Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Seminggu tanpa Gawai
1
Suka
18
Dibaca

Desa Wufi sedang panas-panasnya. Musim kemarau belum juga berakhir. Semua orang mulai tak tahan dengan sengatan matahari yang menusuk kulit.

Salah satunya Rafa. Siswa kelas tujuh SMP Wufi itu meletakkan sepeda kayuhnya begitu saja di pekarangan. Dia tidak sabar ingin segera masuk rumah setelah berada di bawah matahari selama belasan menit. Selain cuaca, ada lagi yang membuatnya tidak nyaman.

Erna, guru PPKn di sekolahnya, membagikan jurnal Seminggu tanpa Gawai, sebuah tantangan yang wajib diikuti siswa SMP Wufi. Selama seminggu, mereka tidak diperbolehkan menggunakan handphone atau perangkat lainnya untuk keperluan apapun. Tujuannya untuk mendetoksi fisik dan mental para remaja dari dampak negatif penggunaan gawai. Apa lagi, manusia yang baru menginjak usia belasan tahun itu seringkali kebablasan menggunakan gawai mereka.

“Semua guru sudah sepakat. Jadi, kalian tak perlu khawatir ketinggalan informasi karena selama seminggu, kami tidak akan memberi tugas atau pengumuman lewat WhattsApp. Semua informasi akan dibagikan ke grup wali murid. Kami sudah memberi informasi ini kepada orang tua kalian. Kami juga meminta toleransi mereka untuk tidak menggunakan gawai di depan kalian, kecuali untuk kepentingan mendesak,” jelas Erna saat siswa-siswi SMP Wufi berkumpul di aula.

Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi anak-anak itu mendengar adanya tantangan tersebut. Mereka mengeluh dengan berbagai alasan. Tidak bisa update berita yang viral, tidak bisa melihat foto dan video artis-artis Korea yang mereka puja, tidak bisa stalking gebetan, juga alasan yang sangat logis: tidak bisa belajar.

“Tapi saya les online, Bu,” protes Rio, salah seorang siswa kelas 7B.

“Kalau memungkinkan, minta izin untuk tidak les dulu selama seminggu ini. Beri tahu pengajarnya kalau kalian sedang ada tantangan seminggu tanpa gawai dari sekolah. Tetapi kalau tetap harus mengikuti les, saya perbolehkan. Dengan catatan, setelah les, matikan kembali gawainya.” Erna memberi keringanan.

Selain Rio, ada lagi yang memprotes tantangan tersebut. “Kami bingung, Bu, kalau tidak pakai HP, terus ngapain?”

Erna tersenyum. “Banyak kegiatan yang bisa kalian lakukan. Di sekolah, kalian bisa berolahraga basket atau voli. Di luar sekolah, kalian bisa membaca atau meminjam buku di Perpustakaan Folder. Kalau di rumah, kalian bisa membantu orang tua, belajar, beribadah, atau istirahat. Mumpung sedang puasa gadget, kalian bisa lebih banyak beristirahat.”

Semua siswa menanggapi saran Erna dengan dingin. Diam-diam mereka memberontak, tetapi tidak berani mengungkapkannya karena takut nilai mereka dikurangi, terutama untuk mata pelajaran PPKn, mata pelajaran yang diampu Erna di kelas tujuh.

Keluar aula, semua siswa berjalan dengan lesu menuju kelas mereka masing-masing. Mulut mereka tidak berhenti membisikkan keluhan. “Tanpa HP, hidup tidak ada artinya,” begitu kata batin mereka.

Di rumah, Rafa menceritakan hal itu kepada ibunya, Elvie.

“Sudah tahu. Minggu kemarin, kan, ibu ikut rapat. Bagus, kan, biar kamu nggak melototin HP melulu.”

Rafa tampak tidak senang mengetahui ibunya mendukung kegiatan tersebut. “Ibu nggak protes?”

Elvie menggeleng. “Ya, nggaklah.”

Mulut Rafa tambah manyun. “Nggak ngerti, apa, zaman sekarang HP sudah jadi barang umum. Semua orang punya. Semua orang pakai. Kenapa harus puasa gadget?”

Elvie tidak mau menanggapi panjang-panjang. “Sudahlah, ikuti saja. Daripada nilai PPKn-mu jeblok,” jawabnya sambil menggulir-gulir layar handphone. “Ini, kok, masih diproses saja, sih?”

Elvie senang berbelanja online. Dalam satu bulan, bisa dua atau tiga kali ada kurir memencet bel pagar, mengantar paket untuk ibu Rafa. Ada saja yang dibeli. Dari pakaian sampai makanan.

“Kalau begitu, ibu juga harus puasa gadget biar nggak belanja terus,” saran Rafa.

