Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ditulis November 2014
Sepatu hitam pudar yang nyaris sempurna, ditambah jutaan partikel-partikel sisa dari benda apapun, yang kau sering menyebutnya dengann nama debu, ya debu. Kulit si sepatu yang sudah keluar dari koridornya memaksa sang pemakai merayu tuk tetap bersama si empunya. Dengan sedikit lekatan lem kayu agaknya si alas sepatu sudah tak mampu bertahan dengan banyak lubang-lubang karena tancapan paku, kaca, sekrup, sang pemakai masih dengan sabar merayunya dengan tetap memakainya secara hati hati dan memberinya perlakuan istimewa supaya si alas sepatu tak kesakitan lagi.
Di hari dimana sepatu yang tua itu musti dipensiunkan. Dijual saja? oh tidak. Seharusnya dan sepantasnya dibuang serta mencari ganti yang baru. Baju seragam yang sama tuanya dengan si sepatu juga melengkapi tatanan sehari-hari di pagi hari.
Sepatu yang lusuh dan tua itu mengawali kisah ini. Iniberhubungan dengan sang pejuang November, tentu saja.
Menuju tempat dimana setiap manusia mendapatkan kebutuhan urgen , bahkan menjadi kewajiban dasarnya. Di sini ... tepat kawan! di bangku pendidikan, sekolah. Pandangannya yang sayu dan meneduhkan, sapaan halus nan khas, senyum nan tulus menjadi komponen primer yang indah di jiwa Sang pejuang November kala itu. Salam hangat di pagi hari mengawali perjuangan mulia. Membebaskan jiwa-jiwa akan kejahiliyaan, mengisi batin kering kerontang akan kebodohan plus mencerahkan jiwa-jiwa kusut dengan kasih sayang. Sang pejuang November itu adalah Sang pejuang tanpa tanda jasa yang engakau tentu sudah tahu. Bukanlah mudah menjalani tanggung jawab yang amat berat itu. Lahir dan bathin. Sang pejuang November adalah seorang guru di sekolah swasta di desa sebelah, agaknya perlu berbulan bulan mengumpulkan yang dia dapatkan dari sana tuk membeli sepasang sepatu baru. Dan menjadi tanggung jawab yang besar dimana titipan Allah SWT yang berwujud sekumpuulan manusia menimba sebagian pengetahuan Allah yang 1 orang manusia sebagai lantarannya. Sikap sabar ala Nabi, sikap terus melaju ala atlet, sikap kasih sayangnya seorang ibu dan masih banyak lagi musti 1 orang manusia itu miliki tuk menghadapi berbagai ujian dari mereka yang jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari. Dua puluh tiga tahun, masa yang bisa dikatakan lama untuk usia 47 tahunnya pagi itu.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salamya yang khas serak-serak basah di pagi itu membawa sekomunitas manusia yang memakai putih nevi setiap senin dan selasa, ke dunia yang akan mengisi otak otak mereka dengan sebagian ilmu Allah.
Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Mereka yang melamun, membenahkan kerudung yang menceng, yang sedang bergosip ria ala reporter infotainment segera tersadar dan menjawab salam.
Selamat pagi anak- anakku semua, bagaimana keadaan kalian pagi ini. Semoga sehat wal afiat dan bisa belajar dengan serus tapi santai , santai tapi serius.
Kalimat tulus selama 23 tahun itu terucap dari sang pejuang. Bagi manusia umumnya, mungkin lidah mereka akan jadi mati rasa begitupun telinganya karena sering mengucapakan kalimat yang sama, di masa yang sama dan tempat yang sama.
Untuk kalangan anak muda akan jadi hal yang paling menjemukan dan membosankan stadium 4. Namun bagi Sang pejuang November kalimat itu indah, mendoakan yang didasari dengan keikhlasan dan istiqomah akan menjadi nilai tersendiri di mata Tuhan semesta Alam dan sebagian jalan menuju keridhoan-Nya. Bukankah jalan untuk mencari ridho Allah ada 1001 cara?
