Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Seminggu Sebelum Pernikahan
1
Suka
929
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Haris,” ucap seorang pria bertubuh sedikit kurus dengan setelan t-shirt biru yang dimasukkan kedalam celana low rise berwarna coklat. Wajahnya tampak teduh dan lumayan tampan. Kulitnya kuning langsat dan bersih. Sepertinya sangat merawat diri karena sangat rapi dan penampilannya terlihat trendy dan sporty.

Aku meraih tangan Haris, “Laura,” ucapku tersenyum.

Pagi itu, untuk pertama kalinya aku bertemu dan bertegur sapa dengan Haris dikampusku. Suasana hari itu sangat syahdu. Aku mengingatnya dengan sempurna, Haris meninggalkan kesan yang baik di hatiku.

Aku tidak begitu ingat berapa rentang usiaku dengan Haris. Tapi, aku lebih nyaman dan terdengar santun saja dengan memanggilnya, Mas Haris. Karena, Mas Haris sudah bekerja dan aku masih berkuliah semester awal saat itu. Mungkin sekitar 10 tahun perbedaannya. Dan Mas Haris juga keturunan Jawa. Jadi, memanggilnya dengan sebutan 'Mas' adalah yang paling nyaman kuucapkan.

Hari itu, setelah jam mata kuliah pertama usai, aku berlalu menuju kantin yang ada dijurusanku bersama beberapa teman-temanku. Dari jauh, di sebuah gedung dimana anak-anak pecinta alam berkumpul, sebuah Jimny Caribian telah terparkir, mobil Mas Haris.

“Ayo, nek!” seru Nunung, sahabatku. Si paling ceriwis dan sangat rusuh mengajakku setelah kami selesai makan.

“Mau kemana?!” Tanya Citra yang juga sahabatku, ingin tahu.

“Ke sekre! Ada Mas Buto,” jawab Nunung segera beranjak dari meja kantin. Sekre adalah sebutan kami untuk gedung basecamp anak-anak pecinta alam dikampusku. Kependekan dari sekretariat. Fun fact-nya adalah aku bukan anggota dari pecinta alam di kampusku. Walau aku sangat ingin, tapi orang tuaku tidak mengijinkan. Dan jauh masa kedepan Mas Haris juga melarangku. Selain itu, panggilan Mas Buto adalah panggilan unik kami kepada Mas Haris. Aku sudah lupa asal muasal penamaan itu.

“Eh, Mas Haris!” panggil Nunung. Mas Haris menoleh cepat dari arah kantin mesin-karena bersebelahan dengan jurusan Teknik Mesin, makanya dinamakan seperti itu. Mata kami terpaut. Lalu ia melambai cepat menuyuruh kami mendatanginya.

Aku dan Nunung berjalan ke arah Mas Haris, ia nampak sedang menikmati makan siangnya sendirian. Sedangkan Citra, ia berbelok ke arah sekre.

“Kalian sudah makan? Yok, pesen!” tawar Mas Haris kepadaku dan Nunung.

“Ih, Mas Haris telaaat. Kita lho sudah makan. Coba kasih tahu kalau mau traktir. Iya kan, nek?”

“Ya sudah. Besok ta traktirnya,”

Aku tersenyum angguk-angguk. “Mas Haris baru datang?” tanyaku kemudian.

“Sudah dari tadi, Lau. Eh, beneran sudah makan?” Tanya Mas Haris lagi.

“Sudah kenyang, Mas. Barusan makan dikantin bawah, tuh!” jawabku.

“Aku makan sendiri, dong,”

“Makanya, besok jadi traktir kita, kan?” Nunung mesam-mesem.

Mas Haris mengangguk sambil menyuap makanan kedalam mulutnya.

