Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Semua Juga Tahu
0
Suka
350
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Semua Juga Tahu

oleh Kinanthi

Semua juga tahu. Tapi apa mau dikata dan apa daya? Bukankah hanya makhluk yg sanggup beradaptasi yang bisa hidup lebih lama? Konon, dinosaurus, mammoth berbulu, moa, burung dodo, punah karena tidak sanggup beradaptasi. Sebaliknya, buaya,penyu, hiu, kecoa, bahkan semut dan rayap sebagai sisa-sisa makhluk purba tetap eksis sampai kini karena sanggup beradaptasi.

Aku atau tepatnya kami, hidup pada era materialisme, konsumerisme, bahkan media sosial melengkapi dengan fleksingisme. Maka, lengkap sudah deritaku sekaligus keputusanku, bukan? Aku tak berdaya. Ya, begitulah faktanya. Lalu apa mau dikata?

Dari sekian pengantre, pemberi kode-kode suka kepada trikku bahwa aku bisa memanjakan wanita, tentu ada yang teristimewa. Untuk apa? Tentu untuk hidup nyaman dan tenang serta damai bahagia pada era materialisme, konsumerisme, dan flexingisme ini. Dari sekian pengantre, yang paling sanggup memberikan umpan balik alias kesetaraan hanyalah Vania.

Ya, Vania memiliki segalanya untuk dipamerkan. Pekerjaan bergengsi sebagai bukti benar-benar pandai maupun banyak relasi, siapa yang peduli? Bahwa Vanialah yg kini menduduki tangga teratas, itu pun bukan hal yang harus dibahas. Toh semua pun tahu itu. Oleh karenanya, fokus kode-kode pun, persentase terbanyak tentulah untuknya.

Naurita memahami hal itu dan ia pun tidak berkutik tidak pula berkomentar dengan nada sirik. Ia memang harus sadar diri diposisikan sebagai pilihan. Naurita dan seperti pada umumnya wanita modern, memang tidak begitu peduli pada kesendirian di bumi patriarki ini. Untuk apa pamer telah memiliki lelaki, jika mereka belum sepenuhnya menyadari bahwa kesetaraan gender semestinya merupakan bagian dari empati? Maka, mereka pun kembali kepada setelan pabrik, bahwa hidup mereka sesungguhnya tidak bisa jauh- jauh dari materialisme, konsumerisme, dan flexingisme. 

Apabila uang dari hasil kerja keras telah dimiliki, hobi berbelanja pun bisa segera menepis kegalauan dan kejenuhan, apalagi yang dicari? Apabila mereka merasa lebih baik hidup sendirian daripada berbagi uang dengan pasangan adalah pilihan, tentu tidak mudah dibelokkan. Huh .. benar-benar wanita deh dan aku pun tak berkutik dengan hobi mereka berbelanja apa saja dari yang paling penting, penting, agak penting, sampai tidak penting banget.

Naurita bertahan menungguku. Apakah ia rela diposisikan sebagai korban? Atau ia tidak ingin dianggap sebagai pecundang setelah pernah meninggalkanku? Ia memang pernah mengatakan dikhianati sungguh sakit, tapi berkhianat sungguh jauh lebih sakit. Maka, ia pun bertahan dalam kesendirian bersama wanita- wanita yang juga betah hidup sendirian dengan berbagai alasan. Kesamaan mereka adalah mereka sudah mandiri dalam keuangan.

Naurita tentu menganggapku melemparkan kode-kode kepada Vania demi uangnya atau menganggap aku masih marah kepadanya dalam dendam membara pula. Oleh karena itu, aku menggantungnya dalam perjuangan di jalan melingkar tanpa ujung perhentian.