Siap, Pak. InsyaAllah Pak. Gak janji ya Pak. Disambut dengan tawa semua anggota di majlis taklim itu.
Pada pagi hari ini , pak guru akan menerangkan mengenai paragraf induktif dan deduktif. Sambil menulis di papan tulis mengenai bahasan pelajaranya itu.
Gak bisa kebaca pak, tulisannya ruwet. Keluh 1 murid di bangku tengah kemudian disusul mayoritas penduduk putihnevu di masing- masing bangkunya.
Iya Pak, kurang jelas, Pak. Jangan pakai huruf latin dong Pak! Kurang besar dan terlalu rapet. Macam-macam komplain menghujam dan tak berhenti. Sang guru yang arif itu tersenyum dan tertawa kecil.
Tulisane dokter yo ancen angel diwoco, hehe. Sang Pejuang November itu tersenyum jenaka.
Hahahahahahahaha. Gelak tawa laskar putih nevi membanjiri ruangan.
Ya sudah kalau begitu. Pak guru dikte saja, setelah itu Pak guru terangkan satu persatu.
Tidak ada kamus marah, tersinggung dalam hidup Sang Pejuang November itu. Begitulah sifat yang seharusnya tertanam pada seluruh manusia yang mereka sebut sebagai pahlawan tanpa tanda saja. Karena memang tak seluruhnya yang kau sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa memiliki jiwa yang seharusnya sepaket dengannya.
Kawan! Masih ingatkah engkau dengan sepatu dan baju seragam lusuh dan tua yang aku ceritakan tadi? Andai sepatu dan baju seragam tadi mampu berkata, kiranya apa yang akan mereka katakan, keluhkan, lebih tepatnya ketika kulit dari sepatu tak semulus sepatu lain tak semengkilat dan seutuh dari yang lain. Si serat baju tak sehalus dan secerah baju yang lain. Mereka memang tidak mampu beucap, si pemakailah yang akan berucap entah bangga, minder, atau biasa biasa saja dengan apa yang melekat di badannya.
Di jam istirahat para sepasang sepatu dan baju seragam berkumpul di kantor yang lumayan sejuk karena letaknya yang bersebelahan dengan pohon pohon rindang milik warga setempat. Sepasang sepatu hitam mengkilat, kelihatan berkelas dan baru dibeli oleh sang empunya tak melepaskan pandangan pada sepasang sepatu lusuh dan tua empunya Sang pejuang November.
Sepatu bolong, lusuh, dan tua kayak kamu kok masih aja di tempat penting kayak gini.
Kamu itu merusak pemandangan di tempat ini. Coba deh perhatikan semua teman-teman kita disini, gak ada yang kayak kamu. Sndiran plus cemohan itu sudah kali 23 di bulan ini. Sepasang sepatu yang tak kalah mengkilatnya juga turut mencemoh.
Kalau mau bertempat disini, penampilannya harus oke, gak kayak gini.
Sepatu tua dan lusuh itu tak bergeming, malah asyik mengobrol dengan sepatu sepatu yang lain. Bagi sepatu Sang Pejuang November, tidak ada kamus minder, merasa rendah diri, memasukkan ke dalam hati omongan-omongan tak berguna. Bagi sepatu Sang Pejuang November, yang hakiki bukanlah penampilan lahiriahnya namun berkah dari kebathinannya yang akan menghasilkan buah nikmat yang tiada tara. Sindiran dan cemohan yang berulang-ulang bukanlah tanpa rasa sakit, tetap itu akan jadi luka dan menggores sukma di dada. Namun, disini mental Pejuang diuji, bagi yang kuat akan secepatnya mengobati luka sehingga imunpun bertambah berkali kali lipat. Namun yang lemah akan menerima luka itu tanpa ada usaha tuk mengobatinya sehingga jadilah borok yang akan menggrogoti jiwanya. Kata kunci bagi sang pejuang November adalah syukur dan jangan minderan.
