Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Senyum Syukur
0
Suka
19
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hari ujian semester tiba, Panji yang masih terbaring nyaman di kasur harus terbangun oleh alarm ponselnya. Sambil menghempaskan selimut, wajah kusutnya menghadap ke jendela kamar. Dia melamun sejenak, mengumpulkan nyawa yang baru saja melayang pada dimensi mimpi.

“Oh iya, hari ini mulai ujian semester genap ya.” gumamnya dengan kesadaran yang semakin penuh.

Panji membuka ponselnya, lalu melihat Whatsapp yang ramai notifikasi dari grup kelas. Perlahan-lahan melihat percakapan yang ada, hingga jarinya terhenti saat Gugum membagikan jadwal ujian akhir di pekan ini.

“Guys, ini jadwal kita pekan ini. Mangat ya!” semat Gugum pada file jadwal ujian.

Ternyata hari ini mata kuliah ekonomi pertanian menjadi yang pertama untuk dilaksanakannya ujian.

“Bjir, mana gue belum belajar itu lagi,” ucapnya dengan lemas.

Panji menghempaskan ponselnya, mengambil posisi berbaring kembali dengan menatap ke langit-langit kamar. Sejenak menghirup oksigen dengan memejamkan mata, lalu menghembuskannya secara perlahan. Hal itu dilakukan berulang kali, seperti orang yang sedang mengalami terapi.

Tiba-tiba, dirinya mengeluh dengan kerumitan hidup, “Ah! Semua ini enggak efisien. Ke kampus, main, ngerjain praktikum di lapangan, semua harus jalan kaki. Sialan!” tangannya memegang kepala yang terasa mulai pusing karena memikirkan kesulitan yang selama ini dirinya hadapi.

“Ya ampun, mau punya motor aja lama, temen gue udah pake mobil semua di usia segini. Gembel banget ini hidup!” keluhnya semakin parah. Apalagi, usianya tengah di periode Quarter Life Crisis.

Keluhannya berhenti, perlahan berdamai dengan segala keterbatasan. Memang rasanya sangat sulit, ketika ambisius diri yang besar tidak disertai oleh banyak barang milik sendiri. Menggantungkan banyak hal prioritas kepada senggangnya waktu orang lain sungguh hal yang menyakitkan.

Ponselnya kembali berbunyi. Tertulis kalau jam 6.30 menjadi pengingat untuk segera memulai aktivitas.

Panji menghela nafasnya secara pelan dan berkata, “Ya sudahlah, apa boleh buat. Semoga aku dikuatkan dengan semua keterbatasan ini, amiin.”

Selesainya mandi, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata itu dari Anton, kawan yang seringkali menawarkan diri untuk pergi ke kampus dengan motornya.

“Oi, gimana ton?” tanya Panji tanpa basa-basi.

“Hayu kampus. Hari ini kau ada jadwal ujian kan?” tanya Anton kembali.

Panji menjawab dengan segan, “Ya begitulah,”

Meski tau Anton merupakan sosok yang baik, Panji tetap malu jika terus merepotkannya.

“Lo aja duluan, gue masih mager jam segini harus ke kampus,” tolak Panji secara halus.

Maklum, lama-lama rasanya malu kalau terus mengandalkan teman. Namun Anton curiga, jawaban itu tidak seperti biasa. Dia menangkap nada bicara Panji seperti berbohong.

“Lah seriusan? Sekitar 2 jam lagi loh ujian. Apalagi jalan menuju kampus bisa aja macet hari ini.”

Panji Menjawab, “Gapapa, udah sana duluan aja.”

Anton tidak mau membuang waktu. Kali ini dia biarkan temannya itu pergi sendirian.

“Yowis lah, karepmu. Aku duluan yo…”

“Sok, hati-hati.” Tutup Panji.

Sejenak kembali hening. Panji meratapi jendela kamar yang menembus halaman rumahnya. Dia terus merasa hampa karena tidak bisa kemana-mana sendiri.

Waktu berlalu bagai kilat. Jam tangannya sudah menunjukan pukul 8.45.

“Buset deh, gak kerasa banget ini waktu,”

Panji mengambil dompetnya di atas lemari. Namun sial, terlihat hanya beberapa lembaran uang receh yang tidak akan cukup untuk naik ojek online.

“Aduhh, gimana ini? Mana ibu sama ayah diluar kota lagi,” keluhnya yang terus menatap dompet itu.

Melihat waktu yang semakin mepet, hanya ada satu solusi untuk sampai ke kampusnya, “Ya gimana lagi, jalan kaki deh.”

Jam memasuki pukul 9.00, Panji bergegas melangkah dengan perasaan carut marut pada hatinya. Jalan yang akan ditempuh lumayan panjang untuk seorang pejalan kaki, sekitar 8 km dari pagar rumahnya.

