Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sepasang Sakit
1
Suka
1,024
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi pilu itu, ketemukan mayatmu tenggelam di dalam bak. Wajahmu yang tampan menjadi sangat pucat dan tampak dingin sekali. Aku tidak menyangka dan tidak pernah didatangi sebuah firasat akan kematianmu macam begitu.

Sebelum itu: aku bangun jam lima pagi, satu jam di dapur untuk menyediakan sarapan sederhana buatmu, ada nasi panas mengepul di dalam rantang paling bawah. Juga ada olahan tuna goreng beserta sambal bawang. Aku memilih sayur bening, berisi bayam dan potongan jagung, tidak ketinggalan irisan bawang goreng. Setelah itu aku keramas, tak lupa kuperhatikan sejenak payudaraku yang lucu tersisa satu. Lalu, beberapa menit di depan meja rias mengatur penampilanku.

Katakanlah rohmu masih ada di dalam apartemenmu, kau mungkin bisa melihat blus biru laut yang melekat di tubuhku kehilangan banyak bobot. Aku mengenakan wig menutupi kepala botakku. Aku memakai pelembab bibir, bulu di atas mataku yang jarang-jarang dipertegas dengan lekukan pensil alis. Apakah roh juga bisa mencium? Kalau iya, kau tentu masih bisa mengenal aroma japanese  cherry blossom eau de toilette dariku.

Aku menenteng rantang keluar rumah dan salah satu pundakku menggantung Gucci berwarna abu-abu. Adalah kado dari suamiku pada saat aku ulang tahu kemarin yang ke-38 tahun. Dan, mungkin itu hadiah terakhir yang kudapat darinya sebelum aku menyusulmu di keabadian. Segera kukeluarkan SUV dari garasi. Beberapa meter meninggalkan rumah, aku sempat dicegat suamiku yang baru kembali dari joging.

Dia belepotan keringat mengetuk jendela, segera kuturunkan kaca jendela. Ia menanyakan arah tujuanku. Seperti yang sudah sering kubeberkan padamu setiap pertemuan kita di apartemenmu, kami sepasang suami istri yang selalu terbuka tanpa saling menyembunyikan hal sekecil apa pun itu.

Makanya sangat santai aku menyebut namamu sebagai tujuanku keluar rumah, sebagaimana ketenangan dia membeberkan kencannya dengan wanita-wanita selingkuhannya, saat dia pulang dini hari dan aku bawel bertanya. Dia sempat menengok rantang berdiri dengan Gucci di jok depan, tepat di sampingku. Tanpa banyak bicara lagi, dia memajukan kepalanya, aku mengerti apa yang dia inginkan, lantas kusambut bibirnya dengan bibirku. Ah, dia memuji: aku cantik katanya.

Aku sempat memikirkan pujiannya yang singkat saat kembali kulajukan mobil. Bisa jadi itu hanya siasatnya demi membuatku senang. Aku sudah lama merasa tidak cantik, dan kau pun tidak pernah mengatakan seperti itu kepadaku di setiap pertemuan kita.

Kalau memang aku ini masih cantik sebagaimana katanya, mana mungkin dia berpaling dariku yang jelas-jelas telah diikat oleh ikatan pernikahan. Justru dia kepincut membaui tubuh wanita-wanita luar, alih-alih tubuhku .

Aku sangat sadar kondisiku yang semakin buruk telah meruntuhkan cintanya terhadapku. Cintanya yang kurasakan kian terkikis membuatku juga berubah. Oleh keadan kami yang macam begitu, aku mesti selalu siap sedia dengan skenario yang sewaktu-waktu terjadi andai kata dia meninggalkanku. Tapi, dia tidak akan meninggalkanku sebagaimana yang ditegaskan, mungkin dia kasihan, mungkin lebih baik baginya menunggu sampai aku yang meninggalkannya karena kematian.

Sebenarnya aku bisa saja meninggalkannya tanpa harus mati. Aku yang angkat kaki dari rumah, kemudian kubiarkan ia memilih untuk menikahi satu di antara wanita-wanita selingkuhannya. Semua itu baru akan kulakukan seandainya kau meminta kepadaku untuk tinggal bersama, menemani hari-harimu. Sayangnya tidak pernah tebersit permintaan seperti itu darimu.

Aku kembali mencintaimu, setelah memantapkan hatiku untuk tidak meneruskan cinta kepada suamiku yang selalu kupertanyaan cintanya. Nyaris setiap aku datang berkunjung, blak-blakan kusampaikan itu kepadamu. Tapi, kau tidak mengindahkan, semakin kau mendengar itu dariku semakin kau bawel menguarkan cintamu yang tetap setia kepada Wati.