Salah satu surga yang disegerakan Allah di dunia ini adalah dianugerahkan Sang belahan jiwa yaitu sosok seorang istri tuk mengarungi perjalan hidup mencapai esensi terindah di Akhirat kelak. Tulang rusuk Sang pejuang tentu saja sama hebatnya, sama kuatnya dengan pejuang itu sendiri. Sang pejuang November selalu bersyukur karena surga yang disegerakan Allah adalah sosok istri yang tawadluk, menerima setiap kekurangan harta ataupun jiwa, siap berjihad harta benda di jalan Allah SWT, menjunjung tinggi pendidikan dan menomor satukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dialah Sang Pejuang November yang kedua yang membuatku bersyukur dan bangga. Aku menjadi saksi bersama jiwa-jiwa pejuang, jiwa-jiwa ksatria, jiwa- jiwa kekasih Allah.
24 tahun silam kedua pejuang November itu mengikatkan diri mereka atas perintah Tuhan dan rosul-Nya. Ijab qobul di pagi itu menjdi tanda kehidupan baru bagi kedua Sang Pejuang November itu. Sanak kerabat dari kedua mempelai, para tetangga, penjual jajanan, mainan melengkapi semaraknya pesta nan agung itu. Alampun tak mau ketinggalan menyambut pernikahan kedua pejuang tersebut dengan mencurahkan jutaan senyawa H2O setelah berbulan bulan kemarau melanda di desa mereka. Subhanallah, Allah mengetahui betul siapa-siapa saja hamba-Nya yang bertaqwa, pejuang sejati, yang menjalankan perintah dan sunnah-Nya karena ridhonya semata. Sehingga di hari bahagia mereka, Allahpun turut menjadi penyemaraknya. Kenapa kukatakan demikian? Baiklah sedikit akan kuceritakan padamu kawan!
Kedua pejuang November itu dilahirkan dari keluarga yang lebih dari cukup, dan terpandang di kalangan masyarakat. Namun bukan hal itu yang membuatku mengatakan tadi. Kedua pejuang November itu memiliki semangat yang sama tingginya dalam menuntut ilmu, mereka akan lebih rela mati matian mencari ilmu dibanding dengan sesuap nasi. Bukannya mereka dari kalangan berada? Kenapa sampai segitunya?Engkau tentu saja tahu kawan , bagaimana produk produk pemikiran kuno bekerja, pemikiran yang 50 persennya masih teracuni dengan pestisida Belanda, Jepang. Bagi kedua orang tua kedua pejuang iyalah yang penting subur maka akan makmur. Perut terisi maka bernutrisi. Jika bernutrisi maka akan bahagia, jika sudah bahagia maka akan sejahtera. Mereka lupa bahwa jiwa ini juga membutuhkan nutrisi yang pada kenyataannya memiliki porsi yang lebih besar di banding nutrisi raga. Jiwa yang kosong ini perlu adanya penyentuh ilmu, otak yang kopong melompong perlu diisi dengan pengetahuan, budi yang tak bermoral bisa diatasi dengan pengetahuan dan kemauan. Dan salah satu jalan untuk itu adalah dengan bersekolah. Ya, kalau sudah tahu mana porsi yang lebih besar, maka mana yang seharusnya lebih diprioritaskan???? Nasi atau ilmu? Seseorang yang kecukupan dengan nutrisi, raganya mungkin kan lebih kelihatan bugar dan sehat namun dengan hati yang kosong. sudah barang tentu yang ada dalam rencana utama adalah bagaimana memperpuas diri lagi dan lagi karena dalam pikirannya tertancap bahwa nasilah yang nomor satu maka demi menambah asupan asupan si raga apapun di lakukan dari yang halal, subhat , sampai yang haram. Namun jika ilmu yang diprioritaskan, meski kekurangan pangan, namun hati yang terisi memancarkan esensi cinta di raga. Yang pandai bersyukur, Allah berikan nikmat yang lebih dan lebih, makin dan makin. Dan di jaln-Nya lah dia berjalan, maka sudah barang tentu nikmat Tuhanmu manakah yang kamu perselisihkan?
