Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Seorang Ranu Inten Melihat Hantu
1
Suka
1,587
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sosok itu berdiri di pojok ruangan.

Wajahnya tak terlihat karena kepalanya tertunduk dan tubuhnya sendiri menghadap ke tembok. Ia mengenakan pakaian seragam Office Boy berwarna biru lusuh. Ada lemari perkakas di samping sang sosok yang berisi beragam peralatan lama yang entah awalnya digunakan untuk apa, dari pel dan sapu, map dan kertas, sampai peralatan listrik. Kabel menjuntai dari langit-langit tanpa tahu fungsinya dan mengapa dibiarkan saja seperti itu tanpa diberesi, digulung atau dipotong sekalian agar tak menjuntai seperti sulur-sulur tanaman dari pohon beringin tersebut.

Itu yang diceritakan Ranu Inten kepada Saban, rekan kerjanya siang itu.

“Kau sungguh-sungguh, Ran? Di pojok ruangan yang tak digunakan itu?” respon Saban dengan cukup berlebihan.

Reaksi Saban mendengar cerita ini bukan tanpa alasan.

Ranu Inten yang telah bekerja selama empat tahun di perusahaan ini, dikenal sebagai orang paling jujur di seluruh penjuru dunia, bahkan mungkin jagad. Hampir tidak mungkin bagi Ranu Inten untuk berbohong dengan sengaja, apalagi menipu orang lain dengan tujuan iseng, bercanda, apalagi berdasarkan maksud jahat.

Saban melotot memandang Ranu Inten lekat-lekat. Kedua matanya melotot, seakan memaksakan untuk dapat melihat lebih jelas wajah orang di depannya itu dengan lebih jelas. Memang ternyata, usaha Saban membuahkan hasil. Ia melihat raut wajah intens dari seorang Ranu Inten. Garis-garis mukanya tegang. Campuran antara takut, khawatir dan bersungguh-sungguh. Tidak mungkin untuk tidak menganggap Ranu Inten dengan serius.

Setelah ditanya dan diperhatikan sedemikan rupa, Ranu Inten mengangguk kecil. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Saban percaya. sebagai hasilnya Saban menghela nafas panjang.

“Beneran OB barangkali, Ran,” tanya Saban masih berusaha untuk melogikakan cerita ini.

“Aku juga berharap begitu, Ban. Semoga memang yang kulihat tadi itu sungguh manusia, pegawai di tempat ini, atau aku hanya salah lihat,” balas Ranu Inten.

Ranu Inten tidak melanjutkan penjelasannya, pun tak bersikeras untuk membuat Saban percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi.

Lagi-lagi, respon sederhana Ranu Inten ini malah membuat Saban semakin percaya.

Ranu Inten dan Saban adalah dua pegawai laki-laki senior di perusahaan yang bergerak di bidang online business and marketing. Keduanya berada di divisi yang sama, advertisement. Perusahaan dimana mereka bekerja ini sebenarnya sudah berdiri sejak sepuluh tahun yang lalu, tetapi baru mulai merasakan peningkatan pesat empat tahun terakhir. Ranu Inten sudah bekerja sejak tujuh tahun yang lalu, sedangkan Saban mulai bekerja beberapa tahun kemudian.

Saat awal mereka bekerja, perusahaan yang bernama Combatant Co. itu masih menempati sebuah ruko kecil dengan pegawai tak lebih dari dua puluh orang. Sekarang, Combatant Co. sudah menyewa bangunan di sebuah kompleks elit dengan pegawai berjumlah lebih dari 300 orang di dua kantor berbeda.

Ranu Inten, laki-laki berperawakan sedang dan tidak terlalu tampan itu dikenal sebagai seorang pribadi yang tidak nyeleneh, formal meski juga tidak kaku oleh rekan dan bawahannya. Ia bisa bercanda dan bersosialisasi dengan baik. Satu hal yang membuatnya dikenal dengan baik oleh adalah betapa jujur dan profesional Ranu Inten dalam pekerjaannya. Hal ini juga membuat perilakunya dikenal baik sebagai orang yang penuh tata krama dan sopan santun pula.

