Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Semua Sakit Tak Semua Sembuh
2
Suka
177
Dibaca

⚠️ Peringatan: Cerita ini mengandung unsur kekerasan, darah, dan adegan serta kata-kata yang mungkin mengganggu sebagian pembaca. Harap bijak dalam membaca.

***

Peluknya jadi lebih erat dari sebelum-sebelumnya. Perempuan yang ditunggangi ketiga anaknya itu akhirnya tumpah ruah dalam isaknya. Setidaknya pelukannya bisa jadi pereda cemasku kala itu, sebelum masuk ke ruangan khusus untuk bersaksi perihal kejadian malam tahun baru 2017.

Aku dan Rika dipisahkan di dua ruangan yang berbeda. Saat menjejalkan kakiku di ruangan itu, aku tak lupa membawa rasa bersalahku yang menyala dari dulu sampai sekarang.

Bunyi kursi plastik itu menggema ketika aku duduk di atasnya. Bahkan bau cat tembok baru masih bisa aku ingat hingga kini. Layar laptop dihadapkan padaku.

“Kamu cerita saja yang kamu ingat. Tenang ya, ada kakak di sini,” pinta Mbak Salma, psikolog dari tempat perlindungan anak.

Salah satu teknisi sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya menyambungkan kabel serta audio pada laptop. Sampai akhirnya lampu di dekat kamera laptop itu menyala dan mulai terdengar bunyi pecah-pecah dari speaker. Di layar juga muncul wajah Hakim dengan jas khasnya, senyumnya tipis. Kepalaku berisik memaknai suara-suara dari penonton yang ada di ruang sidang sana. Jelas aku mengetahui Bapak juga ada di balik layar itu.

“Adek, silakan, ceritakan yang mau kamu ceritakan,” pinta Hakim.

Tiap detik dari kejadian itu, akan aku kenang seumur hidup.

Namaku Sabda Alam. Di malam tahun baru 2017—aku, Ibu, dan Saudariku Rika, mengalami tindak penganiayaan dari Bapak kami. Malam yang harusnya dipenuhi sorak sorai dengan harapan ‘kita akan baik-baik saja’, malah jadi pertumpahan darah di rumah kecil kami.

Bapak pulang mabuk malam itu. Aku mendengarnya dari dalam kamar sebab rasa kantuk tak lagi bisa aku tahan—aku ingat melahap habis hampir tiga bungkus mie instan ditemani nugget dan sosis. Katanya Ibu berinisiatif membuat acara makan-makan sembari menunggu pesta kembang api, karena kebetulan Bapak sedang tidak di rumah. Namun justru hal itu yang memicu pertengkaran.

Badanku mematung ketika mendengar gertakannya. “Saya kan sudah bilang jangan dikunci pintunya kalau saya lagi di luar!” jelas setelah itu terdengar bunyi tamparan.

Dinding rumah kami dulu memang tipis. “Saya yang bangun rumah ini pakai kerja keras saya, malah dikunciin di luar. Kurang ajar ini semua! Sudah dikasih tempat tinggal juga. Kamu orang tololkah? Gak pernah sekolahkah sampai harus dikasih tahu berkali-kali?”

Aku mendengar tipis Ibu membela diri, “Saya cuman takut ada yang masuk gak kedengeran. Apalagi ini malam tahun baru. Saya di sini sama tiga orang anak kecil. Kamu gak takut kami kenapa-kenapa?” Lalu terdengar suara pukulan sekali lagi, kali ini lebih keras sampai Ibu mengeluh sakit.

"Kalau dikasih tahu sama suami itu dengerin, bukannya ngelawan! Nanti saya berhenti biayain kalian baru tahu rasa! Kalian itu gak bisa apa-apa tanpa saya! Tolol!” Selepas mengeluarkan kalimat itu, keadaan diam sebentar.

Bukan cuman kali ini aku memutuskan bersembunyi. Sebagai anak pertama aku yang melihat seberapa amatir keluarga kecil ini dibentuk. Perjodohan berbuah malapetaka ini harusnya jadi dosa besar bagi siapa pun yang mencetuskan.

Bentakannya kembali mengisi jam dua pagi kami. “Ini maksudnya apa makan banyak begini?! Saya kan sudah bilang, kita harus hemat! Saya sudah gak punya proyek nguli lagi! Kamu pikir cari uang itu gampang?!”

“Ya terus mau kamu bagaimana?! Ini makanan dikeluarin semua dari dalam perut?! Bukannya senang anaknya makan banyak, malah gak ikhlas. Ini juga saya beli pakai uang tabungan saya!” Ibu paling tidak suka kritikan perihal isi perut.

“YA TABUNGAN KAMU ITU UANG YANG SAYA KASIH JUGA, DONGO!” suara Bapak sudah terdengar seperti berteriak langsung di sampingku.

“Saya masih punya orang tua! Ini uang mereka yang saya tabung. Uang dari kamu mana bisa dipakai nabung.”

Pasca bilang begitu, tiba-tiba suasana jadi senyap lagi. Dadaku kembang kempis tak beraturan. Telingaku menegang berusaha mendengarkan apa saja yang mungkin terlalu kecil untuk didengar. Aku bergegas menuju ke sisi tembok yang sejak tadi ditembusi suara debat dan merapatkan telinga selama beberapa detik, akan tetapi tak kunjung ada suara.

Kepalaku mulai diisi dengan pikiran-pikiran buruk yang sebenarnya sejak dahulu tercipta misal pertengkaran-pertengkaran seperti ini kerap menghiasi rumah. Lalu Bapak menjerit! Dibalas lagi dengan jeritan Rika yang terdengar sangat menyakitkan! Sempat ada bunyi seperti panci jatuh.

Suara Ibu terkesan mengamuk di luar sana. Ia berusaha berteriak namun suaranya kemudian terdengar seperti tenggelam—redam. Sehabis itu, keheningan dimulai lagi.

Buru-buru aku keluar kamar hingga tiba di dapur, badanku seketika layu—seakan duniaku ikut hancur. Aku yang kala itu berusia dua belas tahun berdiri kebingungan memaknai semua yang ada di hadapanku.

Di sisi kananku ada Ibu yang menindih Bapak di belakangnya. Sementara Bapak dengan badan basah kuyup, menarik tali rapiah yang dikalungkan di leher Ibu. Tangan Ibu berusaha menggapai Bapak; melepaskan cekikan tali. Di lantai tergeletak panci dengan tumpahan air yang masih berasap di lantai, kompor juga masih menyala. Sementara di sisi kiri ada Rika terbaring kesakitan di lantai, memegang perutnya.

Melihat perlawanan Ibu yang makin melemah, aku akhirnya memberanikan diri. Aku langsung melayangkan tendangan tepat di wajah Bapak—berkali-kali—sampai ia melepaskan cekikannya dari Ibu. Ibu bergegas menarik diri.

Pisau yang tertata di samping kompor itu aku raih secepatnya, menggunakannya sebagai bentuk ancaman agar Bapak tak mendekat.

Tanganku melayang dengan postur menikam, ditangkis; ditangkap oleh Bapak. Bayangkan saja anak kecil melawan kuli bangunan yang sudah bekerja belasan tahun. Pisau itu ditepis hingga terlempar jauh di sudut dapur.

Aku sempat melirik Ibu bangkit dan menuju kamar—momen itu aku paham menjadi yang terpenting. Di kamar itu ada adik bungsuku yang usianya masih lima tahun.

Satu tangan Bapak mencengkeram leherku, pelan-pelan aku tak merasakan lagi lantai di telapak kakiku. Lalu Bapak mendaratkan tinjukan berkali-kali ke wajahku. Aku bisa merasakan darah mengucur deras. Aku membalas dengan menusukkan Ibu jariku ke matanya. Aku bisa merasakan bola mata kirinya menjadi lembek.

Bapak sempoyongan dan melepaskan cekikannya. Ia meratapi rasa sakitnya.

Ini adalah waktu yang tepat untuk membantu Rika berdiri. Pada saat itu Ibu keluar kamar membawa adik bungsuku, ia meminta agar aku membantu Rika naik ke punggungnya.

Dengan memar merah yang melingkar di lehernya, Ibu menggendong Naya di depannya, membopong Rika di punggungnya, dan menggenggam erat tanganku di sampingnya. Kami diajaknya berlari tanpa alas kaki, menapaki aspal yang dingin di sepertiga malam, sambil berteriak meminta pertolongan.

Keluarga Tante Fatma jadi malaikat penyelamat kami. Selain menyembunyikan kami di malam pelarian, mereka juga dengan baik hatinya merawat aku dan Rika—yang butuh tiga bulan di rumah sakit memulihkan rusuknya yang patah akibat tendangan yang ia dapat dari Bapak. Pun selama masa persidangan berlanjut setelah aku dan Rika bersaksi, kami dibawanya pergi dengan hati-hati, agar tak seorang pun dari keluarga Bapak tahu keberadaan kami. Kediaman lamanya di pelosok Tangerang jadi rumah baru kami untuk sementara.