Anak perempuan yang cantik, sopan, pintar namun dengan balutan selendang tiap fajar, sapu, gula, beras, pasir. Tentengan pisang, kelapa, semua yang engkau temukan di Toserba, sebagian dipanggul oleh anak SD kelas 3 itu tiap fajarnya. Dia yang lebih dari cukup keadaannya merasakan tanggungan hidup yang terlalu dini untuk dirasakan. Tergepoh-gepoh bila waktu sudah tak berkompromi , menahan malu pada guru, teman, karena memang waktu tak berbelas kasih dengan keadaan yang amat tak diinginkannya. Uang yang diberikan padanya untuk jajan di sekolah sesungguhnya hanyalah cukup mengenyangkan bagi sebagian keringat yang terkucur selama tergepoh gepoh menuntut ilmu. Setelah itu, ditahannya lapar, kesedihan, keinginan. Dia hanya terdiam. Tanpa protes, tanpa keluh kesah. Sebuah mutiara berharga yang aku dapatkan dari anak sekecil itu. Keceriaan anak-anak yang haus akan pengetahuan, keceriaan anak-anak yang bahagia akan kebersamaan, aneka mainan, makanan, hal hal normal masa anak-anak itu dia rasakan sebelum bel pulang berbunyi. Setelah itu, dunia anak-anaknya seakan telah terenggut. Kedua telapak tangan yang seharusnya halus, putih, mulus, harus menjadi hitam, kasar, penuh debu. Membungkus pasir, beras, gula, mematik kelapa, melayani pembeli, jika perut rasanya perih. Cuma nasi , kacang, dan so'on sejenis mi yang terbuat dari sagu yang levelnya tentu saja di bawah mi instan. Setiap harinya , tanpa varian makanan, tanpa asupan nutrisi yang layak, dia tetap terdiam, menjalani masa-masa yang memang Allah takdirkan untuknya.
Dan tepat jam 12 malam, kulihat mata merahnya berair, otot otot melemas, debu debu masih menempel di sekujur tubuh dan di baju yang itu-itu saja, bruk di atas karpet, anak SD itu merasakan sebagian surganya Semoga Allah memberikan makanan yang bergizi, mainan yang dia sukai, baju yang indah-indah, surganya anak-anak di alam mimpi. Ya, meski di dalam mimpi. d
Dalam tidurnya itu, kulihat setetes air keluar dari sudut sudut matanya, hanya setetes. cuma setetes.
Pagi yang benar-benar masih buta memaksanya untuk bergegas keluar dari pintu indahnya di malam jam 12 tadi, mandi, memakai baju yang tak layak pakai, tergepoh-gepoh ke pasar dengan balutan selendang di bahu. Bersama Sang ibu, anak itu siap menyambut berton-ton beban yang aku katakan tadi, sebagian yang kau dapati di TOSERBA. Kulihat kecemasan , kekhawatiran di wajah anak itu, dengan langkah cepat di menggendong, menenteng semuanya ke rumah untuk di jual. Dan seperti biasa , waktu yang tak berbelas kasih itu memaksanya untuk lebih cepat dan cepat. Tanpa babibu diambilnya seragam putih merah lusuhnya dan langsung di pakai dan dicangklongkan tas tuanya di pundak pundak yang memar itu. Sambil tergepoh gepoh diambilnya sebuah buku tulis dari tasnya, dan kulihat dia komat kamit melafalkan lafadz lafadz arab dengan cepat dan bola mata yang keatas kebawah tanda mengingat ingat, kini terjawab sudah kecemasan di wajah yang kurasakan padanya tadi. Dia tak memiliki waktu untuk menghafal, tepatnya dia tidak diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan kanak-kanak yang cuma sekali itu, dan kepada hambanya yang sungguh istimewa itu, Allah menganugerahkan keenceran otak, kecepatan memahami sesuatu, kecepatan menghafalkan pengetahuan pengetahuan-Nya. Setiba di kelas, diia sudah siap dengan tugas hafalan, adapun dengan pr yang siap menagih, dikerjakan dengan cepat, sigap, mentransfer ilmu yang ada di otak menuju buku tulis yang dia buka sedari bel tenda pelajaran berganti.
