Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Senandung Rindu di Lebaran yang Kelabu
2
Suka
88
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Udara subuh ini masih terasa dingin, namun entah kenapa terasa lebih hampa dari biasanya. Tak ada riuh persiapan lebaran yang biasa mengisi rumahku. Hanya ada suara adzan subuh yang memecah kesunyian, dan diiringi desah nafasku sendiri. Hari ini adalah Idul Fitri, hari kemenangan yang selalu kubayangkan penuh tawa dan aroma masakan khas Mbah. Tapi, tahun ini berbeda. Hanya ada gumpalan kesunyian yang mengganjal, seolah mendung kelabu menggantung di langit sanubariku. Tahun ini adalah lebaran pertama tanpa sosok Mbah yang Aku cintai. Mbah Tutik namanya, tapi Aku selalu memanggilnya dengan sebutan Mbah puteri.

Aku menatap cermin, mencoba menemukan senyum di wajahku, namun yang kutemukan hanya sepasang mata yang sedikit sembab. Semalaman aku tak bisa tidur nyenyak. Bayangan Mbah puteri terus menari-nari di pelupuk mata. Senyumnya, pelukannya, suaranya yang lembut memanggil namaku, semua terasa begitu nyata hingga aku harus berjuang untuk meyakinkan diri bahwa beliau memang sudah pergi.

"Nak, ayo sholat Ied," suara Ibu membuyarkan lamunanku. Suara Ibu pun terdengar lebih pelan dari biasanya. Aku tahu, kehilangan Mbah juga memberikan pukulan berat bagi beliau. Mbah adalah Ibu bagi Ibu, dan ikatan mereka sangatlah kuat.

Setiap pagi Idul Fitri setelah shalat Ied, Aku, Ayah dan Ibu pergi mengunjungi rumah Mbah. Rumah Mbah puteri yang hanya berjarak lima belas menit perjalanan mobil dari rumahku selalu menjadi tujuan untuk yang kami kunjungi. Di perjalanan menuju rumah Mbah, Aku tak sabar ingin mencium tangan keriput Mbah puteri dan merasakan pelukan hangat mbah yang begitu menenangkan. Tapi, semua itu hanya tinggal kenangan.

Di dalam mobil, Ibuku menghadap ke belakang dan melihatku sedang melamun menatap jendela mobil seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang begitu berat. “Viona, kenapa melamun sayang? Kamu memikirkan apa Nak? Suaranya Bu Anik, Ibuku membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Bu. Vio hanya ingin menikmati pemandangan di sepanjang jalan saja. Karena pemandangan hari ini suasananya berbeda dari hari-hari biasa.”

Ibuku menghela napas panjang. Ternyata, Ibuku tahu apa yang sedang Aku pikirkan. “Viona merindukan Mbah puteri ya?” tanya Ibuku dengan suaranya yang lembut.

Aku mengangguk, kali ini air mataku tak tertahankan. Bulir-bulir bening itu muncul perlahan di pipiku, membasahi kerudung pasmina yang Aku kenakan. “Rindu sekali, Bu. Rindu suasana lebaran bersama Mbah. Kalau lebaran seperti ini Mbah selalu membuatkan opor ayam dan ketupat paling enak, lalu kita makan bersama di rumah Mbah sambil tertawa bercanda gurau.” Suaraku bergetar.

“Kamu harus ingat Vio, Mbah selalu bilang, hari lebaran Idul Fitri adalah hari kemenangan. Kemenangan setelah sebulan penuh berjuang menahan hawa nafsu. Makanya kita harus bersyukur dan merayakannya dengan suka cita.” Ucap Ibuku, mencoba menenangkan.

“Iya sayang, kamu jangan sedih lagi ya. Sebelum kita ke rumah Mbah, sekarang kita pergi ziarah ke makam Mbah supaya bisa mengobati rasa rindumu.” Sahut Ayahku yang juga mencoba mencairkan suasana sambil menyetir mobilnya.

Aku tersenyum getir dan mengangguk. “Iyaa Ayah Ibu, aku sudah tidak sedih lagi.” Kataku bohong sambil mengusap air mataku.

*****

Setelah kami berziarah ke makam Mbah, beberapa menit kemudian kami tiba di rumah Mbah. Ibu mengeluarkan kunci cadangan dan membuka pintu gerbang rumah Mbah. Rumah ini berdiri tegak, sama seperti dulu. Cat gerbangnya masih berwarna hitam dengan sedikit berkarat di beberapa bagian. Halaman rumah yang dulu selalu bersih, kini dipenuhi oleh daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon rambutan. Tak ada suara musik jadul kesukaan Mbah, tak ada suara sambutan Mbah ketika aku datang ke rumah ini, tak ada aroma masakan Mbah, dan tak ada lagi ucapan "Selamat Idul Fitri cucuku yang cantik," yang selalu membuat hatiku hangat. Saat ini hanya kesunyian yang Aku rasakan.