Setelah pengadilan menjatuhi hukuman delapan tahun penjara untuk Bapak, Ibu juga menang telak atas gugatan cerainya. Aku pikir lepas dari hubungan toxic akan diakhiri kebahagiaan, sayangnya ekspektasi itu tak tergambar pada bahasa tubuhnya: jalannya yang penuh layu saat keluar dari gedung Pengadilan Agama, kepalanya yang terus menunduk, pula caranya menggenggam tas di tangan kanannya yang berayun lelah. Apa kamu belum mati setelah menelan semua racun itu selama puluhan tahun, Bu?

Dari hari kejadian sampai hari ketuk palu, aku akhirnya menyadari bahwa perempuan memang tak pernah diberi kesempatan merdeka dengan gampang. Semua luka di badannya selalu butuh penjelasan. Menyayat hati apabila mengingat kita semua keluar dari peranakan mereka tapi hanya kesulitan yang kita beri sebagai balasan.

Selanjutnya, mengiringi tumbuh dewasanya kami, semua yang sebelumnya tak terucap, ia tumpahkan sambil menghabiskan jutaan ribu ton air mata yang selama ini ia tampung sendirian. Ia membagikan kisah pilu rumah tangganya yang berumur belasan tahun itu dihiasi dengan banyak kotoran—seolah-olah yang aku saksikan sendiri mengiringi tumbuh besarku masih belum seberapa. Tidak heran, dengan dendam sebesar itu, perpisahan baik-baik tidak bisa mengenyangkan serapah yang lama bersemayam di tenggorokannya.

Hari ini, terhitung sudah satu minggu sejak Bapak bebas dari penjara.

 

***

Rumah dua lantai ini tak semegah dulu. Banyak barang tak terpakai yang ditumpuk di sudut ruangan; jelas berantakan dan tidak enak dipandang.

Sepertinya acara pernikahan Tante Jihan di tahun 2016 adalah kali terakhir aku menginjakkan kaki di rumah ini. Aku bahkan sudah tidak ingat apakah ada kenangan indah di sini. Yang bisa aku rasakan cuman ketegangan—bagaimana tidak adanya kesenangan yang bisa terjadi di tempat ini. Semuanya menggenggam individualitas; serba formalitas.

Setibanya di dapur ada Tante Risma, sedang mencuci pakaian dengan mesin cuci yang sepertinya sudah kesusahan melaksanakan tugasnya—menilai dari nyaring suaranya. “Saya pikir siapa—hampir saya ambil parang karena saya kira pencuri,” ujarnya dengan nada sok bercanda.

Aku respons dengan tawa seadanya. Aku memilih duduk di kursi sambil menahan canggung.

“Saya lihat-lihat kamu makin gemuk. Sudah sukses ya?” lanjut Tante Risma menyambut kedatanganku. Ia bertanya tanpa melihatku, badannya serentak bergerak mengurusi cuciannya.

“Saya cuman kuli bangunan. Mana ada kuli sukses,” jawabku sekenanya, lalu balik bertanya, “Kabar Tante bagaimana?”

Agak lama ia menjawab. Diam kami diisi canggung yang lebih banyak. Hal ini bisa dipahami mengingat setelah delapan tahun, kami baru sekarang bertemu lagi.

Aku lanjut bertanya, “Yang lain pada ke mana?”

Selepas membiarkan mesin cucinya memutar cucian gelombang selanjutnya, ia bertolak pinggang ke arahku, satu tangannya ia sandarkan pada badan atas mesin cuci, dan menjawab, “Pada mencar semua. Jadi kalo kamu datang buat minta tolong... maaf, gak ada yang bisa bantu.”

Tante Risma langsung buang muka. Ia mengangkat baskom berisi cucian yang sudah digiling sebelumnya, membawanya ke belakang rumah untuk dijemur.

Aku memperhatikan Tante Risma dibalik jendela. Keringat di dahinya, kerut di wajahnya, dasternya yang robek di beberapa bagian; semua itu bukan pemandangan lazim yang ada pada dirinya. Seingatku tampilannya selalu modis dengan pakaian serba mahal. Jari, pergelangan tangan, atau lehernya biasanya ada perhiasan melingkar di sana. Ke mana suaminya yang kaya raya itu?

Karena sudah selesai membuka dengan basa-basi, aku bergegas menuju kamar Oma. Tentu dengan izin dari Tante Risma.

Aku membuka pintu kamar sambil menyapa, “Assalamualaikum, Oma?”

Oma kemudian pelan memutar badannya mengarah ke pintu kamar. Matanya ia sipitkan kala berusaha mengenali aku yang berdiri cukup jauh dari ranjangnya.

“Sabda?” suaranya gemetar mengenaliku. Lalu ia menangis sejadi-jadinya. Badannya yang renta itu ia paksakan untuk bergerak mendekatiku. Aku segera menjemputnya, dan untuk sebentar yang sangat tidak lazim ini, kami berpelukan. “Rindu sekali, Oma. Lama sekali kita ketemu lagi. Kamu sehat?”

“Sehat,” kataku tambah senyum tipis.

Lalu Oma menatap lurus ke mataku, tatapannya dalam sambil ia elus-elus wajahku. Kepalanya yang menggeleng bisa jadi tanda sedang ada dialog di dalam kepalanya.

Sembari sesenggukan, ia berkata, “Maafin Oma dan Bapakmu. Sekarang saya ini sudah sakit-sakitan, baru nyadar kami tidak pernah baik sama Ibumu. Bapakmu itu paham sekali kelakuannya bodoh, dia betulan menyesal. Tapi saya paham gak gampang buat kalian semua. Tapi saya mohon, sedikit saja kasih ruang di hatimu buat maafkan Bapakmu.”

Oma melepas peluknya sambil menyeka air matanya dengan baju yang ia kenakan. “Saya yakin ini karma. Banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan di sini. Padahal kamu tahu ‘kan? Dulu kita semua sombong karena Beni, Jihan, Risma, semuanya orang berpendidikan tinggi. Cuman Bapakmu yang gagal. Sekarang apa? Semuanya hidup miskin. Jihan meninggal karena kanker payudara. Risma juga diceraikan suaminya. Beni juga usahanya gagal terus, entah sekarang dia di mana,” jelas Oma, lalu kembali menggapai tanganku. Ia letakkan tanganku di tengah kedua tangannya, ia bawa ke atas pahanya.

“Saya sudah paham. Kami ini orang-orang tersesat; orang-orang yang gak paham yang mana yang benar dan yang salah; orang-orang yang gak tahu diri. Ibumu itu orang baik. Dulu saya bisa ngelihat sifat Bapakmu bakal ngikutin sifat Almarhum kakekmu, tapi saya gak mau menentang, karena mikir mungkin Bapakmu bisa berubah misal Ibumu merawat dia dengan baik,” tuturnya kemudian menggeleng kepalanya.

“Saya salah. Dan saya tidak paham kenapa malah membela Bapakmu di persidangan waktu itu. Padahal saya sama Ibumu itu sama-sama perempuan. Saya paham betul bagaimana rasanya ketika dikasari sama laki-laki yang kita nikahi,” geramnya menahan tangis.

Aku tengok ke dalam matanya, misal ini akting, ia harus diberi penghargaan bergengsi.

Aku ragu-ragu, tapi tujuanku ke sini perlu diungkapkan, “Saya sebenarnya ke sini mau minta tolong—bisa tidak, Oma rayu Bapak saya supaya berhenti berkeliling di sekitar keluarga saya?”

Oma langsung menanggapi dengan air mata, “Jangan begitu, nak. Itu Bapakmu.”

Aku menolak sentuhan tangannya, “Saya tahu. Akhir-akhir ini saya sering lihat Bapak di mana-mana. Jarak Jakarta ke Lembang itu sekitar tiga jam, gak mungkin dia tiap hari liburan ke Lembang. Misal alasannya kerja pun, kenapa harus Lembang? Makanya saya ke sini karena tahu Bapak gak lagi di sini ‘kan? Saya sama Naya mungkin gak begitu masalah, beda lagi sama Ibu dan Rika, mereka gak bisa hidup tenang. Rika selalu ngerasa diikutin tiap kali berangkat les, apalagi Ibu yang biasanya jualan sendirian di pasar. Kami cuman mau hidup tenang.”

Oma tertunduk lesu.

“Saya sudah laporkan ke polisi, kasus penguntitan atau apalah. Saya bisa saja tarik laporannya atas dasar tahu diri karena waktu kecil sempat dibiayai Bapak, tapi misal dia terus-terusan berkeliling di sekitar kami, saya gak bisa. Jadi saya kasih kesempatan ke Oma, untuk ngerayu anak Oma, menjauh, supaya tidak masuk penjara. Hubungan kita sudah selesai, Bapak sendiri yang bikin semuanya berantakan.