“Enak aja!” protes Elvie. “Kalau ibu ada perlu, gimana? Lagi pula, sekolah bakal membagikan info lewat grup wali murid. Ibu nggak bisa lepas dari internet.”

Untuk kesekian kalinya, Rafa melenguh.

“Terus, aku harus ngapain kalau nggak boleh pakai HP?”

“Mas Rafa main sama aku aja.” Tiba-tiba Fara, adik Rafa, menyeletuk.

Rafa tidak menanggapi. Dia masuk kamar untuk mengambil pakaian, lalu mandi.

***

“Ayolah, Rindu. Cuma seminggu, kok. Kalau berhasil, kamu pasti akan puas.” Kangen, ibu Rindu, berusaha membujuk anak bungsunya agar melaksanakan tantangan dari sekolahnya dengan gembira. Dia khawatir kalau anaknya sampai kecanduan handphone. Apalagi, dengan kesibukannya sebagai dokter hewan yang kadang-kadang praktik di klinik, Kangen kerap tidak bisa mengawasi Rindu di rumah.

“Tapi aku pakai HP bukan cuma buat bermedsos, Ma. Aku pakai HP juga untuk belajar. Belajar di sekolah saja nggak cukup. Baca buku di rumah, bukunya terbatas.” Rindu berusaha berdalih. “Aku nggak bisa kalau nggak ada HP…”

“Bisa, bisa. Pasti bisa. Kamu hanya perlu mencoba…” Kangen terus menyemangati sambil menyiapkan makan malam.

“Tapi aku nggak punya kegiatan lain…” Rindu merengek.

Dengan sabar Kangen kembali merayu anaknya. “Anggap saja HP-mu rusak dan harus diservis selama seminggu. Kamu nggak bisa berbuat apa-apa selain melakukan kegiatan yang tidak memakai HP. Kamu punya waktu istirahat lebih banyak, bisa berolahraga, bantu ibu di rumah, ngobrol sama teman, jalan-jalan…”

“Jalan-jalan juga perlu HP, Ma. Buat dokumentasi dna dipajang di medsos.” Rindu enggan menyerah.

“Nggak, nggak. Nggak harus semua kegiatan kita dipamerkan di media sosial,” potong Kangen. “Nggak harus orang lain tahu apa yang kita kerjakan. Percaya, deh, ini tantangan yang bagus buat fisik dan psikologis kamu. Biar badanmu bergerak, nggak cuma duduk atau rebahan di kasur, nggak terpancing emosi gara-gara baca komentar-komentar netizen…”

Rindu memandang ibunya sambil tetap cemberut.

“Daripada kesal, bantu mama cuci piring. Setelah itu kamu pikirkan kegiatan apa saja buat mengisi waktu puasa gadget-mu.”

Ogah-ogahan Rindu mengikuti saran ibunya. Dia lalu membayangkan masa kecilnya dulu sebelum punya HP. Dia bisa bermain boneka bersama anak-anak sebayanya, bersepeda, atau ikut ibunya memasak. Menonton televisi juga. Tetapi sejak pesawat televisi di rumah mereka rusak, ayah Rindu tidak berniat membeli pesawat televisi baru.

“Nonton TV itu nggak baik,” kata Trisno, ayah Rindu.

Eeeh, tidak tahunya selang dua bulan sejak itu, pandemi covid melanda. Demi mencegah penularan, diberlakukan sekolah dan bekerja dari rumah. Pakai gawai. Trisno terpaksa membelikan Rindu handphone agar bisa melakukan pembelajaran jarak jauh tanpa mengganggunya.

Saking lamanya pandemi, handphone pun tidak hanya digunakan untuk belajar dan bekerja. Semua orang mencari hiburan melalui handphone. Menonton video, belanja, berkomunikasi, semua dilakukan secara daring. Keluarga Rindu yang sudah beberapa bulan sebelumnya tidak lagi menonton televisi, mendapat hiburan baru melalui handphone. Dan sejak saat itu, Rindu mengalami ketergantungan terhadap gawai. Bukan cuma Rindu, tetapi juga banyak anak lainnya.

Orang tua pun banyak yang mengeluh. Anaknya jadi kecanduan gim, semangat belajar menurun, gangguan penglihatan dan kesehatan lainnya, tidak fokus, mudah cemas atau depresi, walaupun, tentu saja, ada juga dampak positif dari penggunaan handphone.

Orang tua Rindu menyambut baik kegiatan Seminggu tanpa Gawai yang digagas Erna, walaupun Rindu selama ini tidak punya masalah atau keluhan apa pun dengan kebiasaannya. Maka, begitu pihak sekolah mengumumkan adanya tantangan tersebut, kedua orang tua Rindu sudah menyiapkan rencana kegiatan yang bisa mereka lakukan tanpa handphone atau gawai lainnya.

Tinggal Rindunya yang bersedia atau tidak.