Sungguh aku tak sekejam itu. Naurita mana tahu Vania pernah taruhan dengan teman-temannya, bahwa aku pasti dapat ditaklukkannya di bawah sepatunya. Sepatu tersebut menginjak tebaran uang yang ditaburkan dari pesawat terbang . Buktinya aku suka pada Naurita yang telah bekerja duluan. Taruhan yang menjengkelkan, bukan? Maka, salahkah kalau aku berpura-pura terjebak kemudian terjerat? Kita lihat saja nanti, siapa yang kena jerat dan terjebak bak tikus masuk ke dalam jepretan berumpan ikan asin? Aku atau Vania?

Rasa penasaran memang tak kenal waktu dan aku telah membuang waktuku selama lima tahun demi mengikuti permainan tarik ulur ala Vania. Tapi Vania memang sungguh cantik dengan postur tubuh bak manekin. Beberapa kali kulempar trik dengan cara memamerkan kedekatanku dengan Naurita. Bagaimana reaksinya?

Jika reaksinya tak mau tahu, bahkan seolah menantang untuk mendepak posisi Naurita dengan alasan dirinya lebih pantas, meskipun Naurita kukenal lebih dulu, pastinya aku ilfil terhadap tipikal demikian, bukan? Tapi Vania malah seolah penyu yang memasukkan kepala ke dalam cangkang manakala mendapati aku dekat dengan Naurita. Hatiku pun terharu dan dilanda rindu menggebu.

Aku kadangkala juga merasa terjebak oleh permainan tarik ulur ala Vania, sama dengan dirinya yang mungkin juga merasa terjebak oleh trik tarik ulur yang kulakukan. Permainan yang mengasyikkan sampai membuat kami lupa waktu.

Manakala di luar pengetahuan Vania, aku berkencan dengan sekian wanita, bukan hal yg mengherankan jika aku pun beranggapan Vania melakukan hal serupa. Semakin tidak pernah memamerkan kedekatan dengan pria, aku semakin curiga. Apalagi trik yang kulakukan dengan pamer beberapa wanita, tidak mampu membuatnya bereaksi meniru ulahku itu.

Ia justru diam seribu basa. Trik saling tarik ulur kami lakukan seolah pameran praktik ilmu politik tingkat tinggi. Hal yang memang sangat menarik untuk dihayati prosesnya dan ditunggu endingnya oleh semua orang. Ulah yang diam-diam kulakukan dan akulah tokoh utamanya. Busyeet. Tapi apa mau dikata? Aku sungguh tak berdaya.

Akan halnya Naurita, semua orang maupun dirinya, tentu beranggapan aku masih dendam kepadanya sehingga kabar positifnya, aku akan kembali kepadanya. Aku akan memaafkannya jika tak kutemukan ketulusan dari wanita lain yang melebihi dirinya. Ia pun tentu akan pasrah dan tabah menerima hukuman dosanya tanpa tawar-menawar sebagai risiko pernah meninggalkan lalu kembali mengajak berbaikan.

Dugaan terburuk, demi dendamku, aku sengaja menggantungnya dan bereaksi tidak suka kepada segala aktivitas bahkan gaya busananya. Dengan demikian, ia akan dikenal sebagai wanita beku, pemalas, jelek dan tampak tua, sehingga wajar jika tak laku-laku, karena sama sekali tak ada daya tariknya. Apa mau dikata, toh reaksiku tak suka aktivitasnya itu pun didukung para psikopat lelaki yang pernah diabaikannya dan psikopat wanita yang tidak suka kepadanya. Bah, apa peduliku. Habis perkara daripada bermasalah dengan mereka.

 Di luar itu, aku tentu dicurigai akan diam-diam menikahi wanita pilihanku tanpa sepengetahuan Naurita, agar ia merana sampai akhir hayatnya, toh ulahku itu dalam arahan para psikopat. Tentu wanita tertulus melebihi dirinya, yang tak pernah pamer potensi keuanganku pada masa depan. Ia bisa menerima kekuranganku layaknya seorang ibu, meskipun aku enggan bersibuk dan ingin bersantai di rumah saja, meskipun tak indah bukan masalah, toh potensi finansialnya tak akan merepotkan kami berdua dan tujuh turunan berkelimpahan tanpa campur tanganku dalam mencari uang. Semua tentu menduga demikian. Namun, apa mau dikata. Lagi-lagi aku tak berdaya membelokkan prasangka orang. 

