Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma kopi selalu punya caranya sendiri untuk bercerita. Bagi Arjuna, setiap uap yang mengepul dari cangkir di hadapannya adalah bisikan masa lalu. Bukan bisikan manis seperti gula yang larut, melainkan pahit, sepahit kenyataan yang tak pernah ia sangka. Kafe "Senja Kala" selalu sepi di sore hari, cocok untuk Arjuna yang lebih suka ditemani melankoli daripada riuh tawa.
"Kopi hitam, tanpa gula, Mas Arjuna?" Suara Maya, barista muda dengan mata secerah mentari pagi, memecah lamunannya. Arjuna hanya mengangguk, sorot matanya tetap terpaku pada jendela, memandangi rintik hujan yang mulai menari di jalanan.
Maya adalah anomali di antara kesunyian Arjuna. Ia gadis ceria, penuh semangat, dan entah mengapa, selalu berhasil membuat Arjuna tersenyum tipis, bahkan di hari-hari terburuknya. Maya tahu, di balik wajah dingin dan tatapan kosong Arjuna, ada sebuah kisah yang terpendam. Ia hanya belum berani menanyakannya.
Sudah setahun Arjuna rutin menyambangi Senja Kala. Duduk di sudut yang sama, memesan kopi yang sama, dan selalu mengenakan jaket kulit usang yang seolah menjadi kulit kedua baginya. Terkadang, ia akan menulis sesuatu di buku catatan kecilnya, coretan-coretan yang tak pernah bisa diuraikan Maya dari kejauhan.
Hari itu, hujan deras, dan petir menyambar di kejauhan. Listrik padam. Senja Kala mendadak gelap, hanya diterangi lilin-lilin kecil yang segera dinyalakan Maya. Dalam remang, siluet Arjuna tampak lebih muram. Maya menghampirinya, membawa dua cangkir kopi yang kini mengepulkan aroma lebih pekat dalam kegelapan.
"Maaf, Mas. Listrik padam," ucap Maya, meletakkan cangkir di hadapan Arjuna.
Arjuna hanya bergumam, lalu pandangannya beralih pada cangkir, seolah menemukan sesuatu di dalamnya. "Kegelapan punya caranya sendiri untuk menunjukkan apa yang tersembunyi," katanya, dengan suara parau.
Maya duduk di hadapannya, keheningan menyelimuti mereka, ditemani suara hujan dan gelegar petir. "Ada yang mengganggu pikiran, Mas?" tanya Maya pelan, keberaniannya entah datang dari mana.
Arjuna menghela napas panjang. "Kau tahu, Maya, setiap manusia punya peti rahasia. Di dalamnya tersimpan hal-hal yang tak ingin mereka bagikan." Ia meneguk kopinya. "Dan terkadang, peti itu terkunci sangat rapat, sampai kuncinya pun hilang."
"Lalu, bagaimana kita bisa membukanya?"
"Mungkin dengan menemukan kuncinya," jawab Arjuna, tersenyum getir. "Atau... dengan menyadari bahwa kuncinya selama ini ada di tangan kita sendiri."
Malam itu, di bawah temaram lilin, Arjuna mulai bercerita. Suaranya rendah, nyaris berbisik, seolah takut jika kata-katanya akan lenyap terbawa angin.
Ia bercerita tentang Dewi. Cinta pertamanya. Segalanya baginya. Mereka bertemu di sebuah pameran seni, di mana Dewi adalah pelukisnya, dan Arjuna adalah seorang fotografer amatir yang terpesona oleh goresan kuasnya. Cinta mereka tumbuh di antara kanvas dan lensa, dipenuhi mimpi-mimpi sederhana untuk membangun masa depan bersama.
"Kami berencana menikah," Arjuna melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Kami sudah membeli rumah sederhana di pinggir kota. Dewi ingin menanam bunga matahari di halamannya. Katanya, bunga itu selalu menghadap cahaya, seperti kita harus selalu menghadap kebaikan."
Namun, takdir punya rencana lain. Sebulan sebelum pernikahan, Dewi mengalami kecelakaan tragis. Mobil yang dikendarainya ditabrak truk yang remnya blong. Dewi meninggal di tempat. Dunia Arjuna runtuh.
"Aku menyalahkan diriku," bisik Arjuna. "Seharusnya aku yang menjemputnya hari itu. Seharusnya aku bersamanya. Seharusnya..." Suaranya tercekat.
Maya mendengarkan dengan saksama, matanya berkaca-kaca. Ia melihat betapa terlukanya hati Arjuna.
"Sejak itu, aku merasa duniaku gelap. Aku berhenti memotret. Aku berhenti hidup. Aku hanya... ada." Arjuna menunjuk cangkir kopinya. "Seperti kopi ini, Maya. Pahit, tanpa gula, dan dingin."
"Tapi kopi bisa diseduh lagi, Mas," kata Maya lembut. "Bisa dinikmati lagi, bahkan jika rasanya tetap pahit."