***

Semalam, Rafa tidur lebih awal dari biasanya. Tidak ada yang bisa dia lakukan tanpa handphone. Bangun tidur, tangannya mencari-cari handphone-nya di kasur. Tidak ada. Sang ibu menyimpan handphone-nya di kamar. Jauh dari tangan Rafa. Anak itu merasa hidup ini hampa. Dan kekosongan itu terus dia bawa ke meja makan saat sarapan.

“Jurnalnya jangan lupa diisi,” Elvie mengingatkan.

Rafa duduk di meja makan tanpa semangat. Nasi uduk di hadapannya sama sekali tidak membangkitkan selera makannya. Matanya lebih tertarik melihat sang ayah sedang sarapan sambil menatap layar laptop.

“Ayah curang, masih pakai laptop. Aku belum menyalakan HP sama sekali pagi ini,” keluhnya.

“Kan, kamu lagi puasa gadget. Ayah juga pakai laptop buat urusan pekerjaan,” dalih Fachri, ayah Rafa.

Rafa manyun. Sambil menyuapkan nasi uduk ke mulutnya, dia berpikir. Apa sesungguhnya motif diadakannya tantangan ini? Kenapa dia wajib mengikuti tantangan itu seminggu penuh? Apa hadiah yang akan dia terima jika sudah tamat puasa gawai tanpa bocor sedetik pun. 

Sampai nasi uduknya tandas, Rafa tidak kunjung menemukan jawaban untuk semua pertanyaannya.

Sesampainya di sekolah, Rafa berjalan dengan lesu. Satu jam saja tidak bermain gim online membuatnya seperti mayat hidup. Raganya masih sanggup bergerak, tetapi tak punya nyawa. Dia melihat siswa-siswi yang mulai berdatangan. Ada yang berjalan sama gontainya dengan dia, ada yang biasa-biasa saja, ada juga yang tetap bersemangat. Rindu salah satunya.

“Wah, masih lima belas menit lagi sebelum masuk. Aku datang terlalu cepat rupanya,” ujar Rindu saat melihat jam dinding di kelas.

“Hehehe. Gara-gara nggak bawa HP jadi nggak bisa lihat jam, ya,” goda Ella.

Rindu mengiyakan. “Iya, sih. Kayak ada yang kurang,” ujarnya seraya meletakkan tasnya di atas meja.

“Ya… gitu, deh, kalau kebiasaan bawa HP ke mana-mana. Nggak kayak kita. Ya, kan, La?” hasut Ais.

Ella mengangguk. “Sekarang, kita senasib. Nggak pakai HP.” 

Rindu mencibir. “Eh, tapi… Kalian, kan, belum punya HP, ya. Terus biasanya kalian ngapain aja kalau gabut?”

“Banyaklah,” sahut Ais. “Bantu ibu, jagain adik, belajar, tidur.”

“Ya iyalah, secara ibu kamu ada di rumah dan kamu punya adik. Nggak kayak aku, kesepian,” keluh Rindu. “Kebayang, nggak, sih, kalau aku nggak punya HP?”

Ella geleng-geleng. “Rindu, Rindu. Kamu pikir kami nggak iri apa sama kalian yang sudah punya HP. Buat buka WA aja aku harus nebeng sama ibuku. Kami ini sering banget ketinggalan info, tahu!”

“Tapi kalau ada tugas kayak gini, kalian udah biasa, kan?”

“Iya, sih,” Ais membenarkan. “Terus, kamu ngapain aja selama puasa gadget?”

“Itu dia yang bikin aku bingung. Ngapain, ya? Jangan bilang aku harus belajar. Ada atau nggak ada HP, aku tetap belajar.”

“Belajar masak. Katanya mau belajar bikin puding,” Ais mengingatkan. Rindu memang pernah berkata kalau dia ingin membuat variasi puding. Maksudnya, bukan puding yang dibuat secara instan, yang cuma tinggal menambahkan gula dan air.

“Kan, resepnya ada di Youtube…”

“Cari di buku resep. Bukunya ada di Perpustakaan Folder,” tukas Ella.

Rindu berpikir. Tiba-tiba saja dia malas belajar memasak. “Ada ide lain?”

“Olahraga,” jawab Ais spontan. “Kan, selama ini kalau pakai gadget, badanmu kurang bergerak. Sekarang waktu yang tepat untuk berolahraga.”

Tiba-tiba saja bohlam menyala di atas kepala Ais. “Gini aja,” katanya sambil menjentikkan jari. “Kita olahraga sama-sama. Olaharga sendirian, kan, males. Beda kalau ada teman.”

“Boleh juga, tuh,” sambut Rindu, antusias. “Kayaknya kita harus melakukan banyak hal sama-sama biar bisa saling mengingatkan. Eh, kalau kita ajak teman-teman lain, gimana? Kalau mereka nggak mau, nggak apa-apa. Kita bisa bertiga, kok.”

