Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tangannya masih setia menggamitku. Tak ada lagi debar. Tak ada senyum sipu malu. Hanya ada kenyamanan dan ketenangan karena dia masih bersedia menggenggam jemariku yang semakin keriput. Bersedia menopang tubuh yang tak lagi sekokoh dulu.
Seperti biasa kami menyusuri jalan yang sama. Di mulai dari gang jalan masuk ke rumah kami, keluar menuju hiruk pikuk jalan raya sempit. Menelusur aneka pertokoan yang menjamur sambil sesekali melihat isi tempat sampah mereka.
Cukup menakjubkan karena dengan sampah aku jadi tahu kebiasaan atau apa pun yang baru saja mereka makan. Mungkin terdengar tidak sopan, tetapi bertahun-tahun kami melakukan ini saat berjalan berdua menyusuri jejak kemarin dan kemarinnya lagi.
Ketika mulai meniti jembatan, kami berdua mendesah. Tak ada lagi arus bebas yang berkejaran dengan riaknya. Tak ada pohon bambu yang menari-nari di sepanjang tepiannya. Air kini seolah enggan mengalir tertimpa beban berton sampah. Deretan pagar alam bambu berubah jadi tumpukan batu-bata yang mulai kusam. Ini sangat mengerikan!
Tak sanggup kami berlama-lama berdiri di atasnya. Aroma segar yang dulu menebar penuh romantika berubah menjadi bau busuk seperti tubuh tua kami yang layu. Ya, kami hanya mendesah, saling tatap sedih dan melanjutkan perjalanan.
Satu dua pohon yang kami temui mulai malu memanjangkan bayangan. Tak ada lagi tempat kami berlindung dari beringasnya sang mentari. Peluh menderas seiring tenggorokan yang kerontang.
“Minum dulu,” tawar suamiku yang membawa air minum. “Nanti kita istirahat di tempat biasa.”
Aku mengangguk sambil meneguk air dari bekas botol minuman mineral. Sebuah sapu tangan aku keluarkan untuk menghisap keringat yang berhasil memerihkan mata. Tak lupa aku pun menyeka keringat yang berkeliaran di dahinya yang sibuk memasukkan botol minum ke dalam tas karung.
“Ayo,” ajaknya meraih tangan kanan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya menenteng tas karung, yang sesekali dia sampingkan ke bahu.
Tiba di perempatan jalan kami menunggu hingga lampu berubah hijau. Merunduk-runduk kami menyeberang dengan was-was. Sepeda motor sekarang bukankah ganas-ganas. Kadang mereka membutakan diri dengan rambu lalu lintas. Akhirnya kami yang tua-tua jua yang terlindas.
Aku senang setelah menyeberang, kami bisa berjalan di trotoar. Berharap lagi tidak ada motor nyasar. Seminggu lalu, tetanggaku tahu-tahu sudah ada di rumah sakit. Seorang anak muda menyerempetnya padahal dia sudah berjalan di tepi jalan. Ah, entahlah. Anak muda itu berkilah dia sudah membunyikan klakson agar si kakek minggir. Minggir ke mana lagi?
Azan Zuhur berkumandang tepat saat kami melewati sebuah rumah mewah mirip istana. Kurang lebih sepuluh meter dari situ musala kecil telah menanti kami dengan keasriannya. Pohon-pohon masih setia mengitari. Beruntung pohon-pohon itu tidak kena razia petugas pangkas. Mungkin letaknya yang tidak berada persis dekat jalan raya menjadi alasan. Yang sering kali kanan-kirinya berseliweran kabel melintang.
Selepas salat kami memilih duduk di bawah pohon yang menghadap jalan raya. Menikmati nasi bungkus dari daun pisang bekas pembungkus tempe. Ya, daun pisang sudah tidak ada di sekitar rumah, pakai kertas minyak sayang duitnya bisa buat beli beras. Akhirnya ketika aku membeli tempe untuk lauk, bungkusnya aku pilih yang terbaik untuk membungkus bekal makan siang kami.
Ini selalu menjadi makan siang ternikmat bagi kami. Bisa saling bercerita dalam sepiring berdua. Meski kenyataannya kami makan tanpa menggunakan piring.
Suamiku paling senang duduk di sini. Matanya tak letih memandang lalu-lalang kendaraan.
“Lihat, sudah berapa puluh motor lewat? Dan berapa angkot yang lewat?” kata suamiku setiap harinya.