Seperti itu rutinitas wajib yang anak kecil itu lakoni sampai kini dia telah mengikat separuh jiwa raganya pada seseorang yang Allah sandingkan dengannya. Dari anak kecil innocent, bermetamorfosa menjadi gadis remaja hingga semerbak bunga yang membuai kumbang-kumbang sekeliling berebut meminum madunya. Dia, sang pejuang November yang kedua itu, masih hidup dalam kebelengguan, keterikatan, beban jiwa dan raga namun dia tetap terdiam, tersenyum, dan menitikkan air mata dari sudut sudut mata dalam doa di tidurnya.
Dan tidak jauh dengan nasib si anak perempuan kecil tadi, si anak laki-laki dengan muka tirus, kusut, kerempeng dan hitam sedang mengutak atik televisi, kumparan kabel, aki. Senyum sapa hangat nan tulus dia berikan pada siapapun, pembeli, tukang becak, anak-anak sekolah, ibu-ibu PKK. Tak terkecuali meski tanpa senyum balas dan terkadang cemoohanlah yang dia dapatkan. Jumlah keringat yang terus bercucuran itu tak sebanding dengan tegukan air yang basah di kerongkongan. Di usia yang belia, 10 tahun kelas 5 SD, seharusnya daya imun setimur itu tak akan kuat dengan terlepasnya ion ion dari tubuh alias sharusnya raga yang sedini itu terancam denga ndehidrasi. Namun Allah Maha belas kasih, menepis argumen argumen sains yang terlalu berpatok pada akal semata, si kecil yang hitam itu, sedikitpun tak pernah dehidrasi dari haus karena memang dia menjalani puasa dalail yaitu puasa tirakat sepanjang hari. Untuk usia sekecil itu, sanggupkah engkau kawan?!
Tepat pukul 4 pagi, Sang Ayah dari anak laki laki itu dengan pasang wajah galak dan setengah memaksa membangunkan keempat anaknya, salah satunya ialah si anak laki laki itu untuk sahur,tahajud di lanjut sholat subuh menjadi nutrisi jiwa tiap pagi. Setelah ketiga runititas itu, ayah mereka tidak mengizinkan mereka untuk terlelap meski 1 menit saja, segera mengaji di pondok di lanjut di rumah itulah kebiasaan shari hari si anak tadi.
Hidup di keluarga yang religius, paham akan agama, membuat pondas imannya kuat, sekokoh batu karang. Tak ayal meskipun panas menganga dia tetap berpuasa dan tak tergoda dengan sedikitpun tegukan yang akan membuat kerongkongannya basah. Setengah 7 semua rutinitas pengisi jiwa rampung dan dilanjut dengan ngangsu yaitu mencari air bersih untuk diisi ke tempat penyimpan air guna memenuhi kebutuhan sehari hari. Ya, sedikit beruntung bagi si anak laki laki ini, karena dia memiliki kedua orang tua yang menjunjung nilai-nilai agama dan mau mengajarkannya berbeda dengan kedua orang tua si anak perempuan tadi yang tidak pernah mengajarkan keagamaan padanyan, yang mereka pikirkan iyalah menumpuk uang dan uang. Meskipun demikian, si anak perempuan tidak kekurangan nutrisi jiwa sedikitpun, Allah lah yang langsung mengajarinya. Allahlah yang membuka setiap batin keagamaanya. Dan tepat jam 7 kurang 10 menit, si ank laki laki itu bergegas mandi , sungkem pada ayah dan ibu tercinta lalu tergepoh-gepoh menuju bangku sekolah, sama tergepoh gepohnya dengan si anak perempuan tadi.
