Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Seperti Bulan Sabit di Tengah Malam
0
Suka
652
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

JARUM jam dinding tepat berada di angka sebelas saat Yusuf didatangi seluruh sanak famili dan kerabatnya di ruang perawatan intensif rumah sakit Kasih Mama. Pria paruh baya itu ditemukan menggelepar di pelataran parkir sebuah hotel melati saat hendak meliput berita peringkusan seseorang yang diduga kuat sebagai ketua ormas keagamaan ternama, ketahuan main syahwat dengan sesama anggotanya.

Istri Yusuf terduduk lemas di sisi ranjang tempat suaminya berbaring saat Anwar perlahan masuk ke ruang ICU. Ada jejak air mata di kerudung kisut perempuan ceking itu yang dapat menerbitkan iba. “Bagaimana keadaannya, bu?” tanya Anwar. Bu Yusuf bicara pelan sekali, Anwar harus agak membungkuk mendekatkan telinganya ke sumber suara. “Saya berdoa untuk kesembuhan bapak,” kata Anwar.

Anwar tak bisa terlalu lama di ruang ICU. Para tetangga Yusuf mengantri dengan paras cemas di ruang tunggu. Setelah menyerahkan amplop dan sekantung jeruk mandarin Anwar pamit. Di pelataran parkir hari sudah gelap. Anwar masuk ke mobil, memutar kunci kontak dan jendela mobil ia turunkan. Tuas perseneling berada di posisi reverse, sedikit saja kakinya menginjak gas, mobil itu mundur perlahan. Anwar mengasongkan karcis dan selembar dua ribuan ke petugas parkir.

Mobil melaju dengan lembut. Di balik kemudinya, Anwar menyetel lagu jazz dan ikut menyanyi jika ada bagian lagu yang dihapalnya. Jika tidak ada sebaris pun lirik yang ia hapal, benak Anwar mencoba mengingat kembali kapan tepatnya ia pernah menyarankan Yusuf mengurangi kegemarannya melahap daging kambing. Anwar hanya ingat, Yusuf adalah tetangga rumahnya tepat di ujung kelokan jalan. Pria itu berkepala empat dan bekerja di tabloid daerah sebagai tukang liput berita.

 

 

BERITA duka tiba saat matahari baru sepenggalah. Seminggu setelah Yusuf tak kunjung sadarkan diri di rumah sakit, pria penggemar daging kambing itu mengembuskan nafas terakhir. Sayup-sayup kabarnya terdengar dari toa masjid tepat ketika Anwar sedang mencelupkan kantung teh herbal yang ia pesan langsung dari Kudus. Selain mengabarkan duka, suara pak RT yang mengambang di udara dari toa masjid itu mengajak warga sekitar turut mengantarkan jenazah Yusuf ke pemakaman umum Santiago, yang lebih-kurang memakan setengah liter bensin jaraknya.

Beberapa tetangga mengetuk pintu kontrakan Anwar, namun saat suara pria yang Anwar dengar sama persis dengan suara yang didengarnya dari toa masjid, barulah Anwar bergegas menuju pintu.

“Mobilnya boleh kami pinjam, mas?” tanya pak RT.

“Mari, mari, silakan. Saya baru selesai mandi. Langsung ke rumah sakit?”

“Sudah diantar ke makam, kita menyusul saja.”

Anwar menyerahkan kunci mobil, “Saya berpakaian dulu, lima menit.” Anwar masuk ke kamar, mengenakan kemeja hitam lengan panjang, dan melangkah ke dapur. Ia sesap teh herbalnya perlahan. Sesekali ia melirik jam di ponsel dan membayangkan Santiago, tempat pemakaman umum yang hendak mereka tuju. Anwar sesap lagi tehnya perlahan. Perut dan tenggorokannya kini sama hangat dengan teh yang masih tersisa di dalam gelas.

Pak RT mengeluarkan mobil Anwar dari garasi kontrakan. Tiga orang warga masuk dan duduk, Pak RT  bergeser ke kursi kiri di kabin depan. Terdengar lagu jazz kesukaan Anwar dari tape mobil. Pak RT menengok ke pintu kontrakan Anwar dan ketiga orang di kabin belakang pun melakukan hal yang sama. Satu dari ketiga orang itu turun dari mobil dan mengetuk pintu kontrakan Anwar.