Hampir setiap hari Mas Haris pasti berkunjung ke sekre. Aku yang mengekor sahabatku, Nunung dan Citra yang merupakan anggota pecinta alam tentu saja selalu bertemu Mas Haris. Sampai rasa-rasanya, aku merasakan ada yang kurang jika tidak bertemu dengan Mas Haris barang sehari saja. Hingga suatu hari, aku mendengar kabar burung yang kurang menyenangkan tentang Mas Haris. Beberapa hari Mas Haris tidak menampakkan dirinya di sekre. Aku tidak bisa menghubunginya. Aku belum memiliki gawai saat itu. Tidak perlu bertanya bagaimana kabar hatiku.

Suatu hari Bobby, seorang teman yang berbeda jurusan, memintaku untuk membantunya mengetikkan sebuah dokumen. Dia berjanji akan membayarku. Aku menolak ramah. Aku mengenal Bobby karena dia adalah salah satu anggota dari pecinta alam, satu angkatan dengan Nunung dan Citra. Aku ingin membantunya tanpa pamrih, tapi dia akhirnya memaksaku untuk makan bakso bersamanya.

“Kenapa?” tanyaku kepada Bobby setelah kabar burung tentang Mas Haris sampai kepadaku.

“Y-ya, aku juga kurang tahu. Tapi, kesannya kurang enak aja.” Bobby menyeruput es jeruknya.

“Maksudnya? Apa, sih! Mas Haris orangnya baik, kok!” tuturku mencoba membela Mas Haris.

“Iya, dia seperti tebar pesona.”

“Hah! Kata siapa?”

“Ya-adalah,” jawab Bobby sangat menjaga ucapannya.

“Memang salah kalau Mas Haris menyukai seseorang dari kampus kita?”

“Karena orang-orang tahunya dia dari sekre. Padahal dia orang luar. Jadi, buat kesan yang engga k baik untuk sekre.”

Hatiku mencelos mendengus sedikit kesal. Merutuki orang-orang yang berpikiran buruk tentang Mas Haris. Gara-gara mereka, aku tidak bisa bertemu dengan Mas Haris beberapa hari ini. Di sisi lain, sesuatu tiba-tiba mengganggu pikiranku. Mas Haris menyukai seseorang? Siapa?

Pikiran tentang seseorang yang disukai Mas Haris menjadi gundahku belakangan ini. Tidak berjumpa wajahnya saja sudah sangat melelahkan hatiku. Dan kini, aku mulai bertanya-tanya dalam hati. Sepayah inikah menanggung cinta sendirian? Hingga akhirnya, Jimny Caribian itu mencuri perhatianku.

“Kok baru kelihatan? Mas Haris baik-baik aja?” tanyaku saat tiba dan langsung duduk berhadapan dengannya di kantin mesin.

“Alhamdulillah, baik,” jawabnya datar. Tanpa menatapku. Ia menyeruput kopinya.

Aku menggigit bibir bawahku, menghela napas.

“Mas Haris...,” kalimatku terputus saat Sita, salah satu pekerja yang membantu di kantin mendatangi kami.

“Eh, ada Mba Laura. Makan, kah?”

Aku menggeleng.

“Lama ya Mas Haris enggak kesini,” kata Sita kepadaku. “Sekali kesini, mukanya suntuk!” Sita duduk bersebelahan dengan Mas Adi.

“Mas Haris sakit?” tanyaku pura-pura dungu.

“Enggak.” Mas Haris akhirnya menegakkan kepalanya. Tapi, masih tidak menatapku.

“Bohong, nih, dia. Biasanya lho ceria. Ya kan, Mba Lau?” Sita ikut memanasi. Padahal Sita tidak tahu hal yang menimpa Mas Haris. Tapi, karena Mas Haris hampir setiap hari datang ke kantin tempat Sita bekerja, Sita pun tahu sedikit kepribadian Mas Haris. “Ya sudah, deh. Aku kebelakang dulu, ya. Takut ganggu.” Sita berlalu meninggalkan segudang pertanyaan dikepalaku.

“Mas Haris kenapa? Mau cerita sama aku?”

“Enggak apa-apa, Lau.”

Kami terdiam sesaat.

