Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma asap rokok di warung kopi ini membuat dadaku terasa berat, seakan paru-paruku ikut berdebu. Riuh obrolan dari meja-meja sekitarku beradu di udara, makin memperparah rasa pusing yang sejak tadi menekan. Aku menggeliat gelisah di kursi, berharap segera pulang, karena jujur saja, tempat seperti ini bukan pilihanku. Namun, janji adalah janji. Dan aku sudah janji akan bertemu Susi, teman lamaku sejak kuliah.
Susi tiba dengan senyumnya yang lebar dan langkah tergesa. Begitu duduk, dia segera memesan kopi dan camilan, tanpa basa-basi. Tepat seperti dugaanku, Susi memang selalu punya cerita panjang setiap kali bertemu, dan aku tahu, kali ini pasti tidak berbeda.
Baru saja keripik singkong dan es teh manisku tiba di meja, Susi langsung meledak. “Kamu ingat Caca? Yang dulu teman kuliah kita?” katanya, sambil menyibak rambutnya ke belakang. Suaranya meninggi, seakan menahan rasa dongkol yang sudah lama dipendam.
Aku menyeruput teh, sedikit tidak peduli, tetapi mencoba terlihat tertarik. “Ingat. Kenapa memangnya?”
Susi mendekatkan wajah, seperti sedang membocorkan rahasia besar. “Dia pernah pinjam uang ke aku. Lima ratus ribu. Sampai sekarang belum dibayar.” Matanya mengerjap penuh emosi.
Aku mengangkat alis. “Terus, dia bilang apa?”
Susi mendengus, seolah pertanyaanku konyol. “Nggak ada. Chat-ku cuma di-read doang. Nggak dijawab sama sekali.” Dia meraih cangkir kopi dan meminumnya dengan gerakan cepat, lalu menghempaskan cangkir ke meja. “Kesel banget.”
“Mungkin dia lupa?” Aku mencoba menenangkan, meski rasanya sia-sia.
Susi menyandarkan punggung ke kursi, menghembuskan napas panjang. Jari-jarinya mengusap gelas kopi, pandangannya mengambang ke luar jendela. Keluhannya menggantung di udara, seperti asap rokok yang enggan hilang. “Lupa dari mana? Aku udah tagih terus dari kemarin. Gajian juga telat, aku lagi butuh buat makan….”
“Tapi, sekarang ada kan ini buat bayar makanan?” kataku bercanda.
“Tenang aja, gajiannya baru turun hari ini,” kata Susi, lalu dia terdiam sejenak, tetapi tatapan matanya bicara lebih banyak daripada ucapannya—kesal, letih.
“Dan tau apa?” ujarnya, kali ini matanya berkilat, mengundang rasa penasaran yang memaksa aku untuk ikut di dalam cerita itu.
“Apa?” Aku mencoba menebak. “Dia hedon di medsos?”
Seperti anak kecil yang baru mendapatkan sekotak permen, ekspresi Susi berubah cerah. “Iya! Hedon banget! Dia update story tiap hari, pamer habis beli ini-itu. Tapi giliran aku tagih, hilang kayak angin!” Susi menyilangkan tangan di depan dada, lalu menyesap kopinya dengan kasar, seolah berharap kafein bisa meredakan amarahnya.
Aku tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Aneh, ya? Orang-orang sekarang pas pinjam uang manis banget, tapi giliran ditagih…, puff, hilang entah ke mana. Seandainya dia bilang aja kalau mau cicil, kamu nggak bakal marah gini, kan?”
Susi mendengus, meletakkan gelas kopi ke meja dengan bunyi gedebuk pelan. “Ya, persis. Yang bikin emosi tuh bukan cuma utangnya, tapi kenapa dia nggak bisa bilang aja kalau belum bisa bayar dengan dengan seenggaknya bales chat au gitu? Sekarang malah aku yang kayak dikejar-kejar energi negatif.”
Aku menyeringai dan menyenggol lengannya. “Yaudah, tagih lagi aja nanti, tapi kali ini coba lebih halus.”
Dia menatapku, matanya menyipit sedikit. “Kalau dia tetep nggak respon?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu. “Ya, berarti harga buat tahu dia bisa dipercaya atau enggak itu cuman lima ratus ribu. Setelahnya, kalau dia deketin kamu dan ngomong yang manis-manis atau gimanapun jangan di kasih lagi karena dia udah nggak bisa dipercaya.”
“Benar juga, okay deh, aku pake cara itu,” katanya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Setelah itu, kami menukar topik, membicarakan kesibukan masing-masing selama beberapa tahun terakhir.
Di kejauhan, Agung muncul dengan langkah ringan, melambaikan tangan tinggi-tinggi sambil tersenyum lebar. Kami membalas lambaian itu, dan ketika dia sampai, obrolan pun bergulir seolah-olah baru saja menemukan ritmenya lagi, seperti sungai yang mendadak bertemu alirannya.
“Eh, ngomong-ngomong,” kataku sambil menggaruk kepala, “Aku punya utang nggak ke kalian? Minggu depan insyaAllah aku mau naik haji. Kata orang, semua urusan kayak gini harus diberesin biar perjalanannya lancar.” Aku tertawa pelan, lalu melirik Susi dengan mata berbinar. “Tadi jadi keinget gara-gara dumelannya Susi.”
Agung ikut terkekeh, mengangkat bahu. “Hahaha, dumelin siapa dia?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Agung, Susi memelototiku dari balik gelas kopinya. “Astaga, Ra, diungkit lagi?” desisnya, matanya menyipit. “Padahal tadi udah reda, lho.”
