Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
CUKUP sekali saja melihatnya, dijamin kamu pasti langsung ingat dia seumur-umur. Orangnya iconic. Bertubuh pendek, berperut buncit, berambut gondrong beruban, dan berbokong besar. Ciri khas lain dirinya adalah penampilannya yang bergaya hippie. Anting di telinga kiri, janggut dikelabang, celana jins ‘bektut’ alias sobek lutut, sandal jepit gempil[1], dan kaus oblong bolong-bolong. Kalau ditanya umur, jawabnya, “Wis tuwo[2].”
Kalau kamu baru pertama kali bertemu dia pasti membatin, “Wis tuwo kok neko-neko[3].” Lha memang kulitnya sudah terlipat-lipat di sana-sini. Sungguh wagu kalau tampil bergaya tengil sok muda.
Setiap hari kerjanya hanya jalan-jalan keliling kampung dengan pelantang telinga tersumpal di lubang kupingnya. Jangan ditanya lagu apa yang didengarnya. Lagu klasik! Maksudnya, dangdut klasik era Rhoma Irama, Rita Sugiarto, dan Mansyur S. Atau, minimal Siti Jubaidah, penyanyi lokal dari kampung sebelah yang gagal merilis album perdananya.
Warga Kampung Joglo memanggilnya Semar Mendem. ‘Semar’, karena tubuhnya memang mirip celengan semar. ‘Mendem’, karena bicaranya sering melantur, seperti orang mendem[4].
“Wis, ayo podho melu aku nyepi nang gunung wae![5] Di sana semua ada dan gratis. Pengin sugih[6] gampang, pengin kere apa lagi. Ayo ayo!” begitu kata-kata yang selalu terucap hampir setiap berpapasan dengan orang.
Berbeda lagi ketika dia bertemu pejabat desa. Dia selalu mengingatkan akan kedudukan mereka. Bahwa mereka dapat menikmati kedudukan itu berkat rakyat, bahwa kekuasaan yang mereka miliki tak berarti apa-apa tanpa rakyatnya. “Jadi, buat apa kamu jadi petinggi? Mendingan jadi rakyat biasa saja dan ayo melu aku nyepi nang gunung!”
Sesekali Semar Mendem berorasi sambil berlenggang santai di gang-gang pasar. “Dunia sudah bobrok. Tidakkah kalian melihatnya? Yang kaya itu sebenarnya kere. Yang cakep-cakep itu aslinya buruk rupa. Yang mengaku benar itu ternyata bohong. Yang nyaman itu sejatinya sama sekali tidak enak. Semua semu, semu semua! Ayo tinggalkan kampung dan hidup yang benar tanpa kesemuan di gunung!”
Dan semua orang suka dengan Semar Mendem. Apalagi ketika dia mengaku dirinya adalah manusia setengah dewa titisan Batara Ismaya alias Semar dari semesta pewayangan. Sungguh sangat menghibur di tengah kepenatan urusan duniawi mereka. Maka, tidak sedikit warga yang memberikan uang, makanan, atau pakaian secara sukarela. Semar Mendem menerimanya, tapi dia menggunakannya hanya ketika membutuhkan saja. Selebihnya, dia memberikan kepada para pengemis atau gelandangan.
Kini, Semar Mendem merasa lelah. Enam bulan sudah dia berada di Kampung Joglo dan tidak seorang pun yang mengikuti ajakannya tinggal di gunung. Dia sedang berada di titik kelelahan jiwanya.
Semar Mendem meratapi keheningan hatinya di tengah keramaian pasar. Tidak memedulikan beberapa pedagang yang saling berebut harapan dengan mengobral dagangannya, yang tetap saja terasa mahal di tengah melonjaknya harga-harga barang. Tidak menghiraukan ributnya pedagang liar yang dikejar-kejar Satpol PP.
Semar Mendem tidak lagi memikirkan bagaimana bobroknya kehidupan umat manusia dewasa ini. Bagaimana korupsi dan kolusi terus terjadi, dan bagaimana karena itu lalu muncul ketidakadilan dan membuat masyarakat gerah.
Semar Mendem hanya sibuk dengan sesal dirinya sendiri. Entah mengapa tidak ada yang percaya padanya. Berbeda benar dengan Semar yang selalu dihormati dan disegani junjungannya para satria Pandawa, yang selalu diminta nasihatnya bila mereka hendak berperang.
Sungguh berat misi yang diwariskan Semar padaku.
