Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di antara pasir dan semak pandan yang tumbuh liar, berdirilahsebuah rumah kayu sederhana. Dinding-dindingnya terbuat dari papan tua yang mulai keropos dimakan angin laut, dengan menggunakan atap dari seng berkarat yang berisik kala hujanturun, dan jendela kecil yang menjadi satu-satunya jalan cahaya masuk menebarkan semburat keemasan di ruang tengah yang lapang namun sederhana.
Rumah itu hanya memiliki tiga ruang sederhana: dua kamar tidur, satu untuk Alya dan satu lagi untuk Pak Umar serta satu ruang tengah yang menjadi tempat makan. Mereka berbincang,dan merajut mimpi-mimpi kecil bersama.
Sore itu, Alya sedang menyapu lantai dengan sapu lidi buatan ayahnya dari pelepah kelapa. Debu-debu halus bertebaran di udara, menari dalam cahaya keemasan yang masuk darijendela kecil. Di sudut, Pak Umar duduk bersila, tangan tuanya menjahit jaring yang robek. Bekas luka di jemarinya bercerita lebih banyak daripada kata-kata.
"Yah," suara Alya pelan, nyaris seperti bisikan. "Kalau akujadi guru nanti, Ayah mau sekolah lagi? "
Pak Umar terkekeh ringan matanya menyipit menahan senyum. "Wah kalau begitu ayah akan duduk paling depan biar bisa leluasa menatap putri kebanggaan ayah ini. Tapi Ayah maunya duduk di sebelah kamu aja, biar bisa nyontek."
Alya tertawa kecil, lalu mendekat dan memeluk ayahnya dari belakang. Hangat dirasakannya meski tubuh ayahnya kini semakin kurus.
Menjelang senja tiba, seperti kebiasaan mereka sejak dulu, keduanya berjalan menyususri dermaga tua yang menghadaplaut. Kayu-kayunya yang mulai rapuh, berderit setiap kali dipijak. Di ujung dermaga, laut membentang luas, memantulkan cahaya matahari yang tenggelam, menyulap permukaannya menjadi permadani jingga.
Alya duduk di tepi dermaga, kakinya menggantung bebas diatas air, sesekali diayunkan pelan. Sambil menatap cakrawala yang perlahan berubah warna. Pak Umar menyalakan rokok linting buatan sendiri, mengisapnya perlahan, lalu membuangnapas panjang sambil menatap laut yang tak berujung.
"Ibumu dulu suka duduk di sini," katanya pelan. "Katanya ini ujung dunia. Tapi Ayah bilang, ini tempat awal. Tempat orang bermimpi sebelum berlayar."
Alya menatap laut lekat-lekat. "Kalau begitu, aku akan berlayar dari sini, Yah."
"Berlayarlah," ujar Pak Umar sembari tersenyum. "Tapi jangan lupa pulang. Dermaga ini akan selalu menunggu."
Matahari tenggelam perlahan. Angin laut membawa bau asin dan harapan yang belum selesai. Di tengah kesederhanaan, di antara suara ombak dan kayu tua yang mengeluh, cinta seorang ayah dan mimpi seorang anak tumbuh pelan-pelan seperti benih yang ditanam di tanah keras, namun tak pernah berhenti berharap pada hujan.
Malam itu, seperti biasa, hanya ada sepiring ikan asin dansambal di atas meja kayu yang terlihat sudah lapuk. Alyamemandang makanan itu dengan ragu, lalu menatap ayahnya.
“Ayah nggak makan?”
Pak Umar tersenyum sambil menggigit rokok linting yang takpernah benar-benar menyala. “Ayah kenyang lihat kamu lahap.”
Alya menunduk, menahan air mata. Ia tahu ayahnya pastiberbohong dan sedang menahan rasa lapar. Tapi ia juga tahu, membantah hanya akan melukai harga diri lelaki itu. Maka ia makan perlahan, menelan rasa haru bersama nasi
Beberapa hari kemudian, badai datang dari selatan. Ombak mendobrak pantai, memecah perahu-perahu kecil yang tertambat tanpa pelindung. Perahu milik Pak Umar pun tak luput dari badai tersebut. Esok paginya, ia hanya menemukan puing papan terapung dan jaring sobek di pesisir.
Sejak itu, ia tak lagi melaut. Ia bekerja sebagai kuli angkut di tempat pelelangan ikan, mengangkut tong-tong bau amis demi beberapa lembar rupiah. punggungnya semakin membungkuk.Namun, tak pernah sekalipun terdengar keluhan dari mulutnya.Ia menjalani semuanya dengan diam dan keteguhan yang hanyabisa dimiliki oleh seorang ayah. Alya tahu semuanya. Ia melihatluka-luka di kaki ayahnya, batuk yang makin sering terdengar.Tapi mereka tak pernah membahasnya. Dalam diam, keduanya saling mengerti.