“Lagian Oma tegakah, ngelihat korban KDRT diganggu terus sama pelakunya? Gak takut bakal ada kejadian gak mengenakan lagi bakal terulang? Saya, Ibu dan adek-adek saya itu sudah hidup damai. Selama delapan tahun kami ngerasa bebas bergerak, tapi setelah Bapak bebas penjara, kami mau keluar di teras rumah saja itu ngerasa ada yang melarang.”

Semua ucapanku tidak ada yang digubris Oma. Dari raut wajahnya menunjukkan dilema yang mungkin merundungnya. Antara memihak kami atas dasar kemanusiaan, atau membela anaknya atas dasar sesederhana Bapak itu anak kandungnya.

“Maaf misal kedatangan saya bikin suasana jadi tidak enak. Saya cuman berusaha ngelakuin sesuatu, supaya kita sama-sama dapat solusi terbaik.”

Setidaknya kepulanganku membawa jawaban perihal nasib mereka sehabis membela habis-habisan pihak yang salah. Ibu bilang masih sakit hati tiap kali teringat muka-muka penolakan keluarga Bapak sewaktu persidangan.

 

***

Air matanya yang rembes kala itu disambut hangat oleh orang tuanya. Napasnya tersendat-sendat saat bahu yang bisa paham, akhirnya tersedia untuk menampung semua kacau yang ia sembunyikan selama ini.

“Maafin, Bapak, Erna. Bapak gak tahu akan jadi begitu. Maafin Bapak kalau bikin kamu ngerasa gak tega buat cerita. Pulang ya, nak... ke rumah, Bapak.”

Kurang lebih kalimat itu yang mengantar kami menuju rumah masa kecil Ibu di Lembang. Rasa bersalah yang begitu besar tak lagi bisa diredam. Kedua Kakekku dulunya teman SMP. Bapaknya Ibuku pikir ia sudah kenal keluarga besannya, makanya berani menjodohkan. Namun apalah daya, keputusannya itu hampir merenggut nyawa anak serta cucunya dua belas tahun kemudian.

Sebagai pewaris tunggal setelah ditinggal mati orang tuanya akibat covid-19 lima tahun silam, Ibu memiliki semua harta peninggalan berupa mobil, tanah, rumah dan semua isinya. Makanya, kini kami tak lagi ketakutan pasal uang. Kalau pun nanti habis, aku dan Ibu sudah terbiasa bekerja.

Mobil pikap yang dulunya dipakai Kakek-nenek berjualan sayur, kini Ibu manfaatkan sebagai naungannya berjualan gado-gado di pinggir pasar. Ia sengaja memilih lokasi yang dekat dengan para penjual sayur, demi mengenang masa kecilnya. Ditambah lagi dengan orang-orang sana yang memang sudah mengenalnya, dia merasa aman di sana.

Aku berhenti sebentar di jarak yang cukup jauh dari tempat Ibu berjualan. Rasa lelah yang terpancar dari matanya seolah-olah sedang memecundangi rasa lelahku yang habis menempuh jarak tiga jam tanpa terus pulang ke rumah. Aku selalu penasaran apa yang sedang menenggelamkan binar matanya? Mengapa bisa gelap begitu? Badannya yang bungkuk itu apakah pengaruh umur atau karena kerja kerasnya mengusahakan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?—urat-urat tangannya jadi konfirmasi. Apa aku bisa menyembuhkannya?

“Bu?” sapaku pelan merunyamkan khayalannya.

Ibu hanya menanggapi dengan menaikkan alisnya sambil tersenyum tipis. Lalu tersadar, “Lho, kamu gak masuk kerja?”

“Kan kemarin gajian terakhir. Istirahat tiga hari dulu kata Pak Joko, habis itu lanjut proyek yang di jalan pelita lagi.”

Ibu menanggapi dengan anggukan.

“Laris hari ini?” lanjutku bertanya.

Ibu menjawab, “Lumayan. Lebih banyak dari kemarin.”     

“Capek gak, Bu?”

Ibu menyipitkan matanya, sepertinya dia sudah tahu apa yang akan aku katakan selanjutnya. “Kamu kalau mau minta Ibu berhenti jualan, jawabannya tetap gak. Ibu suka jualan kayak gini. Ketemu sama penjual lain. Sayang juga kan mobilnya gak terpakai? Masa kamu nguli tapi bawa mobil, aneh. Untuk ngebantu kamu juga ini...,” lembut Ibu pura-pura bahagia.

“Akunya gak usah dibantu, Bu. Sudah waktunya aku yang gantiin Ibu cari nafkah. Gak capekah jualan gado-gado dari aku SMP sampe sekarang?”

“Ibu masih kuat. Ibu pasti bakal bilang kalau sudah capek, pasti bakal berhenti. Gak mungkin juga Ibu maksain, takutnya ada apa-apa, siapa yang bakal masakin kalian?”

Aku turun dari motorku, mulai membereskan wadah kosong di sudut bak belakang mobil, untuk ditumpuk satu sama lain. Yang kotor aku pinggirkan sebentar untuk disiram seadanya sebelum nanti dicuci bersih kalau sudah di rumah.

“Makanya ajarin Rika buat masak. Sudah mau masuk kuliah, goreng ikan kalau gak hangus, ya mentah,” ucapku kesal, sekalian menyiram wadah kotor di samping mobil. Airnya dari selang yang tersambung di toko sebelah—kami kenal dekat pemiliknya lewat Almarhum Kakek-Nenekku.

“Kan berproses... sabarlah. Jangan bikin dia kepikiran itu dulu. Dia lagi sibuk belajar buat persiapan tes SNBT-nya. Dia usahain dulu kuliahnya.”

“Harus ditanya lagi itu, Bu. Dikasih duduk baik-baik, ditanya serius. Aku takutnya dia cuman lihat temannya buat kuliah. Waktu pertama kali masuk SMA kan dia bersikeras bakal langsung kerja misal lulus nanti. Aku takutnya dia kewalahan, berhenti di jalan. Kan kasihan uangnya.”

“Ih kan kita sudah bahas ini, Sab. Keadaan sekarang kita sudah beda kayak kamu dulu. Sekarang kamu kan bisa bantu. Adikmu itu perempuan. Perempuan kalau gak pintar bakal berakhir kayak Ibu.”

“Jangan ngomong begitu, Bu,” bantahku seketika, “kalau bukan karena Ibu, kita semua gak bakalan bisa sampai di sini. Ibu sudah ngelakuin yang terbaik. Lihat kita sekarang?! Sehat, ‘kan? Hidup, ‘kan? Misal Ibu masih pikir harusnya Ibu bisa ngasih kehidupan yang lebih layak buat kita, sekarang aku tanya, memangnya kami bertiga pernah minta kehidupan yang besar? Hidup sederhana kayak gini juga asal ada Ibu di sini, ya gak apa-apa.”

Aku menggulung selang lalu membawanya ke arah keran di samping toko tetangga. Setelahnya aku menumpuk wadah yang sudah aku cuci, kuletakkan bersama yang lain di bak belakang mobil. Lalu aku tawari tanganku untuk membantu Ibu turun dari bak mobil.

“Lagian ya Bu, gak semua orang bisa punya hidup kayak kita. Ini semua sudah cukup. Gak usah mikirin hal-hal di luar kemampuan kitalah!”

Ibu mengambil alih selang, ia menanggalkan dasternya ke lutut sampai memperlihatkan legging-nya, ia jongkok dan mulai membasuh wajahnya. Walaupun ia tidak bilang, dari posturnya yang merekah seperti bunga saat mukanya tersentuh air, aku tahu betul ia kelelahan hebat. Daya tahan fisiknya sudah pasti berkurang seiring bertambahnya usia.

Ibu mematikan keran air dan bergegas masuk ke dalam mobil. Tapi dia menjeda sebentar memegang setir mobil. Aku masih berdiri di sampingnya, memperhatikan gerak-geriknya, seperti menahan sesuatu untuk tetap di pikirannya.

“Bilang saja, Bu. Kenapa?”

Dia melirikku, “Tante Fatma tadi ke sini.”

“Oh ya?” tanggapku santai. Tante Fatma memang sering berkunjung tiap ada kesempatan, karena kami enggan kembali ke Jakarta, takut Ibu dan Rika teringat yang tidak-tidak. Sepulang dari rumah Oma tadi juga aku lupa mengunjungi Tante Fatma.

“Katanya bekas rumah kita yang di sana, dibeli kembali sama Bapakmu,” jelas Ibu lalu membuang muka.

Entah mengapa selama beberapa detik aku kesulitan merespons. “Terus hubungannya sama kita apa? Bukan rumah kita juga. Rumah kita itu sekarang di sini. Tante Fatma juga salah, ngapain bawa-bawa berita gak penting kek begitu.”

