Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Semua Butuh Waktu
1
Suka
21
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah kota yang dikenal dengan kelimpahan pertanian membuat aku hidup berdampingan dengan hamparan sawah. Pagi hari aku disibukan dengan mencangkul, menanam benih, merawat tanaman, hingga memberi pakan hewan ternak yang kami punya. Kadang, aku beralih profesi sebagai tukang ojek para tetangga yang ingin pergi ke pasar. Ya, daripada aku hanya berdiam diri dirumah dan merebahkan badan setiap waktu, lebih baik aku menjadi tukang ojek. Itung-itung sambil menunggu panggilan kerja yang entah sampai kapan, terpenting ada sedikit uang untuk aku bertahan.

Dua tahun hal itu terus aku ulang setiap harinya. Jika ada panggilan wawancara kerja, barulah aku pergi ke kota untuk melamar pekerjaan. Sayang, sudah lebih dari lima puluh perusahaan yang menolaku. Sekalinya di terima, aku harus membayar uang muka seharga motor baru. Alhasil, yang bisa aku lakukan hanya terus berusaha. Entah usaha apa yang bisa mendefinisikan kegiatan ku saat ini, selain pergi kesawah, pasar, masjid, kamar, dapur dan lapangan sepetak yang biasa digunakan untuk bermain voli.

Saat kelulusanku tiba, ku pikir hidupku akan lebih baik lagi. Gelar sarjana yang selalu dibanggakan oleh keluarga besar dan penduduk di kampungku. Nyatanya, tidak bisa membuat mereka bahagia sepenuhnya. Lembar ijazah yang dianggap sakral itu, hanya tersusun rapi diatas lemari yang sudah mulai usang.

Aku mulai membayangkan jas berdasi dengan sepatu pantofel, duduk di meja berAC, dengan name tag dari perusahaan terkenal. Belum ditambah gaji bulanan dan tunjangan yang membuat aku bisa membeli barang mewah setiap bulannya. Memamerkan destinasi wisata yang sudah lama ingin aku kunjungi. Semua itu nyatanya hanya mimpi seorang sarjana dari kampus kecil di daerahku.

Empat bulan pasca kelulusan. Berbagai lamaran yang diajukan, belum juga menemui titik terangnya. Teman-teman sebaya sudah mulai memamerkan teman-teman barunya di kantor. Beberapa juga sudah mulai menunjukan lanyard ala ala corporat yang membuat semua mata tertuju padanya. Belum lagi barang-barang bagus yang dengan bangga ditunjukan sebagai hasil jerih payah selama bekerja. Sedang aku, masih saja berkutat di belakang rumah mengurusi kebun dan hewan ternak yang ku punya.

Sesekali teman-temanku mampir ketika mereka sedang berlibur. Menceritakan kesibukan dan pencapaian yang sudah di dapatkan membuat senyumnya terbuka sangat lebar. Disatu sisi, aku sangat senang karena teman dekatku yang terbiasa hidup susah diperantauan, akhirnya menemukan jalan hidupnya. Tapi disisi lain, ada perasaan kesal, iri, minder dan marah setiap kali melihat mereka menunjukan pencapaian mereka. Dalam hati terkecil, seolah aku adalah orang paling gagal dan menderita di hidup ini.

Bapak dan Ibu yang sering memerhatikanku seringkali menasehatiku supaya tetap sabar dan terus berusaha. Berulang kali ucapan, “sabar ya nak, yang penting kamu udah usaha” terdengar seperti radio yang memuakan di telinga.

Aku tau mereka berniat untuk menyemangatiku. Tapi, entah kenapa ada perasaan yang menolak seolah nasehat mereka adalah basa basi belaka saja.

