Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Wajah itu mendadak berubah sendu, seperti awan hitam yang tiba-tiba menyelimuti permukaan wajahnya yang mulus bersih dari jerawat dan noda-noda hitam. Aku sering merasa iri setiap kali melihat wajah Mala. Jika saja wajahku semulus wajah miliknya, aku tidak perlu lagi pusing memikirkan skin care apa yang cocok untuk wajahku.
“Aku baru aja pergi melayat ke rumah seorang teman. Kakak perempuannya meninggal. Karena kakak aku juga kenal sama kakaknya itu, kakak aku ikut pergi melayat bersama. Aku bilang ke kakak aku buat terus menjaga kesehatannya. Kalo dia sampai nggak ada, aku nggak tau harus gimana sama hidup aku selanjutnya,” curhat Mala.
Aku dan Safira saling berpandangan sejenak, sama-sama memberikan kode agar salah satu dari kami mencoba menghiburnya. Safira tampak mengedikkan bahu dalam gerakan kecil. Aku memutar bola mata ke arah Safira.
Kami seperti lagi melangsungkan pembicaraan melalui gerakan mata.
“Tanggapilah, Hil,” suruh Safira.
“Kenapa harus aku? Bingung tau!” kilahku.
Malam itu, kami mengunjungi rumah Mala dalam rangka hari raya kurban. Sepeninggal ibunya, Mala mendapatkan warisan sebuah rumah yang cukup besar untuk dia tempati sendiri. Rumah itu terdiri dari dua kamar tidur, dua kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah, dapur, ruangan kecil khusus untuk tempat salat, dan satu garasi yang telah beralih fungsi menjadi warung kecil-kecilan yang menjual barang kebutuhan harian.
Selain itu, dia juga mendapatkan pembagian beberapa hektar kebun sawit yang dimiliki mendiang ibunya. Sementara untuk kendaraan pribadinya, dia sudah dibelikan sepeda motor sejak dulu, di saat ibunya masih hidup.
Sama seperti pemikiran orang-orang pada umumnya, aku akan berpikir betapa beruntungnya Mala karena dilimpahkan warisan yang banyak. Namun kenyataannya, Mala lebih sering merasakan kesepian dibandingkan kami berdua yang orang tuanya masih ada tapi isi kantong pas-pasan.
Aku teringat beberapa tahun lalu mendapatkan kabar mengenai kematian kakak laki-laki kesayangan Mala. Hubungan mereka selalu dekat. Kakak laki-laki Mala memanjakan dirinya layaknya seorang tuan putri. Sudah ditinggal sejak kecil oleh ayah mereka, membuat kakak laki-laki Mala merasa bertanggung jawab menggantikan ayah mereka untuk memberikan Mala banyak kasih sayang.
Namun, suatu hari, sumber kebahagiaan itu direnggut tanpa peringatan. Kakak laki-laki Mala mengalami kecelakaan parah. Organ tubuh bagian dalam perutnya rusak karena terhantam setir mobil. Dokter menyampaikan kepada keluarga Mala dengan berat hati bahwa kemungkinan besar akan sulit untuk pulih seperti sedia kala. Kakak laki-lakinya sempat dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh dalam keadaan koma sebelum dia mengembuskan napas terakhir.
Aku terlambat mengetahui kabar tentang kepergian kakak laki-laki kesayangan Mala. Padahal, aku hanya perlu menempuh perjalanan selama satu setengah jam untuk sampai di daerah tempat kami tinggal menggunakan sepeda motor. Itulah ukuran jarak tempuh perjalanan dari kampusku ke kecamatan daerah kami.
Jarangnya aku membuka media sosial, ternyata bisa membuatku ketinggalan berita terbaru tentang teman-teman sekolahku. Namun, hingga kini pun, aku tetap tidak begitu tertarik menggunakan media sosial demi melihat kabar terbaru dari siapa saja yang pernah kukenal sepanjang hidupku. Bagiku, media sosial adalah tempat mencari informasi dan inspirasi yang sesuai dengan minat kita.
Karena itu aku cuma bisa mengirimkan ucapan duka melalui pesan singkat. Pesanku dibalas Mala tiga atau empat hari kemudian. Aku maklum, dia pasti masih berduka dan tidak ingin mengecek ponselnya sama sekali. Aku juga akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirinya.
Aku lupa isi pesan balasan Mala. Kurang lebih isinya singkat berupa ucapan terima kasih. Setelah itu, aku bingung harus membalas apa selain membiarkan pesan Mala dalam keadaan sudah dibaca.
Kemudian, beberapa tahun setelahnya, kami bertiga bertemu lagi di rumah milik ibunya Mala. Waktu itu, ibunya Mala sudah divonis sakit kanker kelenjar getah bening stadium akhir.
