Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara biola itu pecah di udara malam, meninggalkan jejak melankolia yang seolah menempel di dinding ruangan.
Jemariku gemetar saat menarik busur di atas senar, bukan karena kurang latihan, tapi karena mataku tak mampu melepaskan diri dari sosok pria yang duduk di kursi depan. Arthur — menyanyikan kompetisi. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, tapi matanya… matanya seperti jurang gelap yang mememerangkapku sejak pertama kali bertemu.
Dan di tengah riak nada yang kumainkan, aku menyadari: aku sedang berpartisipasi dalam sesuatu yang lebih berbahaya daripada sekadar musik.
Aku pertama kali bertemu Arthur di ruang latihan teater lama, sebuah bangunan yang dibiarkan setengah runtuh di pinggiran kota. Dia menulis komposisi di dinding dengan kapur, sementara cahaya lampu redup membuat bayangannya tampak seperti monster yang membungkuk di atas mangsanya.
“Mainkan,” katanya waktu itu, tanpa pembukaan, tanpa memperkenalkan nama. Hanya sebagian nada, beberapa baris notasi yang belum selesai.
Menurutku. Dan entah bagaimana… musik itu terasa hidup. Seolah-olah ia menggeliat, bernafas, lalu mencengkeram jantungku. Sejak saat itu, aku tahu aku tidak bisa diubah darinya.
Arthur tidak sekadar menulis musik. Ia menciptakan dunia. Dan aku—pemain kecil yang tak punya keberanian untuk menolak—rela menjadi bagian dari obsesi itu.
Namun aku tidak pernah benar-benar memahami dari mana datangnya ide-ide briliannya. Sampai aku mulai melihat hal-hal yang tak seharusnya kulihat.
Malam itu, aku datang lebih awal. Aku mendengar suara-suara dari ruangan bawah tanah teater. Suara tercekik, berkata tertahan, lalu… hening. Lalu disusul dengan melodi yang dimainkan Arthur di atas piano, melodi yang begitu memikat, sekaligus menakutkan.
Aku berdiri di balik pintu, tubuhku bergetar. Ketika akhirnya dia keluar, wajah dan tangannya bersih, rapi—tapi matanya… matanya bersinar dengan kilau yang tidak manusiawi.
“Apa yang kamu jelajahi?” tanyanya, nada suaranya datar, namun cukup untuk membingungkan.
Aku menggeleng, terlalu takut untuk mengakui apa yang baru saja kudengar. Ia hanya tersenyum samar, lalu mengulurkan tangannya. “Besok kita akan menciptakan sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya. Kau percaya padaku?”
Dan aku… tanpa tahu kenapa, hanya mampu mengangguk. Karena di balik rasa takut, ada cinta. Aku mencintainya. Sebuah cinta yang seperti racun: memabukkan sekaligus mematikan.
Hari-hari setelahnya berjalan seperti kabut. Arthur semakin sering memintaku memainkan biola di ruangan itu—ruang gelap yang berbau besi, darah, dan lilin yang terbakar. Dia selalu menyuruhku menutup mata, lalu mendengarkan melodi yang lahir dari “penderitaan.”
“Musik sejati bukan sekedar harmoni, Melina,” katanya suatu malam, memanggilku dengan suara rendah yang hangat. “Musik lahir dari luka, tangisan, dan pengorbanan. Kau harus setia pada itu, jika ingin benar-benar abadi.”
Saya ingin membantah. Saya ingin berteriak bahwa musik seharusnya indah tanpa harus menghancurkan orang lain. Tapi saat mulainya menembusku, aku hanya bisa diam, terseret semakin jauh. Aku mengatakan pada diriku sendiri: ini demi cinta. Demi kesetiaan.
Dan begitulah aku sampai di malam ini. Malam di mana busur biolaku menari sementara di sudut ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan mulut disumpal kain. Matanya membelalak, tubuhnya menggeliat sia-sia.
Arthur berjalan mengelilinginya. Tenang. Tertib. Seakan sedang memimpin orkestra. "Dengar, Melina. Jeritannya memiliki nada dasar yang sempurna. Aku bisa mendengarnya. Kau juga bisa kan?"
Aku berhenti memainkan biola. Tanganku berkeringat. “Arthur…” suaraku parau, hampir pecah. “Ini sudah terlalu jauh.”
Dia mendekat, jemarinya menyentuh wajahku dengan lembut—berbanding terbalik dengan kengerian yang baru saja kulihat. "Terlalu jauh? Tidak ada 'terlalu jauh' dalam seni. Ada kau, ada aku, dan ada musik. Itu saja. Kau ingin bertahan padaku?"
