Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gadis kecil itu bernama Haura. Tubuh mungilnya tengah menduduki sebuah bangku semen di pekarangan sekolahnya, terletak di bawah pohon ketapang kencana dengan cabang-cabangnya yang memanjang, melindungi tubuh mungil gadis itu dari terik matahari sore. Dedaunannya yang mungil seperti tubuh mungil Haura dan yang telah menguning berguguran, sebuah pertanda musim. Suasana sekolah sudah mulai lengang. Hampir semua murid di sekolah tersebut telah pulang, menyisakan Haura dan segelintir murid lainnya yang menunggu penjemputan orangtua mereka. Padahal hampir satu jam sejak bel tanda kepulangan berbunyi, namun orangtua Haura tidak kunjung datang.
Aku yang hampir seharian berkutat dengan berbagai urusan administrasi sekolah di awal tahun pelajaran, berkurung di kantor seperti hibernasi seekor beruang di dalam gua, beranjak dari meja kerjaku kemudian melongok ke luar ruangan. Aku bisa melihat Haura tengah duduk di sana, di bangku semen yang berada tepat di seberang ruang kerjaku. Aku kembali ke meja kerjaku, membuka lacinya, lalu mengeluarkan minuman dan makanan ringan yang sengaja aku simpan untuk kubagi-bagikan. Aku berjalan keluar, menghampiri Haura. Haura menyadari kedatanganku. Dia tersenyum kepadaku.
“Boleh ustaz duduk di sebelah Haura?” Haura menggeser posisi duduknya, memberikan cukup ruang dan jarak untukku. Setelahnya aku duduk, kemudian memberikan minuman dan makanan ringan kepadanya.
“Terima kasih, Ustaz.”
“Sama-sama”
Aku melihat ke arah Haura. Dia mulai membuka bungkus makanan ringan yang aku berikan, lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya. Aku tersenyum simpul. Lalu akupun melakukan hal yang sama. Sejenak kami berdua menikmati makanan ringan yang aku bawakan.
“Ustaz nggak ngajar kami lagi?” Pertanyaan polos Haura meluncur dari mulutnya, mencairkan kebersamaan kami yang tadi sejenak membeku. Aku tersenyum getir, lalu menarik napas dalam-dalam.
Pada tahun pelajaran yang lalu, aku ditunjuk untuk mengajar di kelas Haura. Itupun sebagai guru pengganti karena guru (ustazah) sebelumnya memutuskan untuk hengkang dari sekolah. Saat itu hanya aku yang memungkinkan untuk menggantikan posisi tersebut.
Sekolah kami berbasis sekolah agama. Oleh karena itu kebijakan yang diterapkan adalah memisahkan antara murid laki-laki dan perempuan. Dan idealnya, murid perempuan juga diajar oleh guru perempuan (ustazah). Namun kondisi saat itu berbeda, tidak memungkinkan untuk membuat formasi seperti itu. Akibat kondisi yang tidak ideal, formasi yang kosong itu aku isi. Akhirnya aku menggantikan peran ustazah yang hengkang tersebut untuk mengajar di kelas Haura. Mata pelajaran yang aku ampu saat mengajar di kelas Haura adalah Hafalan Alquran, mata pelajaran yang diajarkan setiap hari, menjadikan aku berinteraksi lebih intensif dengan Haura dan teman-temannya.
Aku menggelengkan kepala, sebagai jawaban atas pertanyaan Haura. Senyum getir tetap bergelayut di wajahku.
“Tapi kan Ustaz bisa mengatur jadwal untuk Ustaz sendiri. Kan Ustaz wakil kepala sekolah?” Pertanyaan demi pertanyaan polos Haura mencecarku. Sepertinya hampir semua warga sekolah tahu jabatanku, namun kebanyakan tidak mengetahui prosedur dari jabatanku. Banyak yang mengira, dengan jabatanku itu, aku bisa mengatur apapun semauku, meletakkan formasi sekehendakku. Kenyataannya tidak semudah itu. Aku harus tetap bekerja secara profesional, tidak menyalahgunakan jabatanku untuk kepentingan pribadiku. Jujur saja, kalau aku perturutkan kemauanku, aku ingin menyertai Haura dan teman-temannya hingga mereka lulus, mengingat masa studi mereka di sekolah ini hanya tersisa kurang dari satu tahun. Ya, mereka kini telah duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar.
