Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sorak-sorai penonton yang bergemuruh, bagai picu yang ditarik di pusat memori kepala Yazid. Dalam sekejap, ingatan tentang masa lalu meledak dan berhamburan tak terbendung. Seperti air bah, semua kenangan itu membanjiri benaknya seketika. Entah mengapa, setiap kenangan yang terlintas, selalu saja didominasi bayangan satu sosok yang sama. Sosok yang selalu mengisi hari-hari Yazid di masa lalu. Sosok Arum Kinasih.
***
Arah pandang Yazid saat ini memang tertuju ke tengah sungai berair surut. Pada sosok-sosok yang berjibaku melawan pekatnya lumpur Kuala Getek. Pada pemuda-pemuda yang tak berhenti menarik-dorong dua batang bambu pendayung. Namun, ingatan Yazid justru melompati masa, melintasi waktu, meluncur kembali ke masa berpuluh tahun yang lalu. Seperti laju sampan yang dikayuh oleh kuatnya kenangan.
“Yazid pembual! Katanya hendak datang awal!”
Yazid tersenyum melihat wajah merajuk Arum saat mereka beriringan menuju kantin sekolah.
“Maaf, Rum. Aku sudah bersiap-siap lepas subuh. Jam lima sudah turun dari rumah.”
“Tapi, mengapa pula terlambat?”
“Itulah! Entah macam mana Bang Jek lupa mengikat honda penumpang. Roboh pula benda itu. Nyaris kami terjungkang dalam lumpur. Untung Bang Jek lihai menahan.”
“Iya jua-kah? Biasa aman-aman saja menyeberang dengan sampan tu?”
Wajah gadis berseragam putih biru itu masih bertekuk. Ia menampakkan ekspresi tak percaya. Mati-matian Yazid mencoba meyakinkan Arum.
Pagi ini memang cukup buruk bagi Yazid. Saat keluar rumah, ia baru sadar ban sepedanya bocor. Terpaksa ia berjalan menuju tepi sungai tempat sampan berlabuh. Ia juga berangkat dengan perut kosong karena nasi yang Mamak masak belum lagi tanak. Dan yang terburuk, ia harus mengalami tragedi motor roboh di atas sampan. Untung saja takada satu pun penumpang yang terlempar ke dalam lumpur. Namun, entakan sepeda motor yang tumbang itu membuat sampan terbenam lebih dalam ke lumpur sungai. Bang Jek, dibantu penumpang dewasa, mati-matian mengayuh dayung agar sampan dapat melaju kembali. Butuh waktu yang cukup lama hingga mereka akhirnya berhasil.
Sehari-hari, Yazid memang harus menyebrangi sungai dengan sampan. Sampan bukan sembarang sampan, tetapi sampan yang bagian bawahnya datar alias leper. Tidak seperti sampan pada umumnya yang memiliki bentuk lengkung di bagian bawah.
Sampan leper menjadi alat tansportasi yang digunakan warga desa Yazid menuju kota kabupaten. Sungai yang kian hari kian mengalami pendangkalan, menyisakan lumpur tebal yang tak bisa dilalui sampan biasa.
Sampan leper menjadi jawaban untuk kebutuhan transportasi dari desa Yazid dan desa-desa sekitarnya menuju kota. Sebenarnya bisa saja menggunakan jembatan, tetapi harus menempuh jarak yang lebih jauh. Ditambah lagi, akses jalan saat itu masih buruk. Sulit untuk dilalui, apalagi jika kita sedang diburu waktu. Untuk itulah, warga desa lebih memilih sampan leper sebagai jalur alternatif mereka menuju kota.
“Namanya saja kecelakaan, Rum. Tak sengaja. Manalah kami mengharap kejadian macam itu?”
“Ya, tapi gegara kau lambat, aku pun jadi kena amuk Bu Erna, tau? Mana PR matematika-ku belum siap. Dobel pula kenak marah. Ah, benci aku!”
“Aih, janganlah benci, Rum.”
“Aku kenak marah Bu Erna, Zid. Bu Erna! Guru paling killer di sekolah kita.”
“Jadi kau mau aku buat apa?”
“Traktir aku makan di kantin.”
“Bah! Manalah aku ada duit, Rum. Hari-hari pun kau yang belanja aku. Aku ini kere, Rum. Kere!”
“Jadi macam mana? Kalau macam itu jangan harap aku akan maafkan kau.”
