Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pemirsa, gempa bumi dengan magnitude 6,3 SR di Kecamatan Lahewa Timur, Kabupaten Nias Utara yang terjadi pada pukul 1 dini hari menghancurkan hampir 80 persen rumah-rumah warga dan merenggut lebih dari dua puluh korban jiwa. Segenap tim dan relawan masih terus mencari, berharap beberapa warga setempat masih bertahan di balik reruntuhan.” Itulah kabar terakhir yang kudengar sebelum sinyal di ponselku hilang total.
Namaku Lania, datang bersama Elea dan Dimas dengan tugas kami sebagai tenaga medis. Aku datang dari jauh, menempuh empat jam perjalanan udara, dua jam menuju pelabuhan, delapan jam menaiki kapal feri, dan dua jam lagi menggunakan mobil. Kami bahkan harus berjalan kaki setidaknya tiga sampai empat kilometer karena jalan tertutup reruntuhan.
Ratusan orang kehilangan tempat tinggal, kabar dari orang tersayang, bahkan kehilangan keinginan untuk hidup. Isak tangis terdengar memenuhi langit Nias saat kami bertiga baru saja sampai. Seketika mataku berkabut, haru melihat puing-puing bangunan yang hampir rata dengan tanah juga tangisan-tangisan yang menusuk jiwa kemanusiaan yang aku miliki.
“Dokter Lania!” Pria dengan balutan jas putih berjalan tergesa menghampiriku. Dia Bertrand, dokter senior yang sudah lebih dulu datang dariku.
“Iya?” Aku menoleh.
“Ada banyak korban baru saja ditemukan di pengungsian sebelah utara!” katanya. “Dokter Lania bisa ikut denganku?” Aku mengangguk tanpa ragu, mengikutinya berjalan ke tenda utara dengan langkah tergesa bersama tas medis yang kupegang erat dan Elea juga Dimas ikut mengekor di belakang.
“Pengungsian utara terdapat lebih dari empat puluh titik tenda yang didirikan, tapi kita hanya memiliki satu tenda kesehatan,” kata dokter Bertrand.
“Kita bisa pergunakan tenda pengungsian untuk sementara, tapi pastikan tempat itu aman,” imbuhnya kemudian, menunjuk salah satu tenda pengungsian setelah kami sampai.
Aku manggut-manggut mendengarnya, sembari tetap berjalan berdampingan dengannya, menyisir dari tenda ke tenda untuk melihat kondisi warga terdampak bencana.
“Satu korban ditemukan! Cepat!” teriakan tim SAR menggema dari kejauhan, menyatu dengan tangis dan jeritan yang menukik dari segala penjuru. Aku dan dokter Bertrand bergegas mempercepat langkah setengah berlari menuju tenda kesehatan.
“Dokter!” panggil salah satu tim SAR yang memanggul korban dengan luka sobek terbuka dan tulang mencuat. “Kaki korban tertindih reruntuhan. Dia mengalami banyak pendarahan.”
Mari pindahkan korban!” ujar dokter Bertrand di tengah kericuhan karena keluarga korban histeris.
“Satu, dua, tiga!” Kepala tim SAR memberikan aba-aba untuk memindahkan korban dari tandu ke ranjang.
“Siapkan infus!” katanya pada Elea. “Suntikan empat dosis plasma beku untuk pendarahannya,” seru dokter Bertrand sambil memakai sarung tangan.
“Baik.”
“Ambilkan kain kasa dan penutup,” pinta dokter Betrand kepada Dimas.
“Baik.” Dimas lekas menekan luka dengan kain kasa kemudian membalut kaki kiri korban yang terus mengucurkan darah.
“Dokter Lania cek tanda vital!”
“Baik, Dok!” Aku bergegas mengukur denyut nadi pada pergelangan tangan dan menekan sisi leher mencari denyut karotis.
“100 per 60,” kataku. “Suhu tubuhnya 40 derajat celcius.” Aku menatap lekat wajah dokter Bertrand yang cemas karena kondisi korban.
“Beri dia 5 mm morfin untuk meringankan nyerinya,” perintahnya padaku kemudian.
“Pak, bertahanlah. Kami akan memberimu morfin,” serunya pada korban mencoba menenangkannya.
“Bagaimana kondisi korban, Dok?” Elea bertanya.
“Osteomielitis, infeksi tulang yang bisa menyebabkan kerusakan dan berakhir diamputasi.”
Mendengar penjelasan dari dokter Bertrand, seketika kakiku lemas.
“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Dimas di tengah ketegangan yang terjadi karena korban mengerang kesakitan. Suaranya memenuhi tenda utara pengungsian, ditambah suara tangisan lainnya yang berasal dari keluarga korban yang berada di luar tenda kesehatan.
“Kita harus segera merujuk korban ke rumah sakit besar. Amputasi harus segera dilakukan,” jelas dokter Bertrand. “Dokter Lania, kamu pernah melakukannya?”