Jauh di dasar hatiku, sesungguhnya aku hanyalah merasa hampa. Dulu, sebagai remaja yang idealis, aku tentunya mengingini sebuah keluarga bahagia. Keluarga dengan seorang isteri dan beberapa anak yang menjadi syarat sah dan ikhlasnya diriku membanting tulang bekerja asalkan dapat uang tanpa hiraukan bakat dan minat. Demi anak isteri, aku rela berangkat kerja pagi-pagi pulang senja hari, dan begitu selalu rutinitasku sampai akhir hayatku nanti. Hal yang semula membuatku keheranan, tapi seiring waktu, aku bisa beradaptasi pula dengan keadaan. Toh, faktanya, lelaki-lelaki lainnya pun banyak juga yang demikian.

Adakalanya, jika ada sedikit waktu dan uang, sebagai hiburan luka hati yang tidak merasa ikhlas hanya diperankan sebagai mesin uang, sesekali mabuk lalu berkencan dengan wanita-wanita bayaran tentu bisa menghilangkan ketegangan. Ketegangan akibat merasa diperalat makhluk berjenis perempuan. Perempuan yang apa pun lagaknya, ternyata sama saja. Sama-sama suka uang.

Mereka yg memiliki naluri ingin punya anak, aku pula yang harus banting tulang cari uang. Mereka yang malu digelari perawan tua, aku pula yang dituntut untuk segera menikahi. Mereka yang ingin bangga saat ditanyai suami kerja di mana, aku pula yang mematuhi bekerja sesuai arahan sang Dewi meskipun tidak sesuai potensi.

Cara- cara mereka mendekat sungguh memikat sehingga sebagai lelaki aku pernah beranggapan begitulah seharusnya manusia lelaki. Lelaki yang harus selalu patuhi arahan sang dewi dalam mengais sesuap nasi tapi di dalamnya harus bertabur berlian. Aku harus rela banting tulang bernyali tinggi sedikit tanpa hati, demi sang dewi pujaan hati yang cintanya seputih melati.

Tapi, cinta pertamaku kandas. Aku merasa ditinggalkan tanpa alasan yang jelas. Hal itu membuatku putar haluan secara tegas. Secara tegas dan tanpa hati pula, kupameri wanita-wanita dengan potensi masa depanku yang bakal cerah dengan uang berlimpah tumpah ruah jos kotos-kotos. Sudah dapat diduga, mereka pun mengelilingiku bak laron berebut cahaya lampu.

Bahkan, mereka yang masih terikat tradisi bahwa lelaki adalah sandaran utama pengais rezeki pun memburuku tanpa hati meskipun aku mengatakan tak sendiri. Ada Naurita yang ingin kembali setelah mengkhianati dengan alasan yang tak kumengerti. Mengapa ia ingin kembali setelah aku memamerkan potensi bakal menaburi wanita dengan materi?

Mereka pun mengatakan janganlah mau kembali. Lebih baik carilah pengganti yaitu diri mereka sendiri. Sosok yang lebih layak bersama denganku si tampan yang kelak berlimpah uang!! Lalu apa bedanya dengan Naurita? Ia malah sudah mau kepadaku andaikan tidak mengalami gangguan rahim dan tanpa kupameri ini itu, hanya tekat baja untuk melindungi jiwa raganya. Maka, aku pun garuk -garuk kepala semakin tak paham jalan pikiran wanita.

Kembali aku teringat Vania. Manakala aku pamer potensi berdompet tebal pada masa depan, ia pun pamer hal serupa. Manakala aku pamer ada Naurita lebih dulu di hatiku, ia pun bersembunyi di cangkang bak penyu, seolah setulusnya memintaku kembali kepada Naurita. Itu karena ia tak tega menjadi orang ketiga antara aku dan Naurita.