 

 

AZAN dikumandangkan dari liang lahat. Isak tangis sanak keluarga Yusuf memerikan suasana haru. Tangis dan sedu-sedan itu seolah mau memecah kesunyian, membuyarkan kesedihan yang mengambang di antara mereka. Pak RT berada di barisan agak depan, berdekatan dengan keluarga Yusuf yang semuanya menggenggam erat kantung kresek hitam berisikan kembang tujuh rupa. Anwar bersender pada pohon waru, dikelilingi para tetangga yang matanya menatap tanah coklat. Tiga pemuda dengan pakaian serba hitam di samping kanan Anwar menancapkan pandangan ke layar ponsel di genggamannya masing-masing.

Suasana mendadak senyap. Waktu seolah terhenti.

Tanah pertama yang terayun dari cangkul, tumpah ke dalam liang kubur disusul taburan kembang-kembang. Terdengar kicau burung memecah kesenyapan di antara para sanak keluarga. Deru kendaraan bermotor di seberang pemakaman turut andil membuat kesenyapan itu sedikit bernada. Anwar mengedarkan pandangannya. Tak tampak sosok Cinta dan Siska di antara para pelayat yang memakai pakaian serba hitam itu. Anwar melangkah menuju gundukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri dan kembali melayangkan pandang. Namun, tetap tak dijumpainya kedua sosok itu.

Sejenak, Anwar mengenang sosok Yusuf, meski hanya sesekali Anwar jumpai dan itupun perjumpaan yang memang tak disengaja –sebagai pria yang murah senyum. Ibarat terang bulan sabit, bibir Yusuf tampak terus-menerus melengkung, seolah pria itu memang diciptakan tuhan dengan bentuk rahang yang mencegahnya cemberut.

Di Santiago inilah kali pertama Anwar bertemu Yusuf. Saat itu almarhum sedang meliput prosesi pemakaman walikota, yang dihadiri tak kurang dua ratusan pengantar jenazah. Anwar sedang bersama Cinta dan Siska saat petang mulai merembang di pemakaman umum itu, dan saat rombongan bertolak dari pusara walikota, terjadi hal ganjil yang membuat Anwar gelisah.

Yusuf mendapati Anwar berada di balik gerumbul semak. Tapi, Anwar ragu apakah pria itu melihatnya secara jelas atau tidak. Sorot mata mereka memang sempat saling tumbuk meski antara Anwar dan Yusuf kira-kira berjarak sepuluh gantar jauhnya. Anwar hanya berharap bahwa daging kambing, selain mengakibatkan tensi darah meninggi, juga dapat menyebabkan rabun senja akut ditambah amnesia yang datang khusus saat langit mulai berwarna oranye.

“Kau tahu pria yang barusan tak sengaja melihat kita?” Sambil merapikan pakaian, kepala Anwar menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Memangnya siapa, mas? Gak apa-apa lah, wong kita-kita ‘kan sudah biasa mangkal di sini,” timpal Cinta.

“Gak usah parno begitu, deh, say,” kata Siska.

“Kepalamu parno. Dia itu wartawan! Bisa celaka kalau dia memotret kita, tahu?!”

“Nah, ini nih, gantengnya mulai keluar,” balas Cinta.

“Mas Anwar kalau marah, ganteng, ya.” rayu Siska.

“Mata kalian buta! Sudah, sudah, aku mau pulang.”

 

 

DENGUNG nyamuk yang saling menyerempet di kuping Anwar membuat ia jengah berdiam di pos ronda semalaman. Pak RT teringat termos air hangat di rumahnya, sedangkan Yusuf berinisiatif mengambil kopi dan gula, juga ke rumahnya. Menantikan pukul empat subuh, tiga jam semenjak dua lelaki paruh baya itu punya prakarsa gemilang agar “melek terus sampai pagi”, yang justru Anwar rasakan sudah sewindu lamanya ia bertapa di pos ronda.

Anwar memang ditemani pak RT. Beliau menggantikan seorang warga yang tak bisa hadir dengan alasan pekerjaan di kantornya tak bisa ditinggalkan. Tapi kehadiran pak RT, yang semula Anwar bayangkan bakal menghidangkan suasana cair di malam suntuk itu, ternyata berjalan agak lain. Malah, ia mengutuk pak RT setelah tahu jadwal ronda mendadak diubahnya.

Bersama pak RT, Yusuf pun turut menghabiskan malamnya bersama Anwar. Jelas saja Anwar merasa tersiksa. Namun demikian, Yusuf tak menunjukkan gelagat jahil atau penasaran. Yusuf tetap Yusuf yang selalu mengasongkan bibir melengkungnya pada siapapun, termasuk pada Anwar. Tapi, tetap saja Anwar merasa jeri kalau-kalau di balik senyum itu, terkandung rencana besar buat menjatuhkan Anwar dan mempermalukannya.