“Ibu cuman berusaha mikir—,”

“Buat apa dipikirin, Bu?” Aku langsung menyanggah ucapan Ibu, “Uang-uang dia lah. Kita kan juga sudah dapat bagian pas penjualan pertama. Beruntung lagi kita waktu itu, masih ada yang mau beli rumah yang sejarahnya kek begitu.

“Kita sudah di rumah kakek-nenek sejak aku masuk SMP, hampir sepuluh tahun berarti. Ibu bilang kita lari ke sini buat ninggalin semua nasib buruk yang ada di sana. Kita bakal memulai kembali di tempat yang baru. Jadi yang ada di sana, biarin tetap di sana. Sekarang rumah kita di sini,” pungkasku. “Pulang, Bu. Hati-hati di jalan.”

 

***

Sembari menunggu eksperimen Ibu selesai, aku pelan-pelan mengubah posturku agar terarah lurus ke Rika yang berbaring memainkan handphone-nya di atas sofa.

“Ini kita ngomong serius ya, Rik. Tes-mu kapan?” tanyaku menatap tajam ke Rika.

“Mei.”

“Kamu serius ‘kan mau kuliah? Ini perkara... setidaknya... empat tahun ke depan loh?”

“Serius. Menurut kamu aku bercanda gitu sampai ngehabisin waktu buat belajar dibanding bergaul? Ikut les sana-sini, jam istirahat jadi kurang. Aku mau dan aku bisa. Ya tinggal gimana kamu sama Ibu saja sebagai donatur. Aku gak maksa loh ya. Aku tahu diri kok.”

“Aku cuman pengen kamu pikirin lagi jurusan yang mau kamu ambil. Nyamankah kamu nanti sama pelajaran-pelajarannya? Pikirin masa depannya kek bagaimana, prospek kerjanya seperti apa, yang ingin kamu dalami yang mana.”

Rika akhirnya bangkit dari baringnya. Ia melepas handphone dan duduk memeluk kedua lututnya di atas sofa. “Aku beneran pengen kuliah, pengen jadi pengacara buat ngebelain orang-orang yang gak punya kuasa, kayak Ibu waktu itu. Kamu masih inget kan, gimana pengacaranya ngebela Ibu mati-matian? Orang kayak kita bisa ngalahin keluarga Bapak. Aku tahu, kenyataannya memang gak bakalan semudah itu pasti. Tapi bukan berarti aku gak bisa berusaha, ‘kan? Buktinya Ibu menang di persidangan.”

Aku langsung menanggapi, “Tapi jangan jadiin itu alasan utama buat kuliah. Punya tujuan kek begitu bakal bikin kamu terbebani. Aku pengen kamu cari alasan yang betulan dari hati kamu, cari manfaatnya buat kamu. Supaya kamu ngejalaninnya itu santai, semangat juga karena passion-mu. Karena setelah itu, pilihan apa pun yang kamu pilih, gak bisa ditarik mundur lagi—akan berkutat di situ terus hidupmu.

“Aku khawatir karena selama ini kamu gak nunjukin ketertarikan apa pun di bidang hukum. Beda sama Naya, dia dari dulu suka gambar, Ibu sama aku dukung semua yang dia butuh. Aku cuman gak mau kamu ngerasa terjebak. Dari awal aku ngedukung kalau kamu kuliah. Cuman harus hati-hati milih jurusannya. Setahuku banyak orang yang nanti di tengah semester baru nyadar mereka salah jurusan. Akhirnya belajar gak serius karena sudah gak nyaman, bertahan karena terpaksa. Ujung-ujungnya ngaruh nanti pas kelar, bingung mau cari kerja ke mana—syukur misal ada orang dalam, gampang kalau mau dititipin—kalau gak ada? Ini bukan tentang kita, tapi tentang kamu. Jangan sia-siakan kesempatan.

“Tapi jangan juga jadiin ini sebagai penghancur semangat kamu. Bagus lagi, salah satu dari kita ada yang masuk perguruan tinggi. Orang-orang kecil kayak kita, karena gak punya banyak harta dan kuasa, harus cari hal yang lain supaya gak dipandang enteng sama orang lain,” pungkasku.

Ibu memecah suasana, “Intinya, Rik, kakakmu cuman mau yang terbaik buat kamu. Pikirin diri kamu dulu. Cuman kamu yang paling tahu yang terbaik buat dirimu sendiri.”

Tangan Ibu membawa nampan dengan tiga gelas teh hangat dan satu loyang kue lapis legit di atasnya. Sabtu pagi kami yang gerimis—sisa hujan lebat semalam sampai tadi subuh—kembali dihibur dengan eksperimen baru Ibu. Biasanya kalau sudah begini, pasti fyp tiktok-nya isinya tentang lapis legit semua.

“Rik, itu cucianmu kalau direndam lama bau loh nanti. Buruan dijemur sana!” infonya sambil meletakkan nampan di atas meja.

Seraya mencicip satu potong kue, Rika malah melanjutkan nota pembelaannya, “Bu Jessie—pengacara Ibu dulu, dari cara dia ngebela Ibu waktu itu aku ngelihatnya hebat sekali. Perempuan lho weh!? Apalagi seiring nambah umur, aku bisa lihat, perempuan sering dianggap remeh suaranya. Bahkan ada yang anggap suara perempuan itu aurat. Misal aku jadi pengacara, semua orang bakal fokus mendengar pendapat, pikiran, sudut pandang, bahkan penilaianku. Aku cuman mau kita semua ada yang bela. Kita cuman punya kita. Aku gak mau nunduk sama keadaan. Jadi orang kecil di negeri kita yang banyak penjahatnya, gak bakalan bisa bikin kita hidup tenang.”

Perhatian kami teralih sebentar ke suara motor yang berhenti di depan rumah. Terdengar sayup suara Naya mengucap terima kasih dan berbincang kecil.

“Tiap kali Ibu bilang ‘Kamu harus pintar supaya gak berakhir kayak Ibu’, biasanya aku mengelak karena gak tega. Tapi kalau aku pikir-pikir lagi, Bu... bener sih, misal Ibu lebih hati-hati lagi dalam milih alur hidup, Ibu gak perlu berurusan sama manusia sejenis ‘orang itu’ dan keluarganya. Misalnya Ibu waktu itu berani bersuara, nolak dijodohkan. Mungkin hidupmu gak bakalan serumit itu, Bu.”

“Dulu kan Ibu gak tahu kalau itu orang kek begitu. Tapi kalau Ibu gak ketemu dia, kalian gak bakalan ada. Hidup Ibu sekarang bahagia kok, karena ada kalian.”

“Ibu ngomong gitu karena kita bertiga sudah terlanjur lahir. Misalnya Ibu beneran gak ketemu itu orang, ketemu sama laki-laki betulan, atau mungkin milih ngeraih cita-cita. Kamu bakal jauh... jauh... lebih bahagia dari yang sekarang, Bu.”

Aku menyahut di tengah-tengah, “Cita-cita Ibu dulu apa sih?”

Ibu berpikir sebentar. Di sela-selanya ada Naya yang mengucap salam masuk rumah, langsung bergabung dengan kami.

“Gak ada sih. Dulu Ibu itu kepikiran mau ngelanjutin usaha kakek-nenek kalian saja... jualan sayur,” jelas Ibu kemudian matanya mencari letak jam dinding. Ibu bertanya ke Naya, “Baru jam sembilan, kenapa sudah pulang, Nay?”

Sambil mengunyah Naya menjawab, “Aku kan ke sana cuman buat formalitas, buat dokumentasi pemenang lomba.” Naya lantas mengeluarkan sebuah dokumen piagam penghargaan. Tertera di sana namanya ‘Inayah’, juara dua lomba melukis strata SMP sekabupaten Badung Barat. Hadiahnya satu juta lima ratus.

Rika mengambil piagam itu, senyumnya tulus ikut berbangga adik perempuannya dihargai. Sayangnya ketika aku lihat Ibu, matanya jatuh, sepertinya tengah memikirkan sesuatu.

“Nay...,” Ibu mulai membuka mulut lagi. Suaranya yang terdengar lirih cepat mengarahkan perhatian kami semua. “Yang nganter kamu tadi siapa, Nay?”

Naya menjawab, “Pak Hisyam.”

Setelah Naya menjawab begitu, mata Ibu kembali teduh. Apa mungkin ia khawatir Naya bertemu Bapak?

Rika bergegas ke belakang, setelah menyeduh tehnya.

“Rik, jemurin punyaku juga yang di dekat bak mandi,” mintaku.

Rika hanya mengiyakan.

Aku lanjut menguliti Naya, “Juara satu anak mana, Nay?”

Naya menyinis, “Juara dua emangnya gak cukupkah?

“Ih, bukan begitu. Pengen tahu saja.”