“Sampai kapan aku begini, Pak?” kataku keras sambil menahan emosi yang sulit dibendung

“Nak, selalu ada jalan kok kalo kamunya berusaha. Tuhan pasti adil,” jawab Bapak menenangkan

“Adil adil kalo akunya masih gini-gini aja ya kapan bisa sukses lo, Pak”

“Sabar Eka, sabar…” tenang Ibu

“Bapak sama Ibu juga selalu usahain yang terbaik buat kamu kok, Nak. Kamu jangan ngerasa mangkul semuanya sendiri ya, Nak. Perbanyak solat dan berdzikir,” ucap Bapak

Ya. Ucapan-ucapan yang dikaitkan dengan agama menjadi senjata mereka untuk menenangkan diriku. Meski ada benarnya juga, tapi ada perasaan kecemasan dan ketakutan yang menhantui diriku setiap harinya.

Untuk apa aku kuliah mahal-mahal jika ujung-ujungnya hanya pengangguran?

Mau jadi apa aku dengan title sarjana yang sudah aku punya?

Kenapa lama sekali prosesku ya Tuhan…

***

Menginjak satu tahun pertama menjadi pengangguran membuat aku kebal dengan semua omongan dari para tetangga. Ucapan seperti, “kok sarjana nganggur, Mas?” atau “tuh lihat, sarjana itu gak ngejamin bisa dapet kerjaan. Mending anak kita langsung kerja aja” dan ucapan-ucapan lainnya.

Aku juga sudah mulai jarang berinteraksi dengan teman kampusku. Selain karena kesibukan mereka, aku juga enggan membuka percakapan yang hanya berisi pencapaian dan adu gengsi. Sesekali aku membuka sosmed untuk mencari hiburan dan pekerjaan. Seringnya, aku berdiam di sawah sambil menjaga sawah dari para hama.

Beberapa kali aku juga diajak oleh Bapak untuk mengisi pengajian di desa. Beberapa kali juga diamanatkan oleh Pak RW untuk mengurusi para remaja di kampungku. Tapi itu semua tidak setiap hari, dan bukan menjadi sumber pemasukan utamaku. Mungkin hanya sebagai bentuk pengabdian kecil kepada desaku dengan sedikitnya pengetahuan yang aku peroleh semasa kuliah. Sedangkan pemasukan utamaku dari mengojek, menjadi kuli yang membawa hasil tani warga ke pasar, mengangon domba dan merawat hewan peliharaan milik tetangga.

Sesekali aku juga membuat sketsa gambar di kertas buku sekolah hanya untuk mengisi kekosongan saja. Ya, menggambar dan bermain voli adalah hobiku. Mungkin jika dahulu Bapak tidak bangkrut usahanya, bisa saja aku melanjutkan karir sebagai pemain professional voli. Soalnya, sejak kecil aku juga sering mengikuti lomba voli antar kampung maupun sekolah. Potensi itu yang akhirnya membuat aku bisa masuk kuliah dengan program beasiswa atlit. Namun sayang, sewaktu SMA, aku mengalami patah tulang dipergelangan yang membuat kedua orang tuaku harus mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan. Disaat itu juga, usaha Bapak harus gulung tikar karena semua uangnya dibawa lari oleh teman Bapak yang sekarang entah dimana keberadaannya. Akhirnya, kecemasan Bapak dan Ibu terkait kesehatanku juga menjadi penyebab aku harus mengubur mimpi menjadi seorang atlit voli.

Alhasil, aku melanjutkan perkuliahan dan mengambil jurusan bahasa Indonesia. Sewaktu ditanya mengapa aku mengambil jurusan tersebut, dikarenakan kesukaaanku membaca karya Sapardi Damono, Joko Pinurbo, Chairil Anwar dan penulis lainnya. Kehebatannya dalam menyusun kata menarik emosionalku, sehingga ada rasa takjub yang hadir kepada mereka. Sehingga, disela-sela kesibukanku dalam berkuliah dan bertahan hidup, menulis adalah wadah untuk menuangkan segala keresahanku. Pun demikian dengan menggambar.

Ibaratnya, jika menulis adalah bahan bakar dalam berimajinasi, menggambar adalah apinya yang mampu mengobarkan isi hatiku. Sehingga, pasca mengubur mimpi sebagai pemain voli, aku hanya bisa berkeluh kesah dengan pena dan buku tulis saja.

