Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah pertama sebelum berjalan yaitu memastikan tali sepatu terikat. Lalu bagaimana dengan sepatu yang tak bertali? Apakah harus tetap melangkah? Atau justru diam sampai musim habis terlelang? Tepat ketika langkahku nyaris usang, ibu datang membawakanku tali sepatu yang baru. Lembut dan tebal. Sedikit pipih dan tak terlalu panjang. Menolaknya tentu jadi masalah. Kubalas dengan diam, sembari menatap lubang tali sepatuku yang tak cocok untuknya.
Ibu sangat senang ketika pertama kali ia membawanya ke rumah. Butuh satu jam lebih ibu mendefinisikan keunggulannya. Sengaja ia memilih warna yang kusukai. Putih. Namun ia tidak menyadari, saat ini mataku tak lagi mampu membedakan warna. Semuanya kelabu.
kurang setahun melajang, apa itu yang buat dia jadi jalang?
Ibu terus meyakinkanku untuk membuat simpul baru. Simpul sederhana untuk sepatuku. Sehelai tali yang ia coba yakinkan untuk membentuk simpul yang mengikat, menjadi harapannya untuk langkahku yang sempat terhenti sesaat.
“Nak, ini om Hasan. Tapi besok, kamu panggil dia Ayah.” jelasnya_
Sepatuku yang semula pas, kini terasa agak longgar termakan waktu yang melapukkan bagian-bagiannya. Tali baru tak menyia-nyiakan waktu. Mencoba membuat simpul karna melihatku sedikit lingung. Melangkah dan lepas. Ia bertekad membentuk simpul erat memastikan sepatuku tidak lagi terlepas.
Niat baik seharusnya dibalas baik, tapi tali itu terlalu nekat, memaksa masuk ke lubang sepatuku yang jelas-jelas tak pas untuknya. Bukannya membantu malah membuat kakiku menjadi kaku. Jangankan untuk bepergian, menggunakannya sesaat aku tak mau.
“Aku tidak menerima anda di rumah ini!” ketusku.
12 bulan berlalu, ternyata tali itu menetap di rumah. Ibu egois. Tanpa mempertimbangkan penolakan yang sangat jelas aku paparkan. Ia tetap menyimpan dan memberikan tempat untuknya tinggal. Kotak kecil yang khas. Tersimpan di depan ruang tamu. Cukup mencolok, berharap mudah aku temukan dan menggunakannya nanti.
“Nak, di mana ayahmu?” tanyanya lembut.
“Nggak tau” jawabku singkat.
“Sepertinya ia masih di kamar? tolong panggilkan!” titahnya.
“Nggak! ibu aja sana!” tegasku.
Sekilas tali itu sedikit mengintip berusaha melihat sepatuku apakah siap disimpul atau tidak. Namun aku berjalan lebih cepat tanpa memberikan kesempatan untuknya. Kesempatan yang selalu ia nanti setiap hari. Sengaja kulakukan karena aku tak mau membuang waktu.
Siang ini aku bergegas menapaki janji bertemu dengan tali lama. Namun ibu menahan sepatuku memaksa untuk memakaikan tali miliknya, berniat agar nanti aku mengenalkan mereka. Aku menolak tegas usulnya. Segera aku melangkah jauh, meninggalkan dia dengan tali yang telah terbungkus rapi di tangannya.
Najis. Pikirku, mengapa aku harus mengenalkan mereka. Jelas ibu tidak setia. Menyisipkan tali baru pada sepatu yang masih bergelayut merindu dengan tali simpulnya yang dulu. Sepanjang jalan aku terus menggerutu, masih belum terima dengan keputusannya kala itu. Gila. Belum genap setahun tali lama pergi meninggalkanku, ia dengan mudah menggantinya. Ibu macam apa itu? haha! tak perlu lengkap, sepatu tanpa tali pun bisa membawaku ke tempat yang kumau.