Saban sesungguhnya kerap merasa insecure bila berada di samping Ranu Inten walau keduanya telah bersahabat baik cukup lama. Saban sendiri adalah laki-laki yang luar biasa tampan. Gaya berbusananya pun selalu up to date dan fashionable. Namun, masalah sifat dan perilaku, Saban kerap dicemooh karena sangat bertentangan dengan sahabatnya itu. Saban memang cenderung ceplas-ceplos dan cerewet. Ia sering mengerjai orang lain dan bersikap kurang dewasa. Memang, Saban toh tetap populer di mata para gadis, baik rekan kerja, pimpinan, bahkan klien karena sifat seru dan tentu saja wajah tampannya itu. Hanya saja, dibanding Ranu Inten, Saban seperti sosok setan kecil di bawah sayap seorang malaikat.

Selang tiga hari sejak Ranu Inten menceritakan kisah pengalamannya itu kepada Saban, Ranu Inten kembali datang dengan sebuah cerita lainnya.

Kisah teror penampakan sosok laki-laki menunduk dan menghadap dinding di samping lemari perkakas di ruangan yang diabaikan lama itu langsung meledak. Saban sendiri yang menyebarkannya kepada semua pegawai dan rekan kerja di Combatant Co.

Awalnya melihat perilaku dan sifat Saban yang terkenal selengean dan penuh dengan canda, tidak banyak yang menelan mentah-mentah ceritanya. Namun begitu mereka semua tahu sumber kisah ini berasal, segalanya langsung menjadi berbeda.

Dahayu, karyawati Combatant Co. yang meskipun bukan yang paling geulis, bahkan cenderung cerewet tetapi memiliki bentuk tubuh luar biasa menakjubkan itu langsung mendatangi Ranu Inten di mejanya. “Benar apa yang dikatakan Saban, Ran, soal apa yang kau lihat itu?”

Aroma tubuh wangi Dahayu menusuk indra pembauan Ranu Inten.

Bahkan untuk orang suci macam Ranu Inten, getaran sepasang dada milik Dahayu yang seakan memberontak di balik kemeja kerja sempit itu, tak mungkin terlewat dari pandangan kedua matanya.

“Benar, ‘kan? Atau kucing kampung itu bohong lagi? Kalau sampai dia bohong, seumur-umur aku tak akan mendengar apapun yang ia katakan. Aku heran, cewek-cewek kenapa bisa ditipu sama gombalan murahan playboy cap kampak berkarat itu,” seru Dahayu dengan geram.

Ucapannya merujuk kepada Saban.

Tidak diketahui Ranu Inten, bahwa meski mulut ceriwis sang gadis itu menghina dan menjelek-jelekkan Saban, sudah tiga kali Dahayu dan Saban berbagi lendir kenikmatan di atas ranjang. Tidak pula diketahui Ranu Inten, betapa Dahayu penasaran dengan kelelakian miliknya. Bahkan kesempatan semacam ini, sungguh digunakan Dahayu untuk mendatangi Ranu Inten secara langsung dan berinteraksi dengannya.

Ranu Inten menundukkan kepalanya, khawatir bila sampai ia ketahuan memandangi ujung puncak dada Dahayu yang berada sejengkal saja dari wajahnya.

Ranu Inten kemudian memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya ke arah lawan bicaranya. Ketika dua pasang mata itu saling bertemu, Ranu Inten mengangguk. Pelan, tapi tegas.

Dahayu berteriak histeris. Seluruh lapisan kulitnya merinding. Daya elektrik dikirimkan ke seatero inci tubuhnya.

