Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nara menarik nafas panjang, menatap wajah Dimas yang sedikit berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Ada garis-garis halus di sudut matanya, tanda waktu yang berjalan tanpa mereka sadari. Namun, sorot matanya masih sama—penuh kehangatan dan sedikit kesedihan.
“Kau masih ingat hari-hari di sekolah dulu?” tanya Dimas, suaranya lembut, seolah mencoba menghidupkan kembali kenangan yang lama terkubur.
Nara tersenyum kecil, mengangguk. “Bagaimana aku bisa lupa? Kita selalu bersama, dari pagi sampai sore, berbagi cerita dan mimpi.”
Dimas menghela napas, matanya seolah menatap ke kejauhan. “Aku sering bertanya-tanya, kenapa kau memilih pergi jauh. Apakah kau merasa semua ini sudah terlalu kecil untukmu?”
“Bukan begitu,” jawab Nara cepat. “Aku hanya ingin mencari jalan, mencoba hal baru, dan… melupakan sesuatu yang berat di sini.”
Keduanya terdiam. Senja semakin merona, memercikkan warna jingga dan merah yang hangat, tapi di antara mereka, ada kesunyian yang terasa berat, penuh arti.
“Aku tahu,” kata Dimas akhirnya. “Tentang luka yang kau sembunyikan. Aku pun punya luka sendiri.”
Nara menatapnya penuh penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi, Dim? Kenapa kau menghilang begitu lama?”
Dimas menghela napas panjang. “Setelah kejadian itu, aku merasa semuanya hancur. Aku meninggalkan kota ini untuk menghindar, tapi ternyata luka itu bukan hilang. Ia mengikuti kemanapun aku pergi.”
Nara mengangguk pelan, hatinya ikut sesak. “Aku juga merasa begitu. Tapi mungkin, saatnya kita berhenti berlari dari masa lalu dan mulai berdamai dengan semuanya.”
Mereka duduk lebih dekat, membiarkan angin sore membelai perlahan. Senja dan luka, dua hal yang selalu beriringan, kini menjadi pengingat bahwa ada cerita yang belum selesai—dan mungkin, bersama, mereka bisa menulis akhir yang baru.
Malam mulai merayap saat Nara dan Dimas masih duduk di bangku taman itu. Lampu jalan yang mulai menyala menambah kesan hangat sekaligus sunyi.
“Dim, aku masih ingat betul malam itu,” kata Nara pelan, matanya menatap kosong ke arah jalan yang lengang. “Ketika semuanya berubah. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti, dan aku rasa itu yang membuat aku pergi jauh.”
Dimas mengangguk, wajahnya muram. “Aku tahu. Aku pun kehilangan arah, merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa saat itu.”
“Luka kita sama-sama dalam, ya?” bisik Nara. “Tapi aku percaya, kalau kita terus memendamnya, kita hanya akan semakin tenggelam.”
Dimas menoleh, menatap Nara dengan mata penuh harap. “Apa kau yakin kita bisa mulai lagi? Meski semua kenangan itu berat?”
Nara tersenyum tipis. “Kalau bersama, aku yakin. Kadang, yang kita butuhkan bukan lari dari masa lalu, tapi berdiri bersama menghadapi masa depan.”
Dimas menggenggam tangan Nara erat. “Aku ingin mencoba. Tidak hanya untuk diriku, tapi juga untukmu.”
Langit malam kini penuh bintang, seolah memberi harapan baru untuk dua jiwa yang berani berdamai dengan luka.
Sudah hampir dua minggu sejak Nara dan Dimas memutuskan untuk saling menyembuhkan bersama. Mereka tidak menyebutnya "balikan", tidak juga "memulai lagi". Mereka sepakat: ini adalah perjalanan baru. Tanpa label, tanpa tekanan. Hanya dua orang yang saling memahami luka masing-masing.
Malam itu, mereka duduk di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Tempat yang tenang, dengan alunan musik jazz yang mengalir pelan. Dimas mengaduk kopinya perlahan, sementara Nara mencatat sesuatu di bukunya.
"Masih suka nulis, ya?" tanya Dimas, tersenyum melihat coretan tangan Nara.
Nara mengangguk. "Menulis itu tempatku sembunyi dan sembuh. Tapi sekarang... mungkin aku nggak perlu sembunyi lagi."
Dimas menatapnya. "Karena aku di sini?"
Nara mengangkat alis. "Sedikit sombong, tapi ya... karena kamu juga."
Hening sebentar. Lalu tawa kecil pecah di antara mereka. Tawa yang dulu pernah hilang, kini kembali.
"Nar," ucap Dimas tiba-tiba, serius, "kalau nanti, luka lama kita kembali muncul, kamu akan tetap tinggal?"
