Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
sepatu ibu
oleh : Alifa
Cahaya sore yang menembus tirai jendela kamar Dina berpendar lembut di dinding, memantul di cermin bundar yang dikelilingi lampu LED putih. Di depan cermin itulah Dina berdiri, mengenakan kaus oversized warna lavender dan celana kargo krem yang sedang tren. Rambutnya sudah ia ikat rapi dengan pita putih kecil di atas kepala. Kamera ponsel terpasang di ring light, sudah siap merekam.
“Okay, take tiga!” katanya sambil tersenyum, lalu mulai menari mengikuti irama lagu viral TikTok. Gerakannya lincah, ekspresinya manis, dan ia tahu benar bagian mana yang paling enak untuk slow motion.
Setelah beberapa take, ia berhenti dan memutar rekaman. “Hmm… yang ini bagus. Muka aku glowing banget,” gumamnya puas. Ia menambahkan filter, memilih caption catchy, dan menekan tombol unggah. Dalam beberapa menit, video itu sudah mengumpulkan ratusan likes. Dina tersenyum lebar.
Ponselnya terus berbunyi. Notifikasi dari Instagram, TikTok, dan pesan pribadi berdatangan. Beberapa teman sekelas membalas Story-nya dengan emoji api atau komentar seperti “Keren banget, Din!”, “Ajarin dong jogetnya!”, dan satu dari sahabatnya, Nayla:
Nayla: Lo emang paling update. Ga nyangka kita sekelas sama influencer!
Dina mengetik cepat.
Dina: Haha lebay amat. Biasa aja kali. Tapi makasih ya 😚
Ia meletakkan ponsel lalu menatap cermin, mengangkat alis kirinya dengan gaya iseng. “Influencer ya?” bisiknya pelan. Ada kepuasan aneh saat kata itu keluar dari mulutnya.
Namun, tak lama kemudian, suara sandal jepit terdengar dari luar pintu. Suara itu khas—beriringan dengan derit lantai kayu tua yang memanjang di koridor rumah kontrakan mereka. Dina buru-buru mematikan ring light dan merapikan rambutnya, kembali menjadi ‘anak biasa’.
“Dina, udah sholat ashar belum?” terdengar suara ibunya dari balik pintu. Lembut, tapi tegas.
“Udah, Bu…” jawab Dina tanpa menoleh. Ia tahu ibunya akan membuka pintu.
Pintu kayu itu bergerak pelan. Ibunya masuk sambil membawa segelas teh manis dan roti isi yang ia bungkus sendiri pagi tadi.
“Ibu bikinin ini. Kamu pasti belum makan.”
Dina melirik sekilas. “Makasih, Bu.” Ia tersenyum, tapi hanya sebatas bibir.
Ibunya duduk di ujung ranjang, memperhatikan kamar yang kini mulai dipenuhi alat-alat konten: ring light, tripod, set backdrop mini. Wajahnya penuh tanya, tapi juga bangga.
“Kamu sering direkam ya sekarang? Temen Ibu tadi bilang lihat kamu joget di HP anaknya,” katanya sambil tersenyum canggung.
Dina kaget sesaat, lalu tertawa kaku. “Hah? Nggak kok, Bu. Paling ya, iseng-iseng aja…”
Ibunya hanya mengangguk. “Ibu lihat kamu seneng, Ibu ikut seneng. Tapi jangan lupa sekolah ya, Nak.”
Dina mengangguk. “Iya, Bu.”
Setelah ibunya keluar, Dina menatap ponselnya lagi. Video yang tadi diunggah sudah tembus 1.300 likes.
Ia tersenyum. Tapi senyumnya tidak selebar tadi.
Dina tahu betul: di balik semua pujian, ada satu bagian dari hidupnya yang tak pernah ia tampilkan di layar—ibunya. Dan hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia masih belum siap mengaku siapa ibunya di depan dunia.
Di antara celoteh teman-teman dan derap kaki remaja di koridor sekolah, Dina selalu berjalan dengan anggun. Rambutnya yang lurus dan panjang tergerai di balik hoodie putihnya. Di tangan, ia menggenggam ponsel seakan menyatu dengan hidup. Di dunia yang ia ciptakan, Dina adalah bintang—cerah, percaya diri, dan nyaris tak tersentuh.
Namun, ada satu jalur yang selalu ia hindari setiap pagi: lorong belakang yang mengarah ke gudang alat kebersihan. Di sanalah ibunya bekerja, biasanya sejak sebelum matahari muncul. Dina tahu, waktu-waktu seperti itu adalah saat ibunya akan memanggil dengan suara lembut, penuh kasih, tapi juga... penuh risiko.
"Din, kamu udah sarapan belum?" suara itu pernah terdengar saat Dina baru turun dari ...