Nyaris tiga puluh menit aku menempuh perjalanan agar sampai ke apartemenmu. Di lantai dua kau tinggal. Aku sempat berkali-kali memberikan ketukan pada pintu. Tak ada jawaban. Dengan sangat hati-hati aku memutar knop. Lagi-lagi kau tidak mengunci pintu, kau terlalu percaya diri aku akan datang kepadamu pada pagi itu. Perkiraanmu tidak meleset, aku benar-benar datang.

Seingatku sebelum kepulanganku atas kunjunganku tiga hari sebelum kematianmu, telah kurapikan apartemenmu. Namun kembali teracak seolah tak terurus. Vas bunga yang semula kuatur di atas meja, pecahannya berserakan di atas lantai, bersama taplak meja, lembaran-lembaran kamus yang sobek puluhan halaman mungkin, serta setangkai mawar telah layu. Belum termasuk debu ramai di permukaan lantai. Aku terus memanggil namamu tak ada sahutan. Kupikir kau sedang tidur di dalam kamar, maka yang kulakukan mula-mula adalah merapikan semua itu. Termasuk sofa yang bergeser posisinya.

Aku membayangkan kepalamu kembali terasa sakit, sakit sekali. Kau tak memiliki kawan sebagai sandaranmu yang lagi sakit, aku tidak datang pada waktu itu. Sehingga kau memecahkan vas, menyingkirkan taplak, menyobek halaman-halaman kamus. Sampai aku kembali berkunjung, kau abai merapikan sema itu.

Paling terakhir aku merekatkan kembali lukisan Wati di dinding yang semula tergeletak begitu saja di lantai. Lukisan yang dengan bangga kau pamerkan kepadaku sebagai persembahan cintamu kepada Wati. Kau masih ingat bukan? Saat aku melayangkan protes: jika memang kau sangat mencintai Wati seharusnya kau membikin sebuah lukisan yang tiada samanya di dunia ini.

Ah, kau dengan agak keterlaluan malah berkiblat pada karya Johannes Vermeer. Kau mengubah gadis dalam Girl with Pearl Earring menjadi Wati oleh tanganmu yang terampil. Nyaris sama, kecuali dibedakan wajah Wati yang khas deutero melayu.

Aku tahu betul bagaimana kau jika tiba-tiba kita menyebut nama Wati dalam obrolan: kau akan hanyut oleh ingatan kepada wanita itu, maka kau menangis. Dan mengulangi kisah yang sudah sering kau bagi kepadaku.

Aku punya bayangan adegan di dalam kepala, merujuk pada semua yang pernah kau sampaikan. Sore itu cuaca sangat baik untuk menunggu senja di pantai. Kalian yang baru beberapa bulan setelah merekatkan hubungan dalam ikatan pernikahan, meninggalkan apartemen tepat jam lima sore. Perjalanan ke pantai kalian masih sempat menamatkan beberapa buah lagu Maroon 5. Wati sejak dulu selalu mengidolakan Adam Levine, kau juga sedetil itu memberitahu padaku.

Di pantai kalian bermain-main dengan ombak, berlagak anak kecil saling kejar-kejaran. Lalu kalian diam duduk di atas pasir, menghadap matahari yang setengah tubuhnya seolah tenggelam ke dalam laut, lalu kalian berciuman sesaat.

“Aku suka momen indah yang terjadi di hari itu, aku dan dia sudah sepakat untuk datang kembali di hari-hari yang lain...” kau mengambil jeda memlih sesengguk, air mata itu seolah hujan deras membasahi pipimu yang kering. Aku bersimpati, aku memelukmu dengan cinta.

Keinginan kalian tidaklah sama dengan takdir yang telah digariskan Tuhan, pada perjalanan pulang, di mana langit telah gelap, insiden kecelakaan yang tidak pernah kau sangka-sangka, terjadilah. Kau terlambat siuman di rumah sakit, tak ada lagi wanita itu, ia telah berada di sisi Tuhan. Setelah kejadian itu, perlahan-lahan kesehatanmu terenggut oleh sakit.

“Aku tidak seharusnya bersedih seperti ini, harus bisa menerima kenyataan. Aku pernah bermimpi di surga dia menjadi bidadari, tapi aku tetap menjatuhkan air mata bila mengingatnya.” Aku melihatmu memang sebagai orang yang payah melupakan.

Bersamaan lukisan itu telah kupajang pada tempatnya, aku mengeraskan suara memanggil namamu. Berjalan mendekati pintu kamar. Aku mengetuk. Tak ada jawaban. Lantas kudorong pintu. Mataku meleleh ke dalam kamar. Batang hidungmu tak terlihat. Pintu lemari terbuka, aku melihat pakaian-pakaian Wati yang tetap kau simpan sebagai kenangan, tidak terlipat dengan baik. Seolah kau baru saja mencari baju terbaik di antara tumpukan baju-baju itu.