“Ya tuhan, aku lelah dengan semua ini,” keluhnya kembali ditengah derap langkah yang tidak terlalu cepat itu.

Saking mengeluhnya, Panji tidak menikmati perjalanan seperti biasanya. Kepalanya hanya menunduk melihat sepasang sepatu hitam yang sedang dipakai. Dia tidak memberikan kesempatan pada kedua bola matanya untuk melihat sekitar dan menikmati keindahan perjalanan dengan derap langkah yang lambat itu.

“Waduh, udah 9.25 lagi aja,” ucapnya saat melihat jam tangan.

Panji membuka aplikasi maps pada ponsel, melacak berapa sisa jarak yang harus dia tempuh. Dan ternyata, jarak ke kampus masih 6 km lagi. Mustahil baginya untuk bisa tepat waktu.

“Ya sudahlah, mau gimana lagi. Harus siap dengar ceramah bu Hanifah deh,”

Panji memasukan ponselnya pada saku. Kepalanya kembali tertunduk dan kembali memandang sepasang sepatu hitamnya.

Karena hanya menunduk dan hampir melamun, tiba-tiba dia dikagetkan oleh tertabraknya gerobak rongsokan oleh seorang pengendara motor.

“Aww, sakit!” teriak seorang anak kecil dari gerobak itu. Terlihat seorang bapak yang mengayuh gerobak itu ikut terpental dari joknya dan terhempas ke samping jalan.

Namun siapa sangka, pengendara motor itu malah pergi begitu saja dengan sedikit memaki mereka.

“Ngalangin jalan aja lo ya, dasar miskin!” ucapnya sambil menancapkan gas dan melanjutkan perjalanannya dengan kecepatan tinggi. Sang bapak berusaha berdiri, meski beberapa bagian kakinya terlihat mengalami luka-luka.

Meski sedang dilanda suasana hati yang tidak gembira, Panji bergegas menghampiri keluarga kecil yang ditabrak lari itu.

“Ya ampun pak, sini saya bantu menepi. Adik-adik gimana? Ada yang sakit?” tanya Panji.

Bapaknya menjawab sambil sedikit meringis, “Anu mas, gapapa. Cuman baret sedikit.” Beliau bertanya pada kedua buah hatinya, “ Nazwa, Fira, kalian gapapa?”

Nazwa menjawab dengan polos, “Kepala Nazwa sakit pak,” Namun Fira hanya terdiam, meski Panji dan sang bapak tau anak itu juga punya rasa sakit yang sama.

Tiba-Tiba sang bapak menangis, “Maafin bapak ya nak, ini semua salah bapak...”

Melihat apa yang dihadapan matanya, Panji benar-benar kebingungan harus berbuat apa. Jam ditangannya sudah menunjukan pukul 9.35. Sebuah pertanda kalau hari ini dirinya bakal telat sampai kampus.

“Pak, tenang dulu ya. Saya cari obat luka dulu sebentar.” Panji meniggalkan keluarga itu sejenak dan pergi ke minimarket di seberang jalan.

Sesampainya kembali, Panji memberikan obat luka yang didapat. Namun dengan hatinya yang baik itu, uangnya yang recehan itu semakin terkuras.

“Ini obatnya pak,” ucap Panji sambil membuka tutup obatnya.

Sang Bapak menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Terima kasih ya nak,”

“Sama-sama pak,” ucap panji yang termenung dengan tragedi tiba-tiba di hadapannya. Dia lalu menghampiri kedua putrinya.

Meski diawal sempat menyita perhatian para pengguna jalan, namun perlahan jalanan kembali seperti tidak ada kejadian apa-apa. Hanya ada Panji seorang diri. Para pengendara motor, mobil, dan juga pejalan kaki lain yang banyak menggunakan earphone, nampak seperti biasa saja. Semua manusia itu benar-benar acuh dengan apa yang dialami sang bapak dan kedua putrinya.

Tiba-tiba Fira berbicara, “Pak, Fira laper. Dari pagi pengen makan nasi,” ucapnya dengan nada meringis. Wajahnya memang menampakan betapa laparnya anak sekecil itu.

Panji merasa simpati, namun juga kebingungan. Uangnya sudah terkuras dengan membelikan obat luka tadi. Dia mengecek dompet hitamnya. Namun terlihat tidak ada keajaiban apapun. Hanya tersisa 2 lembar uang pecahan sepuluh ribu. Uang itu yang akan menjadi jatah siang makannya dikampus nanti.

“Sabar ya nak, sebentar lagi bapak dapat uang,” ucap sang bapak kepada Fira dengan mata berkaca-kaca.

Mendengar nada bicara sang bapak, hati kecil Panji tersayat. Jiwanya terpanggil untuk melakukan sesuatu dengan melihat kondisi yang sedang terjadi. Panji sejenak mengesampingkan urusan kampusnya. Uang sisa pada dompetnya dia tawarkan untuk membeli makan sang bapak dan kedua anaknya itu.