Aku mengernyitkan dahi, mencari-cari jawaban yang mudah dipahami oleh Haura. Tetap, senyum getir menggelayutiku.
“Ustaz bisa saja menetapkan kayak gitu, Haura. Tapi Ustaz gak mau berbuat hal yang seperti itu. Lagian kan sekarang ada Ustazah yang mengajar Haura.” Haura terdiam, seperti berusaha untuk memahami penjelasanku.
“Sampai kapanpun, Ustaz adalah guru Haura. Dan Haura adalah murid Ustaz.” Suaraku menjadi lebih berat saat mengucapkan kalimat tersebut. Mataku juga berkaca-kaca dibuatnya.
Asing. Itu kesan pertama yang aku rasakan saat pertama kali mengajar Haura dan teman-temannya. Perasaan canggung di awal perjumpaan barangkali adalah hal yang wajar. Sebagai seorang guru, tentu saja aku sudah terbiasa menghadapi kondisi semacam itu. Melakukan adaptasi dan pembiasaan dalam berinteraksi dengan mereka adalah hal yang harus aku lakukan. Tak memerlukan waktu yang lama, aku bisa berbaur dengan mereka, mengenal satu persatu dari setiap pemilik nama yang menghuni kelas tersebut. Melalui interaksi yang aku lakukan secara intensif, aku menjadi jatuh hati mengajar di kelas tersebut; jatuh hati dengan suasananya, jatuh hati kepada anak-anak yang menghuninya.
Aku tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka, kalau murid-muridku tersebut menjadi anak-anak yang istimewa bagiku. Di kelas itu ada Haura, Afia, Alika, Nadira, Amel, Amira, Asyifa, Khanza, Hazlin, Namira, Najla, Bilqis, Aisyah dan Aisyah Putri, Qonita, Raisha, Dzaqyara, Dyah, dan Quinara. Sembilan belas murid perempuan, dengan ragam karakternya masing-masing, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala drama dan dinamikanya, semuanya aku banggakan. Kini, semuanya aku rindukan, meskipun raga mereka masih berada di sini, namun aku tidak bisa lagi membersamai mereka. Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana aku begitu tersiksa dengan keadaan?
“Hafalan tiga juz Haura sudah sampai mana? Sudah hampir selesai, kan?” Aku mengalihkan topik pembicaraan agar tidak larut dalam perasaan.
“Iya, Ustaz. Hampir selesai. Tersisa dua surat lagi,” jawab Haura. Muridku yang satu ini memang selalu membanggakan. Bahkan Haura adalah yang paling unggul di antara teman-temannya dalam hafalan Alquran.
“Tolong kabari Ustaz kalau Haura sudah menyelesaikan hafalan tiga juz.”
“Baik, Ustaz.”
“Nanti ada hadiah buat Haura kalau bisa menyelesaikan hafalan tiga juz.” Aku tersenyum ke arahnya. Entah mengapa aku masih merasa memiliki tanggung jawab untuk menyertai perkembangan Haura. Barangkali selama ini aku berusaha untuk menjadi seperti seorang sahabat, dan berharap bisa menjadi salah satu sahabat terbaiknya.
Suara klakson menghentikan perbincangan kami. Orangtua Haura tiba. Setelah melihat kehadiran orangtuanya, Haura berpamitan. Aku membalasinya dengan senyuman. Pandanganku lekat kepada sosoknya yang semakin menjauh. Aku membalasi lambaiannya saat dia melambaikan tangannya kepadaku. Akhirnya, sosoknya menghilang.