“Maaf, maaf,” kataku sambil mengangkat kedua tangan, berpura-pura pasrah. “Tadi kan Agung belum gabung, sekalian aja aku tanya.” Aku melirik mereka berdua bergantian. “Serius nih, ada nggak utang aku ke kalian?”
Susi hanya menggeleng pelan, sambil masih menatapku dengan tatapan setengah sebal. “Ke aku sih nggak ada.”
Aku beralih ke Agung. “Kalau kamu, Gung?”
Agung menyipitkan mata, seakan mencoba mengingat sesuatu. “Hmm ….” Dia bergumam, menatap langit-langit warung sebentar, lalu bibirnya melengkung membentuk senyum. “Aman, Ra, nggak ada.”
Tapi alih-alih berhenti di sana, dia mengetuk-ngetukkan jari ke meja, seakan sebuah ingatan baru saja mampir di kepalanya. “Eh, tapi aku jadi inget sesuatu,” katanya sambil tersenyum jahil.
Aku memiringkan kepala, tertarik. “Tentang apa? Aku atau….?”
Agung menoleh ke Susi, senyumnya semakin lebar. “Tentang ibunda Ratu yang ada di depan saya ini.”
Susi mendongak dengan alis terangkat, camilan tersangkut di tenggorokannya. Ia cepat-cepat menelan, lalu memiringkan kepala, ekspresi curiga terpampang jelas. “Apa sih? Mau ngomongin apa tentang aku?” tanyanya, nada suaranya di antara waspada dan penasaran.
Agung menyeringai, nada bercanda menyelemuti ucapannya. “Ibunda Ratu ini dulu pernah minjem duit lima puluh ribu ke rakyat jelata ini.”
Susi mengernyit, jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah mencoba mengingat. “Hah, kapan?”
“Waktu itu. Pas kamu lapar, terus lupa bawa uang. Ingat nggak?” Agung menjawab santai, matanya melirik sekilas, seakan menikmati kebingungan Susi.
“Ohhhhhh,” Susi memonyongkan mulut dengan gaya sok paham. “Yaelah, Gung, lima puluh ribu doang. Ikhlasin aja lah,” katanya, nadanya seolah uang segitu tak lebih berharga dari recehan.
Aku mengerutkan kening. Rasanya ada yang ganjil di sini, tetapi aku memilih menunggu beberapa detik sebelum angkat bicara. “Kayaknya…, aku mulai paham deh kenapa Caca nggak bales chat kamu,” kataku, sedikit menahan tawa.
Mata Susi menyipit, lalu dia tersenyum lebar, seperti baru sadar sesuatu. “Jadi maksud kamu, ini karma gara-gara aku lupa bayar duit Agung?”
Aku hanya mengangkat bahu sambil menyengir. “Bisa jadi.”
Agung tertawa kecil, lalu menyeruput minumannya yang baru saja tiba. “Udah, nggak apa-apa. Aku ikhlas, kok.”
“Tuh, kan, Agung aja ikhlas,” ucap Susi, matanya menyipit nakal.
Agung mengangkat gelasnya. “Iya, sekarang aku ikhlas. Aku anggap harga buat tahu kamu bisa dipercaya atau enggak cuma lima puluh ribu.”
Susi mengangkat tangannya, seolah mengakui kekalahan. “Sial!” katanya dengan setengah kesal, setengah tertawa.
Tawaku meledak. Ini adalah jenis tawa yang sudah lama tidak keluar. Tawa yang datang tiba-tiba, tapi terasa hangat di dada.
“Bayar, Sus,” godaku, menyeringai. “Nggak mau kan harga rasa percaya Agung cuma lima puluh ribu?”
Susi mendengus pendek, menatapku seolah berharap ada cara lain. “Iya, Ra, iya….” jawabnya lesu, seakan menyerah pada nasib.
Aku tergelak, menahan tawa. “Semoga aja kali ini Caca akhirnya balas chat kamu,” ujarku, menambah bumbu dengan nada nakal.
Susi menarik napas panjang, lalu merogoh kantong dan mengeluarkan selembar lima puluh ribu. Dengan drama yang tak kalah megah, dia meluruskan punggung seperti seorang putri yang turun dari istana. Kakinya melangkah anggun, penuh kehormatan palsu, sebelum akhirnya berlutut di depan Agung. Tangan Susi terulur pelan, menyodorkan uang itu dengan sedikit membungkuk seperti mempersembahkan harta karun.
Aku menutup mulut dengan kedua tangan, tapi tawa tetap meledak, meluap tanpa kendali. Bahuku berguncang-guncang, dan napas mulai tersengal. “Aduh, Sus…, ngakak banget!” ucapku dengan suara terputus-putus di sela tawa.
Agung menepuk dadanya seolah menguasai panggung, lalu menunjuk Susi dengan ekspresi puas. “Baik, terima kasih, Susi. Mulai sekarang, rasa percayaku ke kamu bukan lima puluh ribu lagi, tapi nol! Alias zonk, ha!”
Ucapan itu langsung membuatku terbahak lagi, kali ini lebih keras hingga perutku mulai nyeri. Susi melotot pura-pura marah, tapi sebelum Agung bisa kabur, dia sudah mengunci lehernya dengan cepat. “Ini buat zonk, ya!” katanya ketus sambil mengeratkan kuncian, sebelum akhirnya melepaskannya.
Kami terdiam sesaat, bertukar pandang, lalu tawa kami meledak bersamaan, menggema di ruangan seakan tak ada akhir.
~ Tamat ~
Ditulis oleh Novi Assyadiyah | Diterbitkan oleh Semut Kecil