Nara menutup bukunya perlahan. "Luka itu seperti senja, Dim. Selalu datang, tapi juga selalu pergi. Dan aku ingin tetap ada, selama kamu juga tetap bertahan."
Dimas terdiam. Lalu ia menjawab pelan, "Aku nggak akan ke mana-mana."
Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Hanya duduk berdua, menatap keluar jendela, melihat gerimis jatuh seperti kenangan yang perlahan reda.
Musim berganti. Hujan reda lebih lama, matahari mulai sering muncul di balik awan. Tapi luka, seperti yang pernah dikatakan Nara, adalah senja—selalu datang, selalu pergi, tak pernah benar-benar hilang.
Suatu pagi, Nara berjalan sendiri ke taman kota. Di tangannya ada sebuah buku catatan. Bukan buku yang biasa ia pakai untuk menulis puisi, tapi sebuah jurnal—tempat ia menyimpan fragmen hidupnya bersama Dimas. Ia duduk di bangku yang biasa mereka tempati, membuka halaman terakhir, dan menulis:
"Ada hari-hari di mana aku masih merasa takut. Tapi kemudian, aku ingat... bahwa aku sudah tidak sendiri. Bahwa luka tidak akan lagi kupeluk sendirian. Bahwa dalam diam, dalam tawa kecil, dan dalam keheningan kopi pagi, aku menemukan rumah. Dan rumah itu adalah kamu."
Suara langkah menghampirinya. Nara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
"Kamu nulis tentang aku, ya?" suara Dimas setengah menggoda.
"Sedikit," sahut Nara, menutup jurnalnya dan tersenyum kecil. "Dan sedikit tentang aku juga."
Mereka duduk berdampingan. Tidak ada genggaman tangan, tidak ada janji manis. Tapi ada kehadiran. Ada rasa cukup.
Dimas mengeluarkan dua tiket dari saku jaketnya. "Pameran seni minggu depan. Aku tahu kamu suka. Mau ikut?"
Nara menatapnya. "Kamu masih ingat?"
"Aku lupa banyak hal, Nar. Tapi hal-hal tentang kamu... rasanya otakku menyimpannya dengan sangat rapi."
Ia tertawa pelan, dan Nara menunduk, menyembunyikan senyum yang tumbuh hangat.
Senja hari itu, mereka tidak mengatakan banyak. Tapi Nara tahu: luka itu masih ada, tapi kini tak lagi menakutkan. Karena bersama Dimas, ia belajar bahwa tidak semua hal yang patah harus dibuang. Beberapa cukup diperbaiki, dengan sabar, dengan waktu, dan dengan cinta yang tenang.
Sudah satu tahun berlalu sejak Nara dan Dimas memutuskan untuk saling memberi ruang, namun tidak lagi berpisah. Bukan karena mereka ingin kembali ke masa lalu, melainkan karena mereka percaya bahwa masa lalu bisa menjadi fondasi—asal tidak dijadikan beban.
Kini, mereka menjalani hubungan yang baru. Tidak tergesa, tidak penuh ekspektasi, tapi penuh pengertian. Mereka menyebutnya “berteman dengan versi baru dari masing-masing.”
Di dinding kamar Nara tergantung sebuah foto. Foto itu diambil Dimas diam-diam, ketika Nara sedang mencoret-coret catatan di meja kafe favorit mereka. Sinar matahari sore jatuh di rambutnya, dan ia tampak tenang. Di bawah foto itu, tertulis:
"Kamu adalah senja yang tidak pernah aku kejar. Tapi ketika aku berhenti berlari, kamu datang sendiri."
Nara tersenyum tiap kali melihat foto itu. Ia mengerti kini, bahwa luka tidak selalu harus disembuhkan dengan cepat. Terkadang, ia hanya butuh dimengerti. Diterima. Dan Dimas, dengan segala kekacauannya, telah belajar untuk tidak menjadi jawaban, tapi menjadi tempat beristirahat.
Hari ini, Nara berjalan sendirian di jalan yang dulu sering mereka lalui berdua. Pohon-pohon kamboja masih berdiri tenang, dan angin sore masih membawa aroma yang sama. Ia berhenti di toko buku kecil di pojok jalan. Di sana, ia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam.
Sebuah buku baru dipajang di rak depan: Senja dan Luka oleh Dimas Arasy.
Ia meraihnya, membalik-balik halaman, dan di halaman pertama, ada sebuah dedikasi:
"Untuk yang mengajari aku bahwa menerima luka adalah bentuk tertinggi dari mencintai."