Sejak hari itu, Dahayu menjadi pemanjang lidah Saban, duta cerita Ranu Inten.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Bangunan ini memang berdiri di lahan elit, berdampingan dengan gedung-gedung besar lain dalam kompleks tersebut. Jarak perkantoran ini tidak terlalu jauh dari kompleks apartemen mahal di atas bukit dan hunian padat di bawahnya, tempat tinggal Dahayu.

Hanya saja, tidak banyak yang tahu sejarah di belakangnya.

“Memangnya ada apa dengan gedung ini?” tanya seorang gadis yang baru saja bekerja selama tiga bulan di Combatant Co. kepada Dahayu yang duduk di sebuah kursi seperti seorang ratu di singgasananya. Selain gadis baru itu, masih ada empat gadis lain yang duduk takzim di depan sang ratu, memusatkan perhatian mereka kepada sang juru cerita.

“Nah, uniknya, tidak ada yang tahu dahulu ruangan itu ruangan apa. Kamar itu bukanlah kamar OB, juga bukan gudang. Isi lemari perkakas malah lebih aneh. Semua benda dicampur jadi satu. Aku pernah iseng cek isinya. Ada kertas, sapu dan pel, alat-alat listrik, sampai panci dan pakaian bekas yang juga tidak tahu milik siapa,” ujar Dahayu dengan begitu meyakinkan.

“Sebelum besar dan mewah seperti sekarang, kompleks ini dibangun dari lahan bekas danau alami yang kemudian ditimbun. Kalian tahu ‘kan bagaimana sebuah danau menyimpan misteri,” lanjut Dahayu dengan dramatis.

Respon para pendengar jelas bisa dipastikan. Kesemuanya merasa ngeri-ngeri sedap. Teriakan kecil dari para gadis terdengar. Masing-masing gadis menggosok-gosok lengan mereka untuk meredakan rambut-rambut yang berdiri.

Di sudut lain, Ranu Inten tersenyum tipis, hampir tak terlihat oleh pandangan mata biasa.

Saat itu sedang jam makan siang. Kafetaria begitu penuh dengan karyawan dari beragam perusahaan di kompleks perkantoran elit ini serta owang awam atau klien yang juga kebetulan sedang menikmati waktu istirahat dan makan siang.

Laki-laki itu memerhatikan orang yang lalu lalang dengan perasaan penuh di dadanya. Tidak sedikit yang melirik dengan takut-takut dan ragu, atau yang nyata-nyata melihat ke arahnya bahkan menegurnya. Semua karena cerita yang beredar mengenai penampakan yang dilihatnya. Seorang Ranu Inten Melihat Hantu. Begitulah kurang lebih judul sebuah headline majalah atau surat kabar bila cerita ini diberitakan.

Selama ini Ranu Inten telah berhasil mempertahankan filsafat hidupnya yang penuh dengan kejujuran dan perilaku baik serta bisa dipercaya. Dengan gaya dan prinsip hidup seperti itulah kini ia mendapatkan pekerjaan yang pantas, rasa hormat serta kepercayaan dari orang lain. Kejujurannya bahkan sudah melegenda di internal perusahaan yang terdiri dari dua cabang itu, sampai ke perusahaan-perusahaan rekanan. Jangka kerja dan integritas diri membuatnya tak heran bila dalam satu atau dua tahun ke depan posisi tinggi dalam perusahaan akan diberikan kepadanya.

Harusnya hidupnya sempurna bagai seorang manusia yang paripurna, bukan?

Nyatanya selama ini, diam-diam, Ranu Inten merasa kosong. Terutama semenjak ia bertemu dengan Saban yang kini menjadi sahabat kentalnya. Secara ironis, bila Saban merasa insecure bila sedang bersama dirinya, Ranu Inten malah merasa iri dengan sifat dan tingkah laku sahabatnya itu. Ranu Inten selalu saja dipercaya dan dikelilngi oleh orang-orang serius serta ‘bermartabat’. Saban, laki-laki yang selengean itu penuh dengan goda, tipu daya dan perilaku tidak terlalu terpuji lainnya. Namun, sahabatnya itu tetap mendapatkan begitu banyak perhatian.