“Masih ada kuliah habis ini?” Tanya Mas Haris tiba-tiba.

Aku menggeleng cepat. “Dosennya sakit, tapi masih ada satu mata kuliah terakhir.”

“Jalan, yok!”

“Oh! Sekarang?”

“Iya, sekarang.”

“Kemana, Mas?” tanyaku sambil beranjak mengikuti Mas Haris menuju mobilnya.

“Ikut aja.”

Jimny Caribian melaju keluar dari komplek kampus. Rasanya sedikit canggung berada didalam mobil hanya berdua bersama Mas Haris. Aku hanya terdiam sepanjang perjalanan, begitupun Mas Haris. Hingga kami melewati sebuah jembatan besar yang membelah kota. Dibawahnya mengalir sungai yang besar dan banyak kapal-kapal pengangkut batubara bersliweran.

“Sudah dengar beritanya?”

“Eh, berita? Tentang Mas Haris? Eh, iya aku sudah dengar,” jawabku sedikit tergagu.

“Jadi, sudah tahu Mas mau ngomong apa?”

“Eh, emang Mas Haris mau ngomong apa?” Suaraku terdengar getir. Resah kalau-kalau aku sudah salah mengira.

“Aku memang mau ngomong itu, kok.”

“Mas tahu siapa yang ngomong begitu tentang Mas Haris?” Aku langsung bertanya ke pokoknya.

“Tahu.”

“Siapa, Mas?”

“Adalah seseorang pokoknya. Aku cuman ngerasa sedikit sakit hati dan kecewa. Padahal aku kesitu hanya ingin menambah teman.” Mas Haris mulai bercerita. Aku menyimaknya dengan baik. “Jadi, makanya aku agak malas ke sekre lagi.”

“Lah, jangan dong. Kan, beritanya enggak bener.”

“Aku jadi kurang nyaman aja sekarang, Lau.”

Aku terdiam. Bagaimana caranya bilang ke Mas Haris, kalau aku senang melihatnya setiap hari.

“Jadi, Mas Haris sekarang enggak mau ke sekre lagi?”

Kali ini Mas Haris yang gantian terdiam. Wajahnya seperi menyimpan kemarahan. Tapi, dia masih mampu menahannya.

Namun, tiba-tiba saja mobil yang kami kendarai berhenti mendadak dan terdengar suara tabrakan yang cukup keras. Aku dan Mas Haris terguncang cukup hebat.

“Astagfirullah!” Mas Haris berseru lalu melihat ke diriku. “Laura, kamu enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa, Mas. Apa itu tadi?”

Sek tunggu disini. Aku nabrak orang.” Mas Haris melesat keluar dari mobil. 

Aku pun bergegas keluar dari mobil dan beberapa orang sudah berkerumun.

Seorang wanita muda terkapar di jalanan, sambil memegangi kakinya yang kesakitan. Sepeda motornya tergeletak tidak jauh darinya. Beberapa orang terlihat membantu Mas Haris menolong wanita itu. Mas Haris mengisyaratkanku untuk diam ditempatku berdiri.

Mas Haris dan beberapa pria telah selesai mengangkat sepeda motor milik si wanita ke bak mobil Mas Haris. Aku beringsut masuk ke mobil dan duduk dibagian belakang. Si wanita tadi sudah duduk dengan aman didepan. Dia meminta untuk diantarkan pulang kerumahnya saja ketimbang harus pergi ke rumah sakit.

Mobil pun melaju kembali melewati jembatan besar yang tadi aku lewati bersama Mas Haris. Mas Haris terlihat tenang dan berusaha mencoba meyakinkan wanita itu untuk pergi ke rumah sakit saja. Namun, wanita itu tetap menolak. Sejauh ini, si wanita memang terlihat baik-baik saja. Tidak ada luka yang berdarah banyak. Hanya goresan kecil saja. Dan, si wanita tampak ramah kepada kami.

