Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sembuh datang Setelah rindunya tuntas
0
Suka
29
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dua tahun. Bukan waktu yang singkat bagiku untuk jauh dari tanah kelahiran, dari senyum hangat Ibu, dan dari riuh tawa keluarga yang selalu mengisi hari-hariku. Kalimantan, dengan segala hiruk pikuk dan gemerlapnya, memang menawarkan impian, tapi juga menuntut pengorbanan. Setiap dering telepon dari kampung, selalu ada nada rindu yang menggetarkan, terutama dari Ibu. Suara seraknya, yang kadang diselipi batuk kecil, dan wajah pucat terlihat dari handphone selalu berhasil membuat hatiku tercekat. Cuti yang akhirnya datang terasa seperti keajaiban di tengah penantian panjang. 

Kapal yang sandar di pelabuhan serasa membawa pulang seluruh gundah yang selama ini mengendap, tergantikan oleh gelombang antusiasme yang membuncah. Berdesakan, aku turun dari kapal bersama dengan orang-orang yang mungkin juga sudah mengantongi rindu yang ingin mereka tuntaskan.

Jalanan menuju rumah terasa akrab, setiap tikungan dan pepohonan seolah menyapaku dengan kenangan. Aroma berbagai bunga yang selalu Ibu tanam di halaman depan langsung menyambut, membelai indra penciumanku dengan kehangatan yang tak tergantikan. Rumah ini masih sama, cat dindingnya sedikit memudar, namun auranya tetap memancarkan kehangatan yang sangat aku rindukan. Dulu, tempat ini selalu ingin aku tinggalkan, sebab egoisku ingin mewujudkan impian dan memberi sesuatu yang berharga pada keluargaku.

Di teras, Ibu duduk dengan senyum tipis, rambutnya yang dulu hitam legam kini banyak diselingi uban, dan wajahnya tampak lebih tirus dari yang aku ingat. Garis-garis halus di sekitar matanya semakin kentara, seperti peta yang menunjukkan jejak waktu dan kerinduan yang sudah tertahan. 

Aku melangkah perlahan, jantungku berdegup kencang. Aku ingin menahan diri, menikmati setiap detik momen perjumpaan ini, namun kaki Ibu seolah bergerak sendiri, membawa ia mendekat. Pelukan pertama adalah ledakan rindu yang tak terbendung. Aku mendekap erat, seolah ingin menyerap setiap atom kehadiran Ibu yang selama ini hanya bisa aku bayangkan. Wangi khas Ibu,seperti membawaku kembali ke masa kecil, ke pangkuan yang selalu menjadi tempat teraman di dunia.

"Abil, anak Ibu..." Suara Ibu serak, disusul isak tangis tertahan yang menggetarkan. Aku merasakan pundakku basah, namun aku tak peduli. Air mataku sendiri ikut menetes, membasahi rambut Ibu. Di sampingku, ada kakak perempuanku yang juga terlihat meneteskan air mata haru. Tidak bicara dan juga tidak ingin ikut memeluk. Sementara para tetangga yang menyaksikan pelukan kami, ikut mendukung sunyinya hari kedatanganku. Kehangatan yang memancar dari pelukan itu seolah menyembuhkan luka-luka kerinduan yang selama ini menganga di hatiku. Aku mengajak semua orang yang berada di teras untuk ikut masuk ke rumah.

Malam itu, meja makan menjadi saksi bisu kehangatan yang telah lama hilang. Sayur asem, tempe goreng, dan ikan asin balado, masakan kesukaanku terhidang lengkap. Aroma masakan Ibu yang kini beralih kakakku yang memasak. Masakan khas yang memenuhi seluruh ruangan, membangkitkan selera makanku yang selama ini cenderung monoton. Aku duduk di tempat biasa, di samping Ibu, dengan senyum tak lepas dari bibirku. Aku memandang satu per satu wajah anggota keluargaku, menatap Ayah yang banyak diamnya, tapi aku tahu, dia bahagia atas kehadiranku. 