Para teman dan rekan lelaki selalu merasa terhibur dengan lelucon dan caranya bercerita. Sedangkan lawan jenis terpesona dengan wajah dan gombalannya.

Ranu Inten ingin mendobrak batasan dirinya sendiri. Ia ingin mencapai sesuatu yang belum pernah dilakukan dengan baik sepanjang hidupnya. Ia menginginkan sensasi dari memiliki sisi lain yang sangat ia inginkan. Ia ingin berbohong.

Tidak disangka, bualannya mengenai sosok hantu berpakaian seragam OB yang berdiri di pojok ruangan di samping lemari perkakas lama itu hanya membutuhkan sedikit usaha. Bila yang dilakukannya diandaikan sebagai sebuah bisnis, maka ia sekarang sedang untung besar.

Percikan dan letupan aneh tetapi menyenangkan terjadi di dalam perut dan dadanya. Kenikmatan tiada tara bergelora dan bergemuruh di dalam jiwanya. Ia tak menyangka, berbohong dan membuat semua orang percaya ternyata membuatnya sebahagia ini.

Ia ingin melakukannya lagi. Berbohong membuatnya kecanduan.

“Ran, apa yang kau bilang ternyata benar. Kau tahu Dedeh? Dedeh Komariah? Anak divisi sebelah?” ujar Saban dengan bersemangat suatu pagi, sebulan sejak Ranu Inten menceritakan kisah penampakan di kantor mereka tersebut.

“Kemarin sore dia pulang agak telat. Dia kemari untuk mengambil file iklan dari Dahayu. Setelah Dahayu pulang, Dedeh masih mengutak-atik data lewat komputer Dahayu. Nah, dia memang sudah mendengar cerita yang sedang heboh di kantor kita soal hantu yang kau lihat di ruangan itu, tapi dia mengaku sama sekali tidak tahu dimana letak atau bagaimana bentuknya. Dedeh bilang …,” Saban mengecilkan suaranya, cenderung berbisik, “ … dia lihat ada sosok persis yang kau bilang di ruangan itu, Ran.”

Ranu Inten mengerutkan keningnya. Ia berusaha setengah mati untuk menahan mimik wajahnya agar terlihat serius dan tidak berubah. Padahal, jujur ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Mengapa kebohongannya dilanjutkan orang lain? Betapa besar jasanya untuk melihat siapa saja orang-orang yang menggunakan kisahnya ini menjadi cerita berantai yang dibunga-bungakan orang lain.

“Oiya? Memangnya dia bilang apa lagi?” tanya Ranu Inten mencoba terdengar sungguh-sungguh sembari mempertahankan mimik wajahnya.

“Sampai sekarang, kalau aku mengingat apa yang Dedeh ceritakan, aku masih merinding. Awalnya dia pikir orang itu adalah OB, jadi dia tidak begitu masalah. Maksud hati dia mau menyapa sang OB, permisi gitu, sampai sosok itu berputar ke arahnya. Lidahnya terjulur, Ran,” kedua mata sahabatnya itu mendelik secara dramatis.

Ranu Inten menghela nafas, masih mencoba menahan gejolak rasa geli di hatinya. Ia diam saja, bahkan tak mengangguk sekalipun.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Selama dua bulan penuh, seperti yang dipikirkan Ranu Inten, kisah legendarisnya berputar dan terus berjalan. Satu dua kisah tambahan dari orang lain mengenai sosok laki-laki yang menjulurkan lidah – tidak lagi sekadar menghadap tembok – menampakkan diri di ruangan misterius itu.

Ranu Inten masih kerap berbohong. Ia menambahkan sedikit bumbu di sana-sini untuk memperkuat cerita-cerita dari orang lain yang sudah jelas juga bohong belaka. Namun, tentu saja, ia beranggapan tidak ada yang tidak percaya dengan semua perkataannya.