Aku menanggapi dengan gumaman tidak jelas. Ikut mengamati jalan raya.
“Jumlah angkot semakin berkurang. Penumpang juga semakin jarang. Pantas banyak usaha angkot yang gulung tikar. Para sopir angkot menderita lapar.”
“Motor semakin banyak ya, Pak?” komentarku.
Rasanya aku paham apa yang dia keluhkan. Suamiku mantan sopir angkot yang tersingkir oleh keadaan itu.
“Sepeda motor sedang menjadi raja,” gumamnya.
“Kita lanjutkan ke taman?” tawarku. Aku tak mau suamiku terus terkungkung pikiran buruk tentang kondisi jalanan sekarang.
Tanpa berkata apa pun, dia sudah berdiri dengan susah payah. Tangannya langsung sigap menjadi tumpuan bagiku untuk berdiri. Terseok-seok kami meneruskan perjalanan.
Lima belas menit kemudian kami tiba di sebuah taman yang teduh dengan aneka mainan anak. Seperti biasa setelah berkeliling mencari botol atau gelas bekas minum, kami duduk di bawah pohon dengan hamparan rumput yang kekuningan.
Aku paling suka duduk di taman. Banyak anak-anak kecil bermain di sana. Melihat tawa lucunya, gerak kaki mungilnya, lambaian tangan sucinya. Ah, aku selalu merindukan mereka.
“Maaf, suamiku. Aku tak bisa memberimu anak.” Akhirnya kata itu keluar dari mulutku. “Hidup kita jadi hitam-putih saja.”
“Kamu ini bicara apa? Kita tetap bahagia bukan dengan tanpa hadirnya mereka,” ucap suamiku yang kadang melegakan, namun terkadang menghampakan.
“Setidaknya kita sudah berusaha,” desahku mengusir resah.
“Bukankah kamu punya kenangan indah dengan Lia? Bukankah sejak bayi kamu mengasuhnya? Dia itu anakmu, Bu.”
Aku jadi tersenyum teringat Lia. Bayi mungil anak dari adikku, kini telah menjelma gadis dewasa. Dia sekarang telah bekerja di luar kota. Akankah dia lupa padaku, hingga jarang berkabar? Entahlah. Mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Dulu orang tua Lia mempercayakan pengasuhan Lia padaku, yang tidak bekerja. Adikku dan suaminya selalu sibuk bekerja. Aku mengasuhnya tentu saja secara suka rela.
Jika suamiku kehilangan angkotnya. Aku jelas kehilangan Lia.
“Dia anak baik. Dia pasti tetap mengingatmu sebagai ibu asuhnya. Kamu harus mensyukuri itu.”
“Iya,” kataku pelan menggantung.
Tetap saja aku merasa belum menjadi wanita yang sempurna tanpa melahirkan anak.
“Justru aku yang minta maaf karena tak bisa membuat hidupmu nyaman dan indah. Aku tidak bisa memberi kelayakan hidup untukmu. Semua serba kekurangan.”
Aku terkejut dengan penuturan suamiku. Sama sekali aku tak pernah memikirkannya.
“Hidupku indah karena ada Bapak,” ucapku spontan. Mungkin pipiku sudah merona saat mengucapkan itu.
Kali ini kami merasa seperti anak remaja yang sedang dilanda demam cinta pertama. Kami berdua tersenyum malu-malu.
“Hidupku pun sudah cukup berwarna meski kita tak memiliki anak Bu,” sambut suamiku sambil menggenggam tanganku.
Aku mendesah lega. Mungkin ini hal yang terbaik bagi kami. Setidaknya kami dapat menikmati tiap detik romansa hingga hari senja.
“Ayo, kita pulang. Jangan sampai kita kemalaman karena terlena suasana.” ajak suamiku dengan senyum seindah jingga, seperti biasa.
Kami pun beranjak menyongsong sinar sore yang masih menyilaukan. Melewati jalan-jalan saat kami datang. Tak peduli tatapan hina dan kasihan. Kami berjalan beriringan dengan memanggul jerih seharian.
Ya, mungkin kami tampak seperti pengemis. Tetapi kami tidak berjiwa pengemis. Cukuplah memungut apa yang telah mereka buang untuk mendatangkan uang demi sebungkus nasi untuk makan kami sehari.
Tangannya masih setia menggamitku. Memapahku menyusuri jalan-jalan penuh kenangan bersama asam manis kehidupan.