Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Ini, kan, perkembangan zaman, sebuah keniscayaan, nggak bisa kita hindari,” tutur Rifki beralasan sambil sibuk dengan aplikasi ChatGPT-nya. Ia tengah menyulap sebuah foto menjadi gambar kartun bergaya Studio Ghibli, untuk diunggah ke akun Instagram online shop miliknya.
Tindakan Rifki itu jelas tidak mengindahkan protes sang empunya style gambar, Hayao Miyazaki, salah seorang pendiri Studio Ghibli, yang telah menyatakan keberatannya soal output gambar bergaya studio Ghibli dengan memanfaatkan teknologi artificial intelligence (AI).
Seperti sebagian orang di Indonesia, dan mungkin di negara-negara lain, protes artis asal Jepang tersebut nyaris mustahil mengetuk pintu nurani dan etika dalam diri Rifki, yang telah menggunakan karya hasil jerih payah seseorang tanpa izin. Hayao Miyazaki nun jauh di sana dan para pelaku sebagai orang awam tidak paham soal hukumnya, itu pun jika ada hukum yang mengaturnya.
Tapi bukan cuma itu, perkataan Rifki tersebut diucapkannya buat membantah nasehat Awan, seorang temannya yang berprofesi sebagai freelance illustrator. “Gue juga awam soal peraturan dan hukum, Ki, tapi kalau nurutin nurani rasanya ada hak orang lain yang kita rampas,” kata Awan kepada Rifki sebelumnya.
Ada juga perasaan gondok di dalam diri Awan, karena temannya sendiri ogah menggunakan jasanya sebagai ilustrator buat menciptakan gambar kartun. Memang, ia akan mengenai cas upah kepada Rifki atas gambar yang ia buatkan, tidak seperti aplikasi AI yang memberi opsi gratisan. Tapi pikirnya, bukankah wajar saja untuk memperoleh komisi dari melakoni profesi kita?
“Kalau begini, lama-lama males juga menekuni dunia ilustrasi,” hati kecil Awan nyeletuk pada satu malam saat dirinya duduk senderan di hadapan meja gambarnya, “Nggak penting lagi menciptakan karya sendiri dan mengembangkan style personal, toh orang-orang juga bisa bikin dengan jalan instan.”
Hari-hari, pekan-pekan, dan bulan-bulan setelahnya, seiring makin redupnya semangat Awan sebagai ilustrator, ia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk meninggalkan profesi impiannya dari masa remaja tersebut. “Jadi host jualan live di TikTok kelihatannya punya prospek bagus,” pikirnya buat banting setir.
Ternyata tak seberapa lama dari keputusan Awan, Studio Ghibli mengambil langkah mengejutkan. Setelah puluhan tahun berkarya, pencipta animasi legendaris My Neighbour Totoro itu pun undur diri dari dunia yang membesarkan namanya. Para pendiri Studio Ghibli, termasuk Miyazaki, sudah semakin jengah dengan bertebarannya video-video, bukan lagi sekadar gambar, bergaya khas karya mereka yang diciptakan dalam tempo singkat oleh pengguna AI.
Berita tutupnya Studio Ghibli sontak menyebar hingga sudut-sudut social media di seluruh penjuru dunia. Efeknya, kian banyak ilustrator yang mempertanyakan eksistensi keahlian dan profesi mereka. Seperti halnya Awan, mereka merasa tidak dapat lagi menggantungkan hidup dari karya ilustrasi, mengingat tidak perlu lagi keterampilan menggambar buat menciptakannya. Tinggal suruh aplikasi AI dengan mengetikkan prompt, beres.
Di belakang ‘gerbong’ para ilustrator, sejumlah besar pekerja dengan keterampilan merajut kata tersingkir pula setahap demi setahap. Mereka yang berpredikat sebagai cerpenis, novelis, esais, copywriter, script writer, content writer, dan rekan-rekan satu ‘klan’-nya mengalami PHK maupun pemutusan kontrak sepihak, dengan berputar-putar alasan, hingga tidak lagi kebagian lahan pekerjaan.
Kenalan Awan dari circle industri kreatif, Rasti, kini memilih melanjutkan hidup sebagai barista sebuah coffee shop usai karier copywriter-nya di sebuah advertising agency terpaksa terhenti, diputus oleh tawaran – lebih terasa seperti paksaan – pensiun terlalu dini. Tato-tato kecil di lengannya cukup memuluskan jalan menuju profesi barunya.
“Ah, tapi gue nggak yakin, Ras, cuma karena tato-tato kecil lo bisa jadi barista,” sanggah Awan ketika tak sengaja bertemu Rasti di bus TransJakarta, “kopi saset seduhan lo aja nggak enak.”
“Sialan lo,”umpat Rasti. Sebenarnya ia ingin membalas dengan menohok penampilan jualan live Awan di TikTok yang memperlihatkan jeroan teknologi digital, alias viewer-nya 0, 1, 0, 1, … Kalau lagi lumayan banyak, mentok di 10.
“Terus, gimana bisa?”