***
Sebagai seorang dokter yang beberapa kali dikirim dalam penanganan korban bencana, hal seperti ini tak asing bagiku. Aku juga termasuk dokter yang berpengalaman untuk melaksanakan operasi amputasi pada korban bencana. Oleh karena itu, pertanyaan dokter Betrand bukan kali pertama aku mendengarnya. Jika kuingat kembali, terhitung sudah tiga kali aku melakukan operasi di tempat dengan keterbatasan seperti ini dan tentu saja aku tahu segala risikonya.
“Dokter Lania, kamu pernah melakukannya?” tanya dokter Betrand dengan suara lebih kencang dan membuatku beranjak dari lamunan.
Aku mengangguk. “Aku pernah melakukannya tiga kali, Dok.”
“Baik, kita segera bawa korban ke RSUD Tafaeri, rumah sakit terdekat.” Dokter Bertrand memberikan instruksi.
Kami bertiga saling pandang. Sejauh ini, belum ada fasilitas kesehatan yang memadai untuk mengevakuasi korban. Beberapa fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit tentunya ikut terdampak gempa.
Elea menggeleng, tanda tak setuju. “Dok! Rumah sakit terdekat mungkin juga terkena dampak dari gempa!”
“Amputasi harus segera dilakukan. Jika tidak, kondisi korban akan semakin parah dan bisa meninggal,” jelasnya dengan napas memburu.
“Tapi, jalanan rusak parah dan membawa korban ke rumah sakit akan membutuhkan waktu yang lama. Tindakan harus segera dilakukan, Dok.” Aku menatapnya lekat, kembali meyakinkannya. Tak peduli meski tatapannya seolah memakiku dan menganggapku gila, aku tak bisa merelakan pasien di depan mataku.
***
Saat itu, langit Yogyakarta berkabut tebal, hitam, bercampur dengan gemuruh sirine dan tangisan pilu dari balik puing-puing bangunan yang runtuh.
“Dok, tolong selamatkan nyawa anak kami.” Seorang laki-laki tua berlutut di tanah. Di sampingnya, duduk seorang wanita menangis histeris menggenggam tangan kecil putrinya dengan kaki terluka karena tertimpa reruntuhan. “Tolong,” suaranya bergetar di antara sesak napas dan isak tangis.
Aku menggeleng, meraih lengan laki-laki tua itu untuk berdiri. “Operasi harus dilakukan sesuai prosedur Pak,” kataku memberi penjelasan. “Kita tunggu sampai besok. Mudah-mudahan jalanan sudah bisa diakses.” Aku menepuk bahunya sebelum kemudian aku pergi memeriksa kondisi korban lainnya.
“Apa tidak ada cara lain selain amputasi?” Suara Dimas membuyarkan kenangan beberapa tahun lalu, yang tiba-tiba saja merebak di pikiranku saat ini.
Dokter Betrand menggeleng. Bersikukuh dengan pendapatnya.
“Jika amputasi satu-satunya cara menyelamatkan korban, kita bisa melakukannya di sini,” seruku tanpa ragu setelah aku menatap korban yang terus mengerang kesakitan.
Ucapanku lantas membuat Elea dan Dimas mengalihkan pandangannya, termasuk dokter Bertrand. Ia mengerutkan keningnya seraya mencibir. “Melakukan operasi dalam keadaan seperti ini? Jangan gegabah dokter Lania. Kamu seorang dokter, tentunya paham bagaimana prosedurnya,” katanya.
“Mobil tidak bisa melewati jalan, Dok.” Aku masih berusaha menahan.
“Kita bisa membawanya dengan berjalan kaki.” Dia berbalik, ingin segera meminta beberapa relawan membantunya membawa korban ke rumah sakit.
“Dok,” suaraku menghentikan langkah dokter Bertrand.
“Kalau dipaksakan membawa korban berjalan kaki sejauh itu, akan semakin membahayakan. Pertolongan harus segera diberikan. Kita tidak punya banyak waktu.” Aku menghalau dokter Bertrand.
Dokter Bertrand mengembuskan napas kasar. Bisa kulihat peluh membanjiri wajah hingga leher, ia terlihat sudah kehabisan akal.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan dokter Lania? Tidak menaati peraturan dan melakukan operasi dengan alat seadanya sehingga korban kehilangan nyawa? Atau kita berusaha taat pada peraturan, meskipun itu tetap akan membuatnya kehilangan nyawa.” Ucapannya kali ini membuatku terdiam sesaat.
“Dokter Lania! Kondisi korban melemah!” Seruan dari rekanku membuatku menoleh panik, disusul dengan tangisan terdengar menggema, beberapa jam setelah aku meninggalkan pos darurat.
Aku segera berlari menuju pos. “Anak saya Dok!” laki-laki tua itu berteriak kencang diiringi dengan tangisan pilu yang menyayat hati.
“Periksa jalan napas!” seruku pada Jia.