Saat menikmati makan malam, pandanganku terpaku pada piring Ibu. Ada yang berbeda. Nasi merah. Seketika, senyumku memudar. Rasa khawatir menyeruak, menggerogoti kebahagiaan yang baru saja aku rasakan. Ingatanku melayang pada percakapan dengan Alya kakak perempuanku beberapa bulan lalu, yang mengeluhkan kondisi Ibu yang sering lemas dan pusing.

"Ibu sakit apa?" tanyaku berusaha menahan getaran suaraku karena tahu Ibu sakit, mencoba terdengar setenang mungkin.

Ibu tersenyum tipis, senyum yang sedikit dipaksakan. "Hanya gula, Nak. Tidak parah. Biasa saja, sudah ditangani dokter."

Tidak parah? Hatiku menjerit. Nasi merah itu, mata Ibu yang sedikit cekung, dan gerakannya yang tak selincah dulu, dan sedikit terlihat pucat. semua membuktikan bahwa "tidak parah" adalah dusta untuk menenangkan hati anak-anaknya. Rasa bersalah menghantamku telak. Aku sudah dua tahun merantau, berjuang meniti karier di kota besar, dan selama itu, ibuku berjuang juga melawan penyakitnya. Aku tidak ada di sisi Ibu saat Ibu membutuhkan, menusuk ulu hatiku. Rasa sakit hati yang mendalam muncul, bukan kepada Ibu, melainkan kepada diriki sendiri. Mengapa aku terlihat sangat egois? Mengapa aku harus pergi meninggalkan Ibu? 

Makan malam yang seharusnya penuh kebahagiaan itu terasa getir bagiku. Aku merasa bersalah, merasa sakit hati melihat Ibu harus membatasi diri karena penyakit yang dideritanya. Alya seolah memahami kegundahanku. Dia bercerita bahwa Ibu memang belakangan ini kurang nafsu makan, dan kadang mengeluh pusing. Dia juga mengatakan bahwa Ibu sering merindukanku, dan kadang diam-diam melihat fotoku di ponsel. 

"Makanlah, Ibu tidak kenapa-kenapa," katanya meyakinkan agar aku tidak terlalu khawatir. Ibu tidak punya bakat berbohong, aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. 

Rupanya, tempat paling nyaman yang sesungguhnya adalah rumah sendiri, pulang dan bertemu dengan orang-orang tersayang adalah kebahagiaan. Aku terbangun setelah tidur yang terasa nyenyak saat berada di kamar sendiri. Pagiku disambut dengan aroma masakan yang membuat aku semakin kelaparan. Ternyata, pelakunya adalah Ibu. Sepertinya, dia sudah berada di dapur bahkan saat mentari belum menyapa.

"Ibu sedang apa?" Posisiku langsung berdiri di samping Ibu yang sedang sibuk memasak. 

"Ibu kaget. Ini, sedang masak nasi kuning untuk sarapan," aku sedikit tersentak karena Ibu memukulku. 

Bahagia Ibu sangat terlihat, karena yang katanya sebelum ini, dia selalu terlihat lemah dan tidak punya semangat hidup. Kata Alya, kedatanganku membuat semangatnya menggebu. 

Aku merindukan semua yang ada di kampung, termasuk membantu Ayah dalam pekerjaannya. Membantunya untuk mengambil makanan ternak yang juga menjadi kebiasaanku ketika masih disini. 

"Rasanya menyenangkan." Kalimat itu kuutarakan ketika aku sedang istirahat bersama Ayah, menyaksikan ternak Ayah menikmati makanan yang kami ambilkan tadi. Setelah semua selesai, pulang ke rumah adalah pilihan paling terbaik bagiku. Menikmati semua sisa rindu untuk bangunan dan isinya yang sudah lama aku tinggalkan itu. 

Di rumah, aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, mendengar suara motor yang diikuti dengan langkah ibu yang tergesa-gesa menuju pintu, aku ikut terbangun tapi tidak ikut menyambutnya, hanya duduk di tempat tidurku. 

"Alhamdulillah, kamu selamat sampai tujuan." Aku tahu siapa yang datang, sicerewet itu, Hilma, kakak keduaku yang pulang. Dia kuliah di Ibu Kota, pulang karena hari raya sudah dekat. 