Ketiga sekawan itu mencoba mengajak teman-temannya berolahraga dan bermain permainan tradisional. Ada yang menyambut baik usulan itu, ada juga yang tidak.

“Yaelah… kayak anak kecil aja,” Rafa mengejek.

“Nggak apa-apa. Yang penting kita punya kegiatan yang berguna tanpa gadget.” Rindu berusaha meyakinkannya.

Rafa berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia memutuskan, “okelah.”

Maka, hari Sabtu pagi, mereka ke lapangan dekat sekolah yang sering mereka pakai untuk mata pelajaran PJOK. Keringat bercucuran di tubuh mereka setelah bermain engklek, gobak sodor, juga kucing-kucingan. Meski sudah remaja, permainan seperti itu mengingatkan mereka akan masa kecil tanpa gawai. Terakhir kalinya mereka bermain seperti itu kira-kira lima tahun yang lalu bersama teman-teman SD-nya masing-masing. Ketika pandemi belum melanda dunia. Ketika handphone belum menjadi barang yang wajib dimiliki semua orang.

Setelah bermain, mereka duduk berkumpul di pinggir lapangan.

“Coba kalau bisa pakai HP, ya. Aku rekam kegiatan kita hari ini terus ditaruh di Instagram,” celetuk Rio yang memang rajin meng-update media sosialnya.

“Kalau bisa pakai HP,” tanggap Rindu setelah meneguk bekal minumnya, “kita nggak bakalan main di sini. Pasti sibuk di rumah dengan HP-nya masing-masing.”

“Tapi sayang kalau kita nggak mendokumentasikan permainan tadi. Apalagi waktu Ais jatuh…”

Rio langsung mendapat pukulan Ais di lengannya. Yang lain tertawa mengingat kejadian saat Ais jatuh sewaktu mereka bermain gobak sodor tadi.

Keseruan bermain di lapangan tadi membawa pengaruh baik bagi Rafa. Pulang bermain, dia tertidur di sofa karena kecapekan. Bangun-bangun saat hampir waktu salat asar. Cepat-cepat dia salat zuhur dan menghadapi rengekan Fara yang mengajaknya bermain.

“Sebentar saja, Mas Rafa. Cuma tiga jam,” bujuk Fara yang belum paham soal waktu.

“Main apa, sih?”

“Ular tangga.” Fara mengeluarkan mainan dari dalam boks mainannya, lalu menggelar permainan tersebut di lantai.

Rafa bermain dengan penuh drama. Saat kebagian naik tangga, dia pura-pura menaiki anak tangganya satu per satu sambil menirukan suara kaki menginjak tangga. Begitu juga saat kena ular dan harus turun. Badannya meliuk-liuk mengikuti lekuk tubuh ular. Fara tertawa dibuatnya. Adiknya itu sangat senang karena Rafa akhirnya mau bermain dengannya. Karena biasanya, Rafa bermain gim di handphone-nya dan selalu menolak bila diajak bermain oleh sang adik.

“Lagi apa, nih? Kok, kayaknya seru banget?”

Kedua anak itu mendongak saat Elvie datang sambil membawa sebuah kotak paket.

“Ular tangga, Bu,” sahut Fara.

“Tumben kalian main bareng. Rafa, tolong bantu ibu unboxing paketnya.”

“Nggak bisa, Bu. Aku, kan, sedang puasa gadget,” tolak Rafa.

“Aduh! Gimana, dong? Ibu perlu unboxing paketnya sekarang.” Elvie bingung.

Rafa goyah. Sudah lama dia tidak memegang handphone. Kalau ibunya meminta Rafa merekam video unboxing, remaja 14 tahun itu bisa mengobati rasa rindunya terhadap gawai meskipun tidak terkoneksi dengan internet.

Elvie mengambil tripod dan memasang handphone-nya di sana. Namun, handphone itu selalu terlepas sendiri. Bolak-balik dia membetulkan handphone-nya. Tetapi selalu terulang hal yang sama.

“Rafa, coba bantu ibu sebentar,” pintanya setelah menyingkirkan tripod itu.

Antara senang dan ragu, Rafa menghampiri, meninggalkan adiknya bersama papan ular tangga beserta dadu dan pionnya.

“Coba kamu yang merekam,” kata Elvie sambil siap-siap syuting.

“Tapi, Bu, aku, kan, nggak boleh pegang HP.”

“Alaaah… cuma sebentar. Cuma buat merekam video. Mendesak lagi. Masa’ nggak boleh? Ayo, dimulai. Ibu sudah siap.”

Selama beberapa menit Rafa memegang HP ibunya sementara sang ibu membongkar paket dengan hati-hati. Setelah selesai, Elvie meminta handphone-nya kembali.