“Gue pepet owner-nya, terus gue pacarin hehehe,” jawab Rasti sebelum halte Mayestik yang jadi tujuan memaksanya berpamitan dengan Awan dan turun dari bus.
Sepuluh puluh tahun berlalu.
Muka Rifki bingung bercampur kesal ketika mengutak-atik aplikasi ChatGPT di ponselnya. Meski sekarang tanggal merah, ia tetap kelihatan sibuk hingga agak mengganggu dua temannya yang sengaja mengajak dirinya nongkrong di kawasan Little Tokyo, Blok M Square, Jaksel.
“Lagi ngapain, sih, Ki? Ribet bener dari tadi gue perhatiin?” tanya Awan.
“Gue lagi minta tolong ChatGPT buat bikin ilustrasi dengan gaya yang fresh, baru. Biasa, lah, untuk postingan,” Rifki menjawab. “Tapi kelihatannya style ilustrasi yang muncul nggak ada yang lebih baru daripada dekade 2020-an, lebih tepatnya mentok di tren 2025.”
“Mungkin perlu di-update dulu aplikasinya,” saran Awan sambil mencicipi hidangan penutup pesanannya.
Rifki pun melakukannya, lalu mencoba lagi.
“Tetep nggak bisa, nih,” katanya kemudian.
Rasti yang baru saja menandaskan makanannya jadi tertarik nimbrung obrolan. “Eh, rasanya gue juga ngalamin problem yang mirip-mirip, deh.”
Ia melanjutkan, “Jadi, karena pasrah oleh kemajuan zaman, gue suka minta tolong ChatGPT buat nulisin dongeng, yang kemudian gue bacain ke ‘ponakan gue. Sementara, untuk gue sendiri, kadang gue minta dibikinin cerpen buat gue baca sebagai hiburan.
“Awalnya, sih, nggak ada masalah, tapi belakangan output ceritanya muter di situ-situ aja, gue kayak udah pernah baca sebelumnya, entah kapan dan di mana. Urutan babak, kalimat, dan kata-katanya memang beda-beda, tapi jelas nggak ada kasus-kasus yang relevan dengan kondisi saat ini.
“Bener kata lo, Ki, kayak stuck di sekitar tahun 2025.”
“Gue jadi penasaran,” Awan menimpali, “gimana kalau gue tes sekarang, sambil nyoba fitur barunya?”
“Silakan aja, Wan,” kata Rasti dan Rifki nyaris berbarengan.
Fitur baru ChatGPT yang Awan maksud adalah proyeksi hologram dari ponsel yang telah mendukung. Hologram tersebut menampilkan wujud asisten menyerupai manusia sungguhan yang bisa diajak ngobrol. Jadi, tidak perlu lagi ribet ngetik prompt panjang lebar untuk memberi perintah.
Segera setelah Awan mengaktifkan fitur tersebut, muncullah sosok sang asisten seraya menyapa, “Halo. Karena ini pertama kali kita bertemu muka, perkenalkan nama saya Cathy. Ada yang bisa saya bantu?”
“Hai, Cathy,” Awan membalas sapaan. “Tolong buatkan cerita pendek lengkap dengan ilustrasi. Ceritanya mesti relevan dengan kondisi masa sekarang, ya, dan gaya ilustrasinya harus beda dengan tren-tren sebelumnya.”
“Perintah diterima dan akan segera diproses,” tutur Cathy, “hasilnya akan tampil di layar ponsel dan bisa diproyeksikan dalam wujud hologram juga kalau mau.”
Gestur Cathy kemudian nampak seperti orang sedang berpikir.
Awan, Resti, dan Rifki menunggu.
Sudah lebih dari dua menit, tapi hasilnya tidak kunjung muncul.
Baru saja Awan ingin menutup aplikasi dan mencoba mengulang dari awal prosesnya, ketika Cathy akhirnya buka suara. “Mohon maaf, saya tidak bisa mengabulkan perintah Anda. Penyebabnya, sejak tahun 2025 ke depan hingga saat ini, tidak ada lagi manusia yang berekspresi melalui tulisan, ilustrasi, dan beragam karya yang lain. Jadi, tidak ada yang bisa saya jadikan sebagai bahan.”
Ia melanjutkan, “Masyarakat kebanyakan menganggap karya-karya seperti itu mudah diciptakan menggunakan AI seperti saya, dan dunia kerja memilih menggunakan AI dengan alasan jauh lebih murah dan prosesnya cepat.”
Ketiga teman tersebut melongo. Meski sejak lama diprediksi AI akan menggantikan beberapa pekerjaan manusia, mereka masih tak percaya kalau efeknya bisa sejauh ini.
Tanpa Awan dan Rasti sadari, sebuah ide yang sama merambati pikiran keduanya, “Apakah saya harus turun gunung, kembali memanfaatkan skil yang memang menjadi nilai jual saya?”
Pikiran tersebut muncul begitu saja, cukup cepat, secepat merambatnya pertanyaan berikutnya yang seolah membawa diri mereka melintasi jalan berputar: Tapi, apakah lapangan pekerjaannya masih ada?