“Hmmm. Bagaimana kalau—” Yazid tampak berpikir sebentar. Hal apa yang sekiranya dapat melunakkan hati Arum saat ini? “Ah, ya! Bagaimana kalau aku bantu kau belajar untuk ulangan matematika besok?”
“Iyalah, iyalah! Sekarang kita cepat ke kantin, nah. Aku traktir kau.”
Arum menarik kuat tangan Yazid. Wajahnya masih sedikit menekuk, tetapi Yazid tahu, Arum sudah tidak merajuk lagi. Arum memang tak pernah bisa berlama-lama marah pada Yazid, sebagaimana Yazid tak pernah bisa marah pada Arum, secerewet apa pun gadis itu. Begitulah mereka sejak dahulu.
***
“Ayooo! Dayung lebih kuat! Dayung lebih kuat, Boy! Jangan mau kalaaah!”
Teriakan parau tepat di belakang telinganya membuat Yazid terkejut. Seorang lelaki yang tak Yazid kenal berteriak sekuat tenaga, tanpa peduli nasib telinga orang-orang di dekatnya. Dua telapak tangannya yang besar membentuk corong di depan mulut. Sejak tadi ia terdengar menyemangati seseorang yang sedang berpacu di bawah sana. Tak peduli jika suaranya sudah sangat serak dan terdengar semakin parau.
Senyum Yazid mengembang. Di masa lalu ia dan Arum sering bertingkah seperti itu setiap kali menonton pacu sampan. Kegairahan melihat jagoan-jagoan mereka berpacu, membuat mereka tanpa malu berteriak-teriak, bahkan berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Apalagi saat jagoan mereka memenangi perlombaan. Otomatis mereka akan saling dorong dan mengacak-acak rambut satu sama lain.
Selepas sekolah menengah atas, Yazid juga pernah turut pacu sampan. Ia bahkan memenangi posisi juara. Satu hal besar, memaksa Yazid untuk ikut bersusah payah mengikuti lomba pacu kala itu.
***
Hari itu adalah hari pertama ujian nasional. Seperti janjinya pada Arum hari sebelumnya, Yazid menjemput Arum di rumahnya. Sejak mereka memasuki jenjang sekolah menengah atas, Arum tak pernah lagi menunggu Yazid di dermaga seperti saat mereka masih SMP. Alih-alih, Yazid selalu datang menjemput Arum dengan sepeda tuanya. Yazid akan mengantar Arum ke SMA-nya, baru kemudian ia menuju sekolahnya sendiri di sekolah kejuruan.
Hari masih sangat pagi. Arum masih menyelesaikan sarapan. Yazid tak ingin terlambat di hari sepenting ini, makanya dia berangkat lebih awal. Ibu Arum mengajak Yazid naik ke rumah untuk ikut sarapan. Namun, Yazid menolak karena malu. Akhirnya dia duduk menunggu di teras sambil mengobrol dengan ibu Arum.
Keluarga Arum selalu ramah pada Yazid. Mereka tidak pernah mempermasalahkan kedekatan antara Yazid dan Arum. Mereka bahkan tidak mempermasalahkan saat beredar kabar, Yazid dan Arum menjalin hubungan istimewa yang lebih dari sekadar persahabatan, meskipun tidak dapat dimungkiri, ada perbedaan yang cukup mencolok di antara mereka.
Ayah Arum orang yang cukup terpandang. Ia memiliki hektaran kebun kelapa dan perusahaan pengolahan kopra yang sangat maju. Sementara ayah Yazid, hanya petani yang menggarap sepetak ladang tak seberapa luasnya.
Biasanya Yazid senang dapat berbincang dengan ibu Arum. Beliau sosok ramah berwawasan luas. Namun, pagi itu, obrolan dengan ibu Arum menyisakan sebuah rasa tak menentu di hati Yazid. Bukan karena beliau menyinggung perasaan Yazid, atau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Tidak. Mereka hanya membicarakan apa yang Yazid dan Arum akan lakukan selepas sekolah menengah nanti.
Dengan mata penuh binar bangga, ibu Arum menceritakan rencananya mengirim Arum ke tanah Jawa untuk melanjutkan kuliah. Ia mengungkapkan harapan-harapan besar akan putri semata wayangnya. Ia juga bertanya pada Yazid, akan melanjutkan pendidikan ke mana. Pemuda itu hanya menggeleng ragu.