Namun, tiba-tiba terlintas pikiran konyolku. Skeptis dengan sikap si wanita yang sangat tenang dan terlihat seperti tidak mengalami musibah, serta menolak dibawa ke rumah sakit malah minta diantar pulang kerumah. Wanita ini tidak akan meminta Mas Haris ganti rugi dengan meminangnya, kan? 

Aku tersentak sendiri dengan lamunan gilaku. Si wanita tengah mengarahkan Mas Haris menuju rumahnya. Kini kami memasuki gang kecil namun masih bisa dilewati oleh mobil Mas Haris. Tak lama kami berhenti di depan sebuah rumah semi permanen berpagar kayu berwarna hijau.

“Terima kasih ya nak sudah diantarkan. Halimah memang sudah sering jatuh dari motor. Memang belum terlalu bisa naik motor,” lirih ibu dari Halimah, nama wanita itu.

Mas Haris angguk-angguk. Selesai bercengkerama sebentar, kami pun berpamitan. “Semoga bisa membantu pengobatan Halimah, ya Bu. Tidak banyak tapi In syaa Allah semoga Halimah bisa segera sembuh kembali.” Mas Haris tampak menyelipkan sejumlah uang saat bertaut tangan dengan ibu Halimah. Ibu Halimah tampak berterima kasih atas kebaikan dan ketulusan hati dari Mas Haris.

Aku dan Mas Haris lantas meninggalkan rumah Halimah dan berjalan kecil menuju mobil yang terparkir diseberang jalan. Sembari berjalan, aku melempar senyum kepada Mas Haris. Mas Haris malah membalasku dengan menyinggungkan lengannya kearahku. Aku terdorong sedikit dan tentu saja terperanjat dengan sikap isengnya yang tiba-tiba itu. Mas Haris tersenyum lebar. Senyum pertama yang aku lihat sepanjang hari ini.

“Aku kira tadi Halimah mau minta Mas Haris kawinin dia,” kelakarku.

“Astagfirullah!” Mas Haris tertawa lega. “Nikahnya sama Laura aja, gimana?”

“Eh?!”

“Hehe, bercanda.”

Aku kesal? Ya! Di satu sisi, sikap santun dan simpatik penyayangnya Mas Haris membuatku berdelusi. Apakah Mas Haris menyukaiku juga? Tapi, Mas Haris terlalu banyak berkelakar. Kami pun memutuskan untuk kembali ke kampus saja ketimbang meneruskan perjalanan kami yang tertunda. Sesampainya kami, mobil Mas Haris langsung melesat pergi meninggalkan kampus.

Beberapa hari kemudian, Mas Haris sudah terlihat kembali lagi ke kampus. Bercengkerama bersama anggota di sekre. Sepertinya kondisi sudah mulai membaik. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh kepada Mas Haris bagaimana penyelesaiannya. Aku merasa itu adalah sesuatu yang sangat sensitif, karena sekalipun aku bertanya pasti selalu ada yang dirahasiakan. Melihat Mas Haris kembali ceria saja sudah lebih dari cukup buatku.

“Kayaknya Mas Haris suka sama kamu deh, nek.” Nunung berbisik ditelingaku, disuatu siang di bangku panjang dibawah pohon Akasia seberang sekre.

“Ah, enggak mungkin. Aku dengar malah Mas Haris sukanya sama Soraya. Tuh, anak jurusan Administrasi Bisnis,” ketusku.

“Eh, itu suka-suka aja. Emang kamu enggak sadar, Mas Haris kalau didekat kamu itu suka salting,” jelas Nunung mencoba meyakinkanku.

“Tapi, aku enggak merasa Mas Haris suka sama aku. Mas Haris malah sukanya bercanda,” murungku.

“Suka itu,” ujar Citra ikut nimbrung dengan sebungkus kudapan keripik kentang ditangannya.

“Hus, jangan rame-rame!” Ratapku karena dua manusia ini, Nunung dan Citra, jika mereka disatukan akan mengaktifkan zat kimia bernama gaduh dan rusuh.