Sampai tiba pukul empat subuh, Anwar masih merasa gelisah dan hanya manggut-manggut saja di hadapan pak RT dan Yusuf. Setelah bosan berusaha melupakan senyum Yusuf yang tak bisa ditafsirkannya lagi sebagai kebahagiaan atau kemenangan musuh, Anwar timpas di pembaringan dengan dengkur panjang yang gusar.

 

 

DI KEJAUHAN, terdapat pohon puring dengan pelepah daun puspa warna melambai-lambai didera angin. Semerbak wangi kamboja, kenanga, dan rajangan daun pandan, saling susup masuk hidung Anwar. Pak RT memimpin doa dan membuat semua warga yang mengantarkan jenazah menengadahkan kedua tangannya. Istri Yusuf menatap kosong ke arah nisan yang kini sudah tegak dan kokoh tertancap di gundukan yang mewangi itu.

Anwar menunduk, memusatkan pandangannya ke dedaunan kering bercampur kerikil di atas tanah. Para warga serentak mengucap “amin” berkali-kali. Mata Anwar masih tertuju ke tanah, lengan kanannya menggenggam bahu lengan kirinya. Matahari sudah semakin menanjak di langit dan sinarnya menyasar punggung mereka. Azan ashar lamat terbawa angin di kejauhan.

Setelah tak lagi terdengar “amin”, Anwar beralih ke gundukan tanah yang berjarak tujuh langkah dari tempatnya bersandar di pohon waru. Tak disangka-sangka, mata Anwar menangkap dua sosok yang tengah berjalan menyusuri nisan pekuburan menuju gerumbulan semak di kejauhan. Keduanya sudah Anwar kenal dan langsung menerbitkan senyum di bibir Anwar.

Para rombongan di prosesi pemakaman itu kembali pulang dengan langkah yang setengah terseret.

“Mohon maaf sekali nih, pak,” kata Anwar, “barusan saja keponakan saya mengontak, minta dijemput katanya. Bocah itu kesasar, mau mengunjungi saya. Ia menunggu di satu persimpangan jalan.”

“Oh, tak apa-apa, mas. Kami bisa pulang menumpang angkot.”

“Maaf pak RT. Saya jadi merepotkan bapak-bapak sekalian.”

“Santai, mas.”

Anwar bersama rombongan lain berjalan beriringan ke arah gerbang pemakaman. Mereka saling berpamitan di bahu jalan.

 

 

ANWAR masuk ke mobilnya dan melaju. Musik jazz kesukaan terdengar dari pelantam di mobil. Ia lalu memutar kemudi hingga mentok ke arah kanan setelah melewati marka “U”. Tak lama berselang, lampu sein kiri berkedip-kedip dan mobil Anwar menepi. Anwar berjalan masuk ke gerbang pemakaman. Langkah kakinya tampak mengayun ringan.

Cinta dan Siska tengah memulas wajahnya menggunakan pupur kalengan yang dilengkapi dengan cermin lipat. Mereka terduduk di atas keramik kuburan yang gundukan tanahnya sudah ditumbuhi ilalang. Dua kali mulut mereka secara serentak menyemburkan bahasa latin untuk kelamin pria, seolah-olah tersengat lebah, hanya gara-gara dehem kasar di belakang punggung mereka.

“Ya ampun! Kukira setan alas. Tumben?” Telunjuk Siska mengarah ke kerah kemeja hitam yang dikenakan Anwar.

“Gak lihat barusan ada yang dikubur? Tetanggaku mati.”

“Inalillahi...” Siska merogoh tasnya, mengambil lipen, dan kembali ke cermin.

“Kita-kita baru keluar nih, kalau ada yang dikubur, pasti tempat ini jadi sepi. Sebel deh,” kata Cinta.

“Kalau gak mau sepi, mangkalnya di mall.”

“Nah, boleh tuh. Asal masnya mau ambil aku kalau nanti kami digaruk tibum, mau?”

“Terus, masmu ini harus menjaminkan apa sama mereka, para tibum itu?”

“Apa lagi, mereka ‘kan maunya uang.”

“Kalian ajak main saja salah satu dari mereka, sejam dua urusan beres.”

“Astaga, memangnya kita perempuan apaan, main sama tibum?”

Gelak tawa terdengar di antara mereka. Suara dedaunan terserak di tanah dan ranting yang saling tubruk di pepohonan. Mereka berlomba unjuk gigi dengan kesunyian yang menjadi tuan rumah di Santiago.