Aku tetap duduk terpaku. Aku menggali kembali memoriku. Memori tentang sebuah momen yang aku tak pernah harapkan, pada hari ketika aku bertatap muka dengan murid-muridku untuk yang terakhir kalinya di kelas, sebagai sebuah penghujung pertemuan, mengakhiri kebersamaanku dengan mereka. Aku harus memberikan pesan perpisahan, sebuah pesan yang tak ingin aku sampaikan, yang hatiku memberontak untuk melakukannya.
Dengan tatapan nanar, kupandangi setiap sosok yang ada di hadapanku, menjelajahi semuanya, sembilan belas orang murid yang aku sayangi. Sembilan belas orang yang sebentar lagi tidak aku bersamai, Seakan mengetahui perubahan suasana hatiku, salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa Ustaz kok kelihatan sedih?”
Aku tersenyum getir, mataku berkaca-kaca, sejenak tak mampu berkata-kata, kemudian mempersiapkan diri untuk menyampaikan ucapan perpisahan pada perjumpaan terakhir.
“Girls, coba dengarkan. Ustaz ingin menyampaikan sesuatu,” ujarku memecah keheninganku, mencoba menarik perhatian murid-muridku, sebagai pertanda tentang pesan penting yang aku akan sampaikan. Beberapa orang akhirnya memusatkan perhatiannya, semuanya menunggu pesan yang akan disampaikan. Aku ingin menyampaikan sebuah pesan lugas dan singkat secara langsung.
“Ini adalah perjumpaan terakhir kita, kebersamaan kita di kelas ini, sebuah kelas dengan para penghuninya yang sangat membanggakan. Ustaz jadi teringat, awal perjumpaan kita, semua terasa asing, tak saling kenal. Kini, Ustaz telah jatuh hati kepada kelas ini, kepada suasananya, dan kepada para penghuninya. Namun, hari ini, pada saat bel berbunyi beberapa menit lagi, sayang sekali, itu adalah tanda berakhirnya kebersamaan kita, dan tanda awal perpisahan kita.”
Dadaku sesak, suaraku serak, aku mendadak menjadi lemah saat aku menuturkan kata dan kalimat perpisahan kali ini. Namun, kalimat yang telah aku mulai, harus dituntaskan.
“Ustaz ucapkan terima kasih atas kebersamaan kalian, membersamai Ustaz selama ini. Terima kasih kepada Afia, terima kasih kepada Aisyah, … (aku menatap satu persatu murid-muridku, dan menyebut nama mereka satu persatu). Terima kasih telah menjadi murid-murid yang baik, dan semoga kalian tetap seperti itu. Ustaz merasa terhormat memiliki kesempatan menjadi guru kalian.”
Mataku berkaca-kaca, suaraku terputus-putus, seolah tak mampu melanjutkan kalimat yang telah aku mulai. Aku terus berusaha, harus kutuntaskan sekarang juga.
“Dan, Ustaz minta maaf atas perkataan dan perbuatan Ustaz yang melukai hati kalian,” ucapku sambil menyatukan kedua telapak tangan, simbol permintaan maaf.
“Ustaz meminta maaf kepada Afia, meminta maaf kepada Aisyah, … (sekali lagi, aku menatap mereka satu persatu, dan menyebut nama mereka dalam permintaan maafku).”
“Dan terakhir, Ustaz minta izin untuk pamit, undur diri. Walaupun Ustaz tidak lagi mengajar kalian, Ustaz akan selalu menjadi guru kalian. Dan kalian adalah murid-murid Ustaz.” Tepat di penghujung kalimat, bel berbunyi, tanda akhir kebersamaan, tanda awal perpisahan.
***
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku sadar, perpisahan merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perjumpaan. Namun, hal yang selalu aku merasa berat (dan mungkin bagi banyak orang) adalah mengapa perpisahan seringkali terasa menyakitkan?
Senja menguning. Aku beranjak dari bangku semen, sembari melekatkan kembali kenangan tentang mereka di memoriku, mempersiapkan hatiku untuk menghadapi perpisahan yang nantinya hanya akan menyisakan kenangan, dari sosok-sosok yang keberadaannya akan selalu kurindukan.