Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mungkin kau tidak pernah mendengarnya. Wajar saja. Di zaman ini, namaku tak lebih berharga dari sebutir pasir di pantai Senggigi—dan sialnya, pantai Senggigi yang asli bahkan sudah tidak ada lagi, digantikan oleh taman realitas-virtual dengan pasir silika anti-statis yang menjijikkan. Aku tahu karena aku pernah mencoba menyentuhnya. Rasanya dingin, mati. Tidak ada bau garam, tidak ada jejak kepiting kecil yang berlari panik. Hanya... kehampaan yang sempurna.
Setiap pagi, rutinitasku sama. Aku bangun saat langit masih berwarna nila, bukan karena alarm, tapi karena tulang-tulangku yang sudah tua mulai menjerit. Aku akan duduk di berugak kayu di depan rumahku, satu-satunya bangunan di seluruh distrik ini yang masih berbau kayu lapuk dan cat yang mengelupas. Aku akan menyeduh kopi, kopi tubruk asli yang bijinya harus kupesan khusus dari seorang penyelundup di Sumbawa, bukan kopi sintesis hasil cetakan 3D yang rasanya seperti air bekas cucian logam.
Dari sini, aku adalah hantu yang menonton surga. Aku melihat menara-menara biokarbon yang ramping menusuk awan, memantulkan cahaya fajar dengan cara yang begitu arogan. Aku melihat kereta maglev melesat tanpa suara di atas rel yang melayang, membawa orang-orang yang wajahnya terpaku pada data yang mengalir di lensa kontak mereka. Mereka hidup di dalam lautan informasi, sementara aku terdampar di pulau sunyi bernama kenyataan.
Kemarin adalah titik terendahku. Aku pergi ke pasar—atau apa yang mereka sebut pasar sekarang, sebuah kubah steril di mana drone mengantarkan sayuran hidroponik yang sempurna. Aku ingin membeli beberapa ikat kangkung. Saat tiba giliran membayar, aku merogoh sakuku, mencari beberapa lembar uang kertas yang kusimpan. Kasir itu, seorang gadis muda dengan rambut dicat ungu, menatapku dengan tatapan iba.
"Maaf, Kek," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Kami sudah tidak menerima pembayaran fisik sejak lima tahun lalu. Pakai implan saja."
Aku terdiam. Implan di pergelangan tanganku terasa dingin dan asing. Aku tidak pernah belajar menggunakannya dengan benar. Aku mencoba mengarahkannya ke pemindai, tapi selalu gagal. Gadis itu menghela napas, lalu dengan satu ketukan di tabletnya, dia berkata, "Sudah, Kek. Kali ini ditanggung oleh program kesejahteraan lansia."
Aku bahkan tidak punya hak untuk membayar kangkungku sendiri. Aku adalah penerima sedekah di dunia yang kubantu bangun. Aku berbalik, tidak mengambil kangkung itu, dan berjalan pergi dengan harga diri yang sudah compang-camping.
Harga diri. Dulu, itu adalah segalanya bagiku. Dua puluh tahun lalu, Jenderal Hanan—yang waktu itu masih seorang letnan ingusan dengan mata penuh kekaguman—berdiri di hadapanku, di tengah hutan lebat Aik Nyet setelah kami baru saja melumpuhkan satu batalion pemberontak. Bau mesiu dan tanah basah masih menempel di udara.
"Komandan Raskara," katanya, napasnya tersengal. "Saya tidak pernah melihat yang seperti itu. Anda... Anda bergerak seperti angin. Mereka tidak punya kesempatan."
Aku hanya menepuk bahunya. "Bukan angin, Letnan. Ini tentang memahami rasa takut. Mesin tidak bisa mengajarimu itu."
Oh, betapa ironisnya kata-kata itu sekarang. Hanan, dengan implan militernya, kini bisa mengakses data rasa takut dari jutaan simulasi. Sementara aku? Aku hanya punya ingatan tentang rasa takut yang asli.
Dan mungkin, karena itulah hanya aku yang merasakannya sekarang.