“MAS HARIS! SINI DULU!” Lengking suara Citra mengudara. Mataku terbelalak. Tubuhku terasa lemah tak berdaya dan hampir melorot sampai ke tanah. Citra memukul-mukul bangku disebelahnya. Mengisyaratkan Mas Haris untuk mendudukinya. Mas Haris langsung mendatangi kami.

Ono opo toh cah ayu?” 

Mas Haris baru saja tiba dan akan duduk. Namun, dengan cepat Citra meraih lengan Mas Haris dan malah mengarahkannya duduk tepat disebelahku.

“Nah! Gini kan cocok, Nung! Kayak penganten. Iya, kan?” Citra berdiri bersilang tangan didada memperhatikanku dan Mas Haris bagai mandor.

“Iya! Cocok-cocok! Tinggal cari penghulunya aja ini,” ujar Nunung ikut menimpali.

“Lho, cocok tah? Ayo! Tinggal dinikahkan aja ini.” Mas Haris menyambut drama Nunung dan Citra. Mas Haris menyikutku. Aku tersenyum getir. Narasiku mandek.

Suatu hari, aku dan Nunung pergi mengunjungi rumah kontrakan Mas Haris yang berada tidak jauh dari kampus. Mas Haris mengontrak rumah tersebut bersama Bang Hasan, alumni di kampusku sekaligus senior Nunung di pecinta alam.

“Ayo, kita home tour!” seru Nunung langsung menghambur kesegala penjuru ruangan.

Aku masih berdiri memperhatikan Mas Haris dan Bang Hasan yang mondar-mandir, entah apa yang mereka lakukan.

“Eh, jangan masuk kesitu. Itu kamarku!” seru Bang Hasan panik saat Nunung mendekat ke kamarnya.

“Kenapa enggak boleh, bang? Memang ada apanya?” Nunung manyun dan ngotot ingin masuk.

“Jauh-jauh! Jangan kesitu!”

Aku hanya bisa tertawa melihat Nunung ngedumel karena Bang Hasan memarahinya seperti anak kecil.

“Eh, neng. Udah makan neng?” Tanya Bang Hasan. Nunung terkekek geli karena panggilan Bang Hasan kepadakku.

“Belum! Abang masak apa?”

“Jiaah. Masak? Milikin kamu aja enggak bisa neng apalagi masak,” kelakar Bang Hasan membuat seisi rumah terbahak-bahak.

“Iya-iya-iya…” jawabku terkekeh.

“Kalian beneran belum makan?” Tanya Mas Haris.

“Beluuum, Maaaas,” jawab Nunung nelangsa.

“Makan mie rebus, mau?”

“MAU!” jawabku dan Nunung bersamaan.

“San, rebusin mie!” Mas Haris meminta Bang Hasan untuk memasak mie rebus.

“Okey, Mas! Demi Neng Laura aja ini.”

“Aku bantuin masak ya, Bang!” seru Nunung mengekor Bang Hasan menuju dapur.

Aku berpandangan dengan Mas Haris. Sedikit kikuk. Kulempar senyum simpul saja kepadanya. Mas Haris malah berlalu kekamarnya.

“Mas, jam berapa berangkat kerja?” tanyaku sambil mendongak dari pintu kamarnya. Banyak kertas berhamburan di lantai. Sebuah kasur tanpa dipan terletak dibawah jendela kamarnya. Ada laptop terbuka dan terhubung ke-printer.

“Hari ini enggak kerja, Lau. Cuman kirim laporan aja lewat email. Enak toh kerjaku?” Mas Haris terlihat sibuk memungut beberapa kertas yang berhamburan dilantai. “Maaf ya rumahnya berantakan.”

“Enggak apa-apa, mas. Aku boleh masuk?”

“Masuk sini! Duduk dimana aja, terserah Laura,” Mas Haris masih sibuk membersihkan kertas-kertas.