“Gak tahu. Lupa tadi dari sekolah mana. Bukan dari sekolahku intinya. Tapi memang bagus sih lukisannya. Tentang Ibunya yang sudah meninggal. Intinya digambarnya itu kek diambil dari atas. Ada anak kecil yang tidur di atas gambar Ibunya, tapi gambar ibunya itu kayak gambar amatir sederhana doang, khas anak kecillah. Jadi kayak, seolah-olah dia itu rindu gitu dengan dekapan Ibunya, makanya dia baring dia tas gambar Ibunya. Pemilihan warnanya ciamik, sih, gokil!”

“Kamu nge-submit lukisan yang mana jadinya?” tanyaku.

“Pemandangan negeri kita yang penuh orang-orang beriman tapi beringas!!” ucap Naya bangga sambil mengangkat tangan metal dan menjulurkan lidahnya. Hanya istigfar yang terlontar dari mulut Ibu.

“Tapi menang, kan?” lanjut Naya berbangga diri.

Tiba-tiba dari arah dapur menyahut Rika dengan tampang penuh takut. “Sabda!”

Kami semua sontak bergegas mengikuti Rika menuju ke belakang rumah tempat biasanya kami menjemur pakaian. Selama melangkah kami cukup berhati-hati sebab tanah di halaman belakang ini beberapa masih becek bekas hujan deras semalaman—sebagian lain sudah kering, jejak kucing dan anjing yang kadang berlalu-lalang sudah tercetak di tanah.

Rika menghentikan langkahnya tepat di depan jendela kamar Ibu. Mataku mengarah langsung ke jejak-jejak kaki yang tercetak di tanah—ini jejak manusia menggunakan sandal, ukurannya besar.

Aku ikuti jejak kaki ini; mulai dari di bawah jendela kamar Ibu, jalan terus menuju hutan belakang rumah yang misal kita melangkah lebih jauh akan menemui setapak yang biasa dipakai warga untuk menuju kebun cengkeh. Posisi jejak ini seperti pulang-balik sekitar sepuluh langkah dari depan jendela Ibu ke spot yang sama berkali-kali.

“Ibu gak denger apa-apa kah semalam?” tanyaku serius.

Ibu tidak menjawab. Raut wajahnya menandakan ada perkelahian di kepalanya.

“Aku sempet bangun sih pas tengah malam, sekitaran jam dua begitu. Anjingnya Bu Mira menggonggong terus-terusan. Paling cuman itu,” celetuk Naya.

Aku melirik Rika yang air mukanya sudah tampak gelisah. Matanya menunduk tenggelam dalam skenario terburuk dalam memaknai jejak kaki ini.

 

***

“SABDAAA!” jerit Rika menggema di tiap sudut rumah yang belum jadi ini; penuh takut, penuh marah, terdengar sangat nyaring.

Aku bergerak cepat meninggalkan batu bata yang sedang aku susun demi memenuhi panggilan adikku. Para tukang lain jadi tidak fokus.

Aku mendekap Rika cepat, berusaha menenangkannya sebelum menanyakan ada apa.

Rika gemetar, matanya basah, “Dia ngikutin aku ke tempat les, Sab!”

Aku melepaskan Rika dan langsung bergegas mengelilingi sekitaran tempat kerjaku, mencari keberadaan penguntit itu misal dia mengikuti sampai sini—sayangnya jejaknya pun tak ada.

Aku kembali ke samping rumah dan mendapati Rika masih tertegun ditenangi Pak Joko dengan segelas air putih.

Rika meminta kejelasan, “Laporan kamu waktu itu sudah diterimakah? Tindakan mereka mana? Aku gak bisa tenang tiap kali jalan sendirian. Ini waktuku sampai tes nanti cuman sebulan lagi loh, Sab. Bantuin aku!”

Rika jengkel bukan main, “Ini kapan berakhirnya sih dia ngikutin kita?! Mau sampai kapan kita tunggu bantuan?”

Beruntungnya Pak Joko mengiyakan misal hari ini aku hanya kerja setengah hari. Sehingga bisa aku ajak Rika menuju kantor polisi, sebab dia punya bukti baru. Di bukti video itu kelihatan sekali Bapak mengendap-endap mengikuti Rika pulang dari tempat les.

Katanya Rika sempat menegur, memintanya berhenti mengikuti. Polisi dijadikan ancaman bagi penjahat itu. Bapak terus meminta maaf sambil menangis. Hingga Rika bisa lolos ketika meminta tolong kepada rekan-rekan lesnya yang di momen itu belum pulang.

“Ini sudah dua minggu lebih loh, Pak?! Masa laporan saya belum diurus juga? Bapak saya masih saja keliling ngegangguin Ibu sama adik-adik saya. Ini sudah ada bukti lainnya loh?! Mulai dari jejak kaki, foto pelaku sampai video penguntitan pun sudah kami bawa. Apa perlu ngeluarin uang dulu baru mau diurus?!” tegasku kepada petugas yang dari perawakannya seusiaku.

Petugas itu menjabarkan, “Bukan begitu, Mas. Masalahnya memang kasus semacam ini sedang marak dilaporkan. Kasus mas, itu masuk setelah banyak kasus-kasus serupa yang belum selesai pengusutannya. Sementara petugas yang bertugas terbatas jumlahnya.”

“Lah terus bagaimana dong ini? Harus ada korban dulu baru diprioritaskan? Aneh banget sistemnya! Gak ada hati tahu gak!” Di titik ini aku makin yakin, di negeri kita, protokol berada di atas nurani. “Gini saja deh, saya minta kejelasan, kira-kira kapan setidaknya laporan saya ditindak? Gak perlu ditahan deh dianya, Bapak kirim petugas saja dulu, buat jaga.”

“Siap, Pak. Nanti kami sampaikan, supaya laporan Bapak ditindak secepatnya.”

“Ini maksudnya saya disuruh jaga diri sendiri dulu begitu sampai laporan saya diurus? Di laporan saya kan sudah tercantum, sebelumnya Bapak saya pernah coba menghilangkan nyawa kami, bukan berarti semuanya gak bakalan terulang ‘kan? Saya ini rakyat yang rajin bayar pajak lho, Pak! Gaji Anda itu!”

Dering teleponku tiba-tiba memanggil. Aku tak langsung menjawab, aku tuntaskan dulu makianku, “Sok-sok-an pakai semboyan mengayomi dan melindungi masyarakat, perlindungannya mana? Keburu ada yang mati.”

Sejujurnya dari awal mengajukan laporan, aku sudah punya firasat tindakannya akan lama menimbang dari ‘kesederhanaan’ kasus ini. Yang kita punya cuman bukti, cuman teror, bukan korban. Tidak ada disebut korban juga kalau tidak ada luka. Berbeda dengan Ibu waktu itu, jelas ada korban; ada luka.

“Halo? Sabda?” sapa Tante Imel—pemilik toko tetangga tempat Ibuku berjualan—dengan suara panik dari seberang telepon.

“Iya?”

“Ke sini sekarang. Ibumu pingsan!”

Secepat kilat kami bergerak ke pasar. Lampu lalu lintas seakan kehilangan daya tarik. Beragam maut yang berserakan di jalan juga jadi tak seram demi menjemput Ibu.

Sesampainya kami, lahan Ibu dan toko tetangga sudah dikerubungi orang-orang. Dari sini sudah bisa disimpulkan sempat ada kejadian menghebohkan. Kami bergegas masuk ke dalam toko Tante Imel, dan mendapati Ibu terbaring lemas di tengah ruangan sambil dibiarkan ia menghirup aroma terapi. Naya sudah tersendu-sendu di sampingnya.

“Tadi ada Bapak ke sini,” jelas Naya, “aku ninggalin Ibu sendirian karena katanya dia haus, mau minum dawet. Tapi pas aku balik, dia sudah berdebat sama Bapak. Bapak sampai kayak megang-megang tangan Ibu sambil nangis. Ibu berusaha buat ngelawan, tapi dia kelihatan lemah sekali. Aku langsung teriak minta tolong. Akhirnya Bapak kabur, tapi Ibu pingsan,” tambahnya makin terisak.

Tante Imel ikut bersuara, “Tadi sebenarnya sempat saya lihat. Cuman saya pikir itu pembeli. Saya kan gak pernah lihat Bapakmu. Terus rame tadi yang lagi beli sayur. Jadi perhatian saya gak full ke Ibu kamu.”

“Gak apa-apa Tante, makasih sudah langsung hubungi saya.”

“Terus ini kita bagaimana, Sab?” suara Rika pecah di tengah kalimatnya, tangannya erat mencengkeram pahanya, “Kita harus apa? Aku takut. Kok kayak, susah ya buat orang-orang kayak kita bisa hidup tenang. Kayak siapa pun yang bantu, hasil akhirnya bagaimana pun, kita bakal balik ke situasi kayak gini. Kenapa hidup kita yang harus kayak gini sih?!” Tangisnya berhamburan tanpa aba-aba; tangisan yang tidak sederhana, melainkan penuh luka dan muak.