Semar Mendem merasa menyesal telah dititisi oleh Semar. Dia kembali menelusuri memorinya yang tersisa.
Suatu pagi, tiga bulan yang lalu dia terbangun di depan sebuah kios kelontong dan tidak ingat jati dirinya. Bajunya tampak lusuh dan robek di sana sini. Ketika Slamet, pria pemilik kios itu, membangunkannya dan menanyakan namanya, dia kebingungan.
“Kita beri nama Semar saja,” celetuk seorang tukang ojek pangkalan setelah melihat bentuk tubuhnya mirip Semar.
“Semar? Boleh juga,” katanya. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dipandanginya Gunung Arjuno yang berdiri gagah di latar belakang Kampung Joglo. Ada perasaan deja vu. Entah kapan, dia merasa pernah tinggal di sana. Dan itu terjadi setelah dia melihat dari kejauhan sebuah gambaran seseorang bertubuh mirip dirinya di atas gunung itu melambaikan tangan ke arahnya. Merasa terpanggil, dia pun berjalan ke arah gunung tersebut. Tapi ingatannya mentok di situ. Soal sampai ke atas gunung itu atau tidak, dia lupa.
Sekarang, Semar Mendem sudah tidak peduli lagi. Dia mengabaikan perasaan-perasaan tentang jiwa Semar yang menitis ke dalam tubuhnya dan tentang misi-misi yang Semar titipkan untuk dia jalankan. Dia hanya melihat tanpa daya orang-orang memborong barang hanya untuk gengsi, menatap lelah orang-orang yang rakus melahap makanan di restoran, dan melirik malas para petinggi desa yang flexing gaya hidup mewahnya.
Tidak ada yang menuruti ajakannya untuk meninggalkan ‘dunia semu’ mereka.
Di tengah kekecewaannya, tiba-tiba dia didatangi seorang pemuda. “Semar Mendem, ayo antar aku ke gunung!”
Semar Mendem terkejut sekaligus senang. Akhirnya ada juga yang sadar pada keadaan.
“Kamu sudah siap?”
“Sudah dong. Pacarku juga sudah minta izin kepada orang tuanya, tapi untuk menginap di rumah neneknya di desa. Di gunung nanti aku dan dia akan menginap selama kurang lebih seminggu. Nah, aku butuh kamu untuk jadi petunjuk jalan, dan kalau sudah sampai, kamu boleh turun lagi ke sini.”
Semar Mendem memandangi pemuda itu dengan kesal.
“Hebat kan ideku? Pacaran, tidak ada yang mengganggu, sambil menikmati pemadangan alam.”
Sakit hati Semar Mendem dibuatnya. Dia meninggalkan pemuda itu sambil mengumpat.
Baru tiga langkah berjalan, seorang pemuda lain mencegatnya. Perawakannya tinggi kurus, berhidung mancung, dengan rambut gondrong yang dikuncir. Gaya berpakaiannya mirip Semar Mendem. Hippie.
“Romo, panjenengan[7]-kah itu?” sapa pemuda itu. “Ini Petruk anakmu, Romo. Syukurlah, akhirnya ketemu di sini.”
“Petruk?” tanya Semar Mendem heran.
Petruk mengabaikannya, lalu menarik lengan romonya itu sambil berbisik, “Ayo kita pulang ke gunung! Panjenengan kesusu[8]. Sekarang belum saatnya turun. Tunggu Dewata menurunkan goro-goro[9] dulu.”
Semar Mendem baru sadar. Pantas saja tidak ada yang peduli dengan nasihatku.
Petruk menggandeng tangan Semar Mendem berjalan menuju Gunung Arjuno. Sambil berjalan dia memasang earphone-nya. Dituntaskannya tembang milik salah satu biduan idolanya, Meggy Z, Berakhir Pula.
***
[1] Bhs. Jawa: Cuil sedikit di bagian pinggir.
[2] Bhs. Jawa: Sudah tua.
[3] Bhs. Jawa: Sudah tua kok macam-macam.
[4] Bhs. Jawa: Mabuk.
[5] Bhs. Jawa: Sudahlah, ayo ikut aku nyepi di gunung saja!
[6] Bhs. Jawa: Kaya.
[7] Bhs. Jawa: Anda.
[8] Bhs. Jawa: Terburu-buru.
[9] Dalam dunia wayang, biasanya punakawan muncul setelah terjadi goro-goro (adegan bencana, perang, kerusuhan, dan sejenisnya). Pesannya adalah, setelah terjadi kekacauan atau kerusuhan yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.