Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Senyuman Terakhir Sang Kepala Keluarga
2
Suka
30
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sore itu Aruna datang ke rumahku untuk meminjam cas smartphone milikku. Dia tak sengaja telah mematahkan ujung casnya karena keasyikan memakai smartphone sambil dicas. Katanya, dia butuh bolak-balik pinjam cas selama seminggu ke depan hingga tiba hari off kerjanya, baru dia bisa pergi ke ibu kota provinsi untuk membeli cas baru.

Aruna mengabari bahwa dia sudah tiba di depan rumahku. Aku bersiap-siap sebentar dengan memasang jilbab dan masker. Setibanya di luar rumah, aku melihat Aruna yang sedang menungguku di depan pagar rumah seraya memandang layar smartphone.

Aku membuka pintu pagar lalu menutupnya kembali.

“Oi,” sapaku sambil menepuk bahu Aruna yang segera memasukkan smartphone miliknya ke dalam saku rok.

“Nih, casnya.” Aku menyerahkan cas smartphone milikku yang berwarna putih. “Ada-ada aja ngerusakin cas hp mahal. Entar beli barunya mahal juga pasti.”

“Itulah, ceroboh banget aku, Say,” kata Aruna sembari tertawa, tak ada tanda-tanda dia merasa bersalah telah merusakkan cas smartphone-nya sendiri.

“Terus emang minggu depan mau beli cas barunya?”

Aruna menerima cas dariku dan meletakkan cas itu di dalam jok motornya yang luas dan masih kosong oleh barang.

“Iya, biasalah aku pergi ke kota pas hari aku off,” jawab Aruna santai banget.

“Beneran hari cutimu cuma hari Rabu, Run? Hari Sabtu dan Minggu tetap kerja gitu?” tanyaku terlampau penasaran.

“Iya, Say. Hari Sabtu dan Minggu pas orang sibuk leyeh-leyeh di rumah abis bangun siang, aku harus kerja keras.”

Kami tertawa berbarengan. Mungkin lebih tepatnya mentertawakan hidup yang keras bagi orang-orang dewasa seperti kami. Yang mau tak mau harus terus mencari uang demi bertahan hidup. Kalau bukan kami yang membiayai hidup kami sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya?

Meskipun kami berdua kini masih hidup di rumah orang tua, bukan berarti segala kebutuhan pribadi kami dicukupi oleh orang tua kami. Setelah orang tua kami selesai menguliahkan kami hingga sah lulus sebagai seorang sarjana, tugas kamilah lagi yang harus menopang kehidupan diri sendiri. Rasanya, kita bisa menjadi anak yang tak tahu diri jika masih meminta uang kepada orang tua sehabis tamat kuliah.

“Gini amat nasib hidup kita ya,” ujarku.

“Yah, namanya juga rakyat biasa, Say,” balas Aruna.

“Rakyat jelata yang bener,”

“Iya, rakyat jelata jugalah kalo gitu,”

“Terus entar hari Rabu ke kota pergi sama siapa? Sama Werlan?”

“Enggak, Say. Aku mau pergi sama ibuku.”

“Loh, pergi sama ibumu, Run? Berarti kamu dong yang bawa motor. Emang bisa? Bukannya takut bawa motor sendiri ke kota? Biasanya, kan, kalo nggak ngajak aku ya kamu ngajak si Werlan. Atau aku denger biasanya kamu sama ibu kamu ke kota pakai mobil travel.”

“Kalo naik mobil travel terus mahal dong, Say. Aku lewat jalan kebun sawit, Say. Di sana udah lumayan bagus jalannya.”

“Oh, begitu toh. Iya juga, sih. Di sana nggak rame truk yang lewat. Jadi lebih aman. Berarti kamu sekarang sering jalan ke kota sama ibumu, Run?”

“Hmm, lumayanlah. Ada beberapa kali kami pergi bareng ke kota naik motor. Tapi ibu aku sekarang bisa pergi-pergi berdua sama aku karena dia sendirian terus di rumah. Dulu mah boro-boro mau.”