Jika ditanya apakah Yazid ingin melanjutkan pendidikan, tentu saja jawabannya adalah ingin. Sangat ingin. Namun, Yazid sepenuhnya menyadari, tidak setiap keinginan yang ia miliki akan terwujud. Orang tuanya tidak seperti orang tua Arum. Kemampuan mereka terbatas untuk dapat memberikan pendidikan yang lebih pada anak-anak mereka yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi orang tua Yazid, berhasil menamatkan sekolah menengah atas saja sudah merupakan anugerah.
Perbincangan dengan ibu Arum pagi itu memantik kesadaran baru di hati Yazid. Ia paham, ucapan ibu Arum sebenarnya ditujukan untuknya. Bahwa, jika ingin terus bersama Arum, ia harus mampu memantaskan diri.
Sejak saat itu Yazid lebih banyak berpikir. Bukan hal mudah untuk dapat merealisasikan semuanya, mengingat keadaannya saat ini. Namun, ia juga tidak ingin mundur dan melepas Arum begitu saja. Ia harus dapat menemukan jalan.
Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambaNya. Begitu juga dengan harapan-harapan Yazid. Lomba pacu sampan leper yang diadakan tahun itu berhadiah beasiswa pendidikan di sebuah kampus di kotanya. Dengan penuh semangat, Yazid mendaftarkan diri dalam lomba. Ia berlatih begitu keras. Ia bertekad begitu kuat. Ia berdoa, berdoa, dan terus meminta kepada-Nya. Hingga akhirnya Sang Maha Mendengar mengabulkan. Yazid berhasil mendapatkan beasiswa itu, meski Arum tak sempat menyaksikan. Arum dan keluarganya telah hijrah ke tanah Jawa.
***
Sorak-sorai riuh tak terbendung. Yazid tersenyum. Dia seperti mengalami de javu. Seperti itulah saat kemenangannya dahulu. Tak terkirakan gemuruh dalam dadanya ketika menerima trofi kemenangan di atas podium. Ia merasa selangkah lebih dekat dari mimpinya, juga dari Arum.
Kenyataannya, liku hidup tak pernah terduga di mana ia berkelok. Banyak hal yang tak selalu sesuai dengan yang kita harap. Banyak hal bisa saja luput dari prediksi. Seperti halnya Yazid dan Arum. Garis nasib ternyata membawa mereka semakin jauh satu sama lain.
Di tahun-tahun awal mereka masih erat berkomunikasi. Namun, selanjutnya, jarak yang ada ternyata mampu merenggangkan rasa. Bukan rasa di hati Yazid, melainkan Arum. Hingga akhirnya Yazid benar-benar harus rela kehilangan Arum.
Dahulu Yazid sempat kecewa. Ia merasa Arum mengkhianatinya. Namun, kini Yazid menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang Tuhan kehendaki begitulah adanya. Yazid kini bahkan mampu berterima kasih kepada Arum juga ibunya. Merekalah yang menjadi motivasi Yazid untuk memiliki mimpi yang tinggi dan tekad kuat untuk menggapainya.
***
“Kakek!”
Suara yang sangat dikenal Yazid membuatnya menoleh. Seorang gadis dengan senyum lebar merentangkan tangannya dan menghambur ke pelukan Yazid.
“Laiyl, kapan datang dari Jogja?”
“Baru saja tiba. Kata Nenek, Kakek sedang menonton pacu sampan di sini. Oiya Kek, kenalkan, ini Teguh, kawan Laiyl.”
Yazid menoleh pada pemuda yang tersenyum di samping cucunya. Kening Yazid berkerut. Entah mengapa ia seperti melihat gurat wajah seseorang di wajah pemuda itu.
“Kenapa, Kek?”
“Ah tidak. Kakek seperti pernah melihat seseorang yang mirip kawanmu ini.”
“Ah tidak. Kakek seperti pernah melihat seseorang yang mirip kawanmu ini.”
“Ohya? Eh, Kakek percaya tidak, kalau nama ayah Teguh sama dengan nama Kakek? Yazid. Dan nama nenek Teguh, sama dengan nama Ibu. Arum Kinasih. Betul loh! Kek? Kakek heran ya? Nah, apa kubilang, Guh, Kakek pasti sama herannya dengan kita. Kakek? Oi, Kakek! Mengapa melamun? Kakek!”
*Selesai*