Rafa menyodorkan handphone itu dan kembali bermain bersama adiknya. Baru saja pikirannya teralihkan dari gawai ke kegiatan bermain bersama Fara, sekarang sudah bergeser. Rafa tidak bisa bermain seperti sebelumnya. Pikirannya melayang ke handphone dan segala aplikasinya, Mobile Legends, percakapan bersama teman-temannya melalui WA… Fara berkali-kali menegurnya ketika gilirannya bermain tiba. Adiknya itu juga berkali-kali meminta kakaknya untuk mengeluarkan suara tiruan kaki yang menginjak tangga atau meliukkan badannya seperti ular. Rafa menuruti permintaan adiknya, tapi tidak fokus.

Dan perasaan itu terbawa sampai besok paginya. Hari Minggu ini, karena libur, keluarga Rafa sarapan tanpa terburu-buru. Elvie membuat bubur ayam sesuai pesanan Fara. Bocah empat tahun itu makan dengan lahap sambil tangannya bolak-balik mengambil kerupuk dari stoples. Berbeda sekali dengan Rafa, yang makannya biasa saja. Tidak seperti biasanya kalau mereka sarapan bubur ayam.

Di tengah-tengah waktu sarapan, Fikri ke kamar untuk mengambil handphone-nya yang berbunyi.

“Yah, sarapan dulu. Lagipula, aku masih puasa gadget, loh,” tegur Rafa tatkala melihat ayahnya sarapan sambil menatap layar handphone.

Fikri menggeleng. “Nggak bisa, Rafa. Ayah punya urusan pekerjaan.”

“Tapi…” Rafa bingung harus berkata apa supaya ayahnya tidak membantah. Biasanya, Rafa yang suka membantah jika ditegur orang tuanya. “Tapi… setidaknya ayah tidak makan di depan orang yang sedang berpuasa. Maksudku, tidak pakai HP di depanku yang sedang tidak memakai HP.”

“Loh? Ayah, kan, sudah bilang, ini urusan pekerjaan. Nggak bisa ditunda.”

Rafa tahu, ayahnya benar. Namun, dia jadi tidak habis pikir. Sepenting itukah pekerjaan ayahnya sampai-sampai dia tidak menghormati kegiatan yang sedang dilakukan anaknya? Tidak bisakah ayahnya menahan diri untuk menunda menggunakan gawai sebentar saja selama Rafa ada di depannya?

Rafa menghabiskan sarapannya cepat-cepat dan mandi. Dia lalu pamit pada ibunya dengan alasan kerja kelompok di rumah Rindu.

“Mas Rafa nggak jadi ngajarin aku naik sepeda roda dua?” tanya Fara.

Semalam sebelum adiknya tidur, Rafa berjanji untuk mengajari Fara bersepeda roda dua hari ini. Gara-gara sikap ayahnya, Rafa jadi tidak mood. Bagaimana tidak, selama beberapa hari ini Rafa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak menggunakan gawai apapun. Namun usahanya sia-sia ketika sang ayah tidak menghargai usahanya itu.

Rafa menggeleng. “Nggak,” jawabnya ketus sambil mengayuh sepedanya menjauhi rumah. Dia tidak melihat kalau adiknya menangis karena sang kakak tidak menepati janjinya.

Di depan rumah Rindu, Rafa melihat temannya itu sedang duduk di teras bersama ibunya. Meski sudah berumur hampir 40 tahun, Kangen masih tampak seperti remaja. Rafa pernah mengira mereka kakak dan adik karena wajah mereka juga mirip.

Rafa memperhatikan dari jauh. Rindu dan ibunya tidak memegang handphone sama sekali. Rindu tampak asyik mengobrol dengan Kangen. Sesekali mereka tertawa.

“Cakeeeep…” komentar Kangen sambil mengacungkan jempol. “Sekarang giliran mama. Si Midun makan tempe penyet. Pakai sambel kepedesan. Si Rindu lagi puasa gadget. Kerjanya bikin pantun siang-malam.”

Giliran Rindu yang mengacungkan jempol dan tertawa sambil berkata, “Cakeeeep…”

Saat menoleh ke jalan, gadis itu melihat sosok remaja laki-laki yang dikenalnya.

Rafa terkesiap. Dia hendak mengayuh sepedanya lagi, tapi terlambat. Rindu keburu melihat dan memanggilnya.

“Rafa! Ngapain kamu di situ?” Gadis itu menghampiri pagar.

Rafa mengayuh sepedanya ke pagar rumah Rindu. “Nggak ada. Lagi bosan aja di rumah.”

“Mau mampir? Aku sedang bikin pantun sama mamaku.”

“Loh, memangnya ada tugas bikin pantun?”

Rindu menggeleng. “Nggak ada. Tadi aku bikin puding. Sambil nunggu pudingnya mengeras, aku dan mamaku bikin pantun. Yuk, masuk.”