“Aku mau main. Sebentar saja lah. Seperti biasa, dengan kalian berdua,” kata Anwar.

Mereka pun beranjak menuju gerumbul semak.

“Pegang punyaku dong,” kata Cinta.

“Males. Tetekmu palsu,” balas Anwar.

“Memangnya, siapa yang dikubur barusan, mas?” tanya Siska, kepalanya mendongak ke arah wajah Anwar yang tengah memejam.

“Bukan urusanmu.”

Mata Anwar sesekali menerawang ke langit sore. Burung-burung melintasi kepalanya acuh tak acuh. Angin membawa harum kembang, dan wanginya pekat di udara jika ada seseorang yang baru saja dikubur di pemakaman umum itu. Anwar mendesah, kedua transpuan yang tengah berjongkok di antara selangkangan Anwar pun mendesah.

Anwar membetulkan pijakan kakinya, melebarkan jarak kedua pahanya. Anwar memandangi sekitar. Suasana sunyi, hanya dedaunan di pohon puring itu bergoyang-goyang. Tibalah di suatu pojok pandangannya menangkap sosok samar. Anwar menghiraukannya, sosok itu mungkin berjarak lima puluh langkah dari tempatnya mengangkang. “Tukang gali kubur,” pikirnya. Tapi, entah mengapa, sosok itu seperti dihempaskan angin dan semakin mendekat seiring angin terasa menderu di telinga Anwar. Di saat bersamaan, Anwar tak kuasa meredam geletar otot dan desir darahnya yang saling pacu dengan apa yang dikerjakan Cinta dan Siska di bawah.

Sosok itu semakin mendekat, dan kini hanya berjarak sepuluh langkah saja dari tempat Anwar berdiri. Anwar mencoba mengibaskan lengannya pada Cinta, Anwar mencoba menggetok kepala Siska, namun waktu seakan membeku dan Anwar tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. Detak jantung Anwar semakin berkejaran, bulu tengkuk Anwar meremang. Seperti ada ledakan dari dalam tubuhnya, kedua mata Anwar pun memejam.

Sadar akan apa yang sedang dihadapi, Anwar membelalakkan lagi matanya. Dan hanya matanya sajalah yang mampu ia kendalikan, sementara lengan dan kakinya membeku. Sosok itu semakin mendekat, semakin jelas di mata Anwar. Sosok itu kini berada tepat di hadapannya. Ia mati rasa. Rahangnya kaku namun matanya menitikan air mata. Di antara rasa nikmat yang Anwar rasakan, di antara rasa ngeri dan putus asa, sosok di hadapannya itu memekarkan senyum, seperti sinar bulan sabit di tengah malam yang indah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
CINTA 3 REZIM
Rika Suartiningsih
Flash
Bronze
Mawar Tak Berduri
Herman Sim
Cerpen
Seperti Bulan Sabit di Tengah Malam
Zaki S. Piere
Novel
the Book & the Ball
LM. Alif Fauzan Tamar
Novel
Djakarta dan Djenar
Ann Diaa
Novel
LOVE IN ONE NIGHT
Gerin Pratama
Flash
Bronze
Kakak Perempuan dan Adik LAKI-LAKI (Membicaralan Adam 20)
Silvarani
Novel
Anak Desa
Nicanser
Skrip Film
SATU SAYAP UNTUK BAPAK
Mahfrizha Kifani
Flash
ToxiC
Art Fadilah
Novel
Married a stranger
Dessy purnama
Flash
Putri sang Pendosa
Lindaw
Flash
Bronze
Bertemu, Bersama lalu Berpisah
Hesti Ary Windiastuti
Novel
Bronze
Never Same
Sabelia
Novel
Merapal Ingatan
m agung triwijaya
Rekomendasi
Cerpen
Seperti Bulan Sabit di Tengah Malam
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Mumu, Karnap, dan Cerita yang Tak Perlu Dipercaya
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Akhir yang Tak Selalu Baik
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Nanas
Zaki S. Piere
Cerpen
Don
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Suami
Zaki S. Piere
Cerpen
Wannabe
Zaki S. Piere
Cerpen
Algojo
Zaki S. Piere
Cerpen
Klung!
Zaki S. Piere
Cerpen
Beginilah, Tak Ada yang Perlu Dirisaukan
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Asap dan Muasal
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Bintang Pagi
Zaki S. Piere
Cerpen
Dahaga
Zaki S. Piere
Cerpen
Kabut Mata
Zaki S. Piere
Cerpen
Dor!
Zaki S. Piere