 

***

Setidaknya masing-masing dari kami punya satu tas kain yang menanggung semua pakaian yang kami butuh. Beberapa dokumen penting seperti surat-surat tanah atau dokumen lain kami simpan di tas ransel milik Naya. Selain itu, semua barang kami simpan seadanya di dalam rumah; termasuk motorku.

Aku secepat mungkin memutar mobil bersama Ibu yang masih kelihatan lunglai, sementara Rika dan Naya masih di dalam rumah untuk memastikan semuanya terkunci rapat sebelum kami berangkat.

Tante Fatma adalah satu-satunya yang terlintas di pikiranku. Hanya mereka yang mengerti sejarah keluarga kami sampai ke akar-akarnya. Rasa sungkan aku buang jauh-jauh saat meneleponnya untuk meminta tolong. Ia membalasnya dengan nada panik sambil menangis.

Perjalanan kami diiringi matahari terbenam. Dari deretan rumah sampai pepohonan; dari terang sampai gelap; dari tangki bensin mobil terisi penuh sampai diisi kembali, kami akhirnya sampai di depan perumahan lama kami. Di depan toko sudah ada Tante Fatma menunggu untuk memberikan kunci rumah.

“Saya minta maaf sudah ngerepotin Mbak lagi,” kata Ibu menyambut Tante Fatma. Mereka berpelukan lama.

“Saya gak mungkin tega biarkan kalian keliling gak tentu arah. Kalian bisa stay di sana selama yang kalian mau. Cari solusinya. Maaf saya gak bisa ikutan karena Nurma habis lahiran, dia gak bisa jaga anaknya sendirian.”

Kami melanjutkan perjalanan selama satu jam sampai akhirnya tiba di rumah aman kami sewaktu kecil. Total durasi yang kami tempuh sekitar lima jam, sebab beberapa kali bertemu dengan perbaikan jalan. Di sepanjang jalan aku melirik tiga pasang mata yang menanggung kegelisahannya masing-masing. Bagaimana aku memperbaiki dunia mereka?

Saat menyusuri perumahan di kaki pegunungan ini, aku menyadari suasana sekitar begitu sepi. Banyak rumah yang lampunya sudah mati, bahkan ada yang sudah dirobohkan. Perumahan sederhana yang dulunya hidup ini sekarang sudah berada di ujung tanduk.

“Ini bukan ide bagus. Kita pergi aja!” kata Rika setelah mengamati lebih lama suasana sekitar.

“Maksud kamu?!” tanyaku sambil mengunci pintu.

“Kita itu di pelosok. Kamu gak lihat sudah gak ada orang di sini? Dia bakal bebas ngegangguin kita.”

Naya kembali selepas turun bertanya kepada penduduk yang masih tinggal di sini. “Katanya sih mau jadi resor, makanya warganya pada bubar, ngejual rumah mereka. Harusnya Tante Fatma bentar lagi bakal jual ini rumah.”

Kami saling menatap sebentar. Aku pribadi juga sedang memikirkan apakah ini pilihan terbaik untuk bersembunyi di tempat sesepi ini, tidak akan ada yang bisa menolong.

Aku bergegas membuka kunci pintu, “Bapak gak tahu tempat ini, kita aman! Lagian kan kamu juga sudah ngecek tadi selama perjalanan, gak ada yang ngikutin kita ‘kan?!” balasku agak emosi.

Rika tersinggung, “Kamu kalau ngomong kek begitu, nanti Bapak muncul, salah aku dong gak becus ngelihat jalan?!”

“Aku gak ngomong begitu!”

“YA APA BEDANYA!” suara Rika pecah, rahangnya mengencang.

Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Suara napas kami saling berlomba untuk jadi dominan. Aku menatap mata Rika yang sudah sembap sejak tadi, garis bawah matanya menampung semua sisa air matanya.

“Selama dia masih hidup, kita gak bakalan hidup tenang,” celetuk Rika.

Aku langsung menyanggah, “Rik! Jangan ngomong begitu!”

“Ya memang begitu faktanya,” kekeh Rika.

“Maksud kamu dia harus mati gitu?! Kamu pikir bunuh orang itu bakal gampang? Gak usah sembarangan kalau ngomong! Kita cuman punya sedikit, malah mau jadi kriminal,” tegasku.

 

***

Kami begadang sepanjang malam. Semuanya berusaha menahan kantuk. Bahkan Naya memutuskan tidak mengisi perut supaya rasa laparnya mengganggu pikirannya agar tak bisa tidur. Tapi pada akhirnya, kelelahan tak bisa ia lawan.

Kerap muncul rasa rindu saat aku perhatikan sudut-sudut rumah ini. Meskipun tak tinggal lama, setidaknya kami betulan merasa aman di sini. Tentu dengan pemantauan Mbak Salma.

Aku, Rika, dan Ibu terjaga di ruang tengah menemani Naya yang semakin terlelap.

“Kamu itu sempet dikira anak haram sama mereka,” kata Ibu tiba-tiba menatapku.

Aku memperbaiki posisi duduk, bersiap mendengar cerita Ibu yang lain.

“Ibu ‘kan nikah Januari 2005. Kamu lahirnya Juli, prematur. Tapi Bapakmu bersikeras bilang kalau itu anak hasil zina saya sama orang lain. Yang saya bingung, keluarganya itu orang berpendidikan, tapi kok kayak, gak ada naluri buat ngecek apakah saya bohong atau gak. Mungkin di mata mereka ini saya penzina.”

Napas Ibu berembus berat sewaktu mengangkat kedua lututnya untuk dipeluk. “Akhirnya kita tes DNA. Dan ya... begitu deh, 99% kebukti, minta maaflah dia ke Bapak-Ibuku. Tapi seiring berjalannya waktu dia masih kelihatan gak ikhlas buat membiayai kamu.”

“Setelah dituduh zina begitu, Ibu masih rela tinggal sama dia? Cintamu sebesar itukah, Bu?” tanya Rika gantian.

“Kalau cinta saya tidak besar, gak mungkin saya biarkan dia tiduri saya. Sebelum ada kalian, kliselah, baik di awal, perhatiannya besar, saya jatuh cinta. Tapi pas hamil, saya ingat dia bilang saya bau, di situ awal mulanya,” ungkap Ibu dengan mata kosong. Aku yakin dia tengah menyelami kenangan yang mungkin sempat indah itu pelan-pelan pahit.

“Ibu itu dari kecil, diajar buat ngomong, jangan diem kalau lagi ditindas. Tiap kali Ibu membela diri misal debat apa saja, orang itu bakal selalu ngungkit semua pengeluarannya demi kita,” matanya tertuju padaku, “demi kita berdua.”

Ibu berpikir panjang, “Mungkin dia ngerasa berat, nanggung dua orang. Sampai Rika lahir itu mungkin di kepalanya nganggep lagi Rika ini anak haram juga—entah bagaimana saya ditiduri sama orang lain. Intinya sembaranglah dia nuduh. Sambil ngejelek-jelekin Ibu, dia juga makan masakan Ibu, minta jatah batin juga meskipun Ibu bilang lagi capek. Intinya Ibu itu cuman dijadiin budak kalau dia lagi lapar, sama kalau lagi butuh disayang.”

Rika menangis lagi, tapi kali ini kelihatan sudah sangat muak. “Kenapa Ibu gak lari saja,” ia mengalungkan tangannya ke pundak Ibu.

Ibu mengusap kepalanya, “Ibu takut. Umur Ibu itu masih 20. Gak paham besarin anak sendirian itu harus apa.”

“Orang tuamu kan ada, Bu,” sahutku.

“Malulah! Kasihan juga sama mereka. Pasti bakal berat rasa bersalahnya. Ya meskipun pada akhirnya kita balik ke kakek nenek kalian, tapi kan sudah beda keadaan.”

“Jadi Ibu ngejalanin hidup dipenuhi hinaan dan pukulan, belasan tahun begitu terus?” tanyaku lagi.

“Ya gak terus-terusan. Ada juga hari-hari tenang misal pas dia lagi banyak uang. Manusia kan begitu, asal banyak uang, lupa sama hal-hal yang bikin kita jengkel. Ibu cuman berusaha merawat dia baik-baik, penuhi semua kebutuhannya tanpa ngeluh sedikit pun, sambil ngebesarin kalian satu-satu. Gak apa-apalah Ibu capek sendiri besarin anak, setidaknya Ibu gak perlu kebingungan kalau susu kalian habis, popok kalian habis. Misal kalian sakit juga cepet bisa panggil dokter karena dananya ada terus. Dan yang terpenting kalian punya rumah.”

Aku yang sekarang tak bisa membendung tangisku, “Kita gak bakalan bisa balas budi, Bu. Aku bahkan gagal jadi orang, bahagiain Ibu.”