"Bagaimana dengan kota impian itu, apakah ada perempuan cantik sepertiku disana?" Aku melemparnya dengan bantal yang aku gunakan tadi. 

"Banyak, bahkan tidak ada yang sekucel dirimu," dia melempariku balik bantal yang tadi. 

"Ibu, Abil melempar aku bantal, mengatakan aku juga jelek." Dia merengek melapor pada Ibu, padahal yang cari gara-gara adalah dia. 

"Abil, jangan menganggu kakakmu, dia mau istirahat." Suara ibu terdengar, kurasa dia membereskan barang yang dibawa anaknya ini. 

Dia mengejekku merasa kemenangan, tapi aku tidak menanggapinya agar dia berhenti mengangguku, dan menuduhku lagi. 

Aku merasa kesal pada kakak ku itu, tapi rasa bahagiaku lebih dominan karena melihat Ibu semangatnya meningkat dua kali lipat ketika dia datang tadi. 

Hari-hari berikutnya, banyak sekali perubahan yang kentara pada Ibu. Senyum Ibu semakin lebar dan lebih tulus, wajahnya tampak lebih segar, dan langkahnya lebih ringan. Mata Ibu tidak lagi terlihat cekung, dan ada semburat rona di pipinya. Suatu pagi, saat sarapan, aku melihat Ibu makan dengan lahap, bahkan menghabiskan porsi nasi merahnya tanpa mengeluh. Wajahnya berseri-seri, memancarkan kebahagiaan yang tulus.

"Bagaimana perasaan Ibu, Bu?" tanyaku, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. 

Ibu tersenyum, senyum yang begitu tulus dan penuh kelegaan. "Ibu merasa jauh lebih baik, Nak. Rasanya... beban berat di hati Ibu hilang. Ibu seperti mendapat energi baru. Rasanya bahagia sekali melihat kalian semua disini, berkumpul bersama-sama di sini, Abil."

Aku tahu, itu bukan hanya karena obat atau makanan sehat. Itu karena kerinduan yang selama ini membebani hati sang Ibu, telah tuntas terbayar. Kehadirannya, pelukannya, dan waktu yang anak-anaknya luangkan, adalah obat paling mujarab. Ibu sembuh, karena rindunya telah tuntas. Dan aku tahu, tak ada yang lebih berharga dari senyum Ibu yang kembali merekah, dan hati yang kembali utuh. Aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan lagi membiarkan kerinduan mengendap begitu lama. Aku melirik pada laki-laki yang jarang bersuara itu, dia senyum bahagia, kurasa, Ayah memendam bahagianya. Dia penyayang juga. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Sembuh datang Setelah rindunya tuntas
Marliana
Novel
Stress
Maria Goreti
Flash
Bronze
Kisah Kelam Kehidupan: Kebenaran di Balik Mimpi
mahes.varaa
Skrip Film
Nanti 9 Tahun Lagi (Script)
Ineza Sativa
Cerpen
Cinta Kenapa Salah ???
Adelani Puput Ayuningtyas
Skrip Film
K: Kisah, Cinta & Kita
Vivin Aprilia
Novel
Jae&Lani
Hesti Ary Windiastuti
Cerpen
Bronze
I'm 100 Percent of Indonesian
Nuel Lubis
Novel
Bronze
Balada Ibu Rumah Tangga
Gie Salindri
Cerpen
Terlalu Bodoh Untuk Jadi Kenyataan
Kosong/Satu
Skrip Film
Karena darah kita sama, Allaniseiza
ryunee samaya
Cerpen
Bronze
Jangan matikan pelita ku
dwirizqiawati
Novel
Sepi dan Emosi
Senna Simbolon
Novel
Kita & Saling Part 1
Aneke Putri
Skrip Film
Paruh Waktu (SKRIP)
Nurmala Manurung
Rekomendasi
Cerpen
Sembuh datang Setelah rindunya tuntas
Marliana
Cerpen
Rumah Itu, Keluarga.
Marliana
Novel
Bu, Jahit Juga Luka Ku
Marliana
Novel
MEI KE 25
Marliana
Cerpen
Karena Kita Tidak Punya Kendali
Marliana