Rafa hendak menolak. Namun saat melihat Kangen masuk rumah, dia mengiyakan.

“Kamu akrab sama mamamu, ya?” tanya Rafa setelah mereka duduk di teras rumah Rindu.

“Iya. Tapi, biasanya kami sibuk dengan HP masing-masing kalau hari libur begini. Karena ada tugas puasa gadget, kami bisa ngobrol sama-sama. Kamu sendiri gimana sama adikmu? Kalian rukun-rukun aja, kan? Enak kamu itu, punya saudara. Nggak kayak aku.”

Mendadak Rafa teringat adiknya. Dia merasa bersalah karena sudah ingkar janji pada Fara.

“Nggak terlalu dekat, sih. Kadang-kadang kami main bersama. Tapi lebih seringnya main sendiri-sendiri,” papar Rafa.

“Kamu, sih, main gim melulu. Kasihan, tuh, adik kamu. Seharusnya kamu ajak dia bersepeda juga.”

Rafa merenungi sikapnya. Seharusnya, dia bisa sabar saat melihat ayahnya menggunakan handphone. Untuk bekerja pula. Seharusnya, dia tidak iri ketika orang tuanya leluasa menggunakan gawai mereka. Seharusnya, dia pandai mengalihkan emosinya ke hal-hal yang positif. Seharusnya, dia menepati janji kepada adiknya. Seharusnya…

Lamunan Rafa buyar oleh suara Kangen yang memanggil putrinya.

“Kayaknya puding buatanku sudah bisa dimakan, deh. Kuambil dulu, ya,” pamit Rindu.

Seharusnya, aku pulang saja dan menepati janji pada adikku.

“Eh, nggak usah, Ndu. Aku mau pulang sekarang.”

Rindu tertegun melihat Rafa buru-buru mengeluarkan sepeda dari halaman rumahnya. Dia tidak sempat berkata apa-apa lagi karena Rafa keburu meluncur ke jalan.

***

Sisa waktu puasa gawai tinggal tiga hari lagi. Rafa nyaris tidak percaya kalau waktu begitu cepat berlalu. Dia tidak sabar untuk segera kembali menyentuh handphone-nya.

“Aku, sih, nggak nunggu sampai Kamis depan buat pakai HP,” ujar Rio ketika mereka istirahat di kantin. “Bu Erna mana tahu kalau kita bisa tetap pakai HP di rumah. Yang penting di jurnalnya diisi kalau puasa kita tamat.”

“Tapi itu nggak jujur,” Rafa berontak. “Emang enak berbohong?”

“Ya, enaklah, kalau nggak ketahuan.”

Jawaban Rio terus bergema di benak Rafa. Temannya itu benar. Erna, atau guru siapa pun, tidak akan tahu kalau mereka tetap memakai gawai di rumah selama mereka tidak bercerita pada siapa-siapa.

Masalahnya, bagaimana dengan ibunya? Elvie cukup patuh berpuasa gawai dan akan menegur Rafa kalau sampai ketahuan diam-diam memakai handphone-nya. Kehidupan Rafa tidak seperti Rio. Kedua orang tua Rio bekerja. Tidak ada yang mengawasinya dengan ketat di rumah.

Satu-satunya cara agar Rafa bisa menggunakan handphone adalah menunggu saat Elvie lengah dan adiknya sedang asyik bermain atau menonton televisi. Kesempatan itu muncul selepas magrib saat Elvie mandi dan adiknya menonton Upin dan Ipin.

Tak mau buang-buang waktu, Rafa masuk kamar ibunya, mencari handphone-nya yang ternyata ada di laci lemari pakaian sang ibu. Rafa bergegas membawa handphone-nya itu ke kamar dan menyalakannya. Jantungnya seakan melompat-lompat hingga kelelahan. Napasnya memburu, mengajak adrenalinnya untuk sama-sama berpacu dengan waktu. Keringat kian deras membasahi pakaiannya.

Namun, semua kelelahan itu terbayar oleh layar handphone yang menyala sumringah di hadapan Rafa. Sampai-sampai remaja itu bingung, apa yang harus dia lakukan dengan handphone-nya yang sudah beberapa hari ini tidak dia sentuh. Rafa merasa dia ketinggalan begitu banyak hal. Padahal, tidak banyak notifikasi dari media sosial karena teman-temannya juga sedang puasa gawai.

Kecuali notifikasi dari gim favoritnya kalau dia ketinggalan banyak sesi laga.

Dengan cekatan Rafa membuka gim tersebut dan bermain. Sesekali, matanya melirik jam di layar. Juga baterai ponselnya yang menipis. Selama Rafa puasa gawai, Elvie sengaja tidak men-charge handphone anaknya itu.