Aku melangkah masuk, menyusuri ruang tengah yang kini kosong. Kursi kayu tempat Mbah biasa minum teh hangat dan mendengarkan musik, meja kecil di sampingnya yang dulunya selalu dipenuhi cemilan dan teko teh, kini hanya beralaskan taplak renda yang sedikit berdebu. Mataku berkaca-kaca. Aku membayangkan, Mbah menawarkan opor ayam buatannya sambil duduk di kursi itu dengan senyuman yang begitu hangat dan menenangkan.

“Mbah....” bisikku lirih, air mata di pipiku mulai menetes lagi.

Ibu memelukku erat. “Mbah pasti senang melihat kita datang, Nak. Dia selalu ada di hati kita.”

Kami berdiri di ruangan ini untuk beberapa saat, tenggelam dalam keheningan yang menyelimuti. Ibu tampak tegar, tapi Aku tahu, rindu itu juga melilit hatinya. Mbah adalah pilar keluarga, sosok yang selalu mengayomi.

Ibu berjalan ke dapur dan memanggilku. "Vio, lihat ini." Ia menunjuk ke arah meja makan. Di sana, ada sebuah toples kue kering yang biasa diisi jajan lebaran oleh Mbah puteri.

“Dulu toples ini selalu terisi penuh kue kering buatan Mbah, tapi sekarang toples ini kosong bahkan tak tersentuh sama sekali.” Ucapku pada Ibu. Mbah selalu membuat kue kering dalam jumlah banyak, jauh melebihi kebutuhan kami. "Biar cucu-cucuku puas makan," katanya dulu.

Aku berjalan menyusuri dapur, mataku menyapu setiap sudut. Dapur ini adalah jantung rumah Mbah. Beliau akan bergerak cekatan di sini, mengaduk adonan, memotong sayuran, dan sesekali bersenandung pelan. Sekarang, kompornya dingin, wajannya tersusun rapi di rak, dan tak ada lagi asap mengepul dari tungku. Hanya ada kesunyian.

“Vio, Ibu ke berugak ya. Mau nemenin Ayah kamu duduk, kasihan Ayah kamu duduk sendirian di sana.” Ibu pergi dan meninggalkanku sendirian di dapur.

Aku melangkah lagi, menuju kamar Mbah puteri. Jantungku berdebar pelan. Pintu kayu jati itu sedikit terbuka. “Assalammu’alaikum....” ucapku sambil membuka pintu kamar itu. Di dalamnya, ada tempat tidur dengan seprai bunga-bunga kesukaan Mbah masih tergelar rapi. Foto Mbah yang tersenyum bersama cucu-cucunya masih tergantung di dinding samping tempat tidur.

Aku mendekat, mengambil foto dari dinding itu dan perlahan mengusap bingkai foto itu. Mata Mbah di foto seolah menatapku penuh kasih. “Mbah, Viona rindu sekali, rindu pelukan Mbah, rindu senyum Mbah dan rindu masakan Mbah.” bisikku pelan dengan suara yang bergetar. Ingat-ingatanku kemudian bermunculan kembali.

Dulu, setiap Idul Fitri, Mbah selalu punya cerita baru. Kadang cerita lucu tentang tetangga, kadang nasihat bijak yang diselipkan dengan candaan. Mbah puteri tidak pernah pelit ke cucu-cucunya. Di hari lebaran seperti ini, Mbah puteri selalu memberikan cucunya THR yang nominal uangnya selalu besar.

“Ini buat kamu ya Nduk, uangnya ditabung, jangan langsung dihabiskan.” Mbah selalu berkata begitu, sambil mengusap lembut kepalaku.

Uang itu selalu terasa lebih berharga daripada uang saku yang diberikan Ayah dan Ibu meskipun nominalnya tidak jauh berbeda. Mungkin karena ada sentuhan magis dari tangan Mbah, atau mungkin karena dibaliknya tersimpan harapan dan doa untuk cucunya.

Tiba-tiba pandanganku beralih pada sebuah lemari yang berada di samping tempat tidur. Aku membukanya. Di dalamnya, hanya ada beberapa baju yang belum disumbangkan oleh Ibu. Aku mencium baju Mbah, wangi parfum laundry seolah-olah membawaku ke gelombang kerinduan yang begitu kuat. Aku tahu, Mbah tidak akan kembali. Tapi kenangan, wanginya, dan nasihat dari Mbah akan selalu ku ingat.