Terlihat wajah cemas di pagi itu, bukan karena belum menghafal tugas hafalannya, atau bukan karena belum mengerjakan pr, namun 1 guru yang mengajar di pagi itu telah siap siaga bahkan setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Tampang seram, galak. Dengan rotan di genggamannya mampu menjatuhkan mental lawan dari radius 116 meter.
Teeet bel masuk berbunyi, sedangkan anak laki laki itu masih harus melewati separuh perjalanan agar sampai ke bangkunya. Wajah cemas itu semakin terlihat dan memerah, dalam hatinya terus berdoa pada Allah supaya dia diuntungkan di pagi itu. Di depan sekolahnya, ketakutan makin menjadi. Dalam doanya, ada harapan dan ada ide. Ya ... ide. Ide untuk kenakalan yang agak wajar bagi anak lelaki saat itu. Diambilnya cutter di saku celana yang biasanya dia gunakan untuk memotong kabel kabel penghubung televisi. Dikeluarkan dengan hati hati dan secara cepat menuju ke belakang ruang kelas yang terbuat dari anyaman bambu itu. Krek krek krek ... tubuh kerempengnya melakukan dorongan sedikit saja membuat kerusakan pada tubuh kelasnya. Dan dengan cepat si tubuh mungil itu telah duduk sambil menatap bab II pelajaran bahasa indonesia. Agaknya tak ada tanda-tanda rotan melayang ke tangannya, maklum salah satu kelemahan dari guru galak itu iyalah pada penglihatannya, sedang teman-temannya yang beru saja melihat aksi nakalnya itu, cuma bisa menyengir dan mengelus dada. Dan tunggu, terlihat wajah cemasnya lagi, kenapa? Sang Guru melirik goresan persegi di belakang ruang kelas. Untuk selanjutnya, kau tentu tahu apa gunanya rotan yang ada pada genggaman Sang Guru kawan! hehe
Dengan hadiah pukulan rotan Sang guru, si anak laki laki tadi masih nyengir geli akibat ulahnya sendiri, tidak habis pikir di telah melakukan ide gila itu. Namun, sudahlah, pikirnya. Agenda setelah pulang sekolah ialah secepatnya bergegas ke rumah ketiganya, tempat pinggir jalan, asap kendaraan, rokok, debu-debu jalan siap menunggunya siang itu. Mengutak-atik kompor, televisi, baterei, sudah jadi aktifitas rutin di siang hari dan akan berakhir pada jam 1 dini hari. Begitulah tiap harinya, aku tak bisa berkata apa apa lagi. Kedua pejuang November itu telah membuatku luluh, takluk, menagis sampai detik ini dan kata kunci untuk rentetan peristiwa di hari itu, iyalah ada harapan nyata di setiap do’a.
Begitulah,perjuangan yang sama hebatnya dalam menuntut ilmu, keenceran otak yang dianugerahkan Allah pada mereka, kegigihan hidup yang mereka punyai, himmah yang tinggi dalam hidup ini, mungkin sebagian alasan mengapa mereka di persandingkan 24 tahun silam. Wallahu A’lam
Cabe seperempat kilo Mbak, sayur kunci 2, ikan kembung 1 kg tambal panci mbak, sandal swallow 1
Aku tempe 3, tahu 1, empon-empon 1.