Rafa tidak peduli. Baginya, yang penting saat ini dia bisa bermain. Perasaannya campur aduk. Penasaran akan kemampuannya meneruskan permainan dan takut ibunya keburu selesai mandi dan mengetahui dia telah mengambil handphone-nya lagi. Jari-jari Rafa dengan lincah menekan tombol ini dan itu.

“Mas Rafa, dicari ibu.”

Suara Fara benar-benar membuatnya syok. Rasa takut lebih mendominasi ketimbang rasa kangen dan ingin tahu. Rafa baru sadar kalau dia lupa menutup pintu kamar saking tergesa-gesanya memakai handphone-nya kembali.

“M-mau apa?” Rafa gelagapan sambil berusaha menyembunyikan handphone miliknya dari sorot mata Fara.

Fara mengangkat bahu. Sepasang matanya tampak melihat Rafa memegang sesuatu. Gadis cilik itu menyelidiki dengan curiga. “Mas Rafa lagi apa?”

Rafa tambah panik. “Bukan urusanmu. Sana, tutup pintunya. Bilang ibu, aku salat dulu.”

Setelah Fara menutup pintu, Rafa mematikan handphone dan menyimpannya di bawah bantal. Dia tidak mau ibunya tiba-tiba masuk dan menemukan handphone Rafa di atas kasur atau meja, lantas memarahinya karena tidak patuh pada tugas.

Rafa salat magrib tidak khusyuk sama sekali. Otaknya sibuk menerka, mau apa ibu mencarinya? Jangan-jangan ibu tahu kalau HP-ku tidak ada di lemari.

Selesai salat, Rafa keluar kamar. Elvie sedang menyiapkan makan malam. Rafa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia berusaha menyembunyikan perbuatannya agar ibunya tidak curiga meski Fara menatapnya dengan sorot yang tidak biasa.

“Kamu tahu, nggak…”

Kata-kata pembuka yang keluar dari mulut Elvie membuat Rafa harus berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.

“… di mana ibu menyimpan tripod kemarin?”

Rafa menghela napas lega. “Nggak tahu. Bukannya ibu sendiri yang menyimpan?”

“Seingat ibu, ibu menyimpannya di sebelah meja rias setelah nggak jadi dipakai kemarin. Tapi, kok, nggak ada, ya?”

“Paling-paling ibu salah menyimpan. Aku tidak membereskannya, Bu.”

Rafa duduk dan mengambil piring, nasi, serta lauk pauknya. Tangannya sibuk menyendok makanan, mulutnya sibuk mengunyah, sedangkan otaknya berpikir, kapan waktu yang tepat untuk mengembalikan handphone-nya ke lemari sang ibu. Langit sudah gelap. Elvie tidak akan keluar rumah lagi. Dia pasti bisa melihat gerak-gerik Rafa di dalam rumah.

Tiba-tiba Rafa merasa bodoh. Seharusnya dia tadi berpikir bagaimana mengembalikan handphone-nya ke tempat semula. Dia harus menunggu besok pagi saat ibunya mencuci atau memasak. Itu pun kalau ayahnya belum bangun.

Selepas salat subuh, Rafa tidak kembali tidur seperti biasanya, menunggu ibunya bekerja di dapur supaya dia bisa segera mengembalikan handphone-nya. Kesempatan itu datang saat Rafa mengetahui Elvie sedang mencuci baju dan Fikri berada di kamar mandi. Remaja itu bergegas masuk kamar ibunya yang remang-remang, membuka pintu lemari dan memasukkan handphone-nya kembali ke dalam laci. Rafa mulai merasa tenang kalau saja dia tidak bersitatap dengan ayahnya yang ternyata sudah bangun.

“Rafa, ngapain kamu?”

Jantung Rafa nyaris copot. Terlebih, suara ayahnya cukup keras karena tidak mengira ada Rafa di kamarnya dan berdiri di depan lemari pakaian sang ibu.

“Habis buka-buka lemari ibu, ya?” tuding Fikri.

Tenggorokan Rafa tercekat. Suaranya tidak keluar sama sekali. Kata-kata apalagi.

“Kamu habis ngambil apa?”

Suara ribut-ribut itu membuat Elvie tergopoh-gopoh masuk kamarnya yang sudah terang. Fikri menjelaskan kejadian sebenarnya.

“A-aku nggak ngambil apa-apa…” Rafa berusaha membela diri. “Sumpah!”

Fikri dan Elvie berpandangan. “Lalu, mau apa kamu masuk kamar kami? Mengakulah, Rafa.”

Ketakutan, Rafa menunduk dan berpikir. Jika jujur, apa yang akan orang tuanya lakukan? Dan jika dia berbohong, apa yang harus dia katakan?

“RAFA!”

Rafa mendongak. Memaksa mulutnya untuk berbicara. “Aku… aku habis mengambil HP-ku…”

“Buat apa? Kan, kamu sedang puasa gadget,” ujar Elvie heran.

