Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Senjata Biologis Buatan Gebetan
0
Suka
3
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pepatah mengatakan: "Jalan menuju hati pria adalah melalui perutnya." Tapi bagiku, pepatah itu perlu direvisi menjadi: "Jalan menuju Unit Gawat Darurat (UGD) pria adalah melalui masakan gebetan yang sok ide."

Hari ini aku sedang dalam misi suci menaklukkan hati seorang bidadari bernama Tiara. Tiara ini paket lengkap. Cantik? Banget. Mirip artis Korea tapi versi kearifan lokal. Ramah? Jangan ditanya. Senyumnya bisa bikin diabetes. Hanya ada satu kekurangan Tiara yang baru kuketahui belakangan: Dia terobsesi menjadi Chef, padahal kemampuan masaknya setara dengan kemampuan ikan memanjat pohon.

Sabtu sore itu, bencana dimulai dengan sebuah notifikasi WhatsApp.

Tiara: "Mas Cahyo, sibuk nggak? Aku baru belajar resep baru nih dari YouTube. Spesial banget. Main ke rumah dong, cobain masakan aku. Aku masak khusus buat kamu lho ❤️"

Ada emoticon hati. Merah. Menyala. Otak reptilku langsung korslet. Logika mati. Sinyal bahaya yang dikirimkan oleh insting purbaku diabaikan begitu saja. "OTW, Tiara! Kebetulan aku lagi laper banget!" balasku cepat.

Padahal, aku baru saja makan Nasi Padang dua bungkus. Tapi demi Tiara, aku rela mereset ulang sistem pencernaanku. Aku bahkan sempat lari di tempat selama 15 menit dan minum air jeruk nipis supaya perutku kosong lagi. Aku ingin datang dengan perut lapar agar bisa menghargai (dan menghabiskan) masakan sang pujaan hati.

Sesampainya di rumah Tiara, aku disambut dengan pemandangan yang meluluhlantakkan iman. Tiara memakai apron (celemek) warna merah muda dengan motif stroberi. Rambutnya dikuncir kuda. Wajahnya belepotan tepung sedikit (ini settingan sinetron banget, tapi gemesin).

"Mas Cahyo! Pas banget! Masakannya baru mateng!" serunya riang.

Aku masuk ke ruang makan. Namun, langkahku terhenti. Hidungku menangkap aroma yang... salah. Biasanya, aroma masakan itu menggugah selera. Bau bawang goreng, bau terasi, bau kaldu. Tapi ini beda.

Ini bau anyir ikan yang sangat tajam, bercampur dengan bau manis yang menyengat seperti... pewangi mobil? Dan ada sedikit aroma gosong yang malu-malu. Hidungku kembang kempis. "Masak apa sih, Tiar? Wanginya... unik ya," tanyaku diplomatis.

"Ini resep eksperimen aku, Mas! Namanya Gulai Kepala Ikan Kakap Fusion Saus Vanilla," jawabnya bangga.

Tunggu. Gulai? Ikan Kakap? Saus... VANILLA?!

"Va... Vanilla?" tanyaku memastikan telingaku tidak salah dengar.

"Iya! Kan aku liat di MasterChef, masakan itu harus ada keseimbangan rasa Savoury dan Sweet. Nah, aku pikir santan itu kan gurih, kalau ditambah esens vanilla pasti jadi wangi dan creamy kayak kue!" jelasnya dengan logika yang sangat... kreatif (baca: sesat).

Aku menelan ludah. Ludahku terasa pahit. Di atas meja, terhidang sebuah mangkuk besar. Isinya cairan berwarna kuning pucat yang agak berbuih (mungkin santannya pecah). Di tengahnya, menyembul sebuah kepala ikan kakap yang matanya melotot putih, seolah menatapku dan berteriak: "LARI, LARI! SELAMATKAN DIRIMU!"

Dan benar saja. Aroma vanilla yang biasanya enak di es krim, kini bercampur dengan bau amis ikan kakap. Baunya seperti muntahan orang dewasa mabuk kendaraan yang dikasih parfum Alfamart.

Tiara mengambilkan nasi putih hangat. Lalu dengan sendok sayur, dia menyiramkan kuah "neraka" itu ke atas nasi. Dia mengambil bagian pipi ikan (bagian terenak katanya) dan menaruhnya di piringku.

"Ayo dimakan, Mas. Mumpung anget. Jujur ya review-nya!" katanya sambil menopang dagu dengan kedua tangan, menatapku dengan mata berbinar-binar penuh harap.

Mata itu. Mata indahnya yang polos. Aku tidak bisa menghancurkan hatinya. Aku menarik napas panjang. Menahan napas. "Bismillah... Demi cinta..."