“Denyutnya melemah Dok!” Jia semakin panik karena anak perempuan kecil itu tak sadarkan diri.
Suasana semakin ricuh karena isak tangis bersahutan memenuhi langit Yogyakarta malam itu. Aku berusaha fokus, menatap nanar korban karena pendarahan yang tak bisa dihentikan. Namun, di tengah usaha yang kulakukan, anak perempuan kecil itu mengembuskan napas terakhirnya, sebelum aku benar-benar mengoperasi kakinya. Aku terduduk lemas. Jantungku seolah berhenti berdetak beberapa saat melihat tubuh perempuan kecil itu berselimut kain putih.
Aku memejamkan mata, berusaha mengingat semua pengalaman buruk yang kualami beberapa tahun yang lalu, yang merangsek masuk ke kepalaku.
“Setujui amputasi di tempat ini, lalu kita mulai. Kita tidak punya banyak waktu,” kataku setelah kubuka mata dan mengusap bulir kristal yang menetes begitu saja.
“Operasi dibutuhkan kesiapan.” Masih, dokter Betrand tak bisa diajak bicara.
“Kita bisa menyiapkannya mulai dari sekarang. Operasi hanya akan berlangsung dengan durasi waktu maksimal satu jam. Sementara jika nekat membawanya ke rumah sakit dengan berjalan kaki, kita akan sampai di tempat empat jam kemudian,” jelasku dengan suara tercekat.
“Tugas dokter yang utama adalah bagaimana cara kita menyelamatkan nyawa pasien.” Ini pertama kalinya aku berdebat dengan seseorang di depan umum. “Aku siap dengan risikonya kalau izin tugasku dicabut jika aku tak berhasil menyelamatkan korban!” Aku menatap dokter Bertrand.
“Kondisi korban mengalami banyak pendaharan,” ucap Elea tiba-tiba dengan panik.
“Kita lakukan operasi di sini,” tegasku. “Elea, Dimas tolong siapkan peralatan untuk operasi amputasi.”
“Baik,” jawab Elea dan Dimas kompak.
“Dokter Bertrand, mau bergabung untuk membantu operasi vascular?” tanyaku sebelum bergegas berganti pakaian dan mempersiapkan diri untuk operasi.
Badai dilema seolah melanda hatinya. Setelah menghela napas berkali-kali, akhirnya dokter Bertrand mengangguk. Sepertinya dia memutuskan terlibat dengan kegilaanku setelah melihat kondisi korban semakin memburuk. Kami mulai dengan mempersiapkan tenda, meja operasi lapangan, dan penerangan yang cukup. Tak lupa seluruh benda yang akan digunakan disterilisasi lebih dulu. Sementara aku dan dokter Bertrand mempersiapkan diri, Elea dan Dimas membantu mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan untuk melaksanakan operasi.
Aku menyuntikkan bius total ke tubuh korban setelah kupantau denyut nadi dan detak jantungnya stabil. Dokter Bertrand mulai membentuk sayatan flap kulit berbentuk setengah bulan menggunakan pisau bedah. Kemudian, otot dipotong secara perlahan, disisakan flap untuk menutup ujung tulang. Aku berusaha tenang, mengambil napas dalam. Ini cukup menegangkan. Aku tak henti bergerak ke sana kemari, memberikan apa yang dokter Bertrand perlukan. Hingga operasi sampai pada tahap pemotongan tulang menggunakan gergaji, kupantau kondisi korban masih sangat baik, tidak ada pertanda rasa sakit.
Setelah tulang terpotong, aku membantu dokter Bertrand menghaluskan ujung tulang menggunakan kikir dan kupastikan hemostasis sempurna. Aku lalu menjahit otot ke otot dan otot ke fasia, kemudian menjahit kulit dengan hati-hati. Di akhir tindakan operasi, aku membalut lukanya dengan kain kasa steril.
Aku bernapas lega, sama halnya dengan dokter Betrand karena operasi amputasi selama satu jam berjalan lancar.
“Setelah efek bius hilang dan keadaan aman, korban harus tetap dibawa ke fasilitas kesehatan,” katanya padaku sebelum kemudian dokter Betrand menepuk pundakku dan keluar dari ruang operasi darurat.
Aku mengangguk seraya tersenyum karena nyatanya kedatanganku kali ini menjadi bagian dari kisah hidup ratusan manusia yang menjadi korban ganasnya alam semesta yang membawaku pada banyak pembelajaran hidup. Tentang rasa sakit, keinginan, rasa sayang, harapan, dan rasa kepedulian yang hadir di setiap hati seseorang. ***
Senja di ufuk barat mungkin tak seindah saat bencana belum terjadi. Meski begitu, kedatangannya terus ditunggu setiap hari. Cahayanya yang hangat, rupanya yang indah, juga suasana menjelang petang seolah menghipnotis, memberikan kenyamanan, menerbitkan senyum tipis di situasi yang sama sekali tak terpikir akan terjadi.