“Viona, sudah ya merenungnya. Ayo duduk di berugak bersama Ayah dan Ibu.” Suara Ibu terdengar dari ambang pintu. Aku mengangguk, melipat kembali baju Mbah dan meletaknya lagi ke dalam lemari.

*****

Aku meyusuli Ayah Ibu dan ikut duduk bersama mereka di berugak halaman rumah Mbah. Di berugak ini juga banyak kenang-kenangan bersama Mbah. Di sini Aku sering duduk bersama Mbah, sambil berbagi cerita dengannya.

“Vio, Ibu dan Ayah lihat akhir-akhir ini kamu sering merenung dan menyendiri ya? Kenapa Nak? Apa karena kamu belum mengikhlaskan kepergian Mbahmu ya? Tadi kan kita sudah pergi berziarah ke makam Mbah.” Ibu menegur lagi.

Aku tersentak dan menghela napas. “Maaf, Bu. Bukannya Vio belum mengikhlaskan kepergian Mbah, tapi Vio.... masih selalu kangen Mbah.”

Ibu menatapku dengan tatapan sendu. “Ibu tahu, Nak. Ibu dan Ayah juga kangen Mbah.” Ibu mengusap lembut kepalaku. Ramadhan dan lebaran tahun ini terasa berbeda sekali tanpa Mbah, ya?”

Aku menggangguk pelan. Hari Idul Fitri di rumah Mbah setelah kepergiannya, rumah ini terasa begitu sepi. Tidak ada lagi sanak saudara yang sering berkumpul di sini. Biasanya di hari lebaran banyak sanak saudara yang bersilaturahmi ke sini, tak hanya sanak saudara saja, tapi tetangga Mbah juga datang bersilaturahmi ke rumah.

Ayah datang mendekat, merangkul bahuku. “Memang begitu, Nak. Ada masa di mana kita harus melepaskan. Tapi melepaskan bukan berarti melupakan. Mbah pasti bangga melihatmu sekarang, sayang. Kamu sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan sudah lebih mandiri.”

Aku menunduk. “Tapi Viona belum sempat membahagiakan Mbah, Yah, Bu. Vio ingat sekali di berugak ini Mbah pernah bilang kalau Mbah pengen liat Vio jadi guru, Mbah bilang ke Vio pengen tetap sehat biar bisa lihat Vio menikah.” Ucapku sambil menangis gemetar.

Ibu tersenyum. “Mbah bahagia Nak, melihatmu tumbuh jadi gadis cantik yang baik dan pintar, itu sudah kebahagiaan terbesar baginya.”

“Iya sayang, Mbah puteri sekarang sudah bahagia di surganya Allah. Mbah pasti tersenyum melihat kita di sini.” Lirih Ibuku dengan suara yang lebih mantap untuk meyakinkanku.

Meski begitu, hatiku tetap dirundung kesedihan. Aku rindu mencium pipi keriput Mbah ketika aku datang ke rumah ini. Mbah selalu berpesan kepadaku, tetaplah menjadi orang yang baik dan rendah hati. Mbah selalu bilang, “Hidup itu seperti pohon, Nduk. Semakin banyak kamu memberi, semakin lebat pula buah yang akan kamu petik.” Begitulah kira-kira nasihat yang pernah Mbah beri kepadaku.

Mbah, Aku ikhlas tapi Aku rindu. Bisakah kau datang dalam mimpiku? Sekali ini saja untuk memeluk dan mengusap rambut halusku di saat cucumu tertidur lelap. Aku ingin tetap bersenandung dengan kerinduan ini, karena rindu adalah pembuktian bahwa cinta itu abadi.

~Selesai~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Komik
What Is Wrong With My Bodyguard?!
Ann Arbia
Cerpen
Senandung Rindu di Lebaran yang Kelabu
Vindiar Pitaloka
Novel
Mr. Rahasia
Septia Zahira
Novel
Women in the Crocheting Club
Ira Karunia
Skrip Film
Second Chance.apk
dwi mojuk
Novel
Bronze
ALYRA & SYRA ~ Berbeda itu menguatkan kita
Rellator RA
Cerpen
Bronze
Senja Dan Bulan Sabit (part 2)
muhamad zaid
Novel
Perjalan hidup Rindu
nadila
Flash
KAMI SEUSIA
Rara Liani
Cerpen
Bronze
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Phoebe
rintan puspita sari
Novel
Bronze
Aina
aas asmelia
Novel
Deadline dan Perasaan
Penulis N
Flash
Bronze
Hyacinth
Bronzeapple
Novel
Story Of: Asa 2002
Nadia Mu'abidah
Rekomendasi
Cerpen
Senandung Rindu di Lebaran yang Kelabu
Vindiar Pitaloka
Cerpen
Senyap di Balik Tirai Kopi
Vindiar Pitaloka