Ulah Vania benar-benar membuatku serasa gila didera rindu dendam kesal dan penasaran. Sekilas wajah Naurita membayang dengan sendu. Ia mengatakan kondisi rahimnya tidak baik-baik saja karena ada kista yang membuat kecil kemungkinan bisa punya anak. Lalu ia pun meninggalkan aku begitu saja seolah aku lelaki tak punya hati tak punya empati.

Ulah meninggalkan yang bagi banyak orang malah dimaknai sok baiklah, sok idealislah, dramalah, manipulatiflah, padahal menurut dugaan mereka, sesungguhnya aku ditinggal karena aku belum mandiri saat itu. Ingin aku menepis suara suara sumbang tersebut, tapi bayangan Vania beberapa kali mengacaubalaukan konsentrasi untuknya, sedangkan orang lain pun tak ada yang berusaha menyelamatkan aku.

Para lelaki seolah menertawai karena paham untuk bersama Vania bukan hal mudah karena kami berbeda budaya dan sebagainya, sedangkan para wanita pun setali tiga uang. Banyak yang berlagak memancingku via lagak maupun suaranya yang dibuat mendayu, agar aku melupakan Vania dan Naurita. Mengapa? Tentu saja karena ingin merasakan taburan uang dari udara, sehingga mereka siap menggantikan keduanya.

Duh, ini mimpi atau fakta? Entahlah. Aku terbangun dan selalu merasa terbangun seolah tengah berjalan tanpa arah dan tanpa ujung perhentian. Aku menyadari tengah hidup pada era materialisme, konsumerisme , dan fleksingisme, tapi mengutip falsafah Jawa, “Ngono ya ngono ngona ngono ning aja ngono”, membuatku ngeri.

Aku serasa berjalan di atas tumpukan duri, di antara orang-orang tanpa hati dan empati, sehingga aku ingin lari dan lari, entah ke mana kaki melangkah, asalkan aman dari mereka yang membayangkan uang bakal bertebaran dari udara, dan akulah penebarnya. Gila. Aku merasa dikejar karena dianggap bakal menjadi mesin uang. Sungguh, aku merasa ngeri dan ingin lari serta terus berlari tanpa arah pasti.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Semua Juga Tahu
Kinanthi (Nanik W)
Cerpen
Bronze
Kopi 7
syaifulloh
Flash
Bom
Rahma Nanda Sri Wahyuni
Flash
Bronze
Hantu koplak
penulis kacangan
Komik
Bronze
KEMBAR SIAL
Agam Nasrulloh
Flash
Bronze
Memadu kasih
penulis kacangan
Flash
Satu Jam Saja
Hans Wysiwyg
Komik
Lelaki Koin
Ockto Baringbing
Komik
Bronze
Petualangan Athan dan Detektif Mammo
Andy widiatma
Flash
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
Steffi Adelin
Komik
Tomodachi
Author Tomodachi
Cerpen
Bronze
Kucingku Kena Pelet
Novita Ledo
Flash
Ipar Adalah Marmut
Alviandromeda | DigitAlv
Flash
Suara Misterius
Saifan Rahmatullah
Cerpen
Balada Ikan Siap Goreng
Rie Yanti
Rekomendasi
Cerpen
Semua Juga Tahu
Kinanthi (Nanik W)
Cerpen
Bronze
Tergiur Bunga
Kinanthi (Nanik W)
Novel
Bronze
Agar Kamu Tidak Sombong
Kinanthi (Nanik W)
Cerpen
Bronze
Pagutan Rocan
Kinanthi (Nanik W)
Novel
Bronze
Karena Umur
Kinanthi (Nanik W)
Novel
Bronze
Menolak Takdir
Kinanthi (Nanik W)
Cerpen
Bronze
Ada Apa di Balik Itu?
Kinanthi (Nanik W)