Aku menyendok nasi yang sudah basah oleh kuah vanilla amis itu, ditambah potongan daging ikan. Suapan pertama masuk ke mulut.

Dhuaaarrrr!

Lidahku langsung mengalami culture shock. Rasa pertama yang muncul adalah MANIS. Manis vanilla yang strong banget, kayak lagi makan bolu kukus. Tapi sedetik kemudian, rasa AMIS ikan kakap menyerang tanpa ampun. Rupanya Tiara kurang bersih mencuci ikannya, dan dia tidak pakai jeruk nipis (mungkin diganti vanilla itu). Lalu muncul rasa PEDAS yang aneh, dan PAHIT.

Pahit? Kenapa pahit? Aku mengunyah pelan. Teksturnya... crunchy. Kunyahan keduaku berbunyi krenyes. Rupanya sisik ikannya belum dibersihkan dengan benar. Aku sedang mengunyah sisik ikan.

"Gimana Mas? Enak?" tanya Tiara antusias.

Aku berusaha tersenyum, meski otot wajahku kaku karena menahan gejolak mual. "Umm... Ini... Ini mind blowing banget, Tiara," jawabku dengan suara bergetar. "Rasanya... kompleks. Ada manisnya, ada gurihnya. Vanillanya... nonjok banget."

"Ah syukurlah kalau suka! Itu aku tambahin Pare juga lho di bumbunya, biar ada teksturnya, tapi aku blender halus!"

PARE. Pantas saja pahitnya kayak omongan tetangga. Jadi komposisinya: Ikan Amis + Esens Vanilla + Santan Pecah + Jus Pare. Ini bukan masakan. Ini senjata biologis.

Masalahnya adalah: Porsinya BANYAK. Tiara menuangkan porsi kuli bangunan untukku. "Habisin ya Mas, aku seneng banget liat cowok makan lahap."

Aku terjebak. Suapan demi suapan aku masukkan. Strategiku adalah: Telan Langsung Tanpa Kunyah. Seperti ular sanca menelan kambing.

Tapi tubuhku mulai bereaksi. Setiap kali sendok mendekat ke mulut, kerongkonganku menutup otomatis. Ada refleks Gag (mau muntah) yang harus kulawan sekuat tenaga. Huekk... (dalam hati). Glup... (telan paksa).

Keringat dingin mulai bercucuran di dahiku. Bukan keringat pedas, tapi keringat dingin tanda keracunan atau syok. Wajahku mulai pucat. Perutku mulai berbunyi. Gwluguk... Kruuucuk... Bwoook... Bunyinya nyaring sekali, seperti ada kodok kejepit di dalam lambung.

"Lho, Mas Cahyo keringetan banget? Kepedesan ya?" tanya Tiara khawatir.

"Enggak... Enggak kok. Ini... ini keringat sehat. Metabolisme aku lagi bekerja cepat saking enaknya," dustaku. Dosa besar.

Aku sudah menghabiskan setengah piring. Kepala ikan itu masih menatapku. Tiba-tiba, aku menggigit sesuatu yang lunak tapi meletus di mulut. Rasanya PAHIT LUAR BIASA. Pahit yang membuat mata merem melek dan telinga berdenging.

Ternyata Tiara tidak membuang empedu ikannya. Dan aku baru saja memecahkannya. Cairan empedu bercampur vanilla dan amis ikan memenuhi rongga mulutku.

Dunia berputar. Aku melihat arwah kakekku melambaikan tangan dari cahaya putih di kejauhan. "Jangan nyerah, Cu... Sedikit lagi..." bisik arwah kakekku.

Aku mengambil gelas air putih. Aku minum rakus untuk menghilangkan rasa pahit itu. "Jangan minum air putih Mas, nanti kembung! Nih, aku bikinin minuman pendampingnya!" sela Tiara.

Dia menyodorkan gelas berisi cairan hijau kental. "Jus Kedondong campur Seledri. Biar sehat!"

Mati aku. Lambungku yang sedang kritis dihajar gulai vanilla, sekarang disiram jus kedondong asam dan seledri langu. Ini adalah resep bom kimia rakitan.

Aku meminumnya. Asamnya menusuk lambung yang sudah luka. CESS... Rasanya seperti menelan air aki.

Piring bersih. Gelas kosong. Aku berhasil. Aku menghabiskan semuanya. Tiara bertepuk tangan girang. "Yey! Hebat Mas! Nambah lagi nggak?"

"JANGAN!" teriakku refleks, terlalu keras. Tiara kaget. "Maksudku... Jangan repot-repot lagi, Tiara. Aku udah kenyang banget. Kenyang... bahagia," ralatku cepat sambil memegangi perut yang kini terasa keras seperti batu.