Ibu malah tertawa, “Gak lah! Ibu gak pernah minta balasan. Ibu itu cuman berusaha meniru kakek-nenek kalian. Anak itu berkah, misal dikasih, ya disayang, jangan malah dibentak atau sampai dipukul, tapi tetap harus ditegasi. Gak ada orang yang minta dan bisa milih lahir di keluarga seperti apa. Makanya Ibu itu selalu kesal misal ada orang tua yang hitung-hitungan sama anaknya sendiri. Kayak mereka gak mikir, perlakuan mereka sekarang tuh bakal berdampak di masa depan misal mereka sudah tua, sudah gak bisa kerja—siapa coba yang mau merawat kalau bukan anak? Tapi anak mau gak. menjaga kalau dibesarinnya pakai kekerasan?”

Mendadak terdengar bunyi ranting terinjak. Suara itu jelas karena dinding rumah ini yang hanya merupakan papan saja. Kami merespons dengan diam. Aku bisa merasakan seberapa besar rasa muak yang memenuhi ruangan ini. Walau begitu, amarah juga pastinya ada.

“Kita harus bicarakan ini. Kucing-kucingan kek gini gak bakal nyelesain apa-apa.” Aku melirik ke Ibu dan Rika yang tampak berusaha menerka maksud saranku. “Kira-kira kalian mau, kita bicara baik-baik?”

Rika menjawab dengan menggeleng kepala. Sementara Ibu hanya diam. Naya menghela napas dalam, mengekspos dirinya sejak tadi sebenarnya tak sepenuhnya terlelap.

“Kita berdua saja, kak,” saran Naya.

Setelah berdiskusi sekitar dua menit, aku dan Naya memutuskan bergerak menuju ke ruang depan. Lain lagi dengan Rika dan Ibu, mereka membenahi diri di ruang tengah dengan pisau di masing-masing tangan mereka. Sejujurnya aku juga tak begitu yakin dengan ide ini, namun dengan cara apa lagi bisa menyelesaikannya? Tidak ada yang bisa membantu. Lamun ditanya solusi terbaik—seperti kata Rika tersirat: salah satu dari satu pihak harus ada yang mati.

Aku membuka pintu rumah, habis itu bergabung dengan Naya duduk berdempetan di kursi kayu yang menghadap langsung ke arah pintu depan. Kami menunggu; membiarkan angin dan siapa saja yang mau masuk.

“Masuk saja, Pak,” pintaku menghadap ke kegelapan malam di luar sana.

Seperti anak kecil yang pemalu, dia mengintip sekali... dua kali... setelah itu pelan-pelan menampakkan badannya. Kelakuannya seperti tontonan bagi kami. Sampai akhirnya ia berdiri tegak di depan pintu rumah yang terbuka lebar.

“Duduk,” rasa muak tertumpuk di atas ubun-ubunku.

Jalannya yang kecil tak kelihatan lucu, malah menjengkelkan. Di kala dia berjalan di belakang kami, langkahnya lebar tanpa takut; di depan kami dia menunduk seperti bunga layu.

“Apa maumu, Pak?” tanyaku langsung pada inti setelah ia duduk. Aku perhatikan wajahnya yang kurus kerempeng, lesu, lebih seperti tulang hidup. Mata kirinya mengingatkanku bahwa aku pernah menang—aku tidak takut.

Keringat di dahinya ia seka pelan, sesudah itu menjawab, “Saya cuman mau tahu kabar kalian.”

“Omong kosong!” langsung aku sanggah. “Tiap hari Bapak ada di sekeliling kita. Bukan kabar yang kamu mau, Pak. Sampai ngikutin ke sini itu berarti Bapak punya tujuan lain.”

“Gimana caranya Bapak tahu kita di sini? Sepanjang jalan kita merhatiin gak ada orang,” tambah Naya bertanya.

“Saya ada kok di belakang, naik motor sendiri.”

“Kenapa ngikutin?” tanya Naya lagi.

“Saya mau minta maaf.”

“Nanti, Pak!” ujarku menengahi, “pasti dimaafin. Tapi butuh waktu. Kelakuanmu gak bisa dimaafkan dengan cepat. Dengan Bapak ngikutin kita, bikin hidup kita gak tenang tiap hari setelah Bapak bebas, justru bakal bikin makin susah buat maafin. Setelah minta maaf apa lagi?”

“Saya mau bicara langsung ke Ibumu,” kata Bapak dengan kepala tertunduk.

 “Gak!” tegasku. “Setelah semua itu, Bapak pikir mereka masih mau ketemuan sama kamu? Yang ada malah inget kejadiannya. Kita itu... gak bakalan bisa jadi keluarga lagi. Sebenarnya kalau mau diinget-inget, kayaknya Bapak gak pernah berperan sebagai Bapak kami semua.”

“Saya biayai hidup kalian semua!”

“Ada berapa banyak anak di luar sana yang gak punya Bapak!? Tapi mereka semua masih bisa makan, punya tempat tinggal, punya pakean. Biayai anak gak bikin kamu sukses jadi orang tua! Saya sulung, Pak! Saya yang lihat Bapak sebejat apa memperlakukan Ibu. Terus sekarang kamu mau selain maafmu, kamunya juga ikut diterima lagi di keluarga kami? KAMI GAK BUTUH! Saya bisa hidupi Ibu sama adik-adik saya!”

Kepalanya makin menunduk. Sejenak pula aku menurunkan panas yang berkobar di dadaku. Bunyi jangkrik di luar jadi pertanda sepi di pemukiman ini, kami bebas saling bentak.

“Saya sampai pinjol, supaya punya uang untuk beli rumah lama kita. Saya pengen berusaha inget kebaikan apa saja yang Ibumu lakukan di sana. Tapi itu bikin saya sadar, saya banyak salah,” dia menjual air matanya. Persetan dengan itu!

Tawaku pecah meremehkan, “Kek ada hal indah saja di sana. Keburukanmu bahkan nutupin semua hal baik yang berusaha Ibu taruh paksa di sana. Kita ini sudah selesai, Pak! Tidak bisa diperbaiki, tidak bisa diulang.”

Dia makin menangis, “Saya mohon kasih saya kesempatan kedua,” ia berlutut seraya merapatkan dua tangannya di depan dada.

Aku dan Naya sontak bangkit dari kursi, bergerak mundur secepatnya. Lalu Ibu menggeser gorden penutup antar ruangan, ia bergerak mendekati Bapak—berapi-api.

“Kesempatan kedua kamu bilang?! Laki-laki gak tahu diri!! Mau sampai saya mati pun, saya gak bakalan lupa semua kejelekan kamu.” Ibu gemetar, ia memukul dadanya keras selagi menatap tajam ke Bapak. Telunjuknya gentar menunjuk wajah Bapak, “Anakmu hampir mati!” Ibu mendaratkan tamparan yang begitu keras ke pipi Bapak.

Ibu mengambil langkah mundur, kedua tangannya menopang pada pinggulnya. Kentara sekali upayanya meredam marahnya. “Saya gak habis pikir ya, ada orang kek kamu. Bahkan di saat kamu nyesel pun, kamu masih maksa, masih mau jadi yang paling didenger, paling dituruti maunya.”

Bapak makin terisak, ia berdiri dan langsung bergerak cepat mendekat ke arah kami. Aku sigap menahan badannya. Pitamku naik tak terkendali, tanganku mengepal tanpa kusadari, lalu melayangkan pukulan ke wajah Bapak sampai ia tersungkur.

“BAPAK TUH KENAPA?!!!” Aku berteriak di atas tenggorokanku. “Saya ajak Bapak masuk ke sini untuk bicara baik-baik! Saya gak mau ada kekerasan. Saya gak mau niru semua bentuk kekerasan yang Bapak tunjukin ke saya dari kecil. SAYA GAK MAU JADI KAYAK KAMU, PAK!” suaraku pecah, gemetar antara marah atau sedih.

“Saya sudah gak punya siapa-siapa!” ia menangis hebat, tapi air matanya yang jatuh belum mampu membersihkan dosa-dosanya. “Keluarga saya berantakan semua. Ibu saya bahkan tidak mau lihat saya lagi!” kata-katanya nyaris tak berbentuk.

Naya menyahut, “Aku bahkan udah gak inget muka Bapak. Selama ini aku juga gak ada masalah gak ada Bapak. Kita gak butuh sosok Bapak!”

Bapak langsung bergeming. Aku yakin harapannya pupus. Bahkan anak yang melihat secuil dosanya saja, enggan menerimanya kembali. Matanya berkeliling, mungkin berusaha menemukan arti dari ini semua. Aku menyadari salah satu tangannya merogoh sesuatu di belakang badannya.

Sekelebat ia mengeluarkan pisau belati dari belakangnya, mengarahkan pisau itu ke lehernya sendiri, “Kalau kalian tidak mau terima saya kembali, saya mati saja di sini!” ancamnya dengan tangan gemetar.

“MATI SAJA KALAU BEGITU! ITU YANG KAMI MAU!” teriak Rika penuh dendam. Emosinya meledak-ledak. 

“RIK, UDAH!” aku balas membentak.

“APA?! SUPAYA KITA BISA HIDUP TENANG DIA HARUS MATI!”