Arjuna menatap Maya, tatapan yang lebih jernih dari sebelumnya. "Dewi selalu bilang, aku terlalu mudah menyerah. Dia bilang, hidup ini seperti kanvas. Kita bisa melukisnya lagi, bahkan jika ada noda di sana."
"Dan Mas Arjuna punya kuasnya, kan?"
Arjuna mengangguk pelan. Lilin di meja mulai meredup, tapi ada secercah cahaya yang menyala di mata Arjuna.
Beberapa bulan berlalu. Arjuna tidak lagi sering ke Senja Kala. Maya sedikit khawatir. Ia merindukan Arjuna, bahkan kopi tanpa gula yang selalu ia buatkan untuknya.
Suatu sore, saat Maya sedang membersihkan meja, sebuah paket kecil tergeletak di konter. Ada tulisan tangan yang familiar di atasnya: "Untuk Maya, dari Arjuna."
Di dalamnya, ada sebuah buku catatan kecil yang sering dilihat Maya, dan sebuah amplop. Buku itu penuh dengan sketsa-sketsa pensil dan di halaman terakhirnya ada sebuah sketsa tangan memegang kuas, melukis bunga matahari yang mekar.
Di dalam amplop, ada sebuah surat. Tulisan tangan Arjuna, lebih rapi dan tegas dari sebelumnya.
Untuk Maya,
Maafkan aku menghilang tanpa kabar. Aku sedang dalam perjalanan yang panjang, perjalanan menemukan kembali diriku.
Terima kasih, Maya. Kau adalah lilin yang menyala dalam kegelapanku. Kata-katamu, senyummu, dan bahkan kopi pahitmu, semuanya membantuku. Kau benar, Maya. Hidup ini seperti kanvas. Aku sudah terlalu lama membiarkan noda menguasainya.
Aku sedang melukis lagi. Bukan dengan kuas, tapi dengan lensaku. Aku menemukan kembali gairah lamaku. Aku ingin melihat dunia lagi, mengabadikan keindahannya, seperti yang selalu ingin Dewi lakukan.
Aku sekarang berada di sebuah desa kecil di pegunungan. Udaranya segar, dan bunga matahari tumbuh liar di mana-mana. Aku merasa Dewi bersamaku di sini. Aku tidak lagi menyalahkan diriku. Aku menerima takdir, dan belajar untuk melanjutkan hidup dengan membawa kenangan manisnya.
Aku melampirkan beberapa sketsa ini sebagai tanda terima kasih. Kau adalah inspirasiku, Maya. Teruslah menjadi cahaya bagi orang lain.
Suatu hari nanti, aku akan kembali ke Senja Kala. Dengan kopi yang sama, tapi mungkin dengan senyuman yang berbeda.
Salam hangat,
Arjuna
Air mata menetes di pipi Maya saat ia membaca surat itu. Sebuah perasaan lega, dan juga haru, membanjiri hatinya. Ia tahu, Arjuna akan baik-baik saja.
Tiga tahun kemudian.
Senja Kala masih berdiri kokoh, kini sedikit lebih ramai dengan pelanggan. Maya, dengan rambut yang sedikit lebih panjang dan senyum yang tak pernah pudar, masih menjadi barista setia.
Suatu sore, seorang pria dengan jaket kulit cokelat, bukan lagi hitam usang, melangkah masuk. Rambutnya sedikit memanjang, dan ada sedikit uban di pelipisnya, tapi tatapannya jauh lebih hidup, seolah menemukan kembali bintang-bintang di matanya. Di tangannya, ia membawa sebuah kamera DSLR.
Maya sedang meracik kopi ketika pria itu menghampiri konter.
"Kopi hitam, tanpa gula, Mbak," katanya, suaranya dalam dan familiar, tapi dengan nada yang lebih ringan.
Maya mengangkat kepalanya. Matanya membulat. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya.
"Mas Arjuna!"
Arjuna tersenyum, senyum yang tulus, yang benar-benar mencapai matanya. "Lama tidak bertemu, Maya."
"Ke mana saja Mas?" tanya Maya, dengan suara bergetar menahan haru.
"Mengejar cahaya," jawab Arjuna, matanya berbinar. Ia mengeluarkan sebuah album foto kecil dari tasnya. "Dan mengabadikannya."
Ia membuka album itu. Di dalamnya, ada foto-foto pemandangan pegunungan yang menakjubkan, wajah-wajah penduduk desa yang ramah, dan di halaman terakhir, sebuah foto makro bunga matahari yang mekar sempurna, kelopaknya menghadap matahari, dipenuhi embun pagi. Di sudut foto, ada bayangan samar seorang pria sedang memegang kamera, bayangan itu seolah tersenyum.
"Indah sekali, Mas," bisik Maya.
"Kehidupan memang indah, Maya," kata Arjuna. "Kita hanya perlu melihatnya dari sudut yang tepat."
Ia kemudian mengambil cangkir kopi yang disodorkan Maya. Kali ini, ia menyeruputnya perlahan, menikmati setiap tetesnya.
"Ada yang berbeda?" tanya Maya, penasaran.
Arjuna tersenyum. "Pahitnya tetap sama, Maya. Tapi rasanya... lebih manis."
~Selesai~