Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di Rak Yang Sunyi
Rak kayu itu berdiri bisu di pojok ruang tamu, persis di samping pintu depan yang catnya mulai mengelupas. Warnanya dulu cokelat tua, kini lebih mirip abu-abu kusam, termakan usia dan debu yang malas dibersihkan. Di atasnya berjejer sepatu-sepatu lama, sebagian kehilangan pasangannya, sebagian lain dibiarkan kaku seperti tubuh yang kehilangan jiwa.
Namun hanya satu pasang sepatu yang selalu berhasil menarik perhatianku setiap kali pulang ke rumah ini: sepatu kulit cokelat tua milik Ayah.
Aku berdiri mematung di depannya. Sudah lama aku tak melihat sepatu itu dari dekat. Ketika Ayah masih hidup, sepatu itu selalu dipakai hampir setiap hari. Bahkan saat kondisinya sudah mulai rusak—solnya terkelupas, kulitnya mengelupas, dan jahitannya longgar—Ayah tetap memakainya. Mungkin karena nyaman, atau mungkin karena ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan dari sepatu itu.
“Jangan dibuang ya,” kata Ibu tiba-tiba dari arah dapur, seolah bisa membaca pikiranku. Suaranya pelan, seperti sedang berbisik pada kenangan.
Aku menoleh. Ibu menyeka tangannya dengan lap kain, lalu berjalan mendekat. Wajahnya sudah penuh keriput, dan rambut hitamnya kini hampir seluruhnya digantikan uban. Tapi senyum lembutnya masih sama—senyum yang mengingatkanku pada hari-hari ketika Ayah duduk di bangku panjang depan rumah, membersihkan sepatunya sambil meneguk kopi pahit buatan Ibu.
“Masih di sini ya, Bu,” gumamku. “Sepatu ini sudah seperti… hantu. Selalu ada di tempat yang sama.”
Ibu tertawa kecil. “Bukan h...