Rupanya dress bercorak kembang bunga, adalah pakaian Wati yang kau pilih. Kulihat melekat di tubuh Angelina terbaring di atas bed: boneka yang tidak bisa bicara, namun kau anggap sebagai teman tidurmu yang menggantikan Wati.

Aku suka cemburu, kau tidak memahaminya, ketika kau dengan bangga membeberkan kesenanganmu tidur bersama Angelina, seolah-olah kau tidur bersama Wati. Kemudian aku sadar dia hanyalah boneka, untuk apa pula kucemburui, kau bisa memilikinya tapi mana mungkin dia bisa memilikimu.

Kamarmu betul-betul berantakan, selain Angelina, selimut awut di atas bed, juga ada beberapa helai tisu yang telah kau gunakan. Apakah kau baru selesai bercinta dengan Angelina? Dugaanku begitu. Di lantai aku menemukan beberapa keleng bir, majalah-majalah porno koleksimu serta album foto pernikahanmu dengan Wati. Aku ingin merapikan itu, tapi tidak segera kulakukan.

Kedua mataku tiba-tiba tertuju ke depan jendela, gordennya tersingkap, sehingga cahaya matahari leluasa masuk. Di sana berdiri kanvas, di bawahnya alat-alat lukismu berserakan. Aku mengayungkan kaki beberapa langkah, dua atau tiga menit di depan kanvas memperhatikan lukisan terakhir yang kau buat. Itu adalah lukisan diriku setengah badan: tersenyum tanpa menampakkan gigi dengan kepala tanpa rambut, aku sedang bertelanjang dada, kau melukis dengan baik payudaraku yang tersisa hanya satu. Mataku seketika berkaca-kaca, memanggil namamu.

Ketika aku masuk ke dalam kamar mandi, pertama kali kulihat kau tenggelam di dalam bak, jantungku berdebar-debar kemudian aku berteriak, menangis.

Apakah kau sudah tak tahan lagi dengan sakit yang kau derita? Sehingga kau memilih menjadi manusia payah, mengalah pada kehidupan.

***

Sekarang beberapa bulan telah berlalu, apakah kau tahu yang kutunggu saat ini? Adalah kematian itu sendiri. Aku sudah pasrah pada hidup, usaha apa lagi yang harus kulakukan? Sakit yang kuderita tetap akan menjadi penghubungku pada kematian. Tidak lama lagi dan sudah tidak ada harapan. Suamiku tetap ada di sisiku menemaniku yang kian terpuruk. Selalu kudengar pujian darinya, nyaris setiap hari aku dibilang cantik. Aku tahu sejatinya pun ia telah lelah, bisa jadi dalam diamnya berdoa kepada Tuhan agar kematianku dipercepat.

Apakah kau masih mengingat bagaimana pertemuan kita kembali? Di rumah sakit. Alih-alih menceritakan kenangan yang pernah kita lalui ketika masih menjadi sepasang kekasih, justru kita terbuka keakuan masing-masing. Akhirnya aku tahu bagaimana perjuanganmu melawan meningitis. Dan kau tahu bagaimana kondisiku yang mengidap kanker payudara.

Kita adalah sepasang sakit, namun kita beda. Aku tidak akan memilih jalan yang kau tempuh mencoba lari dari sakit. Akan kubiarkan sendiri usiaku mendaki angkanya sebagaimana yang ditentukan Tuhan.

Apakah kau di sana telah bertemu dengan Wati yang menjadi bidadari? Apakah setelah mati nanti aku akan menjadi bidadari sebagaimana Wati? Ah, adakah bidadari hanya memiliki satu payudara?

Apakah kau tahu kalau di sini aku merindukanmu? Aku akan sangat merindukanmu ketika aku sedang mengolah tuna.

Apakah di surga ada tuna?[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Sepasang Sakit
Magia
Novel
Pernikahan Yang Sempurna
Sifa Azz
Novel
Sepasang Es Krim
Hizbul Ridho
Novel
GIORA
Salwa Auralyra H
Novel
I LOVE YOU 1+1
Nayla Dhiau Rasyidah
Novel
Bronze
Neglected
Putri Lailani
Novel
As Sweet As Nasa
KillMill
Novel
War of Love
Dian hastarina
Novel
Cinta Untuk Hasna
Dea Ayusafi
Novel
I'm Not Main Character
Adam Maulana Hasan
Flash
TUHAN CUMA SATU
Iman Siputra
Novel
Bronze
Impian Mars
jangmi eileen
Novel
Apakah Kita Bisa Bersama.
Ecah
Novel
LABIRIN
Lily
Novel
KANDAS
Arai Merah
Rekomendasi
Cerpen
Sepasang Sakit
Magia