Aku juga terbiasa mengirimkan tulisan-tulisanku di berbagai media. Beberapa terbit, beberapa lagi hanya ku publish lewat platform blog pribadi. Bahkan pernah sekali aku dipanggil media besar untuk membedah buku pribadiku baik dari sisi coretan visualku ataupun diksi yang ku tulis. Setelahnya, ada perasaan bangga ketika akhirnya karyaku diakui oleh banyak orang

Tapi prediksiku melesat jauh. Tulisan dan gambar yang seringku buat, hanya jadi bahan bakar bagi teman-temanku untuk mengejek ku. Katanya, tulisanku hanya bisa menjual kesedihan saja, atau tulisanku adalah tulisan alay yang dibuat oleh lelaki pengecut. Sedangkan gambarku tak jauh dari coretan anak TK yang belum bisa menggambar alias sangat butut.

Perundungan itu membuat aku juga sangat malas untuk bergaul dan memendam kekesalan sendiri. Sehingga, hari-hariku diperantauan hanya disibukan dengan tugas kampus, tulisan-tulisan pribadi dan berbagai macam jenis gambar.

Ingin rasanya menjadi seorang penulis atau penggambar hebat. Tapi melihat kondisi finansial keluarga, selalu saja meruntuhkan mimpi besar itu. Ingin sekali rasanya lepas dari lingkaran kemiskinan yang terus berulang-ulang, tapi rasanya terlalu angkuh jika kehadiran kasih sayang kedua orang tua adalah anugerah yang tiada harganya. 

Sampai tak terasa, dua tahun aku menjalani hari sebagai masyarakat pedesaan pada umumnya. Rasa kekesalan itu mulai hilang, entah karena aku yang tidak bersemangat lagi mengejar mimpi besar, atau sudah terlalu nyaman dengan kegiatan rutin di rumah. Yang jelas, kini aku mulai nyaman dengan hidup yang biasa-biasa saja itu.

***

Jam menunjukan pukul lima pagi. Matahari masih mengintip malu dibalik awan malam. Sekali dua kali ayam berkokok keras membangunkan penduduk sekitar. Tumpukan hasil pertanian berserakan di sepanjang jalan dekat pasar. Hiruk pikuk masyarakat beradu suara dalam tawar menawar. Sedang aku melajukan motor astrea milik bapak untuk merapat ke kota.

Hari ini aku kembali pergi ke kota untuk memenuhi panggilan pekerjaan. Aku melamar menjadi admin di salah satu Bank ternama. Setelah mengikuti seleksi berkas dan tes, aku dinyatakan lolos dan lanjut ke tahap terakhir yaitu wawancara.

Dengan penuh semangat, ditemani dengan dinginnya angin pedesaan dan jaket kulit tebal yang menghangatkan tubuh. Ku lalui jalanan rusak itu dengan harapan yang kembali menggebu-gebu.

Empat puluh lima menit berlalu, akhirnya aku tiba di depan gedung yang cukup besar. Beberapa orang dengan seragam putih hitam dan membawa map terlihat berlalu lalang. Ada yang komat kamit penuh kegelisahan, ada yang asik merokok sambil mengobrol, ada yang ditemani oleh orang tuanya, ada yang hanya diam. Sedang aku, memilih diam sambil merokok di kursi Indomaret sambil mencorat-coret buku pribadiku.

“Mas, lagi nunggu tes wawancara ya?” ucap salah seorang lelaki

“Eh, iya mas. Mas nya juga?” jawabku setengah gugup, sambil menutup coretan yang belum selesai

“Oh enggak, aku hanya menganter adikku aja sih,” balasnya sedikit tertawa

Aku sedikit kikuk karena merasa sok tau. “Oh begitu ya,”

“Rokok mas,” tawar orang itu sambil menaruh rokoknya di meja

“Eh nggih mas,” balasku tersenyum

“Tadi ku lihat-lihat, kamu lagi ngegambar ya, Mas?” tanya orang itu

“Eeeee Iy-ya mas,” balasku sedikit canggung, “kenapa gitu mas?”