Mala harus merawat ibunya karena kakak-kakaknya sibuk bekerja sementara dirinya seorang yang masih kuliah. Mala bercerita kepada kami bahwa ibunya tidak menjalani kemoterapi, beliau hanya menerima obat-obatan untuk dikonsumsi secara rutin. Namun, obat-obatan itu tidak akan menyembuhkan penyakit yang diderita ibunya. Setidaknya, dengan mengonsumsi obat-obatan tersebut, mereka bisa memperpanjang ‘napas’ sang ibunda.
Dua tahun lalu, lagi-lagi Mala harus mengikhlaskan kepergian seseorang yang dikasihinya. Sang ibunda telah mengunjungi tempat peristirahatan terakhirnya di dunia ini. Dan lagi-lagi, aku tidak dapat menghadiri acara pemakaman keluarga Mala karena pada saat itu aku berada jauh di Jakarta, bekerja sebagai budak korporat.
Barulah di tahun ini aku bisa bertemu Mala kembali. Kondisi fisiknya tampak baik-baik saja. Dia masih Mala yang selama ini aku kenal. Sosok Mala sejak dulu bukanlah sosok yang ceria. Jadi, seringnya aku tidak mampu membedakan ketika dia sedang bersedih atau senang. Wajahnya lebih sering terlihat datar, atau bosan (aku tahu memang kadang hidup itu agak membosankan).
“Kita harus belajar melepaskan keterikatan dengan apa pun atau siapa pun di dunia ini. Cobalah,” hiburku.
“Iya, benar. Semua dari kita bakalan mati. Nggak ada yang tersisa. Kita bertiga di sini juga lagi nunggu giliran aja,” tambah Safira.
“Sulit buat aku kayak gitu. Udah kayak disuruh menguasai kemampuan tingkat tinggi,” balas Mala dengan ekspresi wajah muram.
“Tapi paling enggak, kamu wajib mencobanya,” ucapku lembut, jangan sampai ada kata-kata kami yang terdengar kurang bersimpati pada ujian hidup Mala.
“Inginnya, sih, gitu. Prakteknya? Susah banget, lho.”
“Kami paham kok.” Aku segera mewakili isi hatiku dan Safira. “Nggak ada yang bilang ini bakalan mudah. Kalau mudah, pasti udah nggak ada orang di dunia yang takut kehilangan anggota keluarganya.”
“Kalian mau aku gorengin nugget?” tanya Mala mengalihkan pembicaraan.
“Boleh, boleh. Selama gratis, aku mau banget dong!”
“Dasar Hilda! Nggak berubah ya dari dulu. Suka makan yang gratisan!” Safira sontak melemparkan gulungan tisu ke wajahku.
Aku refleks menghindar dan menjulurkan lidah ke arah Safira. “Lempar yang bener dong! Masa’ nggak kena?” tantangku. “Eh, mana adil lagi ngelempar pakai remote TV!”
“Gimana lagi? Kalau pake gulungan tisu ya susah kenanya!”
Mala di dapur tertawa mendengar argumen kecil kami. Mendengar suara tawa Mala, aku dan Safira saling bertatapan sambil mengulum senyum. Suasana yang tadinya sedikit suram telah berubah menjadi lebih ‘hidup’.
Mala menyajikan banyak nugget yang cukup dimakan oleh kami bertiga.
“Enak, ‘kan, nugget-nya?” tanya Mala.
“Enak. Ini merek apa?” balasku.
“Lupa aku namanya, coba liat sendiri di kulkas.”
Penasaran, aku pun berjalan menuju dapur rumah Mala dan mendekati kulkasnya lalu membuka bagian atas kulkas.
“Oh, merek ini. Beli di mana?”
Di sisa malam itu, kami tidak ada lagi membahas tentang hal-hal sedih. Yang ada kami terus tertawa karena saling melontarkan lelucon masing-masing. Meskipun sesekali ada lelucon yang garing, kami tetap tertawa, lebih tepatnya mentertawakan siapa yang memberikan lelucon tidak lucu begitu.
*
“Kami pulang ya, Mala. Jangan sedih-sedih lagi. Hubungi kami aja,” pamit kami seraya menukar pelukan satu sama lain.
“Makanya, kalian berdua mesti sering-sering main ke rumahku.”
“Bukannya nggak mau,” potong Safira. “Tau sendirilah hidup butuh kerja. Nggak kerja, nggak makan.”
“Bener, kita harus kuat demi survive di masa dewasa.” Aku tak mau kalah menambahi pendapat Safira. “Kamu juga kerja padahal.”
“Iya, sih.” Mala menggaruk kepalanya menggunakan ujung telunjuknya.
“Nanti deh, kita atur jadwal supaya bisa balik kumpul bertiga ya,” kata Safira.
“Oke, sip!”
Mala mengacungkan kedua jempolnya ke udara.