Aku duluan. Kol 1, tomat 2000, ayam seperempat, singkong sekilo. bawang merah seperempat, bawang putih separoh prapat, obat nyamuk bakar
Antar pembeli saling bersaut dan berebut. Peluh yang semakin bertambad deras, kesigapan dan kegesitannya menunjukkan bahwa sudah tidak asing dia manjalani kegiatan semacam ini. Anak perempuan kecil yang cantik dan polos itu. Yang kuceritakan di awal. Tentengan yang berat, panggulan yang membuat pundaknya memerah tak dihiraukannya. Ulasan senyum kebahagiaan terus dia sunggingkan. Di rumah lain yang dipinjamkan oleh orang tuanya paska bercerai. Menjalani hidup berdua dengan sang kekasih menjadi surga kenikmatan bagi seseorang yang sudah begitu lama terjajah di tempatnya dulu. Meski di dalam rumah yang 3 kali lebih kecil, genteng-genteng yang dipastikan bocor jika hujan deras tiba, dan tiyang-tiyang yang akan meliuk roboh jika terjadi badai nanti. Pakaian yang masih sama, sedikit dan lusuh. Namun kebebasan yang dia miliki sekarang begitu memekarkan bunga hatinya, senyumnya semakin tersungging kala telapak tangan yang basah peluh itu berada tepat di perutnya, di perutnya yang semakin hari makin membesar. Allah telah menitipkan calon makhluk hidup dalam rahimnya. Allah telah memberikan kesempatan baginya untuk menjadi sosok seorang ibu. Hati yang terus tersakiti, raga yang terus tersakiti, pengetahuan yang sedikit, makanan yang tak bernutrisi, pakaian yang tak layak pakai tidak akan dia wariskan pada si calon anak nanti, begitu janjinya setiap dia ingat bagaimana kerasnya hidup yang dia alami. Dua butir air keluar dari sudut matanya.
Dan segera saja kedua air mata itu akan diusap oleh sang suami usai menjalani pekerjaannya mengajar para siswanya di desa tetangga. Senyum dari sang suami seakan mengatakan, bersabarlah, mari kita bangun pondasi kita sendiri, kita didik genersi kita sndiri, jangan sampai penderitaan yang kita alami itu dirasakan oleh anak cucu kita nanti. Kedua senyum bahagia sejoli ini bagaikan pelangi yang hadir setelah derasnya hujan dan benturan panasnya cuaca.
Semoga ketika anak ketiga kita sudah lahir nanti, kita bisa memperbaiki sedikit demi sedikit rumah kita. Supaya si adik ini dan kedua kakaknya tidak merasakan kedinginan sepanjang mereka menikmati masa tidurnya. Dan semoga di kehamilanku ini, kita semakin menikmati kehidupan kita sendiri, tidak seperti kedua masa hamilku dulu, aku tidak merasakan menjadi ibu seutuhnya karena jiwa dan ragaku terbagi untuk dipakaa bekerja di rumah orang tua.
Engkau suamiku, dan kedua buah hatiku. Aku berharap si buah hati yang lahir nanti tak kekurangan suatu apapun, baik nutrisi jiwa dan raganya karena kita sudah membangun keluarga kita sendiri. Meskipun aku cuma dagang kecil kecilan dan ditambah gaji yang belum bisa dikatakan cukup untuk pekerjaan mulia seorang guru.
Semua keluh kesahnya dia keluarkan semua di depan suami tercinta.
Semoga Allah memberikan berkah pada rizki kita, meskipun sedikit namun jika penuh berkah akan kelihatan melimpah dan tak lupa selalu bersyukur karena dengan bersyukur rizki akan menjadi lebih dan lebih berkah istriku sayang.
Terukir 2 senyum ketulusan di siang itu, senyum yang murni dari hati yang murni juga, senyum yang ikhlas dari jiwa yang ikhlas juga, senyum tanpa embel embel sedikitpun. Semoga Allah memberkahi kalian wahai jiwa jiwa yang tenang dan menenangkan.
Saya tulis cerita itu di November 2014. Sebagai kado untuk ibu dan bapak yang terlahir di bulan sama. Aku masih ingat ibu tak berhenti menangis karena bagaimana pun kisah secuil itu pastilah menyongkel lagi segala kenangan di masa lalu. Hanya ibu yang menangis. Karena tepat 18 Juni 2014 kamilah semua yang menangis bersamaan dengan hembusan napas terakhir Bapak.
Bapak, Ibuk. Terimakasih telah menjadi orangtua kami.