Orang itu kemudian menyuruhku bersikap santai dan mengulurkan rokoknya. Dengan senang hati, akhirnya ku nyalakan rokok tersebut dan mulai melakukan perbincangan dengan keduanya.

Lelaki itu bernama Fikri. Dia seorang manajer agency kreatif di Jakarta yang sudah menangani banyak proyek artis dan musisi. Mengetahui bakat dan kesukaanku dalam menggambar dan menulis, membuat dirinya takjub atas ceritaku.

“Wah jarang loh orang yang sanggup kayak kamu,” tanya nya begitu tahu kedua hobiku sudah digeluti sejak sekolah menengah atas.

“Ya gimana ya mas, soalnya aku juga suka sih. Jadi gak ngerasa beban aja sih,” balasku sambil tersenyum.

Ia kemudian mengangguk, tersenyum dan menepuk pundak ku.

Tak lama, namaku akhirnya dipanggil. “Oiya mas, aku masuk dulu ya. Senang berkenalan dengan Mas Fikri.”

“Oh iya mas, senang juga bisa bertemu dengan Mas Eka. Semoga lancar ya mas”

Sebelum aku beranjak pergi, lelaki bernama Fikri itu meminta nomorku. “Nanti kalau mau ke daerah sini lagi, aku bisa kontek kamu ya, Mas,” ucapnya.

Setelah itu obrolan berakhir.

***

Tiga hari kemudian, pengumuman tiba. Terlampir bahwa nama yang lolos akan mendapat email langsung dari pihak perusahaan. Tapi, dua puluh empat jam aku menunggu, tidak ada satu pun pesan yang masuk lewat email. Akhirnya, aku kembali mengalami kekecewaan.

“Mungkin bukan jalan nya, Nak,” balas Ibu menenangkan.

Bapak pun berusaha menghiburku “Gapapa, Nak. Besok-besok coba lagi aja. Masa anak bapak nyerah gitu aja sih,”

Aku hanya bisa pasrah dan mendengus kencang.

Disaat itulah, satu pesan dari Mas Fikri kembali menyambut hariku.

“Assalamualaikum, Mas Eka. Aku Fikri yang waktu itu ketemu di Indomaret. Oiya, mas lagi sibuk gak ya,”

“Oh nggak kok mas, ada apa ya?”

Ia kembali menjawab, “Aku boleh telepon mas?”

“Boleh banget, Mas”

Setelah dering diangkat, aku pun kembali larut dalam perbincangan bersama Mas Fikri. Cukup lama kami saling berbincang, sampai akhirnya ia menawarkanku untuk bekerja di perusahaannya.

“Tenang aja mas. Di tempatku ada mess. Makan siang juga dapet. Tunjangan dapet. Pokoknya mas tinggal siapin ongkos. Minggu depan udah bisa mulai kerja kalau masnya mau,” katanya dengan suara yang membuat hatiku berdebar

Tanpa pikir panjang. Ku langsung menerima tawarannya.

IBUUUUU….. BAPAKK…. EKA DI TERIMA KERJA…..

Aku berteriak kencang dan meneteskan air mata. Bapak dan Ibu yang melihatku tersenyum penuh haru, ikut senang mendengar kabar baik yang ku dapatkan.

Setelah menceritakan sosok Mas Fikri dalam kejadian tak terduga beberapa hari lalu, Bapak dan Ibu ikut tertawa kecil.

Akhirnya aku pun diizinkan untuk merantau ke Jakarta untuk menemui Mas Fikri. Dengan bekal yang ku kumpulkan, ditambah pemberian Bapak dan Ibu, ku taruhkan hidupku dalam perantauan ini. Tentu dengan segudang harapan, nyawaku kembali hadir untuk menerjang ibukota demi sebuah impian.

***

Hari pertama aku ditugaskan untuk menghandle proyek musisi terkenal dalam membuat artwork album covernya. Ini menjadi tugas berat namun penuh kebanggaan. Selain aku sangat suka menggambar, lagu-lagunya menjadi playlist favoritku saat berkuliah. Seperti mimpi, namun mau tak mau aku harus menjalaninya dengan penuh keyakinan.

