Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bronze
Senandika Di Bawah Laut
0
Suka
4
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Senandika di Bawah Langit

Slice of Life

Pagi di kota kecil ini selalu datang perlahan, seolah enggan membangunkan mimpi siapa pun yang masih terbuai di balik selimut. Naya membuka jendela kamarnya, membiarkan udara lembap sisa hujan semalam masuk pelan-pelan. Langit masih kelabu, seolah ikut meresapi perasaannya yang datar-datar saja.

Hari Senin. Hari di mana segala sesuatu dimulai kembali, termasuk rutinitas yang terasa seperti kaset rusak yang terus berputar.

Naya berjalan kaki ke sekolah seperti biasa. Jalan setapak menuju SMA Mandala terasa sunyi, hanya suara sandal jepitnya yang bersentuhan dengan aspal basah. Di tangannya, ia menggenggam erat buku catatan lusuh dengan sampul biru tua. Benda itu bukan sekadar tempat menulis—itu dunianya. Dunia tempat ia bisa berkata tanpa takut disela, bisa merasa tanpa perlu ditertawakan.

Di kelas, Naya selalu duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela. Tempat itu memberinya akses langsung ke langit dan pohon ketapang tua di halaman sekolah. Teman-teman sekelasnya mungkin tahu namanya, tapi jarang ada yang benar-benar bicara dengannya, kecuali saat tugas kelompok atau pengambilan nilai.

Dan jujur saja, Naya tak terlalu mempermasalahkannya. Kesendirian sudah seperti selimut hangat di musim dingin—terasa nyaman, meski sesekali membuat sesak.

“Pagi,” sapa Tari, satu-satunya teman yang cukup sering menyapa. Ia duduk di depan Naya, ramah dan ceria, tapi tidak memaksa. Hanya sesekali mengajak mengobrol soal film atau tugas.

“Pagi,” jawab Naya pelan, memberi senyum kecil.

Pelajaran pertama dimulai. Naya mencatat, tapi pikirannya melayang. Ia lebih suka merangkai kata dalam kepalanya, mengubah perasaan menjadi kalimat, lalu menyimpannya diam-diam di halaman terakhir buku catatannya.

"Kadang, aku ingin jadi langit. Tak harus bicara, tapi tetap bisa membuat orang merasa sesuatu."

Suara pengumuman dari speaker sekolah memecah lamunannya.

“Perhatian untuk seluruh siswa kelas XI. Akan ada siswa pindahan yang masuk mulai hari ini. Mohon bantuannya untuk membuatnya merasa nyaman di lingkungan baru.”

Riuh kecil terdengar di kelas. Beberapa siswa berspekulasi dengan semangat: laki-laki atau perempuan, dari kota mana, seperti apa orangnya.

Naya hanya diam. Pindahan atau bukan, ia tahu hidupnya tak akan berubah.

Namun saat jam istirahat berakhir dan bel berbunyi, pintu kelas terbuka. Seorang siswa laki-laki masuk dengan kepala agak tertunduk. Rambutnya hitam dan sedikit acak, wajahnya tenang namun tajam. Ia membawa tas selempang dan kamera analog tergantung di lehernya. Satu hal yang langsung mencolok.

“Perkenalkan, nama saya Gibran,” katanya pendek. “Saya pindahan dari Jakarta.”

Guru wali kelas mengangguk ramah, lalu mengarahkan, “Kamu bisa duduk di bangku kosong di samping Naya, di belakang.”

Naya menoleh pelan, lalu kembali menatap ke depan. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, bukan karena apa-apa—hanya karena biasanya tak ada yang duduk di sampingnya.

Gibran duduk tanpa banyak bicara. Ia mengeluarkan buku catatan dan bolpoin, lalu melirik sekilas ke jendela. Naya bisa merasakan kehadirannya meski tanpa suara. Entah kenapa, udara di sekitarnya terasa sedikit berbeda.

Sepulang sekolah, langit mendung menggantung. Naya berjalan lebih cepat dari biasanya. Namun, saat berbelok di tikungan kecil, ia menyadari langkah lain di belakangnya.

Gibran.

Ia tak mengatakan apa-apa, hanya berjalan dalam jarak yang cukup dekat untuk disadari tapi tidak cukup dekat untuk mengobrol. Naya mempercepat langkahnya. Gibran tidak mengejar.

Di rumah, Naya membuka buku catatannya dan menulis:

"Hari ini, seseorang datang ke duniamu. Entah hanya mampir atau akan tinggal sebentar. Tapi kamu merasa, untuk pertama kalinya, bangku kosong itu bukan sekadar ruang hampa."

Hari kedua Gibran di kelas terasa sunyi, setidaknya bagi Naya. Meski suara tawa dan obrolan mulai berde...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bronze
Senandika Di Bawah Laut
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Manto dan Ayam Robot Bertopi Koboi
Arief Rahmanto
Cerpen
Bronze
Keresahan Robin Setiap Pagi
Reynal Prasetya
Cerpen
Bronze
Pilihan Nion
Tourtaleslights
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Jenazah
Rita Puspitasari
Cerpen
Copper Miss
Ratna Arifian
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Cerpen
Bronze
Sakit Kiriman
Intan Andaru
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Cerpen
Bronze
Tipu-Tipu Media Sosial
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Merasa Diri Paling Benar
Yovinus
Cerpen
Bronze
Mat Tabik
Bonari Nabonenar
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Senandika Di Bawah Laut
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Si Kecil Penjaga Pohon
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Tanah Di Atas Mimpi
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Kebangkitan yang Tak Nyata
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Rahasia Werdhana
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Pelukan Terakhir Di stasiun kota
alifa ayunindya maritza
Cerpen
Bronze
Bayangan kata
alifa ayunindya maritza