Tiba-tiba, perutku kontraksi hebat. Rasanya seperti ada Alien yang mau keluar dari pusar. Kruuuuut... Prettt... Sebuah gas kecil lolos. Baunya... Ya Tuhan. Bau kematian.

Aku harus pulang. Sekarang. Atau aku akan meledak di sini dan menodai karpet bulu Tiara dengan limbah beracun.

"Tiar, kayaknya aku harus pamit deh," kataku sambil berdiri perlahan. Jalanku membungkuk kayak nenek sihir. "Lho kok buru-buru? Kita belum ngobrol!" "Iya... anu... Kucing aku mau melahirkan! Caesar! Aku harus dampingi!" alasanku ngawur. Sejak kapan kucing jantanku bisa hamil?

"Oh... ya udah deh. Hati-hati ya Mas!"

Aku berjalan cepat menuju motor. Tiara melambaikan tangan di pagar. "Dah Mas Cahyo! Besok aku masakin Ceker Ayam Kuah Cokelat ya!"

Aku tidak menjawab. Aku menyalakan motor dengan tangan gemetar, lalu tancap gas.

Rumahku berjarak 10 kilometer. Biasanya ditempuh dalam 20 menit. Tapi malam ini, 10 kilometer terasa seperti motoran di area perang.

Setiap getaran motor adalah siksaan. Jok motorku yang keras menghantam pantat, mengirimkan gelombang kejut ke usus besar, yang kemudian berteriak ke otak: "KELUARKAN KAMI!"

"Tahan... Tahan..." mantramu. "Jangan boker di celana. Jangan muntah di dalam helm."

Tantangan terbesar muncul: POLISI TIDUR. Di komplek perumahan, ada polisi tidur yang tingginya nggak ngotak. Aku mencoba melukainya pelan-pelan. Dug. Guncangan kecil itu fatal.

"HOEEEKKK!!!" Isi perutku naik ke kerongkongan. Rasa vanilla amis itu mampir lagi di lidah. Aku telan lagi paksa. Demi harga diri. Aku tidak boleh muntah di jalanan. Kalau aku muntah di dalam helm full face ini, aku akan mati tenggelam dalam muntahanku sendiri.

Keringat dingin sudah membasahi seluruh baju. Pandanganku mulai kabur. Jalanan terlihat bergelombang. Lampu jalan berubah menjadi garis-garis neon abstrak. Aku mulai berhalusinasi. Aku melihat ayam raksasa berlari di samping motorku, mengejekku.

Kilometer 5. Perutku mulas hebat. Mulas level 10. Sphincter (otot penahan) anussku bekerja lembur bagaikan Atlas menahan bola dunia. "Sedikit lagi... Sedikit lagi..."

Kilometer 8. Tiba-tiba ada lubang di jalan yang tidak kulihat. BRAKK! Motorku menghantam lubang. Guncangannya dahsyat.

Pertahananku jebol. Bukan yang bawah, tapi yang atas. Aku menepikan motor mendadak di pinggir jalan, membuka kaca helm, dan... BWOOORRRHHH!!!

Semua Gulai Kepala Ikan Kakap Saus Vanilla + Jus Kedondong Seledri itu keluar memuncrat ke selokan. Warna muntahannya hijau kekuningan neon. Baunya membuat tukang nasi goreng yang mangkal di dekat situ langsung tutup lapak.

Aku muntah sampai tidak ada yang tersisa, sampai hanya air kuning pahit yang keluar. Badanku lemas total. Kakiku tidak bisa menapak. Aku ambruk di samping motorku.

Warga mulai berkerumun. "Mas? Mas kenapa?" "Aduh, ini kayaknya mabuk nih!" "Bukan Pak, ini mulutnya bau vanilla! Mabuk es krim kali!"

"Tolong..." cicitku lemah. "Rumah Sakit..."

Aku dibawa ke UGD RS terdekat oleh warga yang baik hati (atau warga yang terganggu bau muntahanku). Aku dibaringkan di brankar. Dokter jaga datang dengan wajah serius.

"Ini pasien kenapa? Keracunan makanan?" tanya Dokter. "Katanya muntah-muntah hebat Dok, pucat, nadi lemah, keringat dingin," lapor suster.

Dokter menyenter mataku. "Mas, bisa dengar saya? Mas habis makan apa?"

Dengan sisa tenaga, aku menjawab jujur. "Gulai... Kepala Ikan... Saus Vanilla... Campur Pare... Jus Kedondong..."

Hening. Dokter dan suster saling pandang. "Itu makanan atau tantangan Fear Factor?" gumam Dokter bingung. "Ini sih bukan keracunan biasa. Ini pencobaan bunuh diri pake menu fusion."