Satu project selesai. Dua. Tiga. Lima. Sepuluh. Lima Puluh. Hingga tak terasa sudah hampir tiga tahun aku berada di Agency milik Mas Fikri.

Selain aku diangkat menjadi creative project assistant, karya-karya ku sudah dijangkau oleh banyak orang. Bahkan aku juga mendapatkan piala citra, sebuah penghargaan paling bergengsi bagi para musisi se-Indonesia karena gambarku terpilih sebagai cover album desain terfavorit.

Aku juga akhirnya memiliki kesempatan untuk mengenal banyak artis, musisi dan pelaku kreatif terkenal di Indonesia. Sampai-sampai, bepergian ke luar kota dengan pesawat sudah menjadi makanan mingguan ku untuk menghandle beberapa proyek antar kota.

Mengetahui keberadaanku yang sangat berubah jauh merupakan kebanggan besar bagi Bapak dan Ibu. Bahkan, teman-temanku mulai kembali mengontak ku begitu mengetahui namaku banyak beredar di media-media konvensional.

Sampai titik dimana ketika Mas Fikri mempercayaiku sebagai Chief of Creative Officer (CCO).

“Sejak awal ketemu, saya percaya banget sama kamu, Ka. Aku tau potensi dan mimpi kamu besar. Kalo kamu gak dikasih ruang, potensi itu bisa mati. Dan benar, kamu bisa membuktikan itu sama saya, keluarga, lingkungan dan terpenting adalah diri kamu sendiri”

Aku menyimak jelas apa yang dikatakan oleh Mas Fikri.

“Jabatan ini gak ada apa-apa nya sama kamu. Justru, dengan kamu megang jabatan ini, aku yakin kamu bisa lebih berkembang pesat lagi,” ucapnya

Setelah mengucapkan kalimat itu, Mas Fikri memeluk ku dan menepuk pundak ku. Tetesan air mata penuh haru yang membasahi wajahku, membuat beribu rasa syukur aku haturkan kepada Tuhan yang telah mempertemukan aku dengan Mas Fikri.

Meskipun aku tidak mengetahui bagaimana kehidupanku selanjutnya. Di titik ini, ketika aku kembali mengingat masa-masa penuh penyesalan dan kegagalan. Aku sadar, bahwa masa depan itu masih sangat cerah bagi orang-orang yang terus berusaha. Satu hal yang terpenting, semua yang ku lakukan itu memerlukan waktu dan tak ada yang bisa menjawab kapan kita akan sampai pada tujuan kita. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Sabda Sabda Cinta (Buku Pertama)
Imajinasiku
Novel
Bronze
Serenity
Nandreans
Skrip Film
Derai Lara
Dhia Amjad
Cerpen
Seribu Asa Kunanti
Ahmad Karim
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Novel
Gold
KKPK Millie Sang Idola
Mizan Publishing
Novel
With You, I'm OKay
Nadia Amalia
Skrip Film
Short Film Script Volume III
Yorandy Milan Soraga
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Ratri Menari
Suryawan W.P
Novel
KAMBOJA PUTIH
arreuvia
Novel
BECAUSE GIRLS ARE SUPERHERO
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Bunga Apa yang Kau Masukkan ke Mulutmu?
Cicilia Oday
Skrip Film
Pertama dan Terakhir
silvi budiyanti
Novel
Onyx Eye
Chrystal Calista
Rekomendasi
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Cerpen
Tia Monica Manis Sekali
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
CIBIRU
Rizki Mubarok
Cerpen
Surga Para Raja
Rizki Mubarok
Cerpen
Siapa Peduli
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok
Cerpen
Bronze
Segelas Matcha di Siang Hari
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok
Cerpen
Bronze
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Get Rich Overnight
Rizki Mubarok
Cerpen
Sketsa Mulia Di Langit Jakarta
Rizki Mubarok