Tanpa disadari, aku tersenyum menatap wajah Aruna, “Oh, iya, dulu masih ada bapak kamu ya, Run. Pasti sulitlah ngajak-ngajak ibu kamu keluar. Ada suami yang harus dia urus.”

Aruna sama sekali tidak keberatan percakapan tentang ayahnya yang sudah meninggal dunia dua tahun lalu muncul ke permukaan. Justru dengan santainya dia berkata, “Dulu pernah aku coba ajak pas bapak aku masih ada, jawabannya nanti-nanti melulu. Terus maunya pergi bareng sama bapak aku juga. Mana bisa pergi naik motor bonceng tiga.”

Derai tawa terdengar keluar dari mulut kami. Teringat biasanya bonceng tiga itu identik dengan….

“Berarti ada untungnya juga ya sepeninggalnya bapak kamu, Run. Hubungan kamu sama ibu kamu jadi makin dekat sampai bisa jalan-jalan ke kota berdua. Mesra bangeeeettt….”

“Iya, alhamdulillah, Say. Ada hikmahnya.”

Omong-omong, nama panggilanku bukan ‘Say’ ya, Kawan-kawan. Itu kebiasaan Aruna memanggil para teman perempuannya dengan sebutan ‘Say’ yang merupakan singkatan dari kata ‘Sayang’. Panggilan yang akrab banget, ‘kan? Yah, aku sudah cukup terbiasa mendengarnya sampai melupakan nama panggilanku sendiri setiap kali mengobrol bersama Aruna. Hampir saja aku tertawa memikirkan seseorang yang jika benar-benar ada di dunia nyata memiliki nama asli ‘Sayang’. Bakalan bingung enggak, tuh, kita manggilnya?

“Ya udah, Say. Mau masuk waktu magrib lagi, nih. Kita harus salat.”

“Oke, Say. Pulanglah lagi sana,” usirku yang kini ikut-ikutan memanggil ‘Say’. Sesekali memang aku mengikuti alur Aruna yang hobi memanggil teman-teman perempuannya seperti itu. Biar percakapan kami jadi sedikit lebih asyik. Toh si Aruna malah tampak kesenangan setiap kali aku atau Werlan ikut memanggilnya dengan sebutan ‘Say’.

Bye, Say.”

“Casnya balikin besok pagi, ya.” Karena casnya memang masih aku butuhkan, makanya aku tidak bisa meminjamkan cas tersebut sampai seminggu ke depan.

“Oke, Say. Aman.”

Aruna menghidupkan mesin motornya lalu memutar balik setang motornya. Aku melambaikan tangan karena Aruna melambaikan tangannya sekali ke arahku sebelum dia melajukan motornya menjauhi jalan di depan rumahku.

Tiba-tiba aku teringat dua tahun lalu saat mendapatkan pesan singkat dari Werlan yang berisi kabar mengenai kepergian ayah Aruna. Waktu itu aku tinggal sementara di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Werlan secara terang-terangan menyuruhku untuk menghubungi Aruna dan mengucapkan belasungkawa.

Tentu saja aku langsung melakukannya. Karena aku tahu Aruna pasti sibuk mengurus pemakaman ayahnya, aku tidak berharap dia akan membalas pesanku hari itu juga. Benar dugaanku, keesokan harinya Aruna baru membaca pesanku.

Kurang-lebih, Aruna hanya membalas dengan ‘Terima kasih, Cha.’ Justru balasan singkat seperti itu malah membuat hatiku menjadi tidak karuan.

Aruna adalah tipe orang yang jarang mengungkapkan isi hatinya kepada siapa pun. Walaupun kami teman dekatnya, bukan berarti dia menjadi lebih mudah terbuka tentang isi hatinya kepada kami. Bahkan ketika kami sudah berusaha memancingnya untuk terbuka, dia tetap saja memilih diam dan membicarakan hal lain.

Aku pernah bertanya mengenai kedekatan Aruna dan ayahnya kepada Werlan.