“Pak, tunggu sebentar ya. Jangan kemana-mana dulu,” ucap Panji.

Sang bapak nampak bingung, “Mau kemana nak?”

Panji berjalan lebih cepat, menghiraukan pertanyaan sang bapak. Derap langkahnya yang tidak biasa menjadi sinyal tentang perasaannya yang tersayat melihat satu keluarga sedang menderita di depan matanya.

Berselang beberapa menit, panji kembali menemui mereka yang tidak bergerak kemana-mana. Jalanan yang semakin ramai tidak memunculkan orang peduli pada mereka selain Panji.

“Pak, dek Nazwa dan Fira, ini ada nasi dan lauk sederhana. Makan dulu yaa…” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan hitam berisi 3 bungkus nasi. Panji juga membeli beberapa tempe bacem dan tahu kuning sebagai lauknya. Jumlahnya 15 ribu, dan uang panji kini tinggal 5 ribu.

Sang bapak nampak haru, “Ya ampun nak, terima kasih banyak ya. Kamu baik sekali, meski kita enggak saling mengenal.” Nazwa dan Fira juga terlihat senang melihat yang diharapkannya menjadi nyata.

“Yeay, kita makan dee..” ucap Fira dengan girang.

“Hore, akhirnya bisa makan.”

Hati panji yang sedang bergemuruh oleh kerumitan hidupnya, kini berbalik menjadi rasa bahagia kecil. Seperti pelangi yang baru muncul setelah hilangnya awan gelap .

Masih lahapnya menyantap makanan, Sang bapak memanggil Panji dengan penuh kelembutan.

“Nak,”

Panji mengalihkan perhatiannya, “Iya pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?”

“Semoga perjalanan kamu selanjutnya selalu dimudahkan ya,” ucapnya dengan penuh penghayatan.

Mendengar ucapan itu, Panji juga tersenyum,“Amiin pak, terima kasih doanya.”

Jam menunjukan pukul 9.50. meski sudah tahu akan telat, perjalanan harus tetap dilanjutkan. Ujian akan segera dimulai beberapa menit lagi.

“Kalau begitu saya lanjut perjalanan dulu ya pak,” ucap Panji berpamitan.

“Sekali lagi terima kasih banyak ya nak. Semoga dilain waktu, bapak dan anak-anak masih bisa bertemu kamu lagi.” sang bapak lalu menyuruh kedua anaknya untuk bersalaman.

“Na kayo salin ke kakaknya,”

Nazwa dan Fira sangat antusias.

“Makasih banyak kak,”

“Makasih kak,”

Panji tersenyum, “Sehat terus ya kalian.”

Derap langkahnya menjauh. Sang bapak dan kedua putrinya kembali pada gerobak. Meski kebaikan kecil, nampak manfaatnya sangat nyata. Menyambung nyawa pada beberap manusia yang mungkin sedang dianggap derajat rendah. Namun masa depan, tidak ada yang pernah tahu.

Panji melebarkan senyumnya, mensyukuri apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Ditengah keluhan hidup yang membuat rumit isi kepalanya, akhirnya dia menyadari bahwa ternyata akan selalu ada orang-orang yang kondisinya lebih layak untuk mengeluh.

“Huft, apapun kesulitannya, pasti akan selaras dengan hadirnya kemudahan.” gumam Panji yang mendadak bijak.

Waktu terus berjalan, jam di tangan kirinya sudah menunjukan pukul 10.20. Tepat saat dirinya dihadapan gerbang kampus.

“Yah telat deh,”

Namun kejadian tadi meneguhkan afirmasi postifnya, “Ya udah sih, baru kali ini juga telat. Semoga masih bisa masuk deh.”

Dan kakinya kembali bergerak maju, siap menghadapi ujian apapun. Termasuk, ujian hidup yang lebih dari sekedar rutinitas akademik.~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Senyum Syukur
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Bronze
Bukan Pencuri
Titin Widyawati
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Flash
Jejak Luka, Titik Cinta
Hans Wysiwyg
Flash
Senyap dalam Kepala
Ika nurpitasari
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Cerpen
Bronze
Berkah
Titin Widyawati
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Flash
Dan Dia Adalah Aku
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Pelangi di Senja Hari
Karang Bala
Flash
Dansa Diketiadaan
Ninazyn
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Bronze
Kehilangan Diri
Fata Raya
Flash
Discount Friend
lidia afrianti
Rekomendasi
Cerpen
Senyum Syukur
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Aksara dan Visual Dalam Desa
Adam Nazar Yasin
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Cahaya Aksara Dunia Maya
Adam Nazar Yasin
Flash
Bronze
Tertakar
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Novel
Aksara 4 Cangkir
Adam Nazar Yasin