"Sus, pasang infus. Berikan antiemetik dan pelapis lambung. Cek darah lengkap. Saya curiga livernya kaget."

Malam itu aku habiskan dengan selang infus menancap di tangan. Perutku masih dikompres air hangat. Setiap kali aku bersendawa, bau vanilla amis masih tercium samar, membuat suster yang lewat reflek menutup hidung.

Diagnosis dokter: Gastritis Akut + Dispepsia Fungsional akibat Kombinasi Makanan Ekstrem. Singkatnya: Lambungku trauma berat.

Keesokan paginya, aku masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. HP-ku berbunyi. Notifikasi WhatsApp. Dari Tiara.

Jantungku berdebar. Apakah dia tahu aku masuk RS? Apakah dia khawatir?

Tiara: "Mas Cahyo! Kok semalem pulangnya buru-buru banget sih? Padahal aku seneng lho kamu lahap banget makannya sampai bersih piringnya! 🥰"

Aku membaca pesan itu dengan mata berkaca-kaca.

Tiara: "Sebagai tanda terima kasih, dan karena masakan semalem masih sisa sepanic penuh... Tadi pagi aku masukin tupperware, terus aku titipin ke Gojek buat dikirim ke kost kamu! Bisa buat makan siang dan makan malam lho! Dipanasin aja ya! ❤️"

JGEEERRR!! Petir menyambar di siang bolong. Satu panci? Dikirim ke kost?

Aku menatap cairan infus yang menetes perlahan. Tes... Tes...

Aku memencet tombol panggil suster dengan panik. "Suster! Suster!" Suster lari datang. "Ada apa Mas? Sakit lagi perutnya?"

"Sus... Tolong..." kataku putus asa. "Tolong tambah durasi rawat inap saya. Seminggu. Atau sebulan. Saya nggak mau pulang ke kost. Di sana ada ancaman biologis yang menunggu saya."

"Lho? Mas kan cuma sakit lambung?"

"Enggak Sus, ini masalah nyawa. Kalau saya pulang dan makan itu lagi, saya nggak akan balik ke sini sebagai pasien, tapi sebagai jenazah."

Aku meletakkan HP di dada. Menatap langit-langit rumah sakit yang putih bersih. Cinta itu memang buta. Tapi mulai hari ini aku sadar, cinta juga bisa membuatmu kehilangan fungsi organ pencernaan.

Selamat tinggal Tiara. Selamat tinggal Gulai Vanilla. Aku memilih jomblo saja. Setidaknya jomblo cuma sakit hati, bukan sakit liver.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Senjata Biologis Buatan Gebetan
cahyo laras
Flash
Bronze
Kalau Kambing Bisa Ketawa...
Shabrina Farha Nisa
Cerpen
Lelaki yang Menyobek-nyobek Hidungku
Fazil Abdullah
Komik
INI LHO (Daily)
Suga Nct
Cerpen
Takhayul
Normal Temperature
Cerpen
Bronze
Galon vs Gas Melon
Claire The
Flash
Bronze
Aku lupa besok senin, selasa, rabu, kamis, jumaat, sabtu atau minggu
Okhie vellino erianto
Cerpen
Bronze
Kucingku Kena Pelet
Novita Ledo
Flash
Ipar Adalah Marmut
Alviandromeda | DigitAlv
Cerpen
Rapimnas Desa Gendeng
Muhammad Rizqi Fachrizal
Cerpen
Bronze
Tetangga Berisik
Rama Sudeta A
Flash
Gula
Kiiro Banana
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Flash
Gabut!!
Aurelia Joelyn Angdri
Cerpen
Kopi Yang Tak Terseduh
awod
Rekomendasi
Cerpen
Senjata Biologis Buatan Gebetan
cahyo laras
Novel
Kontrak Terakhir
cahyo laras
Cerpen
Datang Bawa Malu, Pulang Bawa Duit (lagi)
cahyo laras
Cerpen
Temen Papah Zone
cahyo laras
Cerpen
Jiwa Lelaki Meronta, Otot Minta Pulang
cahyo laras
Cerpen
Mission Impossible : Protocol Cepirit
cahyo laras
Cerpen
Sepatu Mangap di Marathon 10k
cahyo laras
Cerpen
Jangan Ge-Er, Dia gitu ke semua orang
cahyo laras
Cerpen
Tragedi Salah Makam
cahyo laras
Cerpen
Cintaku Bertepuk Sebelah Treadmill
cahyo laras
Cerpen
Kesenjangan yang terlalu senjang
cahyo laras
Cerpen
Split Bill, Split Hidup
cahyo laras