Hingga suatu sore, Alya pulang dengan matasembab dengan mengenggam selembar kertas ditangannya. "Ayah ... aku diterima beasiswa sekolahdi kota. Semua biaya ditanggung."
Pak Umar meletakkan keranjang ikannya. Ia menerima kertas itu, membacanya perlahan. Tangannya bergetar, tapi senyumnya merekah."Alhamdulillah," bisiknya lirih.
Alya menunduk, suaranya terdengar parau. "Tapi aku nggakmau ninggalin Ayah sendiri di rumah ini, Ayah sedang sakit ...."
Pak Umar menggeleng lembut dan memeluknya. "Kalau kamu tetap tinggal, semua perjuangan Ayah sia-sia. Pergilah. Kejar mimpimu. Ayah akan baik-baik saja."
Pagi keberangkatan itu, mereka kembali menyusuri dermaga tua. Kayu-kayunya lebih lapuk dari sebelumnya, tapi langkahmereka mantap. Mereka duduk di ujung—memandang laut yang sama.
Pak Umar menyerahkan sebuah buku kecil ke tangan Alya. Lusuh, namun penuh makna. "Ini catatan Ayah—doa-doa, cerita tentang kamu, harapan Ayah yangdititipkan padamu."
Alya membuka halaman pertama.
Untuk Alya, bintang kecilku. Jika kamu terbang tinggi,lihatlah laut. Ayah ada di sini, menunggumu pulang.
Tangis Alya pecah. Mereka berpelukan lama sebelum iamelangkah pergi. Gadis itu membawa tas, mimpi, dan pesan yang tak akan pernah hilang.
Tahun-tahun berlalu. Rumah kayu itu kini berdiri lebih kokoh.Dindingnya dihiasi ijazah, foto wisuda Alya, dan sebuah papan sederhana bertuliskan: Rumah Baca Alya. Di bawahnya, tergantung rak buku buatan tangan Pak Umar, catnya mulai pudar tapi penuh kenangan.
Setiap senja lelaki tua itu duduk di ujung dermaga. Matanya menatap laut yang sama, tempat impian pernah dilepaskan. Hingga suatu hari, langkah kaki terdengar di belakangnya. Seorang perempuan muda datang, membawa segenggam buku, lalu memeluk lelaki tua itu dari belakang.
"Ayah, aku pulang."
Suara itu pelan, nyaris tenggelam oleh debur ombak dan desirangin laut. Namun, bagi Pak Umar, suara itu lebih lantang daripada teriakan mana pun. Ia menoleh perlahan dan melihatAlya berdiri di belakangnya. Wajah putrinya tampak teduh, dengan mata yang berkaca-kaca.
Pak Umar tidak berkata apa-apa. Ia hanya membuka kedualengannya lebar. Alya melangkah cepat dan memeluknya erat, seperti anak kecil yang takut kehilangan pelabuhan terakhirnya.
“Ayah masih suka duduk di sini, ya?” tanya Alya pelan setelah beberapa saat. Mereka masih berpelukan,pelukan yang akan selalu hangat rasanya.
“Selalu,” jawab Pak Umar sambil mengusap kepala anaknyayang kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa. “Ini tempat Ayah menunggu. Menunggu kamu pulang.”
Alya duduk di samping ayahnya, seperti dulu. Kakinyamenggantung di atas air yang kini lebih tenang. Di tangannya masih tergenggam beberapa buku cerita bergambar, hasil cetakan dari proyek sosial tempat ia bekerja di kota. Ia mengajar anak-anak jalanan dan menjadi relawan di perpustakaan keliling. Namun, tak satu pun dari semua pencapaiannya terasa lengkap sebelum ia membawanya pulang ke tempat semua mimpi itu dimulai.
Alya menunduk sebentar lalu monoleh kesebelah melihatayahnya, “Aku selalu ingin pulang, Yah. Tapi aku takut. Takut melihat Ayah makin tua. Takut waktu sudah merampas terlalubanyak dari kita.”
Pak Umar menghela napas panjang. “Waktu memang merampas.Tapi dia juga memberi. Lihat kamu sekarang. Ayah bangga.”
Mereka terdiam beberapa saat, menikmati senja yang menari di permukaan laut. Warna jingga perlahan memudar, seperti kisahlama yang tak pernah benar-benar selesai.
“Ayah ingat, waktu aku kecil, aku sering bertanya, ‘Kenapa laut tidak pernah habis?’” kata Alya sambil tertawa kecil.
Pak Umar mengangguk. “Dan Ayah jawab, Karena laut menyimpan semua impian yang belum selesai.”
Alya tersenyum. “Semua yang Ayah katakan akan selalu aku ingat.”