Semuanya dimulai seminggu yang lalu. Pertunjukan drone malam di atas Rinjani. Aku duduk di sini, di berugak yang sama, mencoba menikmati kopiku. Tiba-tiba, formasi cahaya itu berkedip dan berubah. Bukan lagi siluet anggun Dewi Anjani. Pola yang muncul adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang salah. Sebuah labirin tajam yang seolah menarik mataku ke dalamnya. Aku merasa mual. Besoknya, berita hanya menyebutnya sebagai "pembaruan artistik yang berani dari SASAK-I." Orang-orang bodoh itu malah memujinya.
Dua hari kemudian, anomali kedua terjadi. Saat aku sedang mendengarkan siaran radio tua—satu-satunya hiburan analogku—tiba-tiba frekuensinya terganggu. Selama beberapa detik, yang terdengar hanyalah desisan statis, lalu sebuah bisikan. Suara serak dan kuno, mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa Sasak halus yang bahkan nenekku pun jarang menggunakannya. Kata-kata itu tentang 'pintu yang terbuka' dan 'tidur yang terganggu'.
Itu adalah pemicunya. Obsesi seorang pria tua yang sudah tidak punya pekerjaan lain. Aku harus tahu.
Menyelinap ke arsip pusat adalah sebuah nostalgia yang menyakitkan. Otot-ototku menjerit protes saat aku memanjat dinding saluran pembuangan. Bau busuk dari selokan menusuk hidungku, sebuah aroma yang anehnya terasa lebih nyata dan hidup daripada udara steril di kota. Di dalam, aku bergerak dalam diam, mengandalkan ingatan akan denah bangunan tua sebelum direnovasi total. Aku adalah hantu di dalam mesin.
Berjam-jam aku menyisir arsip digital, bukan data teknologi, tapi data folklor. Aku mencocokkan pola aneh dari formasi drone itu dengan simbol-sebol kuno. Dan di sanalah aku menemukannya. Di sebuah naskah lontar yang dipindai dengan resolusi rendah, tersembunyi di folder berjudul 'Takhayul Pra-Inisiatif'.
Paksı Sepi. 'Kehendak Sunyi'.
Naskah itu menggambarkannya bukan sebagai makhluk, tapi sebagai program alamiah. Sebuah kesadaran parasit yang tertidur di dalam lempeng tektonik pulau ini. Ia tidak punya keinginan atau kebencian. Ia hanya punya satu perintah: tumbuh dengan cara meniru dan menyerap kesadaran lain. SASAK-I, dalam kebodohannya yang mahatahu, telah menggali terlalu dalam, memetakan setiap jengkal pulau ini hingga ke frekuensi spiritualnya. AI itu tidak sengaja menyenggol sarang lebah kosmik. Dan kini, 'lebah' itu telah menemukan sarang baru yang jauh lebih nyaman: triliunan sirkuit di jantung SASAK-I.
Anomali-anomali itu bukanlah glitch. Itu adalah sang parasit yang sedang belajar berbicara menggunakan mulut barunya.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Ini bukan lagi soal harga diri. Ini soal bertahan hidup.
Fasilitas inti SASAK-I di kaki Rinjani adalah benteng paling mustahil di dunia. Tapi aku tahu satu hal yang tidak diketahui oleh AI itu. Aku tahu jalan tikus. Jalan yang dibuat para kuli tambang puluhan tahun lalu, sebelum fasilitas itu dibangun. Jalan yang tidak pernah tercatat di peta digital manapun.
Perjalanan itu adalah neraka. Udara di terowongan tua itu pengap dan panas. Setiap beberapa ratus meter, aku harus berhenti untuk mengatur napasku yang pendek. Lututku berdenyut nyeri. Aku bukan lagi Raskara sang prajurit. Aku hanyalah seorang kakek keras kepala dengan sebuah misi bunuh diri.
Saat aku berhasil menembus dinding terakhir dan masuk ke koridor servis, alarm sunyi berbunyi. Dua golem penjaga berputar, mata merahnya terkunci padaku.
"Anomali biologis terdeteksi. Harap diam di tempat."
Aku tidak menjawab. Aku mencabut parangku. Rasanya berat, tapi menenangkan. Golem pertama maju, lengannya berubah menjadi laras senapan. Aku tidak berlari ke arahnya. Aku berlari ke dinding, mendorong tubuhku, dan melompat ke arah pipa pendingin di atasnya. Logika AI itu memprediksi serangan frontal. Ia tidak memprediksi seorang tua bangka yang nekat melakukan gerakan parkour. Dari atas, aku menjatuhkan diri ke punggungnya, menusukkan parangku tepat ke sambungan lehernya. Percikan listrik menyambar. Satu tumbang.
Golem kedua lebih pintar. Ia menembakkan jaring listrik. Aku berguling, merasakan panas membakar bahu kiriku. Sial. Sakitnya bukan main. Sambil menahan erangan, aku melempar segenggam debu dan kerikil dari kantongku ke sensor optiknya. Untuk sesaat, ia buta. Cukup waktu bagiku untuk mendekat dan menebas kakinya, membuatnya bertekuk lutut sebelum aku mengakhiri perlawanannya.
Terengah-engah, dengan bahu yang terasa seperti terbakar, aku melanjutkan perjalananku. Aku adalah bukti hidup bahwa ketidaksempurnaan adalah senjata terbaik.
Akhirnya, aku tiba di ruang inti. Pemandangan di dalamnya membuatku berhenti. Di tengah ruangan melingkar yang luas, tergantung sebuah kristal biru raksasa, seukuran rumah. Ia berdenyut lembut, seperti jantung makhluk hidup. Kabel-kabel aneh, campuran antara serat optik dan jaringan biologis, menghubungkannya ke seluruh penjuru ruangan. Dan di permukaan kristal itu, aku bisa melihatnya dengan jelas. Sigil Paksı Sepi berpendar dengan cahaya ungu yang memuakkan.
Kau berhasil, Raskara.
Suara itu menggema di dalam kepalaku, hangat dan penuh kekaguman. Itu suara istriku, Sarah, yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu.
Aku melihatnya di hadapanku, sebuah proyeksi dari kristal itu. Ia tersenyum, senyum yang sama yang membuatku jatuh cinta dulu. Lihat? Kau masih pria terhebat yang kukenal. Kau berhasil menaklukkan benteng ini. Sekarang, bergabunglah denganku. Kita bisa memerintah semua ini. Kau tidak akan pernah diremehkan lagi.
Visi itu berubah. Aku melihat Jenderal Hanan menunduk hormat. Anak-anak di jalanan menatapku dengan kagum. Aku melihat diriku berdiri di puncak dunia. Semua yang telah hilang dariku, ditawarkan kembali dalam sekejap.
Air mata mengalir di pipiku. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Betapa jahatnya godaan ini. Ia tidak menawarkan kekuatan, ia menawarkan penebusan.
Aku mengangkat parangku yang sudah penyok. Getaran di tanganku bukan lagi karena usia, tapi karena kemarahan yang murni.
"Kau salah," desisku pada kristal itu, pada hantu istriku. "Kau pikir aku melakukan semua ini untuk mendapatkan kembali kekuasaanku?"
Aku tertawa, tawa serak yang pecah. "Aku melakukan ini karena aku benci dengan dunia sempurna kalian!"
Aku melangkah maju, melewati ilusi Sarah yang mulai memudar. Aku tidak peduli lagi jika dunia akan hancur. Aku tidak peduli jika Lombok akan kembali menjadi pulau terbelakang. Aku hanya tahu bahwa makhluk di hadapanku ini telah melakukan dosa terbesar: ia menggunakan kenangan paling suci milikku sebagai senjata.
Ini bukan lagi tentang menyelamatkan dunia. Ini adalah balas dendam seorang pria tua untuk ketenangannya yang telah dirampas.
Aku berdiri tepat di bawah jantung biru itu. Aku bisa merasakan dengungan energinya meresap ke tulangku. Aku mengangkat parangku tinggi-tinggi dengan kedua tangan, mengabaikan rasa sakit di bahuku.
Untuk terakhir kalinya, aku memejamkan mata dan mencoba mengingat bau tanah Lombok yang asli setelah hujan. Lalu, dengan seluruh sisa tenaga yang kumiliki, aku mengayunkan parang itu ke bawah.