Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Barangkali, dalam diam yang tak pernah kita pahami, semesta telah menulis satu nama di dalam dada kita sejak lama. Bukan untuk langsung ditemukan, tapi untuk perlahan dikenali, di waktu yang paling tidak kita sangka.
Seperti dua garis yang berjalan sendiri-sendiri, melewati tempat yang sama, waktu yang nyaris serupa, tapi tak pernah saling lihat, sampai akhirnya semesta menyatukan langkah mereka.
Lise tidak tahu bahwa malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang telah lama menunggunya. Ia hanya ingin duduk sendiri di sudut kafe yang redup, bersama secangkir kopi dan pikirannya yang penuh suara. Tapi seperti biasanya, semesta punya cara lain.
Lise tak pernah suka suasana kafe yang terlalu riuh. Namun malam itu, ia duduk di dekat jendela, menatap gerimis yang seperti benang-benang cahaya dijahitkan ke tubuh malam. Cangkir kopinya sudah setengah dingin. Di seberang meja, seorang pria sedang membaca buku tebal dengan cover polos seperti dunia di dalam pikirannya terlalu ramai untuk diusik.
“Maaf, ini mejanya masih kosong, kan?” suara pria itu terdengar beberapa menit sebelumnya.
“Iya,” jawab Lise singkat. Tidak tahu kenapa, ia tak menolak. Padahal biasanya, ia akan memilih sudut paling jauh dari siapa pun.
Pria itu, Aze—tidak banyak bicara. Ia membaca, menandai halaman, lalu diam, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Mungkin seseorang. Mungkin jawaban dari semesta.
Lise melirik sekali lagi. Aze tidak terasa seperti orang asing. Tapi ia yakin, mereka belum pernah berkenalan.
Malam itu, tanpa banyak kata, mereka menghabiskan waktu seperti dua pejalan yang kebetulan duduk di halte yang sama, menunggu bus yang berbeda.
Tapi semesta kadang tak sepatuh itu.
Beberapa minggu setelahnya, mereka kembali bertemu. Tanpa rencana. Tanpa janji. Di toko buku, di rak fiksi lokal. Tangannya dan tangan Aze menyentuh buku yang sama, novel tipis bersampul biru dengan kalimat pembuka yang terkenal: “Semua yang ditulis dengan hati akan menemukan hati yang membacanya.”
Mereka saling menatap. Tersenyum canggung. Dunia seolah sedang membuka halaman pertama dari kisah yang belum selesai ditulis.
“Kayaknya kita sering ketemu, ya?” ujar Aze.
“Atau mungkin semestanya memang nyuruh kita ketemu,” balas Lise sambil mengambil buku lain, pura-pura acuh. Tapi di dadanya, detak berkejaran seperti anak-anak bermain layangan di sore hari.
Setelah itu, semuanya mengalir seperti sungai yang akhirnya menemukan lekukannya. Mereka bertemu lagi, dan lagi. Makan malam di warung yang lampunya redup. Jalan kaki di trotoar yang basah oleh hujan kemarin. Bicara tentang buku, tentang film, tentang patah hati, dan harapan yang belum sempat dijemput.
Aze bercerita tentang ibunya yang senang menyimpan foto-foto usang di kotak kayu. Tentang suara hujan yang membuatnya merasa damai. Tentang keyakinannya bahwa cinta bukan hal yang datang seperti kembang api, tapi seperti lilin kecil yang dinyalakan setiap hari.
Lise mendengarnya seperti membaca puisi. Setiap kalimat Aze mengalun pelan, seperti nada yang tak pernah memaksa untuk didengar, tapi diam-diam tinggal di kepala.
Suatu senja yang hangat, Lise mengajak Aze ke tempat favoritnya: taman kecil di belakang museum tua. Tempat yang sepi, sunyi, dan penuh kenangan yang tak jelas milik siapa. Bangku-bangkunya dikelilingi pohon besar, dan udara di sana seperti tidak pernah terburu-buru.
“Dulu, waktu kecil aku pernah ke sini,” ujar Lise. “Tapi aku lupa dengan siapa. Yang kuingat cuma suara musik dari panggung kecil itu, dan seorang anak laki-laki duduk sendirian di bawah pohon. Aku ngasih dia balon, tapi dia malah nangis.”
Aze terdiam. Ia menatap panggung kecil yang sudah tua dan lapuk, lalu berkata lirih, “Aku juga pernah ke sini. Umurku tujuh. Aku takut naik ke panggung karena ayahku tak bisa datang. Ada anak perempuan yang ngasih balon warna merah. Tapi aku malah nangis.”
Lise menoleh. Suara di dadanya seakan membeku. “Balon merah?”
“Iya. Tali benangnya panjang. Aku masih ingat karena benangnya terlilit di tanganku, sampai harus digunting.”