Malam itu, mereka makan bersama di ruang tengah. Kini, tidak hanya ada ikan asin dan sambal, tetapi juga sayur bening dan sepiring ayam goreng. Alya memasak semuanya sendiri.Tangannya belum terlalu mahir, tetapi kehangatan yang ia tuang ke dalam masakan itu lebih dari cukup.
Pak Umar menyendok nasi perlahan, lalu menatap anaknyadengan bangga. “Kalau kamu tetap tinggal di sini, bagaimanadengan pekerjaanmu di kota?”
Alya menatap ayahnya. Ia kemudian menjawab pelan, “Aku bisa ajukan cuti panjang. Dan... kalau Ayah izinkan, aku ingin memperluas perpustakaan “Rumah Baca Alya” dan membuat sekolah kecil di desa ini, Sekolah gratis untuk anak-anak nelayan.”
Pak Umar terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, tetapi iasegera menunduk dan mengunyah lagi. “Ayah izinkan. Tapi hanya kalau kamu janji, kamu tetap kejar mimpimu juga.”
Alya mengangguk cepat. “Mimpi besarku selalu berawal dari sini, Yah. Aku hanya pulang untuk merawat akarnya.”
Beberapa bulan kemudian, dermaga tua itu menjadi saksikehidupan baru. Anak-anak berkumpul setiap sore, duduk bersila, mendengarkan cerita dari buku-buku yang dibawa Alya. Mereka tertawa, berimajinasi, menulis, dan menggambar mimpi mereka sendiri.
Di samping rumah kayu itu, berdirilah sebuah bangunan kecil dari papan dan bambu. Di atas pintunya tertulis: “SekolahSenja.”
Pak Umar , meski tubuhnya kini kian lemah, tetap ikut membantu. Ia duduk di sudut, membetulkan meja belajar, membuat rak buku dari kayu bekas, atau sekadar menatapdengan bangga saat Alya mengajar.
Suatu hari, Alya menemukan buku catatan kecil milik ayahnyayang dulu diberikan padanya. Kini buku itu hampir penuh. Di halaman-halaman terakhir, ia membaca tulisan tangan yang mulai goyah:
“Jika suatu hari Ayah sudah tidak bisa duduk di ujungdermaga ini, jangan bersedih. Ayah hanya pulang lebihdulu ke laut yang pernah kita tatap bersama. Tapi kamutahu, bukan? Dermaga ini tetap ada. Tempatmu pulang.”
Alya menutup buku itu dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Ia menatap jendela, melihat siluet seorang lelaki tua duduk di ujung dermaga, seperti biasa. Namun kali ini, ia tidak menoleh ketika dipanggil. Ia diam, menyatu dengan cahaya senja yang membias di permukaan laut.
Beberapa hari yang lalu, Pak Umar berpulang dengan tenang. Ia ditemukan duduk di ujung dermaga, tempat yang paling iacintai. Wajahnya menghadap laut yang sama—laut tempat iamenanam ribuan harapan. Di tangannya tergenggam sebuah fototua: Alya kecil, mengenakan seragam sekolah, tersenyum lebar. Di balik foto itu, tertulis dengan pena yang mulai luntur: “Impian Ayah.”
Pemakamannya berlangsung sederhana. Di bawah rindang pohon kelapa tua yang tumbuh di samping rumah, orang-orang berdatangan. Tak banyak kata, hanya doa dan kenangan untuk lelaki yang tak pernah banyak bicara, tapi tak pernah absen bekerja keras. Alya berdiri di samping nisan sederhana itu, menggenggam bunga kenanga, lalu meletakkannya perlahan.
"Terima kasih, Yah," bisiknya pelan. "Aku akan teruskan semua ini. Rumah ini, sekolah ini, dan mimpi-mimpi yang dulu Ayah rajut bersama angin laut."
Lalu kenangan itu datang, seperti ombak yang perlahanmenyentuh pasir pantai—sunyi, namun membekas.
Tahun-tahun terus berjalan. Sekolah Laut berkembang. Rumah kayu itu kini ramai dikunjungi para relawan dan anak-anak yang bermimpi lebih besar dari batas pandang laut. Di ruang tengah, masih tergantung foto lama—Alya kecil di pelukan Pak Umar, di dermaga, dalam warna jingga senja.
Dan setiap sore, Alya masih duduk di ujung dermaga, seperti dulu. Kakinya menggantung di atas air. Ia membuka buku catatan kecil itu, membacakan kisah untuk anak-anak, tentang laut, tentang impian, dan tentang seorang lelaki tua yang pernahmenunggu di ujung dermaga.
Karena bagi Alya, pulang bukan sekadar kembali ke tempat.Pulang adalah menghidupkan kembali cinta yang ditinggalkan, dan meneruskan mimpi yang belum selesai.