Sampai suatu saat, tepat di hari ulang tahunnya, suasana ruangan kerjanya begitu sepi. Pukul tiga sore, satu jam lagi sebelum waktu pulang.

Ia baru saja keluar dari ruangan CEO perusahaan setelah pertemuan selama duapuluh menit dan merasa sedikit kecewa. Ceritanya menjadi viral dan ia dikenal selama tiga bulan terakhir ini, tetapi semua orang nampaknya lupa akan hari ulang tahunnya yang penting ini. Bahkan sekarang pun ia tidak melihat siapapun di kantor ini. Sedang kemana semua orang?

Ranu Inten berjalan pelan ke area dapur untuk mengisi botol air minumnya dengan air galon yang tersedia di sana. Ia melewati ruangan misterius legendaris itu dan tersenyum mengingat betapa konyolnya cerita yang ia karang tersebut.

Ada orang di sana!

Ranu Inten tersentak dan kaku di tempatnya. Ia masih bisa mengucek kedua matanya untuk mencoba melihat jelas.

Memang ada sosok manusia di sana, mengenakan pakaian seragam OB berwarna biru lusuh dan menghadap ke dinding. Kepalanya tertunduk di samping lemari perkakas dengan untaian kabel panjang bermain-main di atasnya.

Ranu Inten tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu. Namun sosok itu nyata adanya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah apa yang ia ceritakan adalah bohong dan dusta belaka? Atau apa yang diceritakan Dedeh Komariah dan yang lainnya itu sebenarnya benar?

Sosok berbusana OB itu perlahan berbalik.

Ranu Inten masih tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku sekaku-kakunya, seakan kedua kakinya tertancap dalam-dalam di bumi.

Jelaslah sudah kini rupa sang sosok yang awalnya hanya ada di dalam imajinasi dan kebohongan yang diciptakan Ranu Inten semata. Wajah sosok laki-laki itu pucat luar biasa. Lidahnya menjulur keluar dan sepasang matanya melotot memandang ke arah Ranu Inten.

Ranu Inten jatuh terduduk. Lututnya kini tak mampu bertahan lagi. Sosok itu perlahan berjalan ke arahnya. Kemudian berlari menghambur.

Ranu Inten berteriak sekeras-kerasnya, dramatis dan histeris. Itu adalah jeritan ternyaring selama hidupnya sampai sang sosok melompat ke arahnya.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Semua karyawan muncul dari balik tempat-tempat tersembunyi. Dari balik lemari perkakas, kotak-kotak kardus yang ditumpuk dan entah datang darimana lagi.

Happy Bithday, Pak Ranuuu …,” seru para karyawan.

Saban, Dahayu, Dedeh Komariah dan Bapak CEO Combatant Co. ada di sana semua.

Dahayu, tertawa lepas. Dadanya bergoyang-goyang di balik kemeja kerja ketat putihnya itu. Sebingung dan sepanik apapun Ranu Inten, alam bawah sadarnya masih sempat melihat bentuk peutup dada yang tercetak jelas di balik pakaian sang gadis.

“Luar biasa, Ranu Inten yang dikenal jujur ternyata pandai nge-prank orang juga. Sudah berbulan-bulan seluruh kantor dikerjai,” ujar sang CEO sembari menepuk-nepuk bahu Ranu Inten yang masih terduduk di lantai.

“Gantian dong, Ran. Sekarang kau yang dikerjai. Seluruh kantor pula,” seru Saban. Kalimatnya disambut dengan tawa riuh rendah dari segenap orang yang hadir di ruangan misterius tersebut.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Ranu Inten terlalu malu. Ia tak tahu harus menyimpan mukanya dimana. Wajah Saban yang tertawa mengejeknya bukanlah yang terburuk. Dahayu, wajah gadis dengan tubuh terbaik di kantornya itu seakan mencemooh dan mengolok-oloknya, sedangkan Bapak CEO yang sebelumnya bertemu muka selama dua puluh menit di ruangannya itu adalah yang paling membuat dunia Ranu Inten hancur berantakan.