“Dibilang dekat banget, enggak sih. Tapi dibilang nggak dekat, kayaknya nggak juga. Mungkin biasa-biasa aja? Layaknya hubungan antara anak perempuan dan ayah kandungnya. Soalnya bapak si Aruna itu pendiam banget sih orangnya, Cha,” ucap Werlan dalam sambungan telepon, aku memutuskan menelepon Werlan di hari meninggalnya ayah Aruna.

“Tiap aku ke rumah Aruna, kalo nggak sengaja papasan sama bapaknya… iya, sih, bapaknya bukan tipe yang banyak omong. Dia cuma senyum dan ngangguk pas nampak aku,” kataku.

“Iya, sama kok. Paling ngomong nyuruh si Aruna keluar dari kamarnya karena kita udah nungguin dia.”

Sedekat apa pun hubungan kami dengan Aruna, tetap saja kami tidak dapat menebak bagaimana hubungan yang terjalin di antara Aruna dan bapaknya.

“Kamu udah ngucapin turut berduka cita ke Aruna, ‘kan?”

“Udah, Lan. Cuman belum dibalas sama dia. Pasti dia lagi sibuk.”

“Iya, nanti palingan dia balas pas perasaannya udah mendingan. Tunggu aja. Yang penting kita berdua udah ngucapin yang perlu kita sampaikan ke dia yang lagi berduka.”

Aku mengangguk-angguk paham. Sambungan telepon telah terputus di antara kami berdua.

Melihat Aruna yang kini berbahagia menghabiskan waktu berdua bersama ibunya, aku tahu bahwa dia sudah menerima kepergian bapaknya dengan ikhlas. Sejak awal mengenal Aruna, memang begitulah pembawaan sosoknya yang tenang dan santai. Meski sesekali dia pernah menunjukkan sosoknya yang sedang bad mood. Bagaimana pun, dia masih manusia. Mana ada manusia yang sempurna di atas bumi ini yang tidak pernah merasakan marah atau kesal.

Sebagai teman, tugas kitalah untuk terus mendoakan teman-teman kita agar mereka baik-baik saja. Mengenai isi hati Aruna yang sebenarnya, aku dan Werlan tak perlu berusaha menebaknya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
bersyukur.... yang lalu biar berlalu..
@anjrah0307 : Karena sudah melanjutkan hidup. Kalo ngerasa sedih sesekali sih tetap ada, tapi apa yg saat ini bisa disyukurinya, dia syukuri:)
Jadi penasaran, kenapa Aruna ditinggal mati bapaknya malah bisa "berbahagia menghabiskan waktu dengan ibunya"...
Rekomendasi dari Drama
Novel
Nona Aneh dan Tuan Menyebalkan
el tsuki
Novel
Rara
Hai Ra
Cerpen
Bronze
Apocalypse
Rama Sudeta A
Cerpen
Senyuman Terakhir Sang Kepala Keluarga
Amanda Chrysilla
Komik
Bronze
LooP
Mufti wahyudi saili
Flash
Kalau Jalanan Bisa Menangis...
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
Perempuan Itu
Yuli Harahap
Novel
Bronze
AFFECTION
A Zahra Angelina
Novel
Bronze
JAPAN
N. Sabrina Putri
Novel
Arjuna
leonheart
Novel
JUANDARA
Piaaa
Novel
Gold
KKPK Tomboy Girl
Mizan Publishing
Skrip Film
Sakura Barcelona
Yesno S
Novel
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
Lilis Alfina Suryaningsih
Flash
Berakhir
Yooni SRi
Rekomendasi
Cerpen
Senyuman Terakhir Sang Kepala Keluarga
Amanda Chrysilla
Cerpen
Semuanya Telah Pergi
Amanda Chrysilla
Novel
Forever Just Friends
Amanda Chrysilla
Cerpen
Tak Perlu Bilang Orang Tua
Amanda Chrysilla
Novel
Cinta Halal Arina
Amanda Chrysilla
Flash
Pertemuan Kita
Amanda Chrysilla
Flash
Satu Hati yang Patah
Amanda Chrysilla