikit dari porosnya.

Aku tidak tahu siapa nama perempuan itu sebenarnya, dari mana ia datang, atau ke mana ia pergi. Aku tidak tahu apakah Yuki adalah nama aslinya. Aku mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi. Ia seperti salju yang turun di bulan April—tak terduga, indah, dan ditakdirkan untuk menghilang saat pagi tiba. Ia tidak pernah benar-benar datang, jadi ia juga tidak pernah benar-benar pulang. Ia hanya lewat, meninggalkan sebuah rekaman, foto seorang anak yang belum lahir, dan keheningan yang kini terdengar seperti musik. Dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, aku merasa apartemen ini bukan lagi tempat yang kosong. Ia penuh dengan ketidakhadirannya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Aku Tak Pernah Bersedih
zaky irsyad
Novel
My OCD husband
Dina Nur Octaviana
Novel
Gold
Little Did We Know
Falcon Publishing
Novel
Menyindir Tuhan
Marindya
Skrip Film
LANGIT BIRU
Herman Trisuhandi
Skrip Film
LOVE IS TRAGEDY
Novi Assyadiyah
Flash
Bronze
Teguran Peristiwa
Nuel Lubis
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Novel
Bronze
Sinar untuk Genta
Rika Kurnia
Novel
Bronze
Balada Sepasang Kekasih Gila
Han Gagas
Skrip Film
Halo Hala
Annisa Diandari Putri
Skrip Film
Aesthetic
Yunia Susanti
Flash
Bronze
Hujan
Bungaran gabriel
Flash
Tangent
Cheri Nanas
Flash
Polusi dalam Politik
Aiman Muin
Rekomendasi
Cerpen
SEPERTI SALJU BULAN APRIL
IGN Indra
Flash
REBUSAN KOSONG
IGN Indra
Cerpen
OTAK WARISAN
IGN Indra
Flash
PAJANGAN LEMARI KACA
IGN Indra
Flash
Cinta Pergilah, Hari Sudah Malam
IGN Indra
Cerpen
CINTA TAK PERNAH SAMPAI
IGN Indra
Cerpen
LEIL FATTAYA
IGN Indra
Cerpen
WARISAN KETIGA
IGN Indra
Cerpen
KAMAR 303
IGN Indra
Cerpen
MALAM ALUNA
IGN Indra
Novel
LANGIT KEDUA
IGN Indra
Novel
THE TOXIC ASSET
IGN Indra
Novel
SENI PERANG RUMAH TANGGA
IGN Indra
Cerpen
SATU HATI DUA CINTA
IGN Indra
Cerpen
KAMAR NO 7 DAN AROMA LAVENDER
IGN Indra