“Kalau dia mati di sini, siapa yang mau disalahkan?! Di sini cuman ada kita!”

Bapak mulai mengiris lehernya dengan pisau itu. Aku layangkan tendangan ke perutnya, membuatnya tersungkur ke belakang. Pisau yang tadi ia pegang terlempar ke sudut ruang tamu.

Aku hendak bergegas menjemput Bapak, tapi Rika menahanku, memelukku erat. “Kamu tegakah ngelihat aku sama Ibu ketakutan begini? Biarin saja dia mati!” Aku melirik Ibu yang sudah setengah mati mengatur jalur napasnya.

Naya malah bergerak hendak mengambil pisau yang terlempar tak jauh darinya. Dari posisiku berdiri, Naya yang membelakangi kami dan Bapak saling berlomba merangkak untuk mengambil. Naya hampir berhasil mendapatkannya, namun badannya ditarik mundur, pisau itu masih tergeletak di lantai. Lalu Bapak berhasil merebutnya, dan mengayunkan pisaunya ke Naya, barangkali supaya Naya menjauh.

Tapi tanggapan Naya aneh, ia bergeming di tempat. Sementara mata Bapak terbelalak melihat Naya. “Saya gak sengaja,” napasnya putus.

Suasana menjadi hening. Suara jangkrik di luar kembali mendominasi. Naya masih mematung dengan lututnya yang bersimpuh.

“Nay?!” Aku bergerak meraih pundaknya.

Sontak aku berteriak histeris mendapati leher Naya tersayat dengan darah yang mengalir deras. Aku gemetar saat berupaya membaringkannya. Ibu dan Rika seketika mengamuk, mereka berteriak, memberontak ke arah Bapak.

Air mata Naya jatuh, ia tak bisa bersuara. Aku melepas pakaianku, menutupi luka sayatan itu, lalu menekannya pelan. Darahnya merembes di sela-sela jariku. Entah mengapa badanku terasa jadi lebih berat. Tanganku gemetar.

“Ayo ke rumah sak—“ kalimatku putus saat aku tengok keberadaan Rika dan Ibu—mereka berdua bekerja sama: Ibu memegang kaki Bapak, sementara Rika di belakang Bapak, memiting kepala dan menggorok leher Bapak dengan pelan dan dalam menggunakan pisau belatinya sendiri. Badanku membeku.

Bapak menggeliat seperti ayam yang disembelih. Darah menenggelami lantai rumah aman ini.

“KENAPA?!” teriakku kepada Rika. Tatkala Ibu bergegas mengecek keadaan Naya, suaranya sampai parau meneriakkan nama anaknya. Kalimat istigfar berulang kali ia sorakkan.

Naya digendong Ibu dengan perintah, “Sabda! Ke rumah sakit!!!” Kemudian Ibu bergegas ke luar diikuti Rika.

Aku menatap Bapak yang perlahan tak lagi bergerak. Perasaanku tak karuan. Ini semua akan berdampak buruk berkepanjangan. Aku tidak tahu akan seburuk apa lagi hidup kami setelah melakukan dosa ini.

 

***

Aku mengendarai mobil dengan tangan dan badan dipenuhi darah. Rika yang duduk di tengah sudah kehabisan air matanya. Sedangkan Ibu bersusah payah menekan luka pada leher Naya. Dalam hati aku hanya berdoa supaya sayatannya tidak begitu dalam.

“Aku gak ngerti tujuan kamu, Sab!” ucap Rika, tidak terhitung berapa kali ia menggeleng kepala.

“Ikuti saja rencanaku,” kataku. “Kita bawa Naya dulu. Habis itu bicara.”

“Kasih tahu saja kenapa sih?! Itu Bapak kamu bawa di belakang buat apa?!”

Aku bicara dengan nada rendah, “Ini yang terbaik untuk kita semua.”

Sekitar 20 menit waktu yang dibutuhkan agar kami sampai di klinik terdekat. Selama waktu itu juga kami menghabiskan waktu menangisi luka masing-masing. Tidak ada lagi berbagi kisah, semuanya punya geramnya masing-masing.

Ibu tertatih saat keluar mobil sambil membopong Naya masuk ke dalam klinik.

“Aku mau kamu dengerin aku!” ujarku seraya menahan tangan Rika.

“Aku yang bunuh Bapak,” tambahku yang seketika disambut penolakan dari Rika.

Mulutnya gemetar, “Gak. Jangan begitu Sab! Biar aku yang tanggung jawab. AKU YANG LAKUIN!” Rika menggenggam erat tanganku.

“Biarin aku berguna sekali ini saja. Memangnya kamu masih bisa masuk hukum kalau punya catatan kriminal?” Aku berusaha menekan suaraku agar tak terdengar keras. Sesekali aku tengok apakah ada yang menyadari bahwa ada pria yang mungkin sudah mati di belakang mobil kami.

“SIAPA YANG MIKIRIN CITA-CITA KALAU KEADAAN SUDAH KEK GINI!” amuk Rika, memukul bahuku berkali-kali.

“HARUS TETAP DIPIKIRIN! Kamu harapan kita buat bikin keluarga ini punya perlindungan, jadi lebih baik. Hidupku sudah selesai dari dulu. Kamu, percaya saja sama Ibu, dia pasti bisa bantuin kamu jadi orang. Jangan jadi kayak Bapak, Rik! Jangan pernah kamu ulangin yang kamu lakuin tadi.” Air mataku jatuh lagi. “Pikirkan masa depan kita semua, aku mohon.”

Aku mendorong; memaksa Rika keluar dari mobil. Lalu secepat kilat bergegas ke kantor polisi. Dari google maps di handphone-ku butuh setidaknya lima belas menit untuk sampai. Selama rutenya aku tempuh, aku mengeluarkan semua unek-unekku: marah, kesal, makian, rintihan, semuanya tumpah di jalan.

“Tolong saya! Saya bunuh Bapak saya!” Aku keluar dengan tangan dan badan yang bersimbah darah. Bapak masih tergeletak di bak mobil, sekarat. Petugas polisi yang menyadari keadaanku langsung sigap mengambil posisi.

 

***

Tanganku gemetar memegang mikrofon.

“Terdakwa, sebelum Majelis membacakan putusan, apakah ada hal yang ingin Anda sampaikan?” pinta Hakim menatapku.

Tenggorokanku aku basahi sebelum mulai berbicara.

“Dari kecil, saya tidak pernah merasa punya Bapak. Saya gak pernah punya kenangan bercanda dengan Bapak; bermain dengan Bapak; jalan-jalan ke mana saja sama Bapak; saya gak pernah merasakan itu semua. Saya bahkan gak yakin, Bapak saya pernah anggap saya anak. Salah sayakah? Padahal kalau bisa milih, saya milih punya Bapak yang tahu caranya jadi Bapak. Gak cuman sekadar ngasih makan, rumah, tapi ada kasih sayang juga. Rasanya ironis inget saya tumbuh besar lama-kelamaan sudah gak peduli lagi, gak yakin juga butuh kehadiran Bapak. Biasanya anak-anak itu, nunggu... Bapaknya pulang. Tapi di saya kok, saya malah takut tiap Bapak pulang.”

Seperti ada yang mengganjal di dadaku, “Kita ini keluarga tapi kok saling bunuh, ya?” Air mataku jatuh tak bisa terkontrol, “harusnya kita saling sayang ‘kan? Saling peduli satu sama lain. Saling melindungi.”

“Saya bunuh Bapak saya bukan karena dendam, tapi demi bertahan hidup.”

 

Selesai.

 

SEMUA SAKIT TAK SEMUA SEMBUH by Esde Em

 

 

 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Hai Kamu, Jangan Bersedih!
aulia puspita dewi
Flash
Riana -Perkenalan- eps 1
Anisah Ani06
Cerpen
Semua Sakit Tak Semua Sembuh
Esde Em
Novel
Gak Sengaja Poligami
Indra Hermawan
Komik
Prabhasvara
Billy Yapananda Samudra
Skrip Film
Landau Badai
Sarah Nurul Khotimah
Flash
Nada
Rena Miya
Cerpen
Bronze
Rain Shower
𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Cerpen
Bronze
Bintang Pagi
Zaki S. Piere
Skrip Film
Sartono, Angkat Senjatamu
indra candra
Flash
Bronze
Kehilangan
B12
Novel
Sayat
gita milanda
Novel
Kubalas Kesbongan Ipar Dan Mertuaku
Indah Ratna Sari
Flash
Jam Lima
SIONE
Cerpen
Bronze
Rambut Baru Oma Nana
Habel Rajavani
Rekomendasi
Cerpen
Semua Sakit Tak Semua Sembuh
Esde Em
Cerpen
Ada Apa dengan Pria Setengah Abad?
Esde Em
Cerpen
Keluarga Besar Kecil
Esde Em
Skrip Film
Siapa Bapak Siapa
Esde Em