Lagi-lagi Rafa tidak menjawab. Elvie menahan Fikri untuk berbicara. Dia mendekati Rafa dan berbicara dengan tenang. “Kamu nggak tahan lagi, ya?”

Rafa menunduk semakin dalam.

“Ibu mengerti. Tapi tugas tetaplah tugas. Harus dikerjakan apapun alasannya. Dan lagi, kamu tidak sendirian. Teman-temanmu juga sedang menahan diri untuk tidak menyentuh gadget mereka.”

Rafa mengangkat kepalanya perlahan.

“Tinggal dua hari lagi. Kamu harus kuat walaupun ayah dan ibu memakai gadget di hadapan kamu. Kami melakukannya karena terpaksa karena segala sesuatu memang mengandalkan gadget saat ini, terutama HP,” kata Elvie.

Rafa mengangguk.

***

Hari yang dinantikan anak-anak pun tiba.  Wajah siswa-siswi SMP Wufi menyala seiring jurnal Seminggu tanpa Gawai menumpuk di meja guru. Mereka tidak sabar untuk kembali memegang handphone mereka masing-masing. Betapa kangennya mereka dengan media sosial, video-video Youtube dan TikTok, gim online

“Walaupun sudah kembali pada kegiatan normal, ibu harap sesekali kalian melakukan puasa gadget. Sebagai tugas, ceritakan pengalaman kalian selama berpuasa gadget. Boleh ditulis tangan, boleh diketik. Yang penting, ceritakan dengan jujur seperti halnya kalian mengisi jurnal ini.” Bu Erna menunjukkan jurnal anak-anak yang bertumpuk di meja guru.

Mengarang bukanlah tugas yang menarik bagi Rafa dan dia tidak ingin bercerita tentang pengalamannya berpuasa gawai. Apa lagi jika harus jujur. Rafa enggan membongkar aibnya yang telah “mencuri” handphone-nya sendiri dari lemari ibunya.

“Yang tidak mengumpulkan tugas ini dan yang tidak mengerjakan dengan jujur, akan ibu perpanjang puasa gadget-nya,” ancam Bu Erna.

Semua anak melenguh. Tanpa sengaja, Rafa menoleh kepada Rio yang wajahnya tampak tenang. Rafa bisa menebak rencananya. Terbersit pertanyaan dalam benaknya, apakah dia harus melakukan hal yang sama dengan Rio?

Tidak! hati kecil Rafa menolak. Dia tidak boleh berbohong. Malah, dengan bercerita secara jujur, pengalaman berpuasa gawainya akan lebih alami dan mengesankan. Rafa menyadari, tanpa layar, hidup juga bisa menyenangkan. Banyak kegiatan yang bisa dia lakukan.

Apa lagi ketika dia melihat sang adik begitu bersemangat belajar mengendarai sepeda roda dua. Meski sampai hari ini Fara belum mahir bersepeda roda dua, Rafa bisa melihat adiknya itu merasakan sebuah kebahagiaan yang tidak akan dia temukan di layar. Sebuah perasaan yang menular padanya, dan pada akhirnya membuat Rafa menyadari, hidupnya akan baik-baik saja meski tanpa gawai apapun.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Seminggu tanpa Gawai
Rie Yanti
Novel
Dream Changes Me
Auli Inara
Novel
Bronze
A Day in My Life
Ariny Nurul haq
Skrip Film
ANTING KIRI (SCRIPT)
Mario Matutu
Flash
Masita
mafaz mira
Cerpen
Bronze
Sahabatku Merebut Suamiku
silvi budiyanti
Novel
Best Friend
William Oktavius
Novel
Bronze
The Pianist
Luluk Mujiati☑️
Flash
Perihal Cinta di Bawah Pohon Eboni
Denik a nuramaliya
Novel
Bronze
Half of Lemon
Sinta Yudisia
Komik
THE IDIOTS
Andini zsa regita oktariani
Cerpen
Harmonika Penghubung (kenali dirimu dan aku)
muhamad fahmi fadillah
Cerpen
Dahaga
Zaki S. Piere
Novel
Matahari dan Bulan
Angelina Yoselin Theresia Junianti Uli
Novel
I ( Everything In My Life )
Liepiescesha
Rekomendasi
Cerpen
Seminggu tanpa Gawai
Rie Yanti
Cerpen
Sehari Sebelum Melati Masuk Sekolah
Rie Yanti
Cerpen
Laki-laki yang Menyukai Perempuan Berambut Pendek
Rie Yanti
Cerpen
Ami Sakit Perut
Rie Yanti
Cerpen
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
Rie Yanti
Cerpen
Peringkat Palsu
Rie Yanti
Flash
Bolu untuk Awan
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan (2)
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan
Rie Yanti