Waktu yang mencuri langkah tanpa suara mengantarkan pada tempat yang kutuju. Gerbang hijau yang tak terlalu besar tertangkap usang di mata, tanda dekatnya kampung sunyi. Segunduk tanah merah terlihat meninggi di depan gerbang tempatku berdiri. Rumput yang sedikit mengering menjadi toping kepemilikannya. Jarakku yang sangat dekat namun langkahku ragu untuk mendekat, teringat dua tahun sebelumnya tanah itu masih kosong belum terisi, hingga tali sepatuku putus dan terlepas disana. Yah, tali sepatuku ditimbun dengan kesengajaan adat. Tak peduli seberapa keras aku menangis dan memohon orang-orang tetap mencangkul bergantian menimbun padat sampai tali sepatuku tak lagi terlihat. Tak kudiami, kulakukan perotes pada ibu karna tak pandai merawat tali sepatuku. Keadaan yang masih ramai tak kuhiraukan, rasa kesal membuatku menjadi bebal menyalahkan takdir pada ibu. Ibu hanya diam karena tak ingin membuat keadaan semakin buruk. Diamnya kuhina. Tak kubiarkan dia untuk menyangkal, sampai ia mendekat dan membawaku secara paksa menjauh dari tempat itu.
Menapaki jalan pulang ibu tak pernah menoleh, tak menghiraukan beribu ocehan yang kuucapkan. Ibu diam. Mulutnya terkatup rapat. Tepat saat kami sampai, ibu mulai membuka katup mulutnya. Ibu mengatakan kalimat yang sempat ia tahan, yang tak ingin orang lain dengar. Ia mulai mengoceh bahwa sebenarnya akulah penyebab tali sepatuku terputus. ibu mengatakan bahwa tali sepatuku terlalu bekerja keras membuat simpul yang nyaman walaupun ia harus bertarung dengan gesekan yang membuat dia menjadi luka. Kalimat ibu mengingatkanku saat tali sepatuku mulai mengkusut namun aku paksa untuk tetap membuatkan simpul yang kumau. Bertambahnya hari membuat tali sepatuku menjadi rapuh dan akhirya putus.
Ibu berbalik menyalahkanku dengan asumsi yang ia punya. Benar salah perkataannya, tetap aku yang salah. Tak berani untuk menentang, aku hanya diam. Aku terpojok, dan membenarkan apa yang ibu katakan. Kata-kata yang sulit untuk kulupakan. Setiap bait yang dia uacapkan, tersusun kalimat dengan arti penyesalan yang sengaja ia tujukan padaku.
Kalimat yang ibu lontarkan waktu itu masih terngiang, yang menyentakkanku dari lamunan panjang sampai lupa pada tujuan awal. Aku yang masih melamun mematung di depan gerbang, semakin tak yakin untuk lanjut. Karena akan cukup canggung terlebih aku sudah lama tak berkunjung. Canggung untuk membagi cerita. Cerita yang sudah tidak menarik, takut ia nantinya merasa tak lagi dilirik.
aku belum siap
Kupeluk ragu, dan kulepaskan janji diri yang telah lama aku sanggupi. Secepat detik berganti aku melangkah meninggalkan tempat itu. Beberapa kali sepatuku terlepas, berulang kupasang dan melangkah. Beberapa kali kakiku bertelanjang lepas dari alasnya, tergores semak, menginjak tai. Tapi untuk menjaga hati, memotong kaki pun aku siap.
Sorenya, langkahku kembali mengiring salam ke penghuni rumah. Aku menunggu cukup lama di muka pintu sampai pintu itu benar-benar dibuka oleh ibu. Ibu menyelidik dari atas hingga bawah memastikan aku balik sempurna. Namun ia berdesis ketika melihat muruh mewarnai kain sepatu yang kupakai. Ia marah, tak ada lagi kata-kata pembujuk. Suaranya meninggi untuk menghakimi.
“Kenangan bukan alasan untuk menutup diri. Kalo kamu begini terus, jangan salahkan Ibu saat kamu kehilangan semuanya!” bentaknya.
Aku melirik tali sepatu yang ikut keluar bersama ibu. Ia menyimak. Namun ujungnya melengkung masuk dililit badan.
Sambil menunjuk, aku berkata, “dia suami ibu, tapi sampai mati nggak bakal jadi ayahku!” teriakku meninggi.
Plakkkk! Bunyi yang lebih nyaring dari kata yang tak diucap. Sebuah tamparan menulis luka di wajahku. Tanpa kata. Tanpa maaf.
Aku menghardik. Mengemas baju, lalu melangkah pergi dari rumah yang tak lagi sah aku naungi. Tak kutoleh lagi ibu dengan dengan tali sepatu itu.