Aku menunduk, menahan air mata. Kata “tidak” menggantung di bibirku, tapi yang keluar hanyalah bisikan lirih: “Aku… aku mencintaimu.”
Dia tersenyum, dan sejenak aku merasa lega. Tapi senyuman itu lebih mirip dengan pisau yang menggores halus, tak terlihat, tapi menyakitkan.
Malam-malam berikutnya menjadi neraka yang sunyi. Aku mulai kehilangan tidur. Setiap kali menutup mata, aku mendengar melodi-melodi Arthur bercampur dengan teriakan samar orang-orang yang menghilang entah kemana.
Dan kesetiaanku mulai retak.
Aku bertanya: apa artinya tetap setia, jika kesetiaan itu berarti ikut menenggelamkan diriku dalam lumpur dosa? Tapi bersamaan dengan itu, aku tahu: meninggalkan Arthur juga berarti kehilangan segalanya. Musikku, hidupku… cintaku.
Dia sering menatapku dengan sorot mata penuh keyakinan, seolah percaya bahwa aku akan selalu ada, apapun yang terjadi. “Kau milikku, Melina,” katanya suatu kali. “Bukan dunia, bukan orang lain, hanya aku.”
Dan aku… aku tetap diam.
Puncaknya datang ketika ia mengajakku memainkan sonata terakhir—karya yang ia klaim sebagai puncak dari seluruh hidupnya. “Untuk menciptakan ini,” ujarnya, “aku harus mengorbankan satu jiwa terakhir. Tapi setelah itu… kita akan abadi.”
Orang itu—korban terakhir—diikat di depan kami. Seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang. Dia menangis, suaranya serak, matanya memohon padaku.
Tanganku gemetar memegang biola. Aku tak bisa lagi berpura-pura. Hatiku terasa robek: di satu sisi, cinta pada Arthur yang sudah merasuk begitu dalam; di sisi lain, rasa kemanusiaan yang masih tersisa di dalam diriku.
Arthur menatapku, penuh keyakinan. “Mainkan, Melina. Buktikan kesetiaanmu.
Dan di titik itu, aku tahu: kesetiaanku akan membunuhku, atau menyelamatkan seseorang.
Aku mengangkat biola, menutup mata, lalu mulai menarik bow. Lagu itu indah, tapi setiap nadanya terasa seperti jeritan. Arthur tersenyum puas, sibuk menuliskan notasi di partitur. Perhatiannya teralihkan, hanya sesaat.
Dan di detik itu, aku membuat keputusan.
Aku menghentikan permainan, lalu dengan gerakan tiba-tiba, aku membalikkan biolaku, menghantamkan kayu keras itu ke kepalanya.
Arthur terhuyung, darah menetes di pelipisnya. Matanya memandangku tak percaya, bukan karena luka, tapi karena pengkhianatan. “Melina…” suaranya pecah, rapuh. “Kau berkhianat?”
Air mataku jatuh. “Bukan pengkhianatan, Arthur. Justru karena aku mencintaimu… aku tak bisa membiarkanmu terus menghancurkan dirimu sendiri.”
Dia limbung, terjatuh, bibirnya masih tersungging senyum yang aneh, setengah getir, setengah bangga. Lalu, hening.
Aku berlari, melepas ikatan wanita itu. Dia menangis histeris, memelukku, lalu kabur ke pintu keluar. Aku dibiarkan sendiri, berdiri di tengah ruangan yang sunyi, hanya menyisakan tubuh Arthur yang terbaring di lantai.
Aku menatapnya lama.
Ada bagian dari diriku yang hancur. Bagaimana tidak? Aku telah membunuh satu-satunya pria yang kucintai, demi sesuatu yang mungkin disebut kebenaran.
Biolaku masih kugenggam, retak tapi utuh. Dan aku tahu, setiap kali aku memainkannya lagi, aku akan selalu mendengar suaranya. Mata gelap itu. Senyum samar itu. Kata-katanya tentang kesetiaan.
Hari-hari berikutnya kupenuhi dengan diam. Aku berhenti tampil, berhenti mencari panggung. Biolaku kusimpan. Tapi musik Arthur masih hidup di dalam kepalaku—melodi-melodi ganjil yang lahir dari obsesi dan luka.
Kadang aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar membebaskan diriku? Atau justru aku akan selamanya menjadi tawanan cintanya, meski tubuhnya sudah tak ada?
Kesetiaan, ternyata, bukanlah tentang memilih tetap atau pergi. Kesetiaan adalah luka yang tidak pernah sembuh: cinta yang kita pertahankan bahkan ketika harus memutuskan untuk menghancurkannya.
Dan aku, sampai mati nanti, akan selalu setia pada satu hal: ingatan tentang Arthur, komposer yang kucintai sekaligus kubunuh.