Nara menahan napas. Di bagian tengah buku itu, ia membaca cerita-cerita yang tak asing—fragmen dari percakapan mereka, puisi-puisi yang ia tulis di malam yang dingin, dan potongan memori yang dulu sempat ia kira akan hilang begitu saja. Tapi Dimas telah menjahit semuanya dalam kalimat-kalimat sederhana yang menyentuh.
Ia membeli buku itu, lalu berjalan ke kafe tua di pinggir taman. Tempat mereka pertama kali bertemu.
Dan di sana, Dimas sudah menunggunya.
“Kamu tahu?” kata Nara, duduk tanpa bicara panjang. “Kita ini... bukan cerita yang sempurna. Tapi aku suka cara kamu menuliskannya.”
Dimas menoleh padanya, senyum lembut di wajahnya. “Karena kamu membuat luka terasa layak untuk diingat.”
Lalu mereka duduk lama dalam diam. Tak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Dunia bisa saja berubah, orang-orang bisa saja datang dan pergi, tapi ada yang tetap: bahwa mereka adalah dua orang yang pernah hancur dan memilih saling menampung reruntuhannya, bukan untuk membangunnya kembali dengan tergesa, tapi untuk membiarkannya tumbuh perlahan.
Nara mengeluarkan jurnal lamanya. Ia membolak-balik halaman, lalu menambahkan satu catatan baru di akhir.
"Luka ini, akhirnya, tidak lagi sakit. Ia hanya mengingatkan bahwa aku pernah hidup. Dan pernah sangat mencintai."
Di luar, senja merayap perlahan. Warna jingga membelah langit. Dan di antara warna-warna itu, mereka duduk, dua orang yang tahu bahwa akhir tidak selalu berarti selesai.
Karena dalam senja, selalu ada harapan akan pagi yang baru.
Angin membawa suara anak-anak kecil yang bermain bola di taman. Tawa mereka bergema, membaur dengan suara dedaunan yang saling bersentuhan. Di antara riuh rendah itu, Nara dan Dimas masih duduk, tak saling menyentuh, tapi hati mereka saling merapat dalam keheningan yang tak canggung.
"Aku pikir dulu kita harus selalu punya akhir yang bahagia,” kata Nara, matanya menerawang ke arah langit. “Tapi ternyata... cukup tahu kalau kita baik-baik saja. Meski jalannya tidak selalu bersama.”
Dimas mengangguk. “Aku pun dulu berpikir, kalau orang saling mencintai, maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata, mencintai saja kadang tak cukup. Harus ada keberanian untuk berubah. Untuk bertahan, tanpa saling menyakiti.”
Sunyi lagi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan, melainkan sunyi yang menyembuhkan.
Nara membuka halaman terakhir dari buku Senja dan Luka. Di sana, ia menemukan sebuah surat pendek yang ditulis tangan, diselipkan oleh Dimas.
“Nara,
Aku tak tahu apakah kamu masih percaya bahwa kita bisa baik-baik saja. Tapi aku ingin kamu tahu: menuliskan kita adalah caraku menebus yang pernah hilang. Bukan untuk memaksa kembali, tapi agar kenanganmu tidak hanya hidup di pikiranku.
Aku menuliskan kita agar kamu tahu, kamu pernah menjadi rumah. Dan rumah yang baik tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya kadang berpindah bentuk.
– D”
Matanya panas. Tapi bukan tangis yang jatuh. Hanya kelegaan, bahwa sesuatu yang dulu begitu menyakitkan, kini bisa dilihat dengan lapang dada.
“Kita seperti senja, ya,” gumam Nara.
“Kenapa?” tanya Dimas.
“Karena tak pernah benar-benar utuh. Tapi tetap dinanti,” jawabnya, lalu tersenyum.
Sebelum mereka beranjak, Nara berkata pelan, “Terima kasih karena sudah menyelamatkanku—dari aku yang dulu.”
Dimas menatapnya dalam-dalam, “Dan kamu menyelamatkanku dari aku yang terlalu keras pada diri sendiri.”
Hari mulai beranjak malam. Lampu-lampu taman menyala satu per satu. Mereka berdiri, berjalan bersama keluar dari kafe, menyeberangi taman yang basah oleh embun. Tak ada janji, tak ada sumpah untuk kembali. Hanya saling tahu bahwa kisah ini tak sia-sia.
Karena luka yang mereka bawa tak lagi terasa perih, hanya menjadi bagian dari perjalanan. Sebuah pengingat bahwa manusia bisa hancur—tapi juga bisa utuh kembali. Perlahan. Dan tidak sendirian.
Di bawah langit yang mulai kelam, langkah mereka menjauh. Tapi hati mereka, tahu ke mana arah pulang.
TAMAT.