Sunyi mendesak di antara mereka. Seakan waktu terdiam, memberi ruang untuk kenangan yang selama ini tersembunyi di lorong-lorong ingatan.
Lise tertawa kecil, nyaris tak percaya. “Kamu... anak itu?”
Aze memandangnya, sorot matanya penuh tanda tanya yang perlahan-lahan berubah menjadi pengakuan. “Dan kamu... gadis balon merah itu?”
Mereka tertawa. Tertawa dalam diam yang dipenuhi rasa takjub. Dunia terasa kecil. Waktu terasa lunak. Semua kemungkinan menjadi mungkin dalam satu detik yang panjang.
Aze membuka dompetnya, mengambil foto lama yang sudah mulai memudar. “Aku nemu ini waktu bersih-bersih rumah. Nggak tahu siapa yang ambil. Tapi dari dulu, aku suka lihat anak perempuan kecil di belakangku ini.” Ia menyodorkan fotonya ke Lise.
Foto itu memperlihatkan seorang anak laki-laki duduk memeluk lutut di bawah pohon, dengan balon merah di tanah dan seutas tali benang panjang yang masih terlilit di tangannya. Di latar belakang, seorang anak perempuan berdiri samar, tapi cukup untuk membuat jantung Lise berdebar.
“Itu aku,” katanya lirih.
Mereka diam cukup lama, sampai suara angin di antara pepohonan seakan berkata, “Sudah waktunya.”
Lise membuka suara, pelan tapi yakin. “Pernah dengar tentang Red String Theory?”
Aze tersenyum. “Yang katanya, setiap orang di dunia ini terhubung dengan benang merah tak terlihat, di jari kelingking atau pergelangan tangan mereka?”
Lise mengangguk. “Katanya, benang itu bisa melar, bisa kusut, bahkan menjauh. Tapi nggak akan pernah putus.”
Aze menatap jemarinya sendiri. “Mungkin waktu kecil, benang kita masih longgar. Tapi tetap saling tarik.”
“Atau mungkin... justru karena kusut, kita butuh waktu lama buat sampai di titik ini.”
Mereka kembali tertawa. Kali ini lebih hangat, lebih ringan. Seperti dua anak kecil yang akhirnya sadar bahwa mereka tidak pernah benar-benar sendiri.
Hari itu, segalanya terasa lebih nyata. Mereka mulai menamai pertemuan itu sebagai Senandika Merah—percakapan tanpa suara yang telah dimulai bahkan sebelum mereka saling mengenal.
“Aku percaya, kita pernah ada di garis yang sama, hanya saja waktunya belum saling selaras,” kata Aze suatu malam.
“Seperti benang merah?” tanya Lise sambil menyender di bahunya.
Aze mengangguk. “Tapi bukan benang merah yang tegang dan mencekik. Ini benang merah yang longgar, lentur. Kadang kusut, tapi nggak pernah putus.”
Lise menggenggam tangan Aze, mengusap jari-jarinya yang dingin. “Jadi, kita ini ditarik atau saling menarik?”
“Mungkin keduanya. Mungkin dari dulu kita saling mencari, cuma belum tahu namanya apa.”
Musim berganti, tetapi mereka tetap. Seperti dua titik yang akhirnya bisa dihubungkan oleh garis yang selama ini tak terlihat. Bukan karena kebetulan, tapi karena waktu tahu kapan harus mempertemukan dua jiwa yang ditulis dari tinta yang sama.
Suatu pagi, di kafe yang sama tempat mereka pertama bertemu, Lise membawa sesuatu dalam tasnya. Sebuah kotak kecil berisi benda paling sederhana.
Sebuah balon merah.
“Aku nemu ini di toko mainan lama. Rasanya seperti menjemput masa lalu,” katanya sambil menyodorkan balon itu pada Aze.
Aze menerimanya, tersenyum, lalu mengikatkannya ke pergelangan tangan Lise. “Kalau kamu hilang, aku bisa cari kamu lewat ini.”
Lise terkekeh. “Dan kalau kamu hilang?”
“Sudah pernah. Tapi akhirnya ketemu juga, kan?”
Dan dunia, untuk kesekian kalinya, menjadi saksi bahwa yang tertunda bukan berarti takdir tak hadir. Bahwa cinta bisa tumbuh dari benih yang tertanam jauh sebelum kita tahu maknanya.
Malam itu, Aze menulis di buku catatannya:
“Kita bukan dua orang asing yang kebetulan saling menyapa. Kita adalah dua kisah yang pernah bersinggungan, lalu memilih untuk tumbuh di halaman yang sama.”
Di luar, hujan turun. Tapi kali ini, mereka tidak mencari tempat berteduh.
Karena mereka sudah menjadi atap bagi satu sama lain.
Dan mungkin, benang merah itu tidak lagi hanya legenda dari Timur jauh, tapi tali balon di tangan seorang perempuan yang akhirnya menemukan ujungnya.