Ternyata, selama ini semua orang sudah tahu ia berbohong. Terlalu lama jujur ternyata membuatnya tak mampu menyembunyikan kebohongan dengan baik. Ranu Inten memang telah menjadi viral, tetapi bukan karena ceritanya, melainkan caranya berbohong. Ranu Inten Berbohong. Itulah harusnya judul headline berita yang harus dicetak.

Ranu Inten berusaha tertawa dan berterimakasih kepada semua orang yang hadir di sana. Ia mencoba berbohong untuk terakhir kalinya, seakan-akan dikerjai seperti ini membuatnya senang dan diperhatikan, sama seperti layaknya orang lain yang diberikan kejutan ulang tahun.

Tapi dunianya sudah runtuh sama sekali. Ia tak kuat untuk menghadapi hari esok. Bertemu dengan wajah penuh hinaan dan ejekan Saban, Dahayu, Dedeh Komariah dan Bapak CEO seolah-olah tak ada yang terjadi. Ia pun yakin bahwa masa depannya tidak akan pernah ada. Kejujuran yang selalu ia pertahankan selama ini sudah hancur berantakan. Rekan kerja, klien, bahkan pemimpin perusahaan tidak akan bisa lagi percaya dengannya.

Semua karyawan akhirnya pulang dan membiarkan ia menyantap kue ulang tahunnya seorang diri dengan disertai candaan Saban, “Awas, nanti ketemu bapak OB itu lagi.”

Saban-lah yang berperan sebagai sosok hantu berpakaian biru lusuh dan menerkam ke arahnya tadi. Saban bahkan repot-repot mengenakan bedak di seluruh wajahnya dan menghisap permen merah sehingga lidahnya seakan menyala terang.

Ranu Inten berjalan gontai ke arah ruangan misterius yang sebenarnya bukan apa-apa itu. Ia mendekat ke arah untaian kabel dari langit-langit dengan sebelumnya menyeret kursi kerjanya. Ia mengetes kekuatan kabel itu dengan tangannya. Ia menaiki kursi kemudian melingkarkan kabel itu di lehernya serta mengikatnya dengan erat.

Ranu Inten menendang kursi menjauh dengan sekali sentak. Tubuhnya mengejang selama beberapa saat sebelum nafasnya benar-benar berhenti. Ia tewas dengan tubuh menghadap tembok di samping lemari perkakas usang dengan lidah terjulur keluar.

Ranu Inten menggenapi cerita buatannya sendiri. Ia menjadi sosok yang menjadi hantu di ruangan itu.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Seorang Ranu Inten Melihat Hantu
Nikodemus Yudho Sulistyo
Cerpen
Bronze
Gadis Bergaun Merah
JWT Kingdom
Novel
Pendakian Terakhir
Uki.Sari
Novel
Bronze
Mama
Dariyanti
Cerpen
Bronze
Gaun Putih
SUWANDY
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Alaska
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Zona Zombie -Novel-
Herman Sim
Novel
Mambaul Hikmah
NUR C
Novel
Tarun, Perjalanan ke Dunia Jin
artupaz piru
Flash
Petak Umpet
Esti Farida
Novel
DAYU 1983
Nuraini Mastura
Komik
Terjebak di Alam Lain
Maria Nur Karimah
Novel
Bronze
Sazadah Hitam
Paul Sim
Novel
Gold
Kosong
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
(Misteri) Bunga Lily
Nia Purwasih Sanggalangi
Rekomendasi
Cerpen
Seorang Ranu Inten Melihat Hantu
Nikodemus Yudho Sulistyo
Novel
Bronze
Pancajiwa
Nikodemus Yudho Sulistyo
Novel
The Babad Noir Chronicles
Nikodemus Yudho Sulistyo