Aku menghampiri Mas Haris lalu duduk disampingnya. Ku bisa mencium aroma parfum Mas Haris dari jarak sedekat ini hingga rasanya ingin sekali bersandar dibahunya. Aku tersenyum dan menjadi geli sendiri jika harus berdelusi menjadi istri dari Mas Haris.

Mas Haris masih sibuk memilah-milah kertas. Aku tidak ingin menganggunya lalu kuedarkan saja pandanganku. Menyelidik pekerjaannya, melihat-lihat layar laptopnya, lalu tiba-tiba sesuatu sangat menarik perhatianku. Sebuah kertas tebal dan licin yang tertumpuk dibawah buku-buku Ekonomi. Kuraih ujung kertas itu perlahan. Sangat pelan agar tak sobek. Ku terus menariknya hingga akhirnya ku melihat keseluruhan gambar dari kertas itu. Kutemukan sebuah portrait seorang perempuan cantik disana.

“Ini siapa, mas?” tanpa ragu aku langsung bertanya kepada Mas Haris.

“Eh, apa?”

“Ini pacar Mas Haris?” Aku menatapnya. Akhirnya aku berhasil menarik perhatiannya.

“Oh, itu temanku,” jawabnya.

“Teman? Kok fotonya sama Mas Haris?”

“Ya enggak apa-apa. Cuman sharing foto aja buat kenang-kenangan,” jelasnya.

Aku seperti kurang puas dengan jawaban Mas Haris. Lebih tepatnya aku tidak mempercayainya.

Suatu hari, dimana hari mulai meredupkan cahayanya. Aku masih berada dikampus dan menonton para anggota sekre sedang berlatih rock climbing. Waktu itu aku duduk dibawah pohon akasia berdua dengan Mas Haris.

“Nanti enggak usah ikut pidaspala*,” ujar Mas Haris.

“Yah, aku kan pengen ikut tahun ini, mas,” rengekku.

“Enggak usah. Beneran. Disana bakalan susah buat Laura,” jelas Mas Haris.

“Tahun lalu sudah enggak ikut. Tahun ini enggak ikut lagi, tahun depan? Tahun depan aku lulus kuliah, mas.”

“Pokoknya Laura enggak usah ikut.” Tegas Mas Haris.

“Emang, sesusah apa sih pidaspala itu, mas?”

“Ya, gimana ya, cuman aku enggak bisa aja lihat Laura nanti ikutin prosesnya. Kayaknya enggak sanggup,” jelas Mas Haris.

Aku terdiam terenyuh. Tak lagi banyak bertanya. Anehnya, aku menuruti semua ucapan Mas Haris. Padahal masih beberapa hari yang lalu aku menemukan sebuah foto perempuan di kamarnya.

Suatu hari, aku menemukan sisi lain dari diri Mas Haris. Dan aku tidak bisa memahaminya saat itu.

“Aku itu orangnya pemalu. Biasanya malah cewek-cewek yang mengutarakkan perasaannya ke aku. Aku malah enggak pernah,” ujar Mas Haris.

“Berarti maksudnya cewek yang nembak Mas Haris?” tanyaku lagi sedikit tidak terima dengan pernyataannya.

“Kebanyakan seperti itu,” jawabnya lempeng.

“Ya enggak bisa begitu dong, mas. Dimana-mana cowok yang nembak cewek duluan,” kataku murung.

Hari-hari berlalu. Ada masa dimana aku benar-benar tidak bertemu dengan Mas Haris dalam waktu yang lama. Rindu? Tentu saja aku merindukannya. Tapi, bahkan Mas Haris tidak menyadari kerinduanku. Bahkan saat aku akhirnya memiliki gawai, Mas Haris hanya sesekali bertanya kabar tentangku. Isi percakapan kami tidak lebih dari itu. Aku ingin mengutarakan perasaanku, mengikuti kemauannya. Tapi, ada sesuatu yang menahanku. Aku tidak siap dengan penolakan. Tapi, aku juga tidak berani untuk memulai.

Ideologiku saat itu adalah, pria lah yang seharusnya mengutarakan perasaannya kepada seorang perempuan. Tapi, apa yang bisa kuharapakan dari perasaan Mas Haris? Boro-boro mengharap Mas Haris membalas perasaanku, toh, sebenarnya Mas Haris sudah memiliki kekasih di Jawa sana. Aku yakin dengan benar firasat hatiku. Foto perempuan yang kutemukan dikamarnya Mas Haris adalah kekasihnya.

Mulai saat itu, kuperlahan mundur dari keinginan memiliki hati Mas Haris. Aku sudah tidak peduli dengan semua perhatian yang Mas Haris berikan. Aku seperti di bohongi. Tapi, lagi-lagi aku bertanya dalam hati? Siapakah aku bagi Mas Haris? Patutkah aku untuk marah?

Pada akhirnya, Mas Haris benar-benar pergi meninggalkanku. Tanpa berpamitan. Tanpa ada kata selamat tinggal. Mas Haris hilang dari hidupku.

Pada suatu hari, beberapa tahun kemudian. Sebuah pesan singkat masuk di gawaiku. Aku tidak mengenal si pemilik nomor. Dia menyapaku dengan ramah. Aku membalas pesannya. Aku bertanya siapa gerangan pemilik nomor ini. Haris, jawabnya.

Aku marah? Belum. Aku rindu? Entahlah. Saat itu, aku hanya merasa paling bahagia seantero negeri. Mas Haris pada akhirnya mengutarakan perasaannya kepadaku. Betapa dia sangat mengagumiku. Dan betapa diriku adalah wanita idamannya. Mas Haris sangat menyukaiku.

Akhirnya, setelah sekian tahun, Mas Haris muncul kembali membawa hatinya untukku. Tapi, aku masih belum mendengar kalimat ajaib dari mulutnya. Namun, lagi-lagi dia menghilang.

Seminggu kemudian, sebuah pesan singkat terkirim ke gawaiku. Pesan dari Mas Haris. Sangat singkat tapi sangat jelas tersampaikan maksud dari pesan itu. Sebuah undangan pernikahannya bersama kekasihnya. Yah, Mas Haris akhirnya menikahi seorang perempuan yang sangat mirip dengan perempuan yang ada di foto yang aku temukan dikamarnya waktu itu.





Catatan kaki :

*pidaspala : pendidikan dasar pencinta alam

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Cantik, catatan kakinya. Menarik ceritanya.
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Seminggu Sebelum Pernikahan
Al Balinda Ulin Dya
Novel
Bronze
Stay With Me
Shinee
Novel
M I R A G E
Noficha Priyamsari
Novel
Unknown Husband
Michelia Rynayna
Novel
Bronze
Romantika Cinta Dinar - Buku-1
TOTO M. RIANTO
Novel
Cinta Yang Dirindukan Surga
DENI WIJAYA
Novel
Peach For Lily
Auli Inara
Novel
Chrysanthemum
DYAH UTARI, S.Pd.
Novel
Invisible Love
Natsume Risa
Novel
Gold
The Prince's Escape
Mizan Publishing
Novel
Bronze
ERNANDO √
siti nurhildayani
Novel
Hai, Kancil!
andra fedya
Novel
Gold
Melted
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
EXPECTATION
Innauraa
Novel
SATU SATURASI
nonetheless
Rekomendasi
Cerpen
Seminggu Sebelum Pernikahan
Al Balinda Ulin Dya
Flash
Curhat Gadis Galau
Al Balinda Ulin Dya
Cerpen
Cerita Si Bungsu
Al Balinda Ulin Dya
Novel
The Unseen Kingdom
Al Balinda Ulin Dya
Flash
Pilihan Hati
Al Balinda Ulin Dya
Skrip Film
A Strange Girl At a Concert
Al Balinda Ulin Dya
Novel
A Man Of His Word
Al Balinda Ulin Dya