Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Seorang Asing
1
Suka
2,567
Dibaca

“Lembur lagi?”

Aku menengok ke sumber suara. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir kuda sudah duduk di kursi yang ada di sebelah kiriku. Dia sudah mengenakan jaket hitam kesayangannya, tanda dia sudah siap untuk pulang.

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.

“Kamu memangnya gak capek apa lembur terus? Ini udah hari keempat, lho,” ujarnya.

Mataku kembali menghadap depan, menatap layar komputer yang masih menyala. Di layar komputer itu terlihat program Adobe Illustrator sedang terbuka dan menampilkan ilustrasi astronot yang masih setengah jadi. Aku menghela napas, menunjuk layar komputer itu, dan berkata pelan, “Ya mau gimana? Lihat, tuh. Kerjaanku belum selesai.”

Dia melirik sekilas ke layar komputer.

“Memangnya gak bisa besok? Itu juga udah hampir selesai, kan?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. Kali ini dia yang menghela napas.

“Ya … Terserah kamu, deh. Aku duluan, ya,” ucapnya sembari bangkit berdiri.

“Hati-hati di jalan,” kataku dengan tatapan yang masih melekat pada layar komputer.

Aku lalu lanjut mengerjakan pekerjaanku. Suasana kantor semakin lama semakin sepi. Sekarang, tidak ada suara sedikit pun selain suara keyboard yang kupencet sesekali untuk menjalankan shortcut dari Adobe Illustrator. Tidak heran jika ternyata hanya tersisa aku seorang di kantor mengingat jam di komputer sudah menunjukkan pukul 20:42.

“Kenapa kamu bohong?” terdengar suara anak kecil.

‘Ah … Mulai lagi …,’ batinku.

“Kerjaanmu itu masih bisa kamu tunda, masih bisa kamu selesaikan besok. Kenapa kamu bohong?”

“Aku tidak bohong. Aku bahkan tidak menjawab, aku hanya menggelengkan kepala dalam diam,” jawabku, masih sibuk dengan kerjaanku.

“Seperti biasa, kamu selalu saja pandai berdalih,” kali ini terdengar suara remaja.

Aku terdiam. Suara-suara yang mengganggu ini entah sejak kapan jadi sering terdengar, utamanya ketika aku sedang sendiri. Suara anak kecil dan suara remaja, yang keduanya amat kukenali. Ya … Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya ketika itu adalah suaraku sendiri?

Untuk mempermudah, mari kita namai suara anak kecil itu “Si Kecil” dan suara remaja itu “Si Remaja”.

“Kenapa, sih, kamu suka sekali lembur? Bukankah bermain game jauh lebih menyenangkan?” tanya Si Kecil.

“Atau menulis cerita? Bermain teater? Ayolah, bukankah ada banyak hal lain yang jauh lebih kamu sukai daripada menggambar astronot itu?” Si Remaja ikut menimbrung.

Aku masih fokus dengan ilustrasi astronotku. Sedikit lagi, hanya tinggal memberikan efek Inner Glow dan menambahkan teks, maka selesai sudah. Setelah selesai, aku tinggal menyimpannya dengan format .png lalu menguploadnya ke Google Drive. Setelah itu aku bisa pulang, makan malam seadanya, mandi, lalu nonton video dari YouTube sampai ketiduran. Ya, rencana yang bagus.

“Aku tidak pernah menyangka akan tumbuh jadi orang dewasa yang membosankan seperti ini …,” gumam Si Remaja.

Aku tertegun mendengarnya.

“Membosankan?” tanya Si Kecil dengan nada polos.

“Ya, membosankan. Hanya orang membosankan yang mau terus menerus melakukan sesuatu yang tidak dia sukai,” jawab Si Remaja dengan nada sinis.

“Bicara semaumu, tetapi kamu harus tahu bahwa kenyataan itu gak seindah imajinasimu. Ada Mama, Papa, dan adik-adik yang harus diberi makan, ada tagihan listrik, air, dan wi-fi yang harus dibayar, ada—”

“Ya, ya, ya. Kamu, si sosok dewasaku, dengan seribu satu alasannya,” Si Remaja memotong ucapanku dengan nada meremehkan.

“… Memang susah menjelaskan hal ini ke orang yang gak paham apa itu tanggung jawab,” kataku sinis.

“Oh? Tanggung jawab katamu? Ya, tanggung jawab memang penting, tetapi—“ ucap Si Remaja.

“—Kebahagiaan kamu juga nggak kalah penting,” sambung Si Kecil dengan kompaknya.

Aku mengupload file .png dari ilustrasi astronot yang dari tadi kukerjakan ke Google Drive sembari membereskan barang-barangku, bersiap untuk pulang. Begitu file itu berhasil diupload, aku langsung mematikan komputer. Aku lalu mengambil tasku dan berjalan pelan menuju pintu ruanganku. Aku berkata lirih sebelum akhirnya keluar dari ruanganku, “Bahagia, huh? Memang enak jadi anak kecil dan remaja labil, masih bahagia. Apa, sih, masalah kalian? PR? Ulangan? Ribut sama teman? Gitu-gitu aja, kan? Asal kalian tahu, dunia orang dewasa nggak seindah itu ….”

***

“Bagus. Gak ada revisi, aman.”

Seorang pria berusia sekitar 40an menepuk pundakku, raut wajahnya tampak puas dengan apa yang dia lihat. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya sembari sedikit menganggukkan kepala. Dia lalu berjalan meninggalkan aku.

Aku beralih menatap layar komputerku. Terlihat ada ilustrasi serigala putih yang penuh dengan kobaran api merah di sekitarnya. Entah mengapa, tetapi ilustrasi dengan efek atau latar api seperti ini selalu menjadi keahlianku, sekaligus menjadi ilustrasiku yang paling disukai orang-orang. Aku melirik ke jam yang ditampilkan di layar komputer, 17:27.

Aku lalu mematikan komputer dan, dengan niatan iseng, berjalan meninggalkan ruanganku. Aku lalu masuk ke ruangan di sebelahku, mengendap-ngendap sampai aku berada tepat di belakang seorang perempuan, hari ini rambutnya digerai, yang masih sibuk bekerja di depan komputer. Aku lalu berbisik tepat di telinga kanannya, “Cie, masih kerja aja jam segini.”

Dia refleks menoleh ke belakang, alias ke arahku. Daripada kaget, raut wajahnya justru lebih terlihat bingung.

“Kerjaan kamu hari ini udah beres?” tanyanya.

Aku sedikit kecewa karena ternyata dia tidak kaget sama sekali, bahkan dia bertanya kepadaku dengan begitu tenangnya.

“Udah. Kamu?” aku balik bertanya.

“Sedikit lagi,” jawabnya. “Kok, tumben, kamu udah kelar jam segini? Tetapi bagus, sih, kamu jadi gak perlu lembur lagi,” lanjutnya.

Aku mengangguk. Aku lalu menarik salah satu kursi kosong yang ada di ruangannya dan duduk di sampingnya. Dia melihatku sejenak, tersenyum tipis, lalu kembali berkutat dengan komputernya.

“Bikin desain packaging?” tanyaku setelah melihat layar komputernya.

“Iya. Buat campaign Natal nanti,” jawabnya.

“Ini—“ aku menunjuk ke layar komputernya, lebih spesifiknya ke ilustrasi boneka salju yang terlihat di layar komputernya. “—mending ganti, deh. Ganti sama yang lebih identik sama Natal. Kue jahe gitu,” sambungku.

“Kue jahe?”

“Iya. Gingerbread itu kue jahe, kan?” aku memastikan.

“Ooh, gingerbread. Boleh, boleh. Bentar, habis selesaiin teksnya baru nanti aku coba ganti pakai gingerbread,” jawabnya.

***

“Kamu suka perempuan tadi? Siapa namanya? Aku lupa.”

Aku sedang tiduran sembari membaca komik di kasurku ketika terdengar suara Si Kecil. Aku sudah berganti pakaian dengan baju rumahan, lengkap dengan celana pendek. Kurang lebih satu jam yang lalu, sekitar pukul 19:00, aku sudah sampai di rumah dari kantor, sesuatu yang langka untuk aku yang biasanya baru sampai rumah itu saat sudah lewat larut malam.

“Aku nggak su—”

“Dia nggak punya kapabilitas untuk itu. Menyukai seseorang itu sesuatu yang terlalu jauh dari kapabilitas hatinya,” Si Remaja memotong ucapanku.

“Kapabilitas?” tanya Si Kecil.

“Maksudku, kemampuan,” jelas Si Remaja 

“Kemampuan?” Si Kecil kembali bertanya.

“... Sudahlah, lupakan saja. Tetapi, dia nggak suka perempuan tadi. Dia gak suka siapa-siapa,” Si Remaja menyerah untuk menjelaskan makna kata ‘kapabilitas’ ke Si Kecil.

“Hmm … Kenapa gitu? Padahal, seru, lho, suka sama seseorang itu,” kata Si Kecil dengan polosnya.

“Dia, sih, udah gak mikirin seru nggaknya. Dia cuman mikirin yang penting seagama, umur gak beda jauh, terus ada indikasi mau sama dia. Biar gak ribet. Toh, dia cuman bakal nikah buat formalitas, buat bikin senang Mama sama Papa,” ujar Si Remaja.

“Kok gitu?” Si Kecil tampak manyun, merasa aneh dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Entahlah. Aku pun bingung. Sejak kapan, ya, aku tumbuh jadi seperti dia ini? Padahal aku yang remaja ini masih mencari keseruan itu. Masih bahagia, melakukan apa pun yang kusukai. Tetapi, lihatlah dia. Bekerja di bidang yang nggak dia suka, mendekati perempuan yang dia gak suka, hidupnya semua palsu,” Si Remaja berkata dengan sinis.

Aku terdiam sejenak, lalu aku bangun dari posisi tiduran dan duduk. Kutaruh komik yang sedang kubaca di atas rak yang ada di samping kasurku. Aku mengamati kamarku. Poster-poster pementasan teater tertempel di dinding kamarku. Catatan-catatan kecil bertuliskan ide-ide cerita juga tertempel di dinding kamarku, terutama yang di dekat meja tulisku. PS4 tergeletak begitu saja di bawah TV, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memainkannya. Komik-komik di rak bukuku juga tidak lagi bertambah jumlahnya, padahal dahulu aku rutin membeli komik keluaran terbaru sebulan sekali.

“Kenapa?” tanya Si Kecil.

“Kamu kangen dengan kegiatan-kegiatanmu dulu? Berteater? Menulis cerita? Bermain game?” tanya Si Remaja.

Aku masih terdiam. Ingatan-ingatan akan masa lalu itu perlahan menggerogoti pikiranku. Ingatan akan betapa bahagianya aku ketika pertama kali memainkan game RPG di konsol GameBoy Advance. Ingatan akan euforia yang kurasakan ketika pertama kali aku mendengarkan riuh tepuk tangan penonton dari panggung teater. Ingatan akan rasa bangga yang memenuhi dadaku ketika naskah teater yang kutulis berhasil memenangkan sayembara bergengsi dari pemerintah.

Dan sekarang, aku hanyalah karyawan biasa. Graphic Illustrator, terdengar keren tetapi nyatanya hanya tukang gambar. Ya, aku suka menggambar. Tetapi menggambar karena ingin dan suka itu beda dengan menggambar karena tuntutan pekerjaan. Semakin lama semakin aku merasa bosan dengan pekerjaanku itu, dengan menggambar. Tetapi apa daya? Aku butuh uangnya.

Pekerjaan baru? Yang lebih menyenangkan? Aduh, mencari pekerjaan baru di masa sulit setelah pandemi seperti ini tidaklah mudah. Akan sangat bodoh kalau aku meninggalkan pekerjaanku yang sekarang ini, dengan gaji yang terbilang lumayan, hanya untuk kembali luntang lantung mencari pekerjaan, yang bahkan belum tentu akan kudapatkan.

“Kapan terakhir kali kamu main game? Atau baca komik? Yang keluaran terbaru, ya, bukan komik lama yang kamu baca berulang kali itu,” tanya Si Kecil.

“Kapan terakhir kali kamu terlibat atau seenggaknya nonton teater? Kapan terakhir kali kamu nulis cerita? Bukankah dulu kamu bilang, bahwa kamu ingin menjadi penulis naskah teater terbaik? Ingin hidup dari bercerita?” tanya Si Remaja.

‘Sudah lama sekali …,’ batinku.

Aku sibuk kerja. Ralat, aku menyibukkan diriku dengan bekerja. Untuk mengalihkan pikiranku dari berbagai masalah yang ada di sekitarku. Aku yang dipaksa untuk segera mencari pasangan hidup agar tidak dilangkahi oleh adikku yang ingin menikah tahun depan, aku yang harus memikirkan biaya kuliah adikku yang paling kecil, aku yang harus membiayai medical check up rutin kedua orang tuaku, aku yang … Ah, sudahlah. Mau meledak kepalaku kalau mengingat semua itu.

Aku menghela napas. Aku bangkit berdiri perlahan lalu berjalan keluar dari kamarku. Aku menuju ke kamar mandi yang terletak persis di samping kamarku. Aku berhenti di depan wastafel. Aku melihat pantulan sosok diriku di cermin yang terpasang di atas wastafel.

“Lihat, lihat! Apa kamu mengenali diri kamu sendiri?” terdengar suara Si Kecil.

“Muka lesu, kantung mata yang tebal, rambut yang acak-acakan … Apa itu kamu? Apa itu ‘aku’ yang kuharapkan dari sepuluh tahun yang lalu?” suara Si Remaja ikut terdengar.

Aku menatap nanar pantulan sosok diriku itu. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu. Si Kecil adalah hati polosku, yang ingin bebas melakukan apa pun yang aku sukai. Si Remaja adalah ambisiku, yang ingin mencapai sesuatu, ingin menjadi seseorang yang bahagia, bukan hanya sekedar sukses secara finansial. Keduanya adalah apa yang sudah tidak lagi kumiliki. Entah sejak kapan, aku berhenti untuk merasa, untuk mengandalkan hati. Semua kuperhitungkan dengan logis, tidak peduli aku senang atau tidak tetapi kalau menguntungkan maka akan kulakukan. Aku juga berhenti untuk berangan-angan dan bermimpi. Menjadi penulis naskah teater terbaik? Hidup dari bercerita? Realita tidak semudah itu untuk kutaklukkan.

Sosok yang terpantul di cermin itu, itulah aku yang sekarang. Kosong, hampa. Hidup hanya sekedar hidup, menjalani hari tanpa makna dan rasa. Aku, yang menjadi seorang asing bagi diriku sendiri.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Kalung Ini Ruby Pinjam
Rizky Siregar
Cerpen
KALAU ADA YANG SULIT, KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
Yunia Susanti
Cerpen
Saat Kita Di Bangkok
NUR C
Cerpen
Ban Kempes
Awal Try Surya
Cerpen
1/2 Nakal & 1/2 Polos (Tetangga Ku)
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-3
Munkhayati
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Cerpen
Bronze
Menyesal Setelah Kehilangan
Ardelia Rafilah Basya
Cerpen
MINE & YOURS
Racelis Iskandar
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
CURHAT CUCU
Kiki Isbianto
Cerpen
Bronze
Pelajaran Menulis Cita-Cita
Nana Sastrawan
Cerpen
Bronze
Izinkanlah Aku Memakan Hatinya
Nurul Arifah
Cerpen
Narasi Perempuan
Meilisa Dwi Ervinda
Rekomendasi
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Komik
Kenangan
Billy Yapananda Samudra
Novel
Ambang Eksistensi
Billy Yapananda Samudra
Novel
Salvatrice
Billy Yapananda Samudra
Komik
Prabhasvara
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
23:59
Billy Yapananda Samudra
Komik
Memories
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
PEDAGOGI
Billy Yapananda Samudra
Skrip Film
Apa Aku Boleh